*

*

Ads

Selasa, 16 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 014

Malam itu kembali Cia Sun tidak dapat tidur. Kata-kata dan sikap Sui Cin yang membuat dia duduk bengong menghadapi api unggun dengan alis berkerut, juga dia harus berjaga. Siapa tahu nenek pawang ular itu muncul lagi dan setelah dia melakukan perjalanan bersama Sui Cin, dia merasa bertanggung jawab menjaga keselamatan dara ini.

Dia sungguh bingung menghadapi sikap Sui Cin. Mengapa hatinya tidak senang karena dia... hemm, dianggap canggung, sopan, halus dan lemah? Apa maksudnya? Dia tidak marah disebut demikian, hanya dia ingin tahu sekali mengapa hati gadis itu menjadi tidak senang. Akan tetapi dia tidak berani bertanya, takut kalau-kalau pertanyaannya atau desakannya akan membuat Sui Cin menjadi makin marah. Padahal dia sama sekali tidak menghendaki gadis itu marah-marah. Sama sekali tidak, bahkan dia ingin sekali membuat gadis itu bergembira. Akan tetapi bagaimana? Ada sesuatu pada diri gadis ini yang membuatnya tertarik, untuk menyelidikinya, untuk mengenalnya lebih baik. Dan setelah ternyata bahwa gadis yang tadinya disangka gadis jembel aneh itu adalah puteri Pendekar Sadis, pamannya sendiri, kesan dalam batinnya menjadi semakin mendalam!

Ketika pada keesokan paginya mereka melanjutkan perjalanan, di sepanjang perjalanan Cia Sun dengan hati-hati menjaga diri agar jangan sampai membuat adik sepupu itu menjadi tidak senang hatinya. Hubungan antara dia dan Sui Cin memang dekat sekali. Dilihat dari sumber perguruan silat, mereka masih terhitung saudara seperguruan. Diingat akan hubungan antara ayah mereka yang mengangkat saudara, mereka masih terhitung saudara sepupu angkat.

Akan tetapi Cia Sun menemui kesulitan untuk depat menyesuaikan diri dengan gadis itu, atau mengikuti gerak-geriknya. Bagaikan seekor burung, Sui Cin adalah seekor burung walet yang amat gesit dan tidak pernah mau diam. Bagaikan bunga, ia mirip bunga hutan yang liar dan kuat, tidak takut akan badai dan panas, Wataknya lincah gembira, kadang-kadang seperti kanak-kanak, kadang-kadang sudah matang dewasa, ada kalanya bengal suka menggoda orang, pendeknya, amat berlawanan dengan watak Cia Sun yang pendiam, serius, dan tidak banyak cakap.

Namun, suatu keanehan terjadi dalam batin pemuda itu. Walaupun watak mereka bertolak belakang, dia merasa amat tertarik, dan kalau biasanya dia tidak suka melihat seseorang dengan sikap seperti Sui Cin, namun pada diri gadis itu, baginya nampak demikian memikat dan menyenangkan!

Asmara memang merupakan suatu kekuasaan yang amat jahil dan suka menggoda hati manusia! Demikian kuatnya asmara sehingga tidak ada seorangpun manusia yang kebal atau dapat melawan kekuasaannya. Tanpa pandang bulu, kaya atau miskin, pintar atau bodoh, dari segala lapisan, setelah melampaui masa remaja, asmara mulai mengintai dan mencari korban diantara manusia. Dan sekali orang terkena panah asmara, dia akan menjadi seperti linglung dan terjadilah perobahan besar-besaran dalam dirinya.

Hebatnya, asmara dapat mendatangkan sorga pada seseorang sehingga batinnya merasa bergembira, segalanya nampak indah, hidup penuh arti yang menyenangkan. Di lain saat, asmara dapat meruntuhkan kesemuanya itu dan menyulap sorga berobah menjadi neraka, penuh derita batin, penuh kekecewaan, penuh sengsara. Lebih mengherankan lagi, manusia amat jinak dan suka sekali menjadi korban asmara yang jahil!

Dan Cia Sun, untuk yang pertama kali selama hidupnya, terkena panah asmara tanpa dia sendiri menyadarinya! Dia jatuh hati kepada Sui Cin. Namun, karena pemuda ini semenjak kecil digembleng oleh orang tuanya menjadi seorang pendekar yang budiman, sopan dan memegang teguh peraturan, sesuai dengan sifat seorang kuncu (budiman) seperti yang disebutkan oleh para guru besar dan para cerdik pandai, maka diapun diam saja dan hanya menyimpan peraman itu di lubuk hatinya.

Pada suatu siang tibalah mereka di kaki bukit itu. Puncak Bukit Perahu telah nampak dari situ. Bukit itu memang berbentuk sebuah perahu yang terbalik, tertelungkup. Karena bentuknya itulah maka dinamakan Puncak Bukit Perahu. Puncaknya tidak runcing, melainkan seperti dasar perahu yang terbalik. Dari jauh nampak hutan-hutan yang amat subur karena bukit itu terletak di daerah lembah Sungai Huang-ho yang terkenal subur.

Selagi keduanya melanjutkan perjalanan, Sui Cin di atas punggung kudanya dan Cia Sun berjalan di sebelah kirinya, tiba-tiba gadis itu menunjuk ke depan.

"Eh, siapa itu tidur di tepi jalan?"

Mereka berdua mempercepat jalan ke depan dan Sui Cin yang melihat bahwa yang menggeletak di tepi jalan itu adalah seorang wanita, cepat meloncat turun dan sebentar Saja ia sudah berlutut di dekat mayat itu.

Mayat seorang gadis yang usianya sebaya dengannya, mayat yang setengah telanjang, mayat yang diperkosa dan dibunuh secara kejam. Kejam karena tubuh itu tidak terluka, akan tetapi setelah diperiksa, di pelipisnya ada tanda jari hitam.

Tahulah Sui Cin bahwa gadis ini dibunuh oleh orang yang memiliki ilmu pukulan ganas dan kejam sekali, yang memiliki jari tangan yang mampu membunuh orang hanya dengan satu kali tusukan atau bahkan pijatan saja seperti yang dialami oleh gadis yang sudah mati itu.






Dengan muka merah karena marah sekali Sui Cin menoleh ke arah Cia Sun dan melihat betapa pemuda itu sudah berdiri dekat akan tetapi pemuda itu membuang muka. Tentu saja karena melihat mayat setengah telanjang itu. Sui Cin lalu menutupi bagian-bagian yang biasanya tertutup dengan sisa pakaian yang masih ada sambil menarik napas panjang untuk menekan perasaannya yang dibakar api kemarahan.

"Kenapa ia?" tanya Cia Sun mendengar helaan napas gadis itu.

"Diperkosa lalu dibunuh. Lihatlah sendiri betapa kejamnya pembunuh itu. Tak perlu sungkan, tubuhnya sudah kututupi."

Sebenarnya, andaikata di situ tidak ada Sui Cin, tentu Cia Sun tidak begitu sungkan untuk memeriksa karena bagaimanapun juga, yang terbujur di atas tanah itu adalah tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Akan tetapi, dengan hadirnya gadis itu dia merasa tidak sampai hati untuk memandang ketika dilihatnya tubuh gadis itu terbuka telanjang.

Mendengar ucapan Sui Cin, Cia Sun berlutut dan atas petunjuk Sui Cin, dengan mudah dia menemukan sebab kematian. Totokan jari tangan yang amat ganas pada pelipis gadis itu merusak otak dan menghentikan aliran darah, mendatangkan kematian yang amat menyiksa karena gadis itu matinya perlahan-lahan setelah mengalami rasa nyeri yang hebat tanpa dapat berkutik!

"Bedebah! Seorang jai-hwa-cat yang amat jahat!" kata Cia Sun.

"Dan gadis inipun bukan seorang gadis biasa, melainkan seorang yang memiliki kepandaian silat. Lihat, di pinggangnya masih terdapat kantung piauw yang belum habis dipergunakan, dan lengan kirinya ada cacat goresan pedang yang sudah lama."

“Ah, ini berarti bahwa jai-hwa-cat itu adalah satu diantara golongan hitam yang sengaja hendak mengacau pertemuan para pendekar, seperti tiga orang iblis dari Cap-sha-kui yang kau telah jumpai itu, Cin-moi."

"Kurasa begitu. Kasihan gadis yang masih begini muda harus tewas dalam keadaan begini menyedihkan. Mengapa ia melakukan perjalanan seorang diri ke tempat berbahaya ini?"

"Ingat, Cin-moi, bukankah engkaupun seorang gadis muda yang melakukan perjalanan sendirian saja sebelum bertemu denganku? Kurasa iapun mengandalkan kepandaiannya maka berani melakukan perjalanan sendiri, sungguh kasihan sekali."

"Atau ia terpisah dari rombongannya, siapa tahu..."

"Mungkin juga. Mari kita cepat mengubur mayatnya."

Dua orang pendekar muda itu lalu menggali lubang dan mengubur jenazah itu secara sederhana sekali, memberi tanda di atas kuburan itu dengan sebongkah batu yang berbentuk tinggi lurus.

Setelah selesai mereka maju lagi dan mulai mendaki bukit. Ketika memasuki hutan pertama yang kecil, mereka dikejutkan oleh penemuan kedua. Sekali ini mereka melihat tiga orang laki-laki muda yang sudah menjadi mayat dan tubuh mereka berserakan di tepi jalan.

Seperti mayat gadis pertama tadi, jenazah merekapun tidak terdapat cacat, tidak ada luka, hanya ada tanda satu jari hitam saja di bagian-bagian yang mematikan. Seorang di tengkuk, seorang lagi di ulu hati dan seorang lagi di kepala. Jelaslah bahwa mereka itu hanya terbunuh oleh satu kali serangan sebuah jari tangan saja yang meninggalkan bekas hitam!

"Jahanam, aku harus membasmi Si Jari Hitam yang kejam ini!"

Cia Sun mengepal tjnju dan di dekat tiga mayat itu dia menemukan tiga batang pedang. Agaknya tentu senjata mereka yang terlepas dari tangan.

"Tentu ada hubungan dengan kematian gadis yang diperkosa," kata Sui Cin. "Engkau tadi menduga benar, Sun-ko. Gadis itu tadi tentu serombongan dengan mereka ini."

Kembali mereka menggali lubang, kini cukup besar untuk mengubur tiga buah mayat itu sekaligus. Mereka berkeringat juga setelah selesai meletakkan batu besar di atas makam baru ini dan matahari telah condong ke barat ketika mereka melanjutkan perjalanan dengan hati terasa semakin panas terhadap pelaku pembunuhan-pembunuban kejam itu.

Menjelang senja mereka tiba di lereng bukit itu dan tiba-tiba mereka melihat dua orang laki-laki sedang berkelahi dengan serunya. Cepat keduanya menghampiri dan Sul Cin segera meloncat turun dari atas kudanya. Bersama Cia Sun ia memperhatikan dua orang yang sedang berkelahi mati-matian itu.

Orang pertama yang melakukan serangan membabi-buta adalah seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun, bertubuh tinggi besar bercambang bauk dan jelas memiliki potongan penjahat yang serba kasar dan sudah biasa mempergunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya. Orang ini mempergunakan sebatang golok besar yang tebal dan berat untuk menyerang lawannya. Goloknya membentuk gulungan sinar yang berkilauan tertimpa cahaya matahari senja yang kemerahan.

Orang kedua yang menjadi lawannya amat menarik perhatian Sui Cin dan Cia Sun. Orang itu masih muda, kurang lebih dua puluh lima tahun usianya. Wajahnya tampan dan lincah gembira karena menghadapi serangan bertubi-tubi dari lawannya itu dia masih dapat tersenyum-senyum!

Pakaiannya rapi dan bahkan agak mewah dan indah, pantas sekali dengan tubuhnya yang tegap dan wajahnya yang tampan. Potongan seorang pendekar tulen, pendekar yang halus dan agaknya terpelajar, menilik dari pakaian dan gerak-geriknya. Pemuda ini bertangan kosong dan pada tubuhnya tidak nampak adanya senjata. Hanya di punggungnya terdapat sebuah buntalan pakaian dan rambutnya yang hitam lebat itu digelung ke atas, kemudian kepalanya dilindungi oleh sebuah caping bulat yang lebar sekali.

Begitu seenaknya dia menghadapi lawan sehingga topi lebar itupun tidak dilepasnya dan caping itu mengangguk-angguk dan melambai-lambai mengikuti gerakan-gerakannya.

Sui Cin dan Cia Sun memperhatikan gerakan pemuda itu. Gerakannya indah dan cepat sekali. Biarpun sambaran golok itu cukup dahsyat, namun tubuh pemuda itu seperti kapas saja yang sukar disentuh golok, seolah-olah sambaran golok itu cukup membuat tubuhnya terdorong menghindar sehingga sebelum goloknya tiba, tubuhnya sudah lebih dulu menyingkir.

Tentu saja Sui Cin dan Cia Sun kagum dan mengerti bahwa pemuda bercaping lebar itu adalah seorang ahli ginkang yang hebat. Sui Cin sendiri telah mewarisi gin-kang yang hebat dari ibu kandungnya, akan tetapi melihat gerakan pemuda bercaping itu, iapun merasa kagum dan diam-diam ia ingin sekali mencoba gin-kangnya melawan pemuda itu!

Karena mereka tidak tahu urusannya, maka tentu saja mereka hanya menonton dan tidak berani sembarangan turun tangan.

Sementara itu, pemuda bercaping agaknya tidak pernah melihat kedatangan Sui Cin dan Cia Sui, karena dia didesak dan diserang secara bertubi-tubi oleh lawannya. Namun semua serangan dapat dihindarkannya dengan baik dan tiba-tiba dia membuat gerakan cepat sekali dengan kakinya.

"Hyaaat! Robohlah!"

Dan seperti mentaati perintah pemuda bercaping itu, tiba-tiba saja lawannya itu roboh terpelanting dan tidak mampu bangun lagi karena tendangan si pemuda telah membuat sambungan lutut kanannya terlepas.

Tendangan yang hebat tadi dapat dilihat jelas oleh Cia Sun dan Sui Cin dan mereka kembali merasa kagum. Itu adalah semacam ilmu tendang yang amat berbahaya, pikir mereka.

Kini pemuda itu melangkah maju menghampiri. Tiba-tiba Sui Cin hampir menjerit melihat betapa laki-laki tinggi besar yang sudah roboh itu secara mendadak menggerakkan goloknya membabat ke arah kaki dan serangan ini dilanjutkan dengan tusukan ke arah perut.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: