*

*

Ads

Selasa, 16 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 013

"Bukan begitu, tapi aku melihat nona mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun! Bagaimana nona dapat mempelajari ilmu itu?"

"Hemm, dan engkau, bagaimana engkau dapat mengenal Ilmu Thai-kek Sin-kun yang kumainkan?" Suara itu lebih heran dan lebih curiga.

"Karena aku heran sekali... ilmu itu adalah milik keturunan Cin-ling-pai..."

"Kalau begitu..."

"Siapakah nona yang pandai ilmu silat keluarga kami?"

"Dan siapa pula engkau ini yang mengaku-aku keluarga kami?"

"Ehh... jadi nona memang ada hubungan dengan Cin-ling-pai...? Siapakah namamu, nona?"

"Namamu dulu."

"Baiklah, namaku Sun, aku she Cia..."

"Haiii...! Engkau Cia Sun dari Lembah Naga? Wah, wah...! Aku... aku she Ceng..."

"Astaga... kau... kau ini Sui Cin anak yang bengal dulu itu?"

Sui Cin cemberut dan menghardik,
"Siapa yang bengal?"

Cia Sun tersenyum lebar dan menjura.
"Maaf, maaf... membayangkan engkau ketika masih kecil, sukarlah dipercaya engkau sekarang sudah menjadi begini... besar dan lihai!"

"Memangnya aku disuruh menjadi anak kecil selamanya? Dan jangan katakan aku bengal!"

"Ha-ha, siauw-moi, lupakah engkau kepada dahiku yang dahulu membenjol sebesar telur ayam karena kau sambit dengan batu?"

Sui Cin tertawa dan menutupi mulutnya walaupun suara ketawanya lepas bebas. Lalu disambungnya dengan kata-kata,

"Wah, tentu saja aku ingat. Ayah ibuku memarahiku dan hampir aku kena digebuk ayah! Gara-gara engkau. Kenapa dahimu membenjol, baru kena batu begitu saja. Dan sekarang, Sun-ko, jangan kau melapor lagi kepada ayah ibu kalau bertemu dengan mereka, ya?"

"Melapor bahwa engkau menyamar sebagai jembel, bahkan sebagai pemuda jembel yang mencuri bakpao dan membiarkan dirimu ditangkap dan ditahan? Ah, tidak, Cin-moi. Kita bukan anak-anak lagi sekarang. Engkau sungguh telah menjadi seorang gadis yang..."

"... bengal...?"

"Tidak! Tidak...! Engkau sudah besar dan sungguh hebat kepandaianmu, bahkan Kiu-bwee Coa-li kewalahan menandingimu. Thai-kek Sin-kun tadi kau mainkan amat indah dan hebat."

"Sudah, jangan terlalu memuji. Bisa membengkak dan pecah kepala ini nanti. Kalau tidak kau bantu, apa kau kira aku dapat menang menghadapi nenek ular itu? Sungguh mengherankan sekali, apakah benar-benar Cap-sha-kui telah keluar dari sarangnya dan mengapa mereka bahkan datang ke tempat ini dimana para pendekar akan mengadakan pertemuan?"

"Bukankah baru seorang saja Kiu-bwee Coa-li tadi yang muncul?"

"Sudah tiga bersama nenek itu! Sebelumnya aku sudah bertemu dengan dua orang lain diantara mereka, di kuil Dewi Laut, yaitu Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo."

Cia Sun mengangguk-angguk.
"Ah, kalau begitu agaknya benar mereka itu telah keluar dari sarang. Bahkan baik untuk memperingatkan para sahabat dalam pertemuan nanti."






"Kalau begitu engkau hendak pergi menghadiri pertemuan para pendekar itu, Sun-ko?"

Sikap dan suara Sui Cin demikian akrab, seolah-olah selama ini Cia Sun selalu bergaul dengannya. Padahal, selama hidupnya, baru satu kali ia berjumpa dengan Cia Sun, yaitu ketika ia diajak ayah bundanya mengunjungi Lembah Naga, kira-kira sembilan tahun yang lalu. Ketika itu ia baru berusia enam tahun dan Cia Sun berusia tiga belas tahun. Ia bersama orang tuanya tinggal setengah bulan di Lembah Naga dan setelah mereka pulang, ia tidak pernah lagi berjumpa dengan Cia Sun.

Akan tetapi, karena memang gadis ini memiliki pembawaan riang dan ramah jenaka, maka ia mudah akrab dengan siapa saja. Cia Sun sendiri yang biasanya pendiam dan serius, juga agak malu kalau berdekatan dengan wanita, sekali ini kehilangan rasa canggungnya berkat sikap Sui Cin yang ramah itu.

"Benar, dan engkau sendiri, Cin-moi?"

“Akupun hendak berkunjung kesana."

"Mewakili orang tuamu?"

"Tidak. Sudah setengah tahun aku meninggalkan Pulau Teratai Merah. Hanya kebetulan dalam perjalanan aku mendengar tentang rencana pertemuan itu maka aku sengaja hendak menonton. Dan engkau?"

"Aku mewakili Pek-liong-pang, mewakili ayah."

"Kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan. Tidak enak kalau kemalaman dalam hutan. Apalagi bau bangkai ular-ular itu amat busuk."

"Baiklah, Cin-moi. Kau naiki saja kudamu, biar aku jalan kaki. Kita dapat bercakap-cakap di perjalanan."

Mereka melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap. Sui Cin menunggang kudanya dan Cia Sun berjalan di sebelahnya. Malam telah tiba dan cuaca mulai gelap ketika mereka keluar dari dalam hutan. Karena tidak nampak dusun di dekat situ, keduanya terpaksa melewatkan malam di tepi hutan. Mereka membuat api unggun dan Sui Cin mengeluarkan bekal roti dan daging keringnya, sedangkan Cia Sun mengeluarkan bekal araknya yang masih seguci penuh.

Setelah makan sekedarnya untuk menghilangkan rasa lapar dan haus, keduanya duduk menghadapi api unggun dan melanjutkan percakapan mereka.

"Sun-ko, sudah banyak sekali aku mendengar tentang orang tuamu, terutama sekali tentang ayahmu. Ayahku tiada bosannya mengatakan bahwa ayahmu adalah pendekar terbesar di dunia ini dan ayahmulah satu-satunya orang yang amat dihormati ayahku."

Cia Sun menghela napas.
"Diantara ayah kita berdua memang terjalin pertalian persaudaraan yang amat kuat, melebihi saudara sekandung. Ayahku juga tiada bosannya membicarakan ayahmu dan seringkali dia mengatakan bahwa ayahmu adalah pendekar yang paling lihai dan satu-satunya orang yang amat disayang oleh ayahku."

"Kalau begitu, orang tua kita memiliki pertalian persaudaraan yang amat erat, dengan sendirinya kitapun dapat dibilang masih keluarga sendiri, bukan?"

"Begitulah, siauw-moi."

"Ih, jangan sebut aku siauw-moi (adik kecil), aku tidak kecil lagi, Sun-ko. Usiaku sudah lima belas tahun!"

"Lima belas tahun masih kecil namanya."

"Siapa bilang? Bagi seorang wanita, usia itu sudah berarti dewasa."

"Baiklah, maafkan aku. Aku akan menyebutmu Cin-moi saja."

"Maaf-maafan segala, engkau terlalu sungkan, Sun-ko. Kalau aku tidak salah ingat, engkau lebih tua lima tahun dari-pada aku."

"Tujuh tahun. Usiaku sekarang sudah dua puluh dua tahun."

"Engkau tentu sudah menikah..."

Perkataan ini membuat Cia Sun terkejut dan tertegung sejenak tak dapat menjawab karena bagi seorang pendiam dan sopan serta serius seperti dia, tak pernah terbayangkan akan menerima pertanyaan seperti itu dari seorang gadis yang pernah membuat dia tidak mampu tidur nyenyak semalam suntuk.

Akan tetapi ketika dia memandang dan mereka bertemu pandang, dia tidak melihat sesuatu dalam sinar mata gadis itu melainkan kejujuran dan pertanyaan yang terbuka tanpa perasaan lain yang tersembunyi di balik kata-kata itu. Maka diapun menggeleng.

"Kenapa engkau menyangka demikian?"

"Karena usiamu sudah dua puluh dua tahun."

"Siapa yang mau menjadi isteri orang seperti aku ini, Cin-moi?"

Sui Cin terbelalak memandang wajah pemuda itu, melihat betapa wajah itu tiba-tiba dibayangi kemurungan. Wajah yang gagah, walaupun tidak terlalu tampan, akan tetapi wajah yang berwibawa, gagah dan membayangkan kejujuran. Wajah seorang pendekar yang perkasa.

Akan tetapi pada saat itu, kegagahannya tertutup awan mendung sehingga menggelikan hatinya dan tiba-tiba Sui Cin tertawa, sekali ini lupa menutupi mulutnya sehingga nampaklah deretan gigi putih dan rongga mulut yang merah sekali seperti dibakar warna api unggun, dan ujung lidahnya nampak sebentar. Mulut itu tertutup kembali dan Sui Cin memandang kepada api unggun.

Cia Sun kebingungan, merasa ditertawakan, mencari-cari kesalahan apa yang terkandung dalam ucapannya, kelucuan apa sehingga dara itu tertawa. Karena tidak dapat menemukan, diapun bertanya,

"Cin-moi, kenapa engkau tertawa?"

Sui Cin masih nampak termenung sambil menatap api unggun, kemudian bicara, seperti bicara kepada api unggun, suaranya lirih, satu-satu dan jelas,

"Dia seorang pendekar perkasa berkepandaian tinggi, putera ketua Pek-liong-pang penghuni Lembah Naga yang amat terkenal, disegani kawan ditakuti lawan dan dia bertanya siapa yang mau menjadi isteri seorang seperti dia! Padahal, gadis-gadis dari semua penjuru akan berbondong-bondong datang berlomba untuk dapat menjadi jodohnya."

Wajah pendekar itu berobah merah.
"Ah, Cin-moi, harap jangan memperolok..."

"Siapa berolok-olok? Sun-ko, engkau seorang pendekar yang gagah perkasa, hanya ada yang tidak menyenangkan hatiku... yaitu... hemmm... engkau terlalu canggung, engkau terlalu sopan, terlalu halus dan lemah, hemm... sudahlah, aku mau tidur."

Berkata demikian, dara itu lalu merebahkan diri di tempat yang sudah dipersiapkan sebelumnya, yaitu di bawah pohon bertilamkan rumput kering. Dia rebah miring dan tidak bergerak lagi dan tak lama kemudian pernapasannya menunjukkan bahwa ia memang sudah pulas.

**** 013 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: