*

*

Ads

Selasa, 16 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 011

Pada waktu itu, yang menjadi kaisar dari Kerajaan Beng-tiauw adalah Kaisar Ceng Tek (tahun 1505-1520). Ketika menggantikan kedudukan sebagai kaisar, Kaisar Ceng Tek ini baru berusia lima belas tahun. Maka berulanglah sejarah para kaisar lama di Tiongkok, yaitu bahwa tidak lama kemudian setelah dia menduduki singgasana sebagai kaisar, istana jatuh ke dalam cengkeraman kekuasaan para thaikam (pembeser kebiri).

Kaisar Ceng Tek bukan hanya masih terlalu muda untuk dapat melihat kepalsuan-kepalsuan para thaikam ini, akan tetapi juga kaisar ini mempunyai jiwa petualang. Dia suka meninggalkan istana secara diam-diam dan melakukan perjalanan seorang diri, menyamar sebagai rakyat biasa dan barsenang-senang. Dia mengabaikan urusan kerajaan sehingga tentu saja kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh para thaikam yang pada waktu itu dikepalai oleh Liu Kim.

Liu-thaikam ini berasal dari utara, dari keluarga petani miskin. Akan tetapi karena dia memiliki wajah tampan dan sikap yang halus, dia berhasil bekerja di istana semenjak remaja. Liu Kim pandai membawa diri sehingga disuka oleh dua kaisar terdahulu, yaitu Kaisar Ceng Hwa dan Kaisar Hung Chih. Bahkan dia memperlihatkan bakti dan kesetiaannya dengan rela menjadi thaikam, rela dikebiri untuk mempertahankan kedudukannya.

Dia memperoleh kepercayaan para kaisar itu sehingga ketika Kaisar Ceng Tek diangkat menjadi kaisar, Liu-thaikam yang sudah berhasil menduduki jabatan pembesar istana bagian dalam, lalu diangkat menjadi kepala thaikam. Jabatan ini tentu saja tinggi sekali karena para thaikam merupakan orang-orang kepercayaan kaisar.

Pria yang dikebiri itu tidak lagi dapat berhubungan dengan wanita, akan tetapi karena nafsunya masih ada, maka sebagian besar lalu mengalihkan nafsu-nafsu yang tak dapat tersalurkan itu kepada kepuasan-kepuasan lain, terutama sekali kepuasan karena kedudukan tinggi sehingga memiliki kekuasaan, dan kepuasan karena memiliki banyak harta benda. Inilah rupanya yang menjadi pendorong utama mengapa kaum thaikam di istana ini sejak dahulu selalu amat licin dan pandai menguasai kaisar sehingga mereka memperoleh kedudukan tinggi, berkuasa dan mempunyai banyak sekali kesempatan untuk berkorupsi dan memperkaya diri sendiri.

Pada waktu itu, Kaisar Ceng Tek telah empat tahun menjadi kaisar dan sungguh luar biasa sekali hasil yang diperoleh Liu-thaikam selama empat tahun menjadi kepala thaikam. Kekuasaan mutlak mengenai urusan dalam istana berada di tangannya. Kaisar muda usia yang lebih suka berkelana dan bersenang-senang itu percaya penuh kepada Liu-thaikam yang biarpun sudah tua masih nampak tampan, halus dan pandai mengambil hati. Kalau ada para pembesar yang memperingatkannya tentang kecurangan Liu Kim, sang kaisar yang muda malah berbalik mendampratnya dan mengatakannya iri tanpa mau melakukan penyelidikan terhadap diri pejabat yang dilaporkan itu.

Pemerintahan kaisar muda ini memang bukan merupakan pemerintahan yang baik dalam sejarah Kerajaan Beng. Kaisar muda amat lemah dan kurang memperhatikan kepentingan negara, walaupun dia bukanlah seorang kaisar lalim. Karena sikapnya yang kurang semangat, maka hal ini menular kepada para pejabat sehingga pada keseluruhannya, pemerintah kelihatan kurang perduli dan lemah.

Hal ini tentu saja dimanfaatkan oleh golongan hitam yang bangkit dan keluar dari tempat sembunyi mereka dan merajalela karena alat-alat negara tidak bersungguh-sungguh dalam menghadapi atau menentang mereka. Mulailah berjangkit gangguan-gangguan keamanan di mana-mana. Yang amat menggegerkan dunia kang-ouw adalah berita tentang bangkitnya Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis)!

Cap-sha-kui merupakan kesatuan baru dari para tokoh hitam yang bergabung untuk memperkuat diri. Dengan bergabungnya mereka, maka mereka merasa kuat untuk menghadapi musuh besar mereka, yaitu para pendekar. Terhadap pemerintah yang lemah, wereka tidak takut sama sekali. Dan Cap-sha-kui ini bukan hanya merupakan tiga belas orang tokoh jahat, melainkan berikut anak buah mereka yang hampir meliputi seluruh dunia kejahatan di timur dan utara, sampai wilayah kota raja.

Keadaan inilah yang mendorong para pendekar untuk mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu yang terletak di lembah Sungai Huang-ho. Dan Cia Sun datang ke Ceng-tao juga untuk menghadiri pertemuan itu, sebagai wakil ayahnya yang menjadi ketua Pek-liong-pang.

Memang sudah lama ayahnya, yaitu Cia Han Tiong atau Cia-pangcu (ketua Cia) tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw. Akan tetapi setelah mendengar akan adanya pertemuan penting itu dan mengingat bahwa anak murid Pek-liong-pang tersebar sebagai pendekar-pendekar disekitar kota raja, maka Cia-pangcu lalu mengutus puteranya sebagai wakil Pek-liong-pang, untuk melihat suasana dan mendengarkan hasil keputusan pertemuan para pendekar itu.

"Kita tidak mengerti persoalannya secara mendalam," demikian Cia-pangcu memesan kepada puteranya. "Yang kita dengar hanya bahwa golongan hitam bangkit dan membuat kekacauan-kekacauan dan para pendekar berkumpul untuk merundingkan suasana keruh itu. Ada pula berita bahwa semua itu ada hubungannya dengan Pemerintahan Kaisar Ceng Tek. Oleh karena itu, Sun-ji (anak Sun), engkau jangan sembrono bertindak mencampuri. Dengarkan dan lihat saja bagaimana keadaan dan suasananya sebelum melibatkan diri."






Demikianlah, ketika singgah di Ceng-tao, tanpa disengaja Cia Sun bertemu dengan Ceng Sui Cin tanpa dia mengetahui bahwa gadis jembel itu adalah puteri tunggal pamannya yang sudah lama dikaguminya, yaitu Pendekar Sadis. Setelah melewatkan malam di rumah penginapan dengan agak gelisah, tak dapat tidur nyenyak karena selalu membayangkan wajah si gadis jembel, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cia Sun sudah berangkat menuju ke Puncak Bukit Perahu yang berada jauh di sebelah barat.

Setelah keluar dari kota Ceng-tao dan berada di tempat sunyi, Cia Sun lalu mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga tubuhnya meluncur ke depan seperti terbang saja.

Pemuda ini memang hebat. Bentuk tubuhnya biasa saja, sedang dan tegap seperti tubuh pemuda yang sejak kecil berolah raga, wajahnya juga sederhana seperti pakaiannya. Rambutnya digelung ke atas dan diikat sutera kuning. Pakaiannya yang sederhana itu terbuat dari kain putih dengan jubah kuning. Sepatunya hitam, demikian pula sabuknya yang terbuat dari sutera.

Ketika wajahnya ditimpa sinar matahari pagi, kulit mukanya berkilat dan biarpun dia tidak memiliki wajah yang tampan, namun penuh kejantanan. Larinya cepat bukan main. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa gadis jembel yang semalam membuatnya tak dapat tidur nyenyak, kini menunggang seekor kuda kecil cebol dan melarikan kudanya itu tak lama setelah dia, dengan jurusan yang sama pula. Gadis itu adalah Cui Sin dan iapun tidak tahu bahwa baru saja pemuda yang semalam menolongnya itu juga melalui jalan ini dengan berlari cepat menuju ke barat.

Karena hari yang ditentukan untuk pertemuan para pendekar itu masih kurang dua hari lagi, maka jalan masih sunyi dan selama itu Cia Sun belum berjumpa dengan pendekar lain yang dikenalnya atau orang-orang yang patut diduga pendekar. Orang-orang yang ditemuinya di jalan sehari itu hanyalah orang-orang yang berlalu-lalang dari dan ke Ceng-tao.

Ketika dia melihat sebuah hutan di depan, Cia Sun mempercepat langkahnya. Dia harus dapat menembus hutan itu sebelum gelap dan kini matahari telah condong ke barat. Dari jauh tadi, hutan yang berada di kaki bukit ini tidak begitu besar, akan tetapi setelah dimasukinya ternyata hutan itu penuh dengan pohon-pohon tua yang besar sehingga nampak menyeramkan dan liar. Bahkan jalan raya yang biasa dilalui orang mengambil jalan memutari hutan itu.

Agaknya para pejalan itu lebih suka mengambil jalan memutar daripada harus memasuki hutan yang nampak liar itu. Akan tetapi, Cia Sun tentu saja memilih lorong kecil yang menerobos hutan karena dia tidak takut memasuki hutan yang baginya kecil saja itu. Di tempat tinggalnya, di Lembah Naga, terdapat hutan-hutan yang lebih luas dan lebih liar lagi. Karena dia tahu bahwa jalan lorong yang melalui hutan ini lebih dekat, maka tanpa ragu-ragu lagi dia memasuki hutan dan melakukan perjalanan cepat.

Akan tetapi, ketika dia tiba di tengah hutan dimana terdapat pohon-pohon raksasa, tiba-tiba dia mendengar gerakan dari atas pohon dan ada angin menyambar ke bawah. Sebagai seorang pendekar yang lihai, dengan kewaspadaan yang selalu membuat tubuhnya berada dalam keadaan siap siaga, Cia Cun melempar tubuhnya ke belakang dan berjungkir balik.

Betapa kagetnya melihat bahwa yang menyambar dari atas tadi adalah kepala seekor ular besar. Badan ular itu melilit cabang pohon dan kepalanya terayun ke bawah. Ular itu panjangnya ada empat tombak dan perutnya sebesar paha! Ular besar ini tentu akan dapat menelan binatang-binatang seperti kijang, bahkan orangpun akan dapat dimasukkan ke dalam perutnya.

Ular besar itu mengayun kepalanya dan mencoba untuk meraih Cia Sun. Akan tetapi sekali ini Cia Sun mengelak sambil menggerakkan tangan memukul ke arah tengkuk ular yang menyambar itu dengan tangan dimiringkan. Tangan pendekar muda ini kalau dipukulkan seperti itu hebatnya melebihi palu godam baja.

"Krekkk!"

Ular itu terkulai dan perlahan-lahan, libatan badannya pada cabang pohon terlepas dan akhirnya terjatuhlah badan itu ke atas tanah, menggeliat-geliat akan tetapi kepalanya tidak dapat digerakkan karena tengkuknya patah-patah. Dan pada saat itu terdengar desis yang banyak sekali.

Cia Sun memandang ke kanan kiri depan dan belakang dengan mata terbelalak karena dia melihat betapa dirinya telah dikurung oleh ratusan ekor ular yang berdatangan dari empat penjuru! Ular-ular besar kecil dari berbagai jenis dan warna, ular-ular beracun yang amat jahat dan tempat itu segera dipenuhi bau amis yang memuakkan.

"Heh-heh-heh! Tar-tar-tarrr... hi-hik!"

Cia Sun cepat menengok dan alisnya berkerut, sepasang matanya mencorong penuh kewaspadaan. Seorang nenek tua renta keriputan yang punggungnya bongkok tahu-tahu sudah berada disitu, memegang sebatang cambuk yang ekornya sembilan.

Nenek itu membunyikan cambuknya berkali-kali, sehingga terdengar suara meledak-ledak dan nampak semacam asap mengepul dari ujung cambuknya, diseling suara ketawa terkekeh menyeramkan. Dan Cia Sun melihat kenyataan bahwa ular-ular itu agaknya terkendali oleh suara ledakan cambuk. Hal ini hanya berarti bahwa nenek itulah yang menjadi pawang ular dan telah mengerahkan peliharaannya yang merupakan ternak mengerikan ini untuk mengepungnya.

Cia Sun mengingat-ingat. Para suhengnya, murid-murid Pek-liong-pang yang sudah menjadi pendekar dan mempunyai banyak pengalaman di dunia kang-ouw, pernah menceritakan kepadanya tentang dunia kang-ouw, tentang tokoh-tokoh penting dari golongan putih maupun golongan hitam.

Dia pernah mendengar akan Cap-sha-kui dan diantara tiga belas orang tokoh sesat itu kabarnya terdapat seorang nenek yang berjuluk Kiu-bwee Coa-li (Ular Betina Berekor Sembilan). Dia sudah mendengar betapa lihainya nenek ini, kalau benar Kiu-bwee Coa-li.

Menurut yang didengarnya, diantara Tiga Belas Iblis, yang paling tinggi ilmunya adalah empat orang dan diantaranya adalah nenek ini, maka dia bersikap tenang dan waspada. Ular-ular itu tidak dikhawatirkannya, akan tetapi dia harus berhati-hati terhadap nenek yang menjadi pawang atau penggembala ular itu.

"Hemm, apakah engkau Kiu-bwee Coa-li?" tanyanya, suaranya tetap tenang.

"Heh-heh-heh, engkau masih muda sudah mengenalku, dan sekali pukul dapat membunuh ular kembang. Engkau tentu seorang pendekar, ya? Seorang tokoh muda golongan putih? Hi-hik, aku paling suka darah pendekar dan ular-ularku ini paling suka daging pendekar, heh-heh! Tar-tar-tar-tarrr...!"

Cambuk berekor sembilan itu bergerak dan meledak-ledak. Cia Sun mengelak dari sambaran empat ekor ujung cambuk itu, akan tetapi dia melihat bahwa nenek itu bukan hanya menyerangnya, melainkan juga memberi aba-aba kepada ular-ularnya karena kini, sambil mengeluarkan suara berdesis-desis, binatang-binatang mengerikan itu mulai menyerangnya dari segala penjuru!

Cia Sun menggerakkan kaki tangannya. Kakinya terayun, menendangi ular-ular yang berani mendekatinya, sedangkan kedua tangannya bergerak mengirim pukulan jarak jauh dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang. Angin yang kuat menyambar ke arah ular-ular itu dan belasan ekor ular berhamburan seperti daun kering dilanda angin.

Mellhat kehebatan pemuda ini, nenek itu meringkik, setengah terkekeh setengah menangis dan pecutnya meledak-ledak semakin gencar, bukan hanya menghujani tubuh Cia Sun dengan serangan cambuknya yang berujung sembilan, akan tetapi juga untuk memberi komando kepada ular-ularnya yang menjadi semakin nekat menyerbu ke arah Cia Sun.

Bahkan diantara ular-ular itu terdapat ular-ular cobra yang berdiri dengan leher berkembang, ada pula ular yang seperti dapat terbang karena ular-ular ini kecil-kecil dan ada yang kemerahan, meloncat dan menerkam seperti terbang ke arah leher dan tubuh Cia Sun!

"Hemmm!"

Pemuda itu mendengus dan ketika tangannya dikibaskan, ular-ular yang berani terbang menyerangnya itu terbanting hancur. Terpaksa Cia Sun berloncatan menjauh. Berbahaya juga kalau dia harus menjaga semua serangan itu. Dari atas sembilan ujung cambuk si nenek iblis, dan dari bawah ular-ular yang mengurungnya.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: