*

*

Ads

Jumat, 12 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 008

Pemuda jembel yang mencuri bakpao tadi dengan cerdiknya diam-diam menyelinap dan tahu-tahu dia sudah berada di paling ujung sehingga dia menjadi orang terakhir yang diperiksa. Ketika dia dibentak dan diseret tangannya oleh seorang petugas, dibawa masuk ke dalam kamar pemeriksaan, pada saat itu berkelebat bayangan orang di atas genteng dan ketika pemuda jembel itu mulai dihadapkan kepada komandan tinggi besar bermuka bengis, bayangan itu kini telah bergantung dengan kedua kakinya pada atap di luar jendela, dan kepalanya yang tergantung ke bawah ini menjenguk dan mengintai dari luar jendela yang tinggi karena jendela ini adalah lubang angin.

Pemuda itu gagah perkasa, pakaiannya rapi, matanya lebar tajam, hidungnya agak pesek, mulutnya membayangkan kekerasan dan keteguhan hati. Biarpun raut mukanya tidak dapat dinamakan tampan, akan tetapi diapun tidak buruk sekali dan wajah itu membayangkan kegagahan. Sebatang pedang tergantung di punggung.

Pada saat itu, pemuda jembel telah dihujani bermacam pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya.

"Siapakah penjahat yang mengacau kuil Dewi Laut? Dimana tinggalnya dan siapa namanya? Siapa pula teman-temannya dan mengapa penjahat itu mengacau kuil dan membunuh para petugas keamanan? Hayo ceritakan semua kalau engkau tidak mau dirangket sampai pecah-pecah kulit punggungmu!"

Komandan itu menghardik dan matanya yang besar itu seperti hendak meloncat keluar. Dia sudah terlalu lelah dan pemuda jembel ini merupakan orang terakhir yang diperiksanya. Dia sudah melihat bahwa semua hasil pemeriksaan yang tadi tidak ada artinya, tidak dapat mengungkapkan rahasia penjahat yang dicarinya. Hatinya kesal sekali dan dia ingin menumpahkan kemarahannya kepada pemuda jembel bertubuh kecil yang wajahnya berseri-seri dan cengar-cengir ini.

"Tidak tahu... saya tidak tahu..." berulang-ulang pemuda itu menjawab sambil menggeleng kepalanya.

Seorang diantara tiga orang perwira yang tadi menangkapnya, berkata kepada sang komandan,

"Ketika kami menangkapnya, dia sedang mencuri bakpao."

Komandan itu mengerutkan alisnya dan hampir dia membentak marah kepada bawahannya mengapa pencuri bakpao saja ditangkap. Akan tetapi karena dia hendak menumpahkan kemarahannya kepada tawanan terakhir ini, dia menghardik,

"Bagus! Engkau pencuri, tentu engkau berkawan dengan maling itu! Siapa namamu?"

Pemuda jembel itu nampak gugup, akan tetapi menjawab juga dengan suara lirih,
"Nama saya Cin..."

"Hanya Cin saja?"

"Hanya Cin saja."

"Apa she-nya (nama marganya)?"

"Sudah lupa."

"Brakkk!" Komandan itu menggebrak meja. "Jangan main-main kau! Mana mungkin orang lupa she-nya sendiri?"

"Tapi saya hanya mengingat bahwa nama saya Cin begitu saja, tuan besar."

"Hemm, baiklah. Sejak kapan engkau menjadi jembel?"

"Jembel? Apakah itu, tuan besar?"

"Jembel! Pengemis, tukang minta-minta tak tahu malu."

"Sejak lahir."

Sepasang mata yang sudah mulai lelah dan mengantuk itu kini terbelalak. Sebanyak itu orang yang diperiksanya, baru sekali ini menarik perhatiannya dengan jawaban yang aneh-aneh di luar dugaan.

"Sejak lahir jadi jembel? Pantas! Tak tahu malu! Nah, dimana rumahmu? Hayo mengaku terus terang sebelum kusuruh potong tanganmu yang suka mencuri itu!"






"Rumahku? Seluruh tempat di dunia ini adalah rumahku, tuan besar!"

Jawaban ini kembali membuat semua orang tertegun dan komandan itu sendiri bangkit dari kursinya dan mengepal tinju.

"Engkau minta dipukul? Jawab yang benar!"

Wajah pemuda jembel itu kini berseri-seri seperti ketika dia mencuri bakpao di pasar tadi. Agaknya sudah pulih kembali kegembiraan hatinya dan dia tidak lagi dicekam rasa takut.

"Saya tidak berbohong. Gedung inipun rumahku, bukankah buktinya aku sekarang tinggal disini? Dan toko-toko di tepi jalan itu, tiap malam boleh saja aku tinggal di empernya, atau di bawah-bawah jembatan, semua tempat adalah tempat tinggalku..."

"Setan! Kau mau main-main?"

"Tidak, tuan besar. Dunia ini adalah rumahku, langit adalah atapku, bumi adalah lantaiku, pohon-pohon dan bunga-bunga adalah hiasan-hiasan rumahku, dan..."

"Cukup!"

Komandan itu menghardik sambil menjatuhkan dirinya lagi ke atas kursi dan mengusap peluh dari dahinya. Dia melirik ke arah para pembantunya dan mereka ini dengan penuh arti menyilangkan telunjuk ke depan dahi untuk menyatakan persangkaan mereka bahwa tentu jembel muda ini menderita penyakit miring otak.

"Jadi engkau seorang gelandangan, ya? Seorang tuna wisma yang merantau ke mana-mana. Jadi, engkau tentu mengenal penjahat yang semalam mengacau di kuil Dewi Laut? Hayo mengaku!"

Komandan itu memberi isyarat dan dua orang tukang siksa sudah melangkah maju menghampiri.

"Aku tahu... aku tahu..."

Pemuda itu berseru ketika melihat dua orang tukang siksa yang membawa cambuk yang sudah berlepotan darah itu menghampirinya.

"Bagus sekali!" Wajah komandan itu berseri. Akhirnya berhasil juga pemeriksaan ini, pikirnya, "Hayo katakan yang jelas siapa mereka itu, dan engkau bukan saja akan kubebaskan, malah akan kuberi hadiah pakaian dan uang."

"Aku tahu... seperti yang kudengar bahwa Sang Dewi Laut mengamuk di kuil, dan membunuh-bunuhi orang-orang yang terlalu banyak dosanya. Jadi yang mengacau adalah para hwesio dan nikouw sendiri dibantu oleh pasukan keamanan, merekalah yang dihajar oleh Sang Dewi karena mungkin terlalu banyak dosa..."

"Brakkk!" Kembali komandan itu menggebrak meja dan mukanya menjadi pucat saking marahnya. "Hajar bocah ini! Beri dia dua puluh lima kali cambukan yang keras!"

Dua orang algojo itu menyeringai. Dua puluh lima kali cambukan pada tubuh yang kecil ini berarti mencambukinya sampai mati! Mereka menangkap tangan pemuda itu dan seorang diantara mereka menghardik,

"Buka bajunya!"

"Jangan... ah, jangan... dibuka. Aku seorang wanita...!" Pemuda jembel itu berseru dan kini suara aselinya keluar, suara seorang gadis!

Dua orang algojo itu tertegun dan melepaskan tangannya saking kaget dan heran. Juga komandan itu sendiri memandang dengan mata terbelalak.

"Perempuan...? Kau perempuan yang menyamar...? Ah, sungguh mencurigakan...! Kalau begitu... aughhh...!"

Tiba-tiba komandan itu yang tadinya bangkit berdiri, menjatuhkan dirinya lagi ke atas kursi dan memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Tiba-tiba saja dia merasa kepalanya seperti akan meledak dan pening sekali. Dia memejamkan mata dan menggerakkan tangan kepada para pembantu.

"Bawa dia pergi... tahan dia dalam sel... dia orang penting, besok kulanjutkan pemeriksaan, kepalaku pusing..."

Para perajurit pembantu lalu menyeret gadis yang menyamar sebagai pemuda jembel itu dan menjebloskannya ke dalam sel yang gelap. Pemuda jembel itu memang sebenarnya dara remaja yang pernah muncul naik kuda di pintu gerbang, juga ialah dara remaja yang semalam muncul di kuil Dewi Laut dan menandingi Hwa-hwa Kui-bo dan Kow-pian Hek-mo secara lihai itu.

Kini dengan wataknya yang bengal dan ugal-ugalan, ia sengaja membiarkan dirinya ditawan dan diperiksa, walaupun kalau ia menghendaki, setiap waktu ia dapat saja meloloskan dirinya. Kini ia malah membiarkan dirinya dijebloskan ke dalam sel yang amat kuat, mendatangkan bahaya bagi dirinya sendiri. Semua ini sengaja dilakukan oleh dara yang bengal ini karena tadi ia melihat bayangan pemuda gagah yang bergantung di luar jendela, dan ia melihat pula ketika pemuda itu meniupkan sebutir benda kecil yang mengenai jalan darah di dekat pelipis kepala sang komandan, membuat komandan itu kontan terserang rasa pening yang hebat.

Ia merasa amat tertarik melihat sepak terjang pemuda itu dan ia ingin sekali mengetahui, apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu selanjutnya, maka ia sengaja membiarkan dirinya dijebloskan ke dalam sel tahanan yang gelap! Iapun menduga-duga siapa gerangan adanya pemuda berpakaian putih bersih yang kelihatannya lihai itu dan apa maunya.

Para pembaca sendiri tentu sudah bertanya-tanya dan menduga-duga siapa gerangan dara remaja yang aneh ini, yang kadang-kadang berpakaian seperti seorang gadis ugal-ugalan atau memang ia ugal-ugalan, dan kadang-kadang menyamar sebagai seorang pemuda jembel. Siapakah ia dan betapa mengagumkan dan mengherankan bahwa seorang dara semuda ia, baru antara lima belas dan enam belas tahun usianya, sudah demikian lihainya sehingga mampu menandingi pengeroyokan dua orang tokoh iblis seperti Hwa-hwa Kui-bo dan Koai-pian Hek-mo, dua diantara Cap-sha-kui yang ditakuti dunia kang-ouw itu?

Sebetulnya, kelihaian dara remaja ini tidaklah mengherankan apabila kita ketahui siapa sebenarnya ia. Ia adalah puteri tunggal dari Pendekar Sadis! Bagi para pembaca yang belum pernah membaca kisah Pendekar Sadis sebaiknya mengenalnya sekarang juga.

Pendekar Sadis bernama Ceng Thian Sin, masih berdarah kaisar karena mendiang ayahnya adalah seorang pangeran. Pendekar Sadis memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa, amat banyak dan semua ilmunya adalah ilmu yang tinggi dan luar biasa. Dia bahkan telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, ilmu yang paling tinggi seperti Thian-te Sin-ciang, Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, bahkan Thi-khi-i-beng yang mujijat itu sudah dikuasainya. Dia mewarisi pula ilmu dari pendekar sakti Yap Kun Liong, yaitu Pat-hong Sin-kun dan Pek-in-ciang. Juga dari neneknya, pendekar wanita Cia Giok Keng, dia mewarisi pedang Gin-hwa-kiam dan ilmu memainkan sabuk sebagai senjata.

Untuk memperlengkap ilmu-ilmunya, dia telah pula mewarisi ilmu-ilmu mujijat dari kitab tulisan Bu Beng Hud-couw, yaitu Ilmu Hek-liong Sin-ciang yang delapan jurus, Ilmu Hok-te Sin-kun dan siulian menghimpun tenaga sakti berjungkir balik.

Sebagai puteri tunggal dari Pendekar Sadis yang demikian lihainya, sudah barang tentu dara itu lihai bukan main, mewarisi sebagian besar ilmu dari ayahnya. Akan tetapi, dara remaja yang berbakat ini menjadi semakin lihai karena ibunyapun seorang yang amat lihai, bahkan memiliki ilmu kepandaian yang setingkat dan hanya berselisih sedikit dibandingkan ayahnya.

Ibunya bernama Toan Kim Hong, juga berdarah bangsawan karena ayahnya adalah seorang pangeran pula. Toan Kim Hong ini pernah menyamar sebagai nenek dan bahkan telah berhasil menjadi datuk kaum sesat di dunia selatan dengan julukan Lam-sin (Malaikat Selatan). Ilmu-ilmunya juga hebat dan terutama sepasang Hok-mo Siang-kiam yang hitam itu amatlah ampuhnya.

Gin-kangnya amat tinggi bahkan dalam hal kecepatan gerak, ia masih mengalahkan suaminya. Ilmu silatnya Hok-mo Sin-kun juga amat hebat dan sukar dicari tandingannya. Selain ilmu silat tinggi ini, juga dengan sin-kangnya yang kuat, ia pandai bermain silat Bian-kun dan tangannya dapat berobah seperti kapas lunaknya, namun mengandung tenaga mujijat yang akan mengalahkan tenaga-tenaga yang kelihatan kuat.

Senjata rahasianya jarum merah juga berbahaya, dan lebih berbahaya lagi adalah rambutnya. Ia dapat mempergunakan rambutnya sebagai senjata ampuh yang dapat merampas senjata lawan!

Demikianlah sedikit perkenalan dengan Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis dan isterinya, Toan Kim Hong atau dahulu dikenal sebagai nenek Lam-sin. Mereka berdua hanya mempunyai seorang anak, yaitu dara remaja yang kini berusia lima belas tahun dan bernama Ceng Sui Cin itu. Kini Pendekat Sadis sudah berusia empat puluh lima tahun dan isterinya yang lebih tua dua tahun itu masih kelihatan amat cantik seperti wanita berusia tiga puluhan saja.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: