*

*

Ads

Jumat, 12 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 007

Pada keesokan paginya di pasar kota Ceng-tao. Pagi itu pasar ini tetap ramai seperti biasa, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu malam tadi. Akan tetapi, diantara percakapan sehari-hari dan urusan perdagangan, ramai pula orang bicara tentang peristiwa di kuil Dewi Laut dimana terjadi pertempuran yang menewaskan belasan orang perajurit keamanan.

Bermacam-macamlah pendapat orang mengenai peristiwa itu. Yang kepercayaannya terhadap kesaktian Dewi Laut sudah berlebihan, kukuh berpendapat bahwa semua itu adalah akibat kemarahan Dewi Laut yang hendak menghukum pendeta kuil dan para perajurit.

"Kalau bukan Sang Dewi, mana mungkin ada wanita dapat menghindarkan diri dari kepungan para perajurit?"

"Dan kabarnya, dihujani anak panah wanita itu hanya tertawa saja!" Yang lain menambahkan, memperkuat kepercayaan orang-orang terhadap Dewi Laut.

Biarpun urusan itu ramai dibicarakan orang, pada akhirnya mereka yang berada di pasar ini sibuk dengan urusan mereka sendiri, urusan mencari untung sebanyaknya atau mencari kesenangan melalui belanjaan. Ada yang secara royal membeli pakaian-pakaian mahal, sedangkan di sudut sana, di pasar itu pula, terdapat banyak orang berpakaian tambal-tambalan, pakaian yang sudah berbulan-bulan tak pernah diganti, karena bajunya memang hanya yang melekat di badan itulah.

Ada pula orang-orang yang sedang menikmati masakan-masakan lezat dan mahal di restoran-restoran, makan dengan lahapnya, tidak perduli akan pandang mata yang disertai air liur ditelan dari para pengemis tua muda yang berkeliaran di situ dengan perut kelaparan.

Sekelompok anak-anak jembel memperebutkan sisa makanan yang dibuang oleh pelayan restoran ke tempat sampah. Sang pelayan berdiri sambil menonton anak-anak jembel memperebutkan sisa makanan seperti sekelompok anjing kelaparan berebut tulang. Tentu saja sisa makanan itu bercampur dengan kotoran dan tanah setelah dibuang ke tempat sampah. Agaknya, memberikan saja makanan itu kepada anak-anak pengemis secara demikian saja tidak memuaskan hati si pelayan ini.

Ada jembel tua yang duduk bersandar tembok di sudut, tenang-tenang saja memandangi semua pengemis yang bekerja pula bermodalkan suara mengharukan minta dikasihani, dan kadang-kadang ada pengemis datang menghampirinya dan memberikan sesuatu, makanan atau uang kecil kepada pengemis tua ini.

Dia adalah seorang raja kecil pengemis di pasar itu yang "melindungi" para pengemis. Tentu saja dia sendiri tidak perlu mengemis karena para anak buahnya selalu membagi hasil kepadanya. Ada pula yang bermalas-malasan karena sudah memperoleh hasil mengemis dan sudah kenyang perutnya. Pekerjaan yang amat mudah itu sungguh membuat mereka merasa malas.

Ada pula seorang ibu mengemis memondong anak bayinya yang kurus, merengek-rengek menarik perhatian dan belas kasihan orang pasar, menceritakan bahwa bapak anak itu sudah mati dan ia hidup menjanda. Padahal, seorang laki-laki pengemis lain yang menjadi bapak anak itu pada saat itu sedang bermain judi kecil-kecilan di belakang pasar bersama kawan-kawan pengemis lain.

Akan tetapi, sebagian besar daripada mereka yang berada di pasar, baik para penjual maupun para pembeli, sudah terbiasa dengan penglihatan ini dan tidak memperdulikan. Mereka melihat adanya banyak pengemis di pasar ini sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pasar, dan andaikata pada suatu hari tidak ada seorangpun pengemis disitu, tentu mereka akan terkejut dan terheran-heran, bahkan mungkin akan merasa kehilangan.

Diantara orang yang berjubelan itu, di depan sebuah restoran, nampak seorang pemuda jembel penuh bercak-bercak lumpur dan arang, sedang duduk nongkrong memandang ke arah dua orang anak jembel kakak beradik yang menangis sambil berangkulan. Si adik menangis dan si kakak menghiburnya.

"Mereka... mereka memukulku...!" rengek adiknya.

"Sudahlah, merekapun lapar seperti kita. Nanti kalau ada sisa makanan lagi, biar aku yang akan memperebutkannya untukmu. Diamlah..." kakaknya menghibur.

Jembel muda yang duduk nongkrong itu tak terasa lagi mengusap air matanya yang menetes turun dari kedua matanya ke atas pipi, menggunakan punggung tangan kirinya yang kotor sehingga pipinya menjadi semakin kotor lagi. Di lain saat, pemuda jembel ini sudah bangkit dan mengeluarkan sebuah mata uang kecil dari saku bajunya yang butut, dan dengan kedua mata masih basah dia berkedip-kedip dan tersenyum seorang diri, kemudian dengan lenggang dibuat-buat pergilah dia menghampiri kedai bakpao di mana tukang bakpao yang berperut gendut sekali sedang memanaskan bakpaonya.

Bau sedap keluar ketika uap dari tempat pemanasan bakpao itu mengepul dan si pemuda jembel menyedot-nyedot hidungnya sambil berdiri di depan kedai itu dan memandang ke arah bakpao-bakpao yang bulat dan putih dan panas beruap itu.






Melihat seorang pemuda jembel berpakaian kotor berdiri di depan kedainya, si perut gendut menghardik,

"Heh, mau apa kau berdiri disini? Pergi!"

"Toapek, aku mau membeli bakpao, bukan mau mengemis." Sambil berkata demikian, dia menyodorkan uang logam kecil yang berada di telapak tangan kanannya. "Aku mau beli lima butir bakpao terisi daging dengan uang ini."

Si gendut memandang dan begitu melihat uang logam di tangan pengemis itu, dia mencak-mencak dan mukanya yang gendut pula itu menjadi merah, matanya yang sipit coba dibelalakkan.

"Setan cilik! Uang itu untuk membeli sebutir saja masih kurang, dan kau minta lima butir? Itu bukan mengemis, juga bukan membeli, akan tetapi mau merampok!"

Sepasang mata itu melotot dan tangannya dikepal dan diamangkan tinjunya ke arah pemuda jembel itu.

Pemuda jembel itu berjebi, menyeringai dan mentertawakan dengan sikap mengejek sekali.

"Phuh, empek gendut! Perutmu begitu gendut tentu kebanyakan untung dan kebanyakan makan bakpao! Huhh!"

Tentu saja penjual bakpao itu marah sekali.
"Apa kau bilang? Kesini kau! Biar kuputar batang lehermu sampai putus!"

"Coba kau lakukan itu kalau kau mampu menangkapku! Huh, siapa tidak tahu bahwa engkau mencuri kucing dan anjing tetangga, lalu kau sembelih dan dagingnya kau pakai isi bakpao maka keuntunganmu berlimpah-limpah? Kau pencuri, penipu rendah!"

Tentu saja si tukang bakpao menjadi semakin marah. Dia menyambar pisau besar pencacah daging bakpao dan diapun keluar dari kedainya melakukan pengejaran. Pengemis muda itu berlari, tidak terlalu jauh sambil mengejek memanaskan hati. Dia lari menyelinap diantara para pengunjung pasar dan setelah si gendut itu agak jauh, tiba-tiba dia menghilang.

Selagi si gendut sambil memaki-maki mencari jembel muda itu, si jembel muda dengan jalan memutar, cepat kembali ke kedai dan diambilnya bakpao sekeranjang penuh, lalu dibagi-bagikannya bakpao-bakpao itu kepada anak-anak jembel yang berada di dalam pasar.

Ketika si gendut kembali ke kedainya dan mencak-mencak melihat bakpao-bakpaonya hilang, jembel muda itu tertawa terpingkal-pingkal melihat anak-anak jembel makan bakpao sedemikian lahapnya sampai tercekik leher mereka.

Ketika tertawa, nampak deretan gigi putih dan bagi mereka yang pernah melihat mulut dan gigi ini tentu akan teringat bahwa mulut itu semalam pernah muncul di menara kuil Dewi Laut, dan dua hari yang lalu pernah muncul pula sebagai gadis aneh di pintu gerbang!

Melihat bakpao yang dibagi-bagikan itu cepat habis dan anak-anak itu kelihatan masih belum kenyang, si jembel muda lalu menyelinap diantara orang banyak dan diapun kini mendekati kedai bakpao itu. Berindap-indap dia mendekati kedai itu dari belakang, kemudian mencuri beberapa butir bakpao yang ditumpuk di sebelah kiri si gendut itu.

Dia tidak tahu bahwa gerak-geriknya sejak tadi diikuti oleh pandang mata tiga orang laki-laki setengah tua. Ketika dia memegang lagi sebuah bakpao yang masih terlalu panas, dia terkejut dan mengeluarkan seruan kaget, bukan hanya karena kepanasan, akan tetapi juga karena pundaknya dicengkeram orang dari belakang!

Si gendut tukang bakpao menoleh dan melihat betapa pemuda jembel yang tadi berada disitu membawa beberapa buah bakpao dan kini dipegangi kedua lengannya oleh dua orang seperti menangkapnya, menjadi marah.

"Nah, ini dia maling bakpaoku!" Dan diapun mengangkat tangan untuk menampar muka pemuda jembel itu.

"Duk!"

Seorang diantara tiga orang itu menangkis tamparan si gendut, membuat si gendut menyeringai kesakitan.

"Jangan sembarangan memukul!" hardik orang ketiga itu. "Kami adalah perwira-perwira keamanan yang sedang melakukan operasi pembersihan!"

Mendengar bahwa tiga orang ini adalah perwira-perwira yang menyamar, si gendut tidak berani banyak cakap dan melanjutkan pekerjaannya dengan hati berdebar tegang. Memang bukan hanya dia. Siapapun juga di kota Ceng-tao, sekali berhadapan dengan petugas keamanan, menjadi kuncup hatinya dan tidak banyak tingkah.

Petugas keamanan amat ditakuti rakyat dan dianggap sebagai golongan yang hanya mendatangkan kerugian saja, dianggap sebagai golongan orang yang tidak dapat dipercaya dan yang lebih baik dijauhi atau dihindari. Perasaan seperti ini akan selalu menyelinap dalam hati rakyat di negara manapun juga selama para petugas keamanan lebih menonjolkan kekuasaannya daripada kewajibannya, membuat mereka menjadi penindas dan pemeras yang bermodal kekuasaan dan kedudukan mereka.

Pemuda jembel itupun yang tadinya mengerutkan alisnya dan bersikap melawan, menjadi lunak, apalagi ketika melihat beberapa orang lain berpakaian preman mendatangi tempat itu dan dari sikap mereka mudah diduga bahwa mereka adalah petugas-petugas keamanan yang menyamar.

Dan diapun melihat betapa selain dia, ada pula beberapa orang jembel dan gelandangan yang ditangkapi. Maka diapun menyerah saja dibawa oleh para petugas itu, bersama tangkapan-tangkapan lainnya, menuju ke sebuah gedung, yaitu gedung seorang pembesar yang menjadi komandan pasukan keamanan.

Tentu saja pembesar pasukan keamanan tidak tinggal diam begitu saja dengan adanya peristiwa di kuil Dewi Laut. Belasan orang anak buahnya tewas dan penjahat-penjahat itu tidak dapat tertangkap. Hal ini merupakan pukulan hebat dan mendatangkan rasa malu. Maka diapun memerintahkan seluruh anak buahnya untuk disebar di semua tempat, menangkapi orang-orang yang dicurigai untuk ditanya tentang penjahat-penjahat semalam itu, terutama tentang gadis yang pakaiannya seperti orang gelandangan.

Yang ditangkap adalah pengemis-pengemis yang usianya sebaya dengan gadis itu, juga orang-orang yang dicurigai, akan tetapi sebagian besar adalah orang-orang jembel dan gelandangan-gelandangan yang berada di pasar.

Bersama dengan pemuda jembel yang mencuri bakpao tadi, jumlah tangkapan ada dua puluh orang lebih. Mereka digiring seperti ternak dibawa ke pejagalan. Di sepanjang jalan, mereka menjadi tontonan orang dan sebentar saja tersiarlah berita bahwa petugas-petugas keamanan menangkapi banyak pengemis muda.

Di dalam gedung yang terletak di daerah markas pasukan keamanan itu, terjadilah pemeriksaan terhadap para tawanan. Komandan keamanan sendiri yang melakukan pemeriksaan dengan keras. Dia seorang komandan yang berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bersikap galak. Dendam karena kematian banyak anak buah membuat komandan ini pusing dan murung, membuatnya menjadi semakin galak seperti harimau haus darah.

Pemeriksaan dilakukan satu demi satu, dengan kekerasan dan banyak diantara para tawanan harus menderita gebukan dan cambukan yang dilakukan bukan hanya untuk memaksa tawanan mengaku, akan tetapi juga terutama karena dorongan hati dendam yang ingin ditumpahkan.

Tukang-tukang siksa yang sudah siap berada di kamar pemeriksaan, agaknya sudah gatal-gatal tangan dan menurut kata hati mereka, semua tawanan harus disiksa sampai mengaku atau mampus!

Maka di dalam ruangan pemeriksaan itu, setiap kali ada tawanan dibawa masuk, lalu disusul oleh bentakan-bentakan, pukulan-pukulan dan diiringi raung-raung dan tangis kesakitan. Hal ini membuat hati para tawanan lain yang belum diperiksa menjadi panik dan ketakutan dan belum juga diperiksa, sebagian sudah menangis ketakutan.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: