*

*

Ads

Jumat, 12 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 006

Dua orang tokoh jahat itu memancing-mancing untuk mengenal gerakan si dara. Akan tetapi, gerakan dara itu aneh bukan main. Mirip-mirip dasar gerakan ilmu silat dari Siauw-lim-pai, ada pula unsur gerakan Kun-lun-pai, Bu-tong-pai dan bahkan semua ilmu silat dari perguruan-perguruan besar dicampur aduk menjadi satu! Yang amat hebat, selain kecepatan gerak, juga tenaga yang terkandung dalam kedua tangan yang kecil halus itu.

Dara itu jelas jauh lebih lihai daripada dua orang lawannya, akan tetapi agaknya ia memang berwatak bengal, jenaka dan suka main-main. Ia sengaja mempermainkan dua orang yang ia tahu menyelidiki gerakan-gerakannya itu, ia sengaja membuat gerakan kacau-balau, bahkan kalau balas menyerang ia menggunakan cara memukul anak-anak yang tidak pernah belajar silat sehingga kelihatan lemah, namun diam-diam ia mengerahkan sin-kangnya sehingga serangan balasannya itu luar biasa anehnya.

Dikatakan kuat, cara memukulnya sembarangan saja, akan tetapi dinamakan lemah, pukulan itu mengandung tenaga yang amat ampuh. Jadi berat-berat ringan, juga ringan-ringan berat, cukup membingungkan kedua orang lawannya. Bukan hanya bingung dalam hal menerka ilmu silat lawan itu, akan tetapi juga bingung bagaimana harus menghindarkan diri dari serangan-serangan balasan itu.

Bagaimanapun juga, dara remaja itu hanya bertangan kosong dan yang mengeroyoknya adalah dua orang tokoh yang amat lihai, dua orang diantara Cap-sha-kui yang mempergunakan senjata ampuh andalan mereka masing-masing, maka akhirnya dara itupun merasa bahwa permainannya sekali ini amat berbahaya.

Tiba-tiba saja ia mengeluarkan suara pekik melengking aneh dan pendek dan tahu-tahu dengan jari telunjuknya ia menyentil ujung cambuk yang menyambar ke arah lehernya. Ujung cambuk itu terpental ke arah muka Hwa-hwa Kui-bo, sedangkan serangan pedang nenek itu dihindarkannya dengan mengelak ke belakang. Tentu saja nenek yang disambar ujung cambuk mukanya menjadi terkejut.

"Gila kau...!" bentaknya kepada kawannya karena ia mengira bahwa kawannya itu salah sasaran.

Sebaliknya, kakek itupun kaget dan cepat menarik cambuknya. Kesempatan ini dipergunakan oleh dara itu untuk balas menyerang. Tangannya meluncur ke arah ubun-ubun kepala Hwa-hwa Kui-bo, sedangkan kakinya menendang atau menyepak ke arah perut Koai-pian Hek-mo yang berada di belakangnya.

Serangan itu amat cepat gerakannya dan ketika kedua orang iblis itu meloncat untuk menghindar, tiba-tiba tubuh dara itu berjungkir balik, kepala di bawah kaki di atas. Tangan kirinya menunjang badan dan kini tiba-tiba saja ia melanjutkan serangannya dengan membalik, yaitu kakinya menyerang ubun-ubun kepala Koai-pian Hek-mo sedangkan tangan kanannya menghantam ke arah perut Hwa-hwa Kui-bo!

Dan hebatnya, di dalam serangan-serangannya itu terkandung hawa pukulan yang jauh lebih kuat daripada tadi, sehingga biarpun dua orang iblis itu berusaha menangkis dan mengelak, tetap saja mereka terdorong ke belakang, terhuyung-huyung dan hampir roboh!

Melihat kehebatan ini, mereka menjadi pucat dan tanpa diberi komando, keduanya lalu meloncat keluar dari menara itu, menggunakan gin-kang mereka yang hebat, sekali melayang mereka sudah lenyap ditelan kegelapan malam larut itu.

Dara itu tidak mengejar, melainkan menengok dan memandang ke arah dua orang pemuda yang berada di sudut kanan dan kiri. sekilas pandang saja ia lalu membuang muka dengan kulit muka berobah merah dan juga alis berkerut. Dua orang pemuda itu ternyata telah tewas dalam keadaan telanjang bulat. Agaknya, keduanya mungkin menolak atau melawan sehingga setelah dipaksa mereka lalu dibunuh secara kejam oleh dua orang manusia iblis tadi. Karena dua orang lawannya telah melarikan diri, dara itupun lalu meloncat keluar dari pintu kamar menara.

"Iblis betina hendak lari kemana engkau?"

Terdengar bentakan-bentakan dan serombongan anak panah menyambutnya dari samping!

"Eh, gila...!"

Dara itu berseru, akan tetapi karena puluhan batang anak panah yang menyambar ke arahnya itu tidak mungkin dapat diusirnya hanya dengan seruan, terpaksa ia melempar diri ke belakang dan bergulingan. Ia lupa bahwa ia bukan sedang berada di atas tanah, melainkan di wuwungan rumah dekat menara, maka tentu saja lantai genteng tidak rata itu membuat ia terguling-guling kacau dan genteng-genteng banyak yang patah dan pecah. Setelah ia moloncat bangun, ia sudah dikepung dan dikeroyok oleh barisan tombak!

"Eh, eh, bagaimana ini?" teriaknya akan tetapi iapun harus cepat mengelak ke sana-sini karena para perajurit itu tidak mau banyak cakap lagi.






Semua orang mengira bahwa tentu gadis ini iblis betina yang telah menyamar sebagai Dewi Laut. Apalagi ketika beberapa orang diantara mereka mengenal gadis ini seperti yang digambarkan sebagai gadis aneh menunggang kuda yang mengacau di pintu gerbang kemarin dulu, mereka merasa yakin bahwa gadis inilah iblis betina itu.

Repot jugalah gadis itu dikeroyok orang sedemikian banyaknya. Apalagi karena ia tidak ingin melukai mereka, apalagi membunuhnya. Dengan gerakan lincah sekali ia mengelak ke sana-sini, membagi-bagi tendangan hanya untuk merobohkan beberapa orang tanpa mendatangkan luka berat.

Kalau kemarin dulu ia mematahkan semua gigi di mulut kepala jaga yang gendut, hal itu adalah karena si gendut bersikap kurang ajar kepadanya. Kini ia tidak tega untuk mencelakai orang-orang yang mengeroyoknya, maklum bahwa mereka itu salah duga dan mengira ialah penjahatnya yang mengacau di kuil itu.

Ketika para penjaga yang bersembunyi di bagian lain bermunculan, gadis itu tiba-tiba masuk kembali ke dalam kamar menara. Semua orang tidak berani mengejarnya masuk, hanya mengurung menara itu dengan senjata siap di tangan.

Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka dari dalam dan muncullah seorang pemuda tampan! Pasukan yang memegang busur dan siap dengan anak panah mereka, tidak jadi melepaskan anak panah. Dan dari belakang terdengar seruan Thian Kong Hwesio,

"Tahan, jangan serang, dia murid pinceng!"

Akan tetapi, pemuda yang dikenalnya sebagai muridnya karena mengenakan pakaian satu diantara dua pemuda itu, kini berlari ke depan, menggunakan kesempatan selagi orang lengah, meloncat dan melayang di atas kepala mereka ke arah wuwungan kuil di depan kemudian berloncatan dan lenyap ditelan malam yang sudah hampir terganti pagi namun masih amat gelap itu.

Barulah Thian Kong Hwe-sio sadar bahwa yang disangka muridnya tadi bukanlah muridnya, melainkan gadis itu yang mengenakan pakaian muridnya itu! Para perwira memerintahkan anak buahnya untuk mengejar. Pengejaran dilakukan akan tetapi para pengejar itu meraba-raba di tempat gelap, tidak tahu ke arah mana gadis itu menghilang.

Sementara itu, Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw memasuki kamar menara dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka melihat dua orang murid yang telah menjadi mayat itu. Hidangan yang dibawa oleh dua orang muda itu telah habis dimakan, akan tetapi buntalan emas masih berada di situ, tidak sempat dibawa pergi penjahat.

Sementara itu, di dalam sebuah hutan di luar kota Ceng-tao, Hwa-hwa Kui-bo dan Koai-pian Hek-mo saling berbantahan dan saling menyalahkan.

"Dasar engkau yang mata keranjang dan ceroboh!" Si muka hitam itu mengomel. "Kalau memang ketagihan pemuda, kenapa tidak menangkap saja beberapa orang dan membawanya ketempat sepi seperti hutan ini? Kenapa harus dinikmati di kuil yang keramat? Engkau mencari penyakit saja!"

Wanita itu kini telah menanggalkan kedoknya dan kalau orang melihat mukanya pada saat itu baru mereka akan tahu mengapa wanita ini suka memakai kedok. Kiranya pipi kanannya terdapat codet atau luka bekas goretan yang dalam dan panjang, membuat muka itu nampak menyeramkan dan menjijikkan. Sambil meludah Hwa-hwa Kui-bo menudingkan telunjuknya ke arah hidung kakek itu.

"Cih, tak tahu malu! Engkau sendiripun ikut menikmatinya, sekarang hendak menyalahkan aku? Keparat, apakah engkau hendak mencoba-coba kepandaianku?"

Kakek itu menarik napas panjang dan melambaikan tangannya dengan hati kesal.
"Sudahlah, jangan bicara tentang kepandaian. Kau kira kita ini memiliki kepandaian macam apa? Mengeroyok seorang bocah bertangan kosong saja tidak becus mengalahkannya!"

Ucapan ini membuat nenek itu teringat dan berdiam diri, tidak jadi menghunus pedangnya dan nampak termangu-mangu.

"Aku masih heran, siapakah gerangan bocah setan yang memiliki kepandaian sehebat itu? Aku masih heran dan sungguh aku sama sekali tidak dapat mengenal ilmu silatnya yang aneh-aneh itu..."

"Aku sendiripun heran. Ada beberapa gerakannya yang mengingatkan aku akan ilmu-ilmu mujijat dari Pendekar Sadis..."

"Ehhh...!"

Wanita itu hampir menjerit ketika mengeluarkan seruan itu. Bagaimanapun juga, sebutan Pendekar Sadis membuat jantungnya seperti akan copot rasanya.

"Mungkin juga bukan, karena di dalam gerakan-gerakannya terdapat unsur ilmu-ilmu silat tinggi yang lain seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan lain-lain. Sungguh bocah itu seperti setan saja. Tidak salah lagi! Ia tentu puteri atau murid seorang sakti. Karena itulah, kita harus berhati-hati, kita harus bersatu karena bukankah sekarang ini orang-orang golongan putih yang menentang kita sedang mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu?"

Wanita itu mengangguk-angguk.
"Memang kedatanganku ke sini juga hendak menyelidiki kebenaran berita itu. Kita tidak boleh tinggal diam saja kalau mereka mengadakan pertemuan. Apakah saudara-saudara kita yang lain juga akan datang?"

"Kurasa demikian. Bahkan datuk-datuk kitapun kabarnya akan muncul, untuk melakukan penyelidikan sendiri."

"Benarkah? Aih, bakalan ramai kalau begitu! Memang mereka, golongan putih itu, semakin congkak dan tekebur saja. Kalau kita tidak melawan mereka, tentu golongan kita dianggap golongan tahu dan tidak mempunyai jagoan-jagoan lagi."

Hwa-hwa Kui-bo mengepalkan tinjunya dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi penuh kebencian.

"Kalau mereka datang, tentu muncul di Ceng-tao. Akan tetapi karena kita menjadi buruan di Ceng-tao, sebaiknya kita mendekati Puncak Bukit Perahu itu sambil menanti kedatangan para sahabat kita. Bagaimanapun juga, mereka tentu akhirnya akan berdatangan ke bukit itu pula."

Wanita itu mengangguk dan mereka lalu melanjutkan perjalanan, meninggalkan hutan menuju ke utara.

**** 006 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: