*

*

Ads

Rabu, 10 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 005

"Kui-bo, musuh-musuh yang kuat sudah mulai berkumpul. Kita harus bersatu untuk menghadapi mereka. Biarlah saat ini kita berdamai dulu, kalau perlu lain kali kita lanjutkan. Mari kita bekerja sama. Bukankah ada dua orang pemuda di menara itu? Kita bagi saja seorang satu. Engkau sendiri tidak boleh terlalu menghamburkan tenaga, dan dua orang pemuda sekaligus akan menghabiskan tenagamu, padahal kita memerlukannya dalam hari-hari mendatang ini. Bagaimana? Apa kau ingin kita terus berkelahi dan membiarkan musuh-musuh kita mentertawakan kita?"

Nenek itu nampak bimbang dan akhirnya ia mendangus.
"Huh, enak saja, aku yang susah payah engkau hanya ingin menggerogoti hasilnya!"

Akan tetapi sambil berkata demikian, ia menyimpan pedangnya, membalikkan tubuh dan berjalan menuju ke tangga menara. Kakek itu tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, akupun sudah ikut bersusah payah tadi, sudah sepatutnya kalau aku mendapatkan bagiannya pula." Dan diapun melangkah lebar menyusul nenek iblis itu menaiki anak tangga.

Dapat dibayangkan betapa gentar dan tegang rasa hati dua orang muda yang berada di dalam kamar menara itu. Dari atas mereka menyaksikan perkelahian yang amat hebat itu dan melihat betapa lihainya nenek dan kakek iblis. Bahkan mereka melihat pula betapa guru mereka, Thian Kong Hwesio, terluka dan melarikan diri. Kalau guru mereka sendiri, dibantu oleh bibi guru mereka, tidak mampu mengalahkan nenek iblis itu, apa-lagi mereka!

Dan kini nenek itu malah disertai oleh kakek yang demikian lihainya. Biarpun demikian, sebagai pemuda-pemuda yang sejak kecil digembleng kegagahan oleh guru mereka, dua orang muda itu menanti datangnya kakek dan nenek iblis dengan pedang di tangan kanan dan senjata rahasia piauw (pisau terbang) di tangan kiri.

Begitu Hwa-hwa Kui-bo dan Koai-pian Hek-mo muncul dan baru saja mereka melangkahkan kaki melewati ambang pintu, dua orang muda itu menyerang dengan sambitan piauw mereka!

Akan tetapi, sedikitpun kedua orang iblis itu tidak memperlihatkan rasa kaget. Hanya dengan gerakan tangan kiri sedikit saja keduanya telah mampu menyampok runtuh dua batang piauw itu yang meluncur ke bawah dan menancap ke atas lantai kamar menara yang terbuat dari papan tebal. Kini dua orang muda itu menyerang dengan pedang mereka secara nekat.

"Ha-ha-ha, kekasih-kekasih kita menyambut dengan hangat!"

Koai-pian Hek-mo tertawa dan diapun menyambut pedang lawan dengan tangan kosong! Dalam beberapa gebrakan saja, pedang itu dapat dirampas dan sekali tangan kakek itu menotok, pemuda yang menyerangnya roboh lemas dan segera disambar dalam rangkulannya.

Pemuda kedua menyerang Hwa-hwa Kui-bo juga mengalami nasib yang sama. Pedangnya terpukul jatuh dan diapun ditotok lalu dirangkul dan dipondong. Sambil tertawa-tawa, Koai-pian Hek-mo sudah memondong pemuda tawanannya menuju ke dalam kamar menara, membawanya ke sebuah sudut kamar. Hwa-hwa Kui-bo juga membawa korbannya ke sudut yang lain, kemudian dari tempat itu ia meniup ke arah lilin besar yang seketika menjadi padam.

"Ha-ha-ha, Kui-bo, engkau masih jengah dan malu-malu lagi? Ha-ha-ha!" kakek iblis itu mentertawakan temannya yang tidak menjawab. Kamar itu menjadi gelap dan dari luar tidak terdengar apa-apa lagi.

Sementara itu, kepala daerah yang mendengar laporan tentang gagalnya pasukan keamanan menghadapi penjahat yang mengacau di kuil Dewi Laut, menjadi terkejut sekali dan marah. Dia memerintahkan semua perwira yang ada untuk mengirim pasukan baru dan membantu kawan-kawan mereka.

Thian Kong Hwesio dan Hat Cu Nikouw, setelah mengobati luka-luka mereka, juga membantu para perwira melakukan pengepungan terhadap kuil dan terutama menara itu. Mereka semua melihat betapa menara itu gelap, lilin di dalamnya telah dipadamkan orang dan tidak terdengar suara apapun dari luar.

Ketika para perwira membuat gerakan untuk memerintahkan anak buahnya menyerbu menara, Thian Kong Hwesio cepat mengangkat tangan dan menggeleng kepala.

"Jangan sembarangan bergerak! Mereka berada di tempat gelap dalam kamar dan mereka itu lihai sekali. Menyerbu mereka yang berada dalam gelap sama dengan mengantar nyawa saja. Biar kita kepung saja dan menanti sampai mereka keluar, baru kita serbu dan keroyok."

Karena sudah melihat bekas tangan dua orang iblis yang amat lihai itu, para perwira mentaati nasihat Thian Kong Hwesio dan merekapun kini hanya mengepung menara dengan penjagaan yang ketat sekali.






Pasukan anak panah dipasang di sayap kiri, sayap kanan adalah pasukan tombak, dari depan berjaga pasukan sepasang golok, dan dari belakang dijaga oleh pasukan pedang. Semua telah diatur rapi dan agaknya kalau dua orang penjahat itu hendak keluar, mereka akan menghadapi pengepungan rapat yang akan amat sukar mereka lalui.

Thian Kong Hwesio sendiri berulang kali menarik napas panjang. Dia mengkhawatirkan keselamatan dua orang muridnya, akan tetapi dia sendiri tidak berdaya menolong mereka. Pihak musuh terlalu lihai dan diam-diam diapun mengerutkan alisnya, mengingat-ingat siapa gerangan dua orang iblis yang mengacau Ceng-tao dan kini dengan berani menguasai menara kuil Dewi Laut, agaknya enak-enakan saja di dalam tanpa memperdulikan kepungan pasukan penjaga keamanan.

Di dunia kang-ouw, nama Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) telah amat terkenal. Tiga belas orang manusia golongan hitam atau kaum sesat ini merajalela di seluruh penjuru, merupakan tokoh-tokoh besar dalam dunia hitam.

Akan tetapi karena mereka ini biasanya tidak turun tangan sendiri dan hanya mengandalkan murid-murid atau anak buah mereka untuk mencari nafkah secara haram, hanya nama mereka saja yang dikenal. Akan tetapi jarang ada orang pernah berjumpa dengan mereka. Maka, tidak mengherankan kalau Thian Kong Hwesio yang sudah luas pengetahuan dan pengalamannya di dunia kang-ouw itupun tidak mengenal dua orang iblis ini.

Koai-pian Hek-mo (Iblis Hitam Cambuk Aneh) dan Hwa-hwa Kui-bo (Biang Iblis Boneka) adalah dua orang diantara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan). Kakek itu disebut Hek-mo karena memang mukanya kasar dan hitam sedangkan nenek itu dijuluki Hwa-hwa yang dapat diartikan boneka atau juga dapat diartikan Wanita Cabul karena memang ia merupakan seorang wanita yang suka mempermainkan pemuda-pemuda tampan yang terutama masih perjaka secara paksa! Koai-pian Hek-mo mempunyai watak yang aneh pula, suatu kelainan batin yang membuat diapun suka memperkosa pemuda-pemuda dan dia tidak suka mendekati wanita!

Karena sama-sama suka mempermainkan pemuda tampan inilah maka terjadi semacam persaingan antara Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo. Pernah beberapa kali mereka memperebutkan seorang pemuda tampan dan mereka sempat pula berkelahi mati-matian, akan tetapi tingkat kepandaian mereka seimbang sehingga belum pernah diantara mereka ada yang kalah atau menang. Dan karena mereka merupakan tokoh hitam dari daerah yang sama, yaitu daerah Muara Sungai Kuning, maka mereka saling berjumpa dan bersaingan. Hanya karena mereka itu merasa masih "bersaudara" dalam kesatuan Cap-sha-kui sajalah maka sampai sedemikian jauhnya mereka belum saling bunuh.

Dengan gelisah, marah dan tegang, Thian Kong Hwesio, Hai Cu Nikouw dan para perwira menjaga terus mengepung menara. Mereka merasa penasaran karena sampai lewat tengah malam, dua iblis itu belum juga keluar dari dalam menara.

Menjelang pagi, Thian Kong Hwesio dan sumoinya dengan kaget melihat berkelebatnya sesosok bayangan ke arah menara. Mereka cepat memberi isyarat dan semua anggauta pasukan siap. Dua orang pendeta itu terheran-heran. Mereka melakukan penjagaan dan mengharapkan dua orang jahat itu keluar dari menara, mengapa kini ada bayangan berkelebat dan agaknya malah menuju ke menara! Dan bagaimanakah bayangan ini dapat melalui semua penjagaan yang demikian ketatnya? Mereka berdua saling pandang dan bingung, juga merasa ngeri karena melihat munculnya demikian banyak orang yang memiliki kepandaian hebat.

Tiba-tiba para penjaga itu mendengar suara hiruk-pikuk dan bentakan-bentakan yang keluar dari dalam menara, bahkan kini ada sinar lilin bernyala di dalam kamar. Dari luar, nampak di balik tirai jendela bayangan orang-orang berkelahi dengan gerakan yang amat cepatnya!

Apakah yang sesungguhnya telah terjadi dalam kamar itu? Apakah kedua orang anggauta Cap-sha-kui itu kambuh kembali penyakit mereka dan saling berhantam sendiri? Sama sekali tidak demikian. Keadaan di dalam kamar tadi masih gelap dan sunyi, seolah-olah orang-orang yang berada di dalamnya sudah tidur nyenyak. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara perlahan dan daun pintu terbuka dari luar, sesosok bayangan menyelinap masuk lalu terdengar suara seorang wanita menegur dengan suara mengejek.

"Huhh, tua bangka-tua bangka yang tidak tahu malu! Perbuatan hina kalian sungguh terkutuk dan akan menyeret kalian ke neraka jahanam!"

Yang pertama-tama bergerak adalah cambuk panjang Koai-pian Hek-mo. Terdengar suara meledak ketika cambuk panjang itu melecut dan menyambar ke arah datangnya suara wanita yang menegur mereka tadi. Akan tetapi, sebelum mengenai sasarannya, ujung cambuk itu membalik kepadanya dan tentu saja Koai-pian Hek-mo menjadi kaget sekali.

"Siapa kau...?" bentaknya. Jawabannya hanya suara ketawa merdu seorang wanita.

Di dalam kegelapan, Hwa-hwa Kui-bo agaknya dapat menangkap gerakan serangan cambuk tadi dan dapat menduga bahwa serangan kawannya itu gagal. Maka iapun menggerakkan kedua tangannya. Jarum-jarum beracun kini menyambar ke arah suara ketawa wanita itu.

Akan tetapi, terdengar suara berkerintingan dan jarum-jarum itu runtuh semua ke atas lantai, tanda bahwa yang diserangnya telah dapat menangkis semua jarum itu di dalam gelap!

Melihat kenyataan ini, Hwa-hwa Kui-bo cepat menyalakan api dan tak lama kemudian lilin besar di sudut itupun sudah bernyala dan sinar terang memenuhi kamar itu, mengusir kegelapan. Dua orang tokoh iblis itu sudah meloncat berdiri dan memandang dengan heran ketika mereka melihat bahwa yang berani mengganggu dan mengejek mereka hanyalah seorang gadis remaja yang pakaiannya aneh dengan potongan tidak karuan!

Seorang gadis remaja yang usianya antara lima belas atau enam belas tahun dengan rambut dikuncir menjadi dua, sepasang matanya lincah bersinar, mulutnya mengulum senyum mengejek. Tentu saja mereka berdua tidak memandang sebelah mata kepada anak perempuan ini. Mereka berdua hanya suka kepada pemuda-pemuda remaja tampan, dan tidak suka, bahkan membenci wanita-wanita muda yang cantik. Maka kini merekapun memandang dengan sinar mata penuh kemarahan kepada gadis itu.

Melihat bahwa yang datang hanya seorang dara remaja yang sempat membuat mereka terkejut, kedua orang tokoh besar itu merasa malu dan terhina. Perasaan ini tumbuh menjadi kemarahan dan kebencian, maka tanpa banyak cakap lagi Hwa-hwa Kui-bo sudah menggerakkan pedangnya menusuk ke arah perut dara itu sedangkan tangan kirinya membentuk cakar dan langsung mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala lawan!

Sungguh merupakan serangan gabungan yang amat hebat bagi seorang dara remaja seperti itu. Biarpun hanya tangan kosong, harus diakui bahwa cengkeraman itu bahkan lebih mengerikan dan lebih berbahaya daripada tusukan pedang.

Akan tetapi, nenek yang sudah merasa yakin bahwa satu diantara kedua tangannya yang melakukan serangan itu pasti akan memperoleh hasil, berteriak kaget ketika melihat betapa dara itu dengan lincah dan ringannya telah memiringkan tubuh mengelak dari tusukan pedang, sedangkan tangan kiri yang mencengkeram itu disambutnya dengan tamparan tangan terbuka.

"Plakkk!!"

Dan tubuh nenek berkedok itu terhuyung ke belakang, tubuhnya terasa panas dan kaku seperti kemasukan hawa yang amat kuat dan aneh!

"Ihhh...!"

Nenek itu berseru dan bergidik karena baru sekarang ia merasakan akibat yang demikian anehnya ketika tangannya bertemu dengan tangan lawan, apalagi lawannya hanya seorang bocah!

Maklum bahwa bagaimanapun juga, dara remaja itu ternyata memiliki kepandaian hebat, Koai-pian Hek-mo menggerakkan cambuknya yang meledak dan menyambar secara bertubi-tubi, sekali bergerak telah mematuk ke arah tiga jalan darah di bagian depan tubuh dara itu yang kesemuanya merupakan patukan mematikan.

"Ting-ting-cringggg...!"

Tiga kali ujung cambuk yang ada pakunya itu terpental dan yang ketiga kalinya bahkan terpental keras dan menyambar ke arah muka pemegang cambuk itu sendiri! Tentu saja Koai-pian Hek-mo terkejut dan cepat menarik kembali cambuknya agar paku di ujung cambuk tidak mematuk hidungnya sendiri.

Kini, dua orang tokoh besar dunia hitam itu terbuka matanya. Dengan hati-hati merekapun menyerang dari kanan kiri. Namun, dara itu melayani mereka dengan tangan kosong saja! Begitu ringan gerakan tubuhnya, bagaikan sehelai bulu saja yang sukar sekali diserang, seolah-olah diterbangkan oleh gerakan senjata-senjata mereka sehingga sebelum senjata mengenai sasaran, tubuh itu sudah mendahului pergi.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: