*

*

Ads

Rabu, 10 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 004

Malam itu, bulan lebih terang daripada malam kemarin. Langit cerah, akan tetapi tidak demikian cerah rasa hati dua orang suheng dan sumoi yang bersembunyi di atas genteng. Jantung mereka berdebar tegang. Biarpun mereka tahu bahwa tempat itu telah dikurung oleh pasukan yang dipimpin oleh para perwira yang pandai, bahkan di dalam menara telah terdapat pasukan pilihan yang bersembunyi, namun mereka tahu bahwa mereka menghadapi seorang yang amat lihai.

Disamping itu, timbul kekhawatiran di hati Hai Cu Nikouw, yaitu kalau-kalau yang akan muncul adalah benar-benar penjelmaan Dewi Laut. Ngeri ia memikirkan kemungkinan ini, biarpun suhengnya sudah menyatakan keyakinannya bahwa tentu wanita itu seorang penjahat yang mengaku-aku sebagai Dewi Laut.

Setelah malam agak larut dan bulan naik tinggi, suasana amat sunyi dan semakin menyeramkan. Suara burung malam yang terbang di atas kepala mereka sempat mengejutkan hati dua orang pendeta yang berilmu tinggi itu. Dalam keadaan tegang, memang orang menjadi mudah kaget.

Dua orang pemuda murid Thian Kong Hwesio nampak naik ke menara melalui anak tangga. Mereka adalah dua orang pemuda berusia dua puluh tahun, berwajah tampan dan bersikap gagah, berpakaian indah. Dengan langkah tegap mereka menaiki anak tangga. Seorang di antara mereka membawa baki penuh dengan hidengan yang masih mengepulkan uap panas. Yang seorang lagi membawa baki tertutup kain merah dan di baki itu terdapat gumpalan-gumpalan emas seberat lima puluh tail emas.

Mereka telah mempersiapkan diri dengan senjata rahasia dan pedang pendek yang mereka sembunyikan di bawah jubah. Mereka tahu pula bahwa guru dan bibi guru mereka berjaga di atas genteng menara, dan bahwa disitu banyak terdapat penjaga-penjaga yang bersembunyi untuk melindungi mereka. Namun tetap saja mereka merasa tegang dan agak gentar karena guru mereka sudah berpesan bahwa yang mereka hadapi adalah wanita iblis yang amat lihai.

Jantung mereka berdebar tegang ketika keduanya tiba di depan kamar menara. Dengan hati-hati mereka menggunakan kaki mendorong daun pintu yang terbuka dengan mudah karena memang tidak terkunci.

Ruangan itu kosong. Sebuah ruangan bersih berbau harum dupa dan bunga, dan lantainya ditilami permadani dan kasur tipis. Mereka berdua saling pandang dengan hati lega karena ternyata iblis itu tidak berada di situ. Dengan hati-hati mereka membuka sepatu dan memasuki ruangan itu, meletakkan baki masakan dan emas itu di atas lantai. Karena lilin yang bernyala di sudut ruangan itu hampir padam, seorang diantara mereka lalu menyalakan sebuah lilin besar di sudut dan kamar itu menjadi terang.

Agaknya sinar terang kamar itu menjadi tanda bagi sesosok bayangan untuk bergerak datang. Demikian cepatnya bayangan itu bergerak sehingga Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw yang berjaga di atas genteng, hanya melihat berkelebatnya bayangan yang kemudian lenyap. Mereka mengira bahwa itu hanya bayangan burung yang lewat, maka mereka tetap mendekam di tempat persembunyian mereka sambil menanti dengan waspada.

Akan tetapi, ternyata bayangan yang berkelebat cepat tadi bukan burung, melainkan bayangan sesosok tubuh manusia yang ramping pinggangnya. Bayangan itu melesat dengan cepatnya dan bersembunyi di balik wuwungan menara.

Sinar lilin besar yang menyorot keluar dari genteng menara menimpa mukanya. Muka yang mengerikan karena memakai topeng hitam yang mempunyai lubang-lubang kecil memperlihatkan sepasang mata yang bersinar tajam, hidung yang kecil dan mulut yang bibirnya lebar dan amat merah. Sukar menaksir bagaimana bentuk wajahnya ataupun berapa usianya.

Agaknya ia tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa disekitar tempat itu bersembunyi banyak penjaga yang kini mengikuti gerak-geriknya dengan pandang mata yang tegang. Dengan seenaknya bayangan itu lalu meloncat turun dan menghampiri anak tangga.

Akan tetapi baru saja ia menaruh kakinya pada anak tangga pertama, tiba-tiba enam orang penjaga yang bersembunyi di sekitar anak tangga bermunculan dan menyerbunya dengan senjata mereka. Melihat senjata berkilatan dari segenap penjuru, wanita berkedok itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, kelihatan tidak terkejut sama sekali dan bibir yang merah lebar di balik kedok itu menyeringai, memperlihatkan gigi yang putih dan besar-besar.

Tiba-tiba kedua tangannya bergerak, benda-benda kecil berkeredepan menyambar ke arah enam orang penyerangnya dan terdengarlah suara mereka menjerit dan seorang demi seorang roboh terpelanting dan tidak dapat bangkit kembali melainkan berkelojotan dan sekarat! Leher mereka, tepat di tenggorokan, tertancap oleh sebatang jarum yang amblas masuk, membawa racun bersamanya.

Jeritan-jeritan ini tentu saja menarik perhatian dan nampaklah bayangan banyak orang berlari-larian, dan dari atas menyambar tubuh Hai Cu Nikouw. Melihat betapa seorang wanita berkedok berdiri di bawah anak tangga dan enam orang penjaga yang bertugas menjaga disitu semua telah roboh berkelojotan, Hai Cu Nikouw dan suhengnya terkejut bukan main. Bagaimana wanita ini dapat masuk kesitu tanpa mereka ketahui?






"Iblis jahat, terimalah hukumanmu!" bentak Hai Cu Nikouw sambil menerjang ke depan, menggunakan sepasang pedangnya yang jarang sekali keluar dari sarungnya itu.

Dua sinar putih berkelebat menyilang dan titik pertemuan silang adalah leher wanita berkedok itu. Hebat bukan main serangan nenek pendeta ini.

"Cringgg...!"

Sepasang pedang itu saling serempet sendiri akan tetapi leher yang menjadi sasaran sudah tidak ada di tempat. Kiranya wanita berkedok itu dengan gerakan yang lebih cepat lagi sudah dapat mengelak dan meloncat ke belakang sambil tersenyum di balik kedoknya.

"Hemm, kalian mengkhianatiku! Berarti kalian mencari mampus dan kuil ini akan kubakar habis!"

Thian Kong Hwesio sudah menerjang pula, menggunakan tongkat bajanya. Wanita berkedok itupun dapat mengelak dari sambaran tongkat yang mengarah kepala, dan tiba-tiba ia menggerakkan kedua tangannya seperti yang tadi dilakukan untuk merobohkan enam orang penjaga.

"Wuuuttt...!"

Tiga batang jarum beracun menyambar ke arah tubuh Thian Kong Hwesio dan tiga lagi ke arah Hai Cu Nikouw. Akan tetapi, dua orang pendeta ini tidaklah selemah para penjaga tadi. Mereka berdua sudah dapat menduga akan kelihaian dan kecurangan lawan, maka begitu wanita itu menggerakkan kedua tangan dan melihat berkelebatnya benda kecil, mereka cepat meloncat ke samping dan terhindar dari maut. Dengan marah mereka berdua lalu menyerang wanita iblis itu dari kanan kiri.

"Singgg...!"

Wanita itu menggerakkan tangan kanan ke bawah jubahnya dan nampaklah sebatang pedang berkilauan di tangannya. Begitu ia menggerakkan pedang menangkis, serangan kedua orang pendeta itu dapat ditangkisnya dan mereka berdua melangkah mundur dengan kaget ketika tangkisan itu menimbulkan suara nyaring dan mereka merasa betapa lengan mereka kesemutan. Cepat mereka memeriksa senjata masing-masing dan merasa lega bahwa senjata mereka yang juga merupakan senjata pilihan tidak sampai rusak oleh tangkisan pedang wanita iblis itu.

Kembali mereka menerjang dan sekali ini wanita berkedok bukan hanya mengelak dan menangkis, melainkan juga membalas dengan serangan yang gerakannya amat ganas, cepat dan kuat. Dalam belasan jurus saja suheng dan sumoi itu terdesak hebat oleh pedang si wanita iblis yang gaya permainannya aneh dan ganas itu. Akan tetapi, kakak beradik seperguruan itu segera merasa lega ketika bermunculan perwira-perwira dengan pasukannya yang mengurung dan mengeroyok si wanita iblis.

Wanita berkedok itu kini terdesak dan iapun memaki-maki dengan kata-kata kotor. Hal ini makin meyakinkan hati Thian Kong Hwesio dan sumoinya bahwa tidak mungkin kalau wanita berkedok ini penjelmaan Dewi Laut yang berbudi mulia itu. Merekapun menyerang dan mendesak dengan sengit.

Karena kini dikeroyok banyak orang, wanita berkedok yang mulai terdesak itu meninggalkan bawah anak tangga dan menuju ke ruangan tak jauh dari situ, sebuah ruangan yang luas dimana ia dapat memainkan pedangnya dengan leluasa. Wanita itu memang lihai sekali, terutama memiliki kecepatan yang luar biasa.

Kalau bukan dikeroyok sampai delapan orang, rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan karena mereka yang membantu dua orang pendeta itu adalah para perwira, belum tentu dua orang itu mampu mendesaknya. Ia sudah berusaha untuk menyebar jarum-jarumnya akan tetapi enam orang perwira itu terlalu tangguh untuk dapat dirobohkan dengan senjata rahasia. Dan baiknya para perajurit penjaga yang mengepung tempat itu sudah gentar menghadapinya setelah empat orang yang ikut-ikutan maju roboh dan tewas oleh pedangnya. Mereka hanya mengepung tempat itu dengan senjata di tangan, akan tetapi tidak berani sembarangan maju, bahkan dilarang oleh para perwira.

Kini wanita berkedok itu mulai merasa repot dan mencari-cari jalan keluar yang sudah tertutup dan terkepung oleh pasukan. Selagi ia kerepotan, tiba-tiba terdengar suara ketawa yang parau, disusul suara ejekan yang kasar.

"Ha-ha-ha, sekarang nenek cabul seperti tikus tersudut!"

Terjadi kekacauan di dekat pintu dan enam orang anggauta pasukan roboh mandi darah disusul munculnya seorang kakek yang usianya sudah ada hampir enam puluh tahun. Kakek ini bertubuh tinggi besar, pakaiannya juga terbuat dari kain kasar dan sederhana, sepatunya butut dan mukanya membayangkan kekasaran. Matanya lebar bundar, hidungnya besar, mulutnya hampir tidak kelihatan tertutup kumis dan jenggot.

Kakek ini membawa sebatang pecut panjang, akan tetapi ketika dia membobolkan kepungan pasukan dari belakang, dia merobohkan enam orang perajurit itu dengan cengkeraman-cengkeraman tangan kirinya yang seperti tangan baja itu. Sekali cengkeram, pecahlah kepala orang-orang itu dan merekapun roboh berlumuran darah dalam keadaan yang amat mengerikan!

Biarpun kakek itu datang sambil memaki si wanita iblis, namun melihat betapa dia membunuh enam orang perajurit, para perwira menjadi marah dan maklum bahwa kakek inipun bukan orang baik-baik dan bukan kawan. Maka merekapun menyambutnya dengan serangan senjata mereka.

Terdengar bunyi ledakan-ledakan keras ketika kakek itu menggerakkan cambuknya dan robohlah seorang diantara enam orang perwira itu. Dahinya, antara kedua mata, berlubang mengeluarkan darah dan diapun tewas seketika. Kiranya di ujung cambuk kakek itu dipasangi sebuah benda dari baja seperti paku dan benda inilah yang tadi menyambar dan melubangi dahi itu.

Tentu saja keadaan menjadi geger dan kini perkelahian terjadi semakin sengit dimana nenek berkedok dan kakek bercambuk itu mengamuk dan membabati musuh seenaknya. Karena ditinggalkan oleh enam orang perwira yang kini tinggal lima orang yang mengeroyok kakek itu, Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw kini terpaksa menghadapi nenek iblis itu berdua saja dan mereka segera terdesak hebat.

"Kakek hina-dina, aku tidak butuh bantuanmu!" berkali-kali nenek iblis itu berteriak memaki-maki kakek itu.

“Nenek cabul tak tahu budi, tutup saja mulutmu dan mari kita bereskan mereka ini!" kakek itu menjawab, dengan suara kasar pula.

Karena saling memaki ini, agaknya timbul kemarahan di dalam hati mereka dan keduanya mengamuk semakin hebat. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, akhirnya lima orang perwira itupun roboh dan tewas di tangan kakek itu, sedangkan Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouwpun terdesak, bahkan telah menderita luka-luka yang cukup parah oleh sambaran pedang wanita iblis!

Pasukan yang mengepung melihat atasan mereka roboh semua, berusaha untuk mengeroyok, akan tetapi mereka yang berani maju lebih dulu seperti mengantarkan nyawa saja. Yang lain-lain menjadi gentar dan ketika Thian Kong Hwesio dan sumoinya terpaksa meloncat ke atas genteng dan menyelamatkan diri, sisa pasukan itupun lari cerai-berai!

Kini tinggal nenek iblis itu dan si kakek lihai yang berdiri saling berhadapan dan dengan senjata di tangan, wajah mereka masih beringas. Belasan mayat bergelimpangan di sekitar mereka dan bau amis darah memenuhi udara tempat itu.

"Koai-pian Hek-mo, siapa suruh engkau membantu? Kita adalah saingan dan musuh, aku tidak membutuhkan bantuanmu!" Nenek iblis itu membentak.

Kakek yang berjuluk Koai-pian Hek-mo itu mengusap mukanya yang kasar dan hitam dengan tangan kiri, mengusap peluhnya.

"Hwa-hwa Kui-bo, dalam keadaan kita ditentang oleh golongan putih, engkau masih congkak begini terhadap orang segolongan? Apakah otakmu sudah mulai miring?"

"Tua bangka hina, mampuslah!"

Nenek berkedok itupun cepat menyerang dengan pedangnya, mengirim tusukan yang amat cepat ke arah dada lawan.

"Cring, tranggg...!"

Cambuk itu bergerak dan gagangnya menangkis pedang. Pedang dan cambuk bertemu dengan amat kerasnya dan keduanya melangkah mundur tiga kali.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: