*

*

Ads

Rabu, 10 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 003

Ketua nikouw yang bertugas di kuil itu adalah seorang nikouw berusia enam puluh tahun berjuluk Hat Cu Nikouw. Ia sengaja memakai julukan Hat Cu yang berarti Mustika Laut, agar sesuai dengan tempat itu dan sesuai pula dengan dewi yang dipuja.

Hat Cu Nikouw bukanlah nikouw biasa yang lemah. Tidak, ia adalah seorang ahli silat yang memiliki tingkat cukup tinggi sehingga namanya dikenal dan ditakuti orang terutama kaum penjahat yang tidak berani mengganggu kuil itu, bahkan tidak berani beroperasi di daerah yang berdekatan dengan kuil Dewi Laut.

Hat Cu Nikouw ini mempunyai seorang suheng, juga kini menjadi ketua kuil yang berada di luar kota. Suhengnya itu berjuluk Thian Kong Hwesio, berusia enam puluh tahun lebih dan memiliki ilmu silat yang lebih lihai daripada sumoinya.

Ketika penduduk ramai-ramai membicarakan tentang munculnya seorang gadis aneh yang melakukan kegemparan dan penduduk mulai menghubungkan gadis itu dengan Dewi Laut, Hat Cu Nikouw juga mendengarnya. Nikouw tua ini tersenyum saja. Di dalam hatinya ia maklum bahwa semua berita tentang Dewi Laut itu hanyalah bohong belaka, walaupun ia sendiri adalah pemuja Dewi Laut.

Dan kini ia menduga bahwa tentu gadis yang dihebohkan itu sama sekali bukan penjelmaan Dewi Laut, melainkan seorang gadis kang-ouw. Iapun tahu bagaimana tingkah para petugas jaga di pintu gerbang itu dan dapat menduga bahwa tentu gadis kang-ouw itu diganggu sehingga mengamuk dan menghajar mereka. Akan tetapi, ia hanya tersenyum dan tidak mau membantah kabar itu. Biarlah, pikirnya, biar penduduk makin yakin akan kesaktian Sian-li.

Pada keesokan harinya, berita tentang Dewi Laut itu menjadi semakin besar dan menggemparkan. Apalagi ketika diterima kabar oleh penduduk dari para nikouw penjaga kuil itu bahwa patung Dewi Laut semalam telah lenyap tanpa meninggalkan bekas! Para nikouw yang mengurus kuil itupun tidak tahu kapan dan kemana hilangnya patung itu, seolah-olah menghilang begitu saja dari tempat pemujaannya.

Apalagi penduduk, bahkan Hai Cu Nikouw sendiri terkejut dan merasa heran ketika menerima laporan para muridnya bahwa patung Dewi Laut telah lenyap! Siapa orangnya berani main-main dan berani mati mencuri patung keramat itu? Agaknya tidak mungkin ada pencuri berani melakukan hal itu. Akan tetapi... kenyataannya, patung itu lenyap begitu saja. Benarkah bahwa Dewi Laut telah menjelma menjadi gadis aneh? Ah, tak mungkin!

Nikouw tua itu segera menghubungi suhengnya dan merekapun berunding. Hilangnya patung Dewi Laut sungguh merupakan hal yang menimbulkan penasaran dan marah. Terang bahwa penjahat yang mencurinya tidak memandang mata kepada mereka, atau setidaknya kepada Hai Cu Nikouw dan pencurian patung itu dapat dianggap sebagai suatu tantangan.

"Tidak mungkin patung itu dicuri karena nilainya. Tidak ada emas permata yang menghias patung itu. Maka, jelaslah bahwa pencurinya melakukan hal itu untuk menghinaku, untuk menantangku!" demikian antara lain Hai Cu Nikouw menyatakan rasa penasaran hatinya di depan suhengnya.

Ia adalah seorang wanita yang biarpun usianya sudah enam puluh tahun, namun masih nampak segar dan sehat, juga wajahnya masih membayangkan raut yang cantik. Rambutnya habis dicukur licin, wajahnya belum banyak dimakan kerut, sepasang matanya masih tajam dan ada keangkuhan membayang pada dagunya yang meruncing, agaknya keangkuhan yang timbul karena yakin akan kemampuan dirinya. Tubuhnya kecil, agak tinggi dan gerak-geriknya masih cekatan. Sepasang pedang tergantung di punggungnya dan baru mulai hari itulah ia selalu membawa sepasang pedang itu, karena merasa bahwa ia ditantang orang.

Suhengnya menarik napas panjang.
"Tenanglah, sumoi. Kalau memang benar pencuri patung itu menantangmu, kenapa sampai sekarang dia tidak muncul? Apa maksudnya mencuri patung? Dan berita tentang gadis yang aneh itu. Jangan-jangan ia yang mencuri patung itu, hanya untuk memperlihatkan kepandaiannya. Banyak ulah gadis muda kang-ouw seperti itu, hanya untuk mencari kepopuleran nama belaka."

Hwesio itu berusia enam puluh tiga tahun. Kepalanya gundul licin dan malam itu dia memakai penutup kepala. Jubahnya kuning dan tubuhnya gendut tinggi. Seuntai tasbeh panjang tergantung di lehernya dan jubah kuningnya cukup bersih. Di meja dekat dia duduk tersandar tongkatnya, sebuah tongkat hwesio yang terbuat dari baja disepuh emas. Tongkat ini selain menjadi tanda kebesarannya sebagai ketua kuil, juga merupakan senjatanya yang ampuh.

Mereka bercakap-cakap di ruangan belakang kuil Dewi Laut ketika hwesio tua itu mengunjungi sumoinya, setelah mendengar apa yang telah terjadi di kuil itu dan dihubungi oleh sumoinya. Keadaan sunyi di kuil itu. Para nikouw sibuk berjaga karena patung itu lenyap malam kemarin, Hai Cu Nikouw nampak murung dan mudah marah, dan memarahi murid-muridnya yang dikatakan lengah dan banyak tidur. Maka merekapun malam ini tidak berani tidur dan berjaga secara bergiliran.

Tiba-tiba keheningan di ruangan itu terpecah oleh suara ketawa lirih dari atas datangnya, disusul suara orang mendengus dan mengejek. Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw terkejut sekali dan cepat kakak beradik seperguruan itu telah meloncat keluar dari jendela. Thian Kong Hwesio telah menyambar tongkatnya dan sumoinya sudah mencabut siang-kiamnya, kemudian keduanya melayang naik ke atas genteng dari luar ruangan.






Nampak bayangan yang amat gesit berkelebat menjauh atau agaknya sengaja memancing kedua orang itu. Di dalam kegelapan malam yang remang-remang, di bawah sinar bulan sepotong, nampak jelas bahwa sosok bayangan itu adalah seorang wanita, dengan tubuh ramping terbungkus pakaian ketat.

"Iblis betina, engkau hendak lari kemana?" bentak Hai Cu Nikouw sambil meloncat ke depan dan mengejar, dibayangi suhengnya.

Akan tetapi bayangan itu berlari terus, berlompatan ke sana-sini, dari genteng ke genteng rumah lain, sambil kadang-kadang terdengar suara ketawanya, ketawa seorang wanita.

Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw menjadi penasaran sekali. Mereka mengejar dan mengerahkan semua tenaga untuk mengimbangi keringanan tubuh bayangan itu, namun harus mereka akui bahwa gin-kang dari bayangan di depan itu amat hebatnya.

Kadang-kadang meloncat turun kalau dikejar ke bawah, tahu-tahu sekali melesat sudah berada di atas genteng rumah lain. Kejar-mengejar terjadi beberapa lamanya dan kedua orang pendeta itu terkejut dan merasa heran sekali setelah berlari-larian sekian lamanya, ternyata bayangan itu membawa mereka kembali ke genteng kuil Dewi Laut!

Dan tiba-tiba bayangan itu meloncat tinggi sekali dan kakinya hinggap di atas ujung menara kuil yang kecil. Mereka memandang bengong, kagum dan tidak tahu bagaimana mereka akan dapat menyusul wanita aneh itu.

"Hemm, hwesio dan nikouw tolol! Apakah kalian benar-benar hendak menentang dan melawan Dewi Laut?"

Mendengar bentakan suara yang mengandung wibawa itu, Hai Cu Nikouw dan suhengnya terkejut dan menjadi bimbang. Benarkah bayangan ini adalah bayangan Dewi Laut? Mereka berdua adalah pemuja Dewi Laut, akan tetapi mereka bukan orang-orang yang percaya akan tahyul dan dongeng-dongeng tentang Dewi Laut menjelma sebagai manusia, maka mereka merasa ragu-ragu.

"Hemm, kalian masih ragu-ragu? Apakan menanti sampai aku marah dan kubakar kuil ini? Kalian memujaku hanya pura-pura saja, ya?"

Hai Cu Nikouw terkejut sekali dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut. Dewi Laut yang sejati atau bukan, jelas bayangan itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat dan bagaimanapun juga, bayangan itu belum melakukan sesuatu yang merugikan. Melihat sumoinya berlutut, Thian Kong Hwesio juga berlutut sambil berseru,

"Omitohud, harap maafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan Sian-li."

Bayangan itu tertawa, suara ketawanya halus dan mengerikan. Sukar untuk mengenal wajahnya karena bulan sepotong selain kurang terang sinarnya, juga berada di belakang kepalanya sehingga wajah bayangan itu tertutup kegelapan.

"Ha-ha-hi-hi-hi, sekarang baru kalian menyembahku. Dengarlah baik-baik. Para penghuni kota Ceng-tao mulai kurang kepercayaannya kepadaku, padahal akulah yang melindungi mereka. Katakan kepada mereka bahwa aku menghendaki sesajen yang harus disediakan malam besok di dalam menara ini. Aku menghendaki emas murni lima puluh tail, berikut hidangan yang paling lezat dan masih panas-panas untuk lima orang. Dan semua itu harus diantarkan oleh dua orang pria muda yang masih perjaka dan yang tampan, dan mereka harus membawa semua itu ke dalam ruangan kosong di atas menara. Awas, kalau permintaanku tidak ditaati, bukan hanya kuil ini kubakar, akan tetapi juga akan kudatangkan badai besar, agar ombak menggulung habis kota Ceng-tao!"

Dua orang pendeta itu mendengarkan sambil menundukkan muka dan hati mereka memang merasa gentar juga, walaupun masih ada perasaan bimbang apakah benar ini suara dewi yang mereka puja-puja sebagai pelindung rakyat Ceng-tao itu.

Ketika suara itu lenyap, mereka mengangkat muka memandang dan ternyata bayangan itu telah lenyap dari puncak menara! Mereka berdua memandang ke kanan kiri dan tidak melihat apa-apa lagi. Bayangan daun pohon tinggi yang tumbuh di belakang kuil bergoyang-goyang tertiup angin dan kedua orang pendeta yang lihai itu merasa juga betapa tengkuk mereka menjadi dingin. Betapa hebatnya wanita itu, pikir mereka. Dapat menghilang begitu saja dari puncak menara yang begitu tinggi tanpa mereka ketahui.

Mereka berdua lalu meloncat turun dan ketika mereka berjalan menuju ke dalam, dua orang nikouw menyambut mereka dan seorang diantara mereka berkata,

"Subo... patung... patung itu..."

"Ada apa? Bicara yang benar!" bentak Hai Cu Nikouw.

"Patung itu sudah kembali...!"

Mendengar ini, Hai Cu Nikouw cepat berlari ke dalam, keruangan pemujaan dan ia berdiri terpukau memandang wajah patung Dewi Laut yang diterangi oleh lilin! Patung itu sudah kembali di tempatnya!

Mereka berdua, suheng dan sumoi itu, lalu berunding di dalam ruangan.
"Bagaimana pendapatmu, suheng? Benarkah... Sang Dewi menjelma dan yang kita jumpai tadi adalah penjelmaan beliau?"

Suhengnya menghela napas panjang dan menggeleng kepala.
"Omitohud... semoga Thian melindungi kita semua. Kita semua sudah tahu betapa mulia dan bijaksananya Sang Dewi pelindung rakyat dan kota Ceng-tao. Akan tetapi, permintaan tadi sungguh berlawanan sekali. Lima puluh tail emas? Masakan-masakan lezat dan diantar oleh dua orang pemuda tampan! Sungguh berlawanan sekali dengan kemuliaan dan kebijaksanaan. Pinceng merasa curiga, sumoi."

"Akan tetapi... kesaktiannya itu... dan... dan patung itu..."

Suhengnya mengangguk-angguk.
"Engkau tentu tahu betapa banyaknya orang berilmu tinggi di dunia ini. Juga golongan sesat banyak mempunyai orang-orang yang sakti. Siapa tahu ada yang menyamar sebagai Sang Dewi. Pinceng tetap merasa curiga sekali dan tidak sepatutnya kalau kita mentaati perintah yang begitu keterlaluan dan yang berbau nafsu keserakahan."

"Habis, bagaimana baiknya menurut pendapatmu, suheng?"

"Kita harus bersiap siaga. Besok kita rundingkan hal ini dengan kepala daerah dan para komandan pasukan keamanan di kota ini, untuk bersama-sama menghadapi tantangan ini."

Pada keesokan harinya, suheng dan sumoi itupun pergilah ke kantor kepala daerah dan melaporkan apa yang telah mereka alami semalam. Kepala daerah mengerutkan alisnya. Bagaimanapun juga, dialah yang bertanggung jawab kalau kotanya diganggu penjahat. Maka diapun cepat memanggil para pemimpin pasukan penjaga keamanan dan mereka lalu mengadakan perundingan dan mengatur siasat untuk menghadapi penjahat yang menyamar sebagai Dewi Laut itu.

Atas usul Thian Kong Hwesio, dua orang pemuda dipilih untuk menjadi pengantar barang-barang permintaan Dewi Laut. Tentu saja bukan pemuda biasa, melainkan dua orang murid Thian Kong Hwesio sendiri yang selain muda dan tampan, juga gagah dan memiliki kepandaian silat yang sudah cukup tinggi.

Kamar di menara itu adalah sebuah kamar atau tempat Hai Cu Nikouw biasa berlatih samadhi, sebuah ruangan yang berukuran tiga meter kali tiga meter. Satu-satunya jalan menuju ke ruangan itu hanya melalui sebuah anak tangga yang sempit dan yang hanya dapat dilalui oleh seorang saja.

Suheng dan sumoi itu bersama kepala daerah dan para perwira lalu memasang perangkap dan mengatur baris pendam. Pasukan pilihan bersembunyi di kanan kiri anak tangga, dan sekitar menara itu telah bersembunyi pula pasukan lain, sedangkan Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw sendiri bersembunyi di atas genteng menara, siap untuk menyerbu kalau penjahat itu memasuki kamar menara.

Dua orang pemuda murid Thian Kong Hwesio yang membawa barang yang dipesan penjahat yang menyamar Dewi Laut, diam-diam juga memperlengkapi dirinya dengan senjata yang disembunyikan di bawah baju longgar.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: