*

*

Ads

Rabu, 10 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 001

Kota Ceng-tao terletak di tepi laut, merupakan sebuah kota pelabuhan yang besar di Propinsi Shan-tung. Setiap hari perahu-perahu dagang yang besar berlabuh disitu, ada yang datang membawa barang-barang dagangan dari luar daerah, bahkan dari luar negeri ke kota itu, ada pula yang mengangkut barang-barang dari dalam keluar.

Bukan hanya perdagangan yang meramaikan kota Ceng-tao, akan tetapi juga hasil penangkapan ikan di laut daerah pelabuhan itu amat baik sehingga pantai itu penuh pula dengan perahu-perahu nelayan dan terbentuklah sebuah pasar ikan di tepi pantai.

Biasanya, sejak pagi sekali, pantai itu telah sibuk, terutama sibuk dengan para nelayan yang baru pulang dari tengah lautan dimana mereka bekerja, semalam suntuk menangkap ikan, membawa hasil penangkapan ikan mereka yang memenuhi perahu mereka. Bau amis ikan-ikan mati akan memenuhi tempat itu, dan bukan hanya lalat-lalat yang merubung, akan tetapi juga manusia-manusia yang berebutan melelang ikan-ikan itu untuk dijual kembali ke pasar dan memperoleh untung yang kadang-kadang lebih besar daripada para nelayan itu sendiri.

Kadang-kadang nampak pula pemandangan yang mengharukan, menyedihkan dan mendatangkan rasa penasaran dalam hati. Sebagian besar para nelayan itu hanya alat-alat belaka dari para juragan yang melepas uang untuk memberikan perahu-perahu, jala-jala dan alat-alat perlengkapan yang baik untuk menangkap ikan. Dan mereka inilah yang menentukan harga jika para nelayan kembali dari tengah laut.

Harga ditekan sedemikian rupa dan para nelayan tidak berani melawan karena mereka telah terbenam dalam hutang setinggi leher. Selain itu, para juragan itu membawa tukang-tukang pukul yang galak dan kejam. Tidak jarang terjadi pemukulan-pemukulan di tepi pantai itu oleh para tukang pukul terhadap nelayan yang berani membangkang.

Ada pula nelayan-nelayan yang menangis karena hasilnya terlampau sedikit untuk dapat menghidupkan keluarganya, apalagi kalau ada anggauta keluarga yang sedang sakit dan membutuhkan uang untuk biaya pengobatan.

Akan tetapi, pada pagi hari itu keadaan di tepi pantai agak sunyi. Hujan telah turun sejak malam tadi. Karena hujan badai membuat air laut meliar, para nelayan banyak yang terpaksa pulang malam tadi tanpa memperoleh hasil.

Setelah matahari mulai muncul, hujan mereda, tidak selebat semalam, akan tetapi masih juga turun rincik-rincik. Di kota Ceng-tao sendiri, biarpun pagi itu masih hujan gerimis, namun di jalanan penuh juga oleh orang berlalu-lalang memakai payung atau memakai caping lebar untuk melindungi diri dari timpaan air lembut yang dingin.

Nampak pula gerobak-gerobak yang membawa barang-barang dagangan seperti sayur-mayur, ikan dan sebagainya, berbondong-bondong menuju ke pasar yang berada di tengah kota. Ada pula tukang-tukang pikul yang memikul barang-barang berat menuju ke pasar. Mereka ini tidak berbaju dan tubuh yang bagian atasnya telanjang itu tertimpa air hujan.

Tubuh yang berkeringat itu menjadi semakin basah. Air hujan bercampur air keringat membuat tubuh itu mengkilap, nampak kuat dengan otot-otot menjendol. Namun mereka tidak terganggu oleh air hujan yang dingin. Bahkan terasa enak di badan, sejuk dan banyak mengurangi rasa lelah.

Bermacam orang berlalu-lalang di jalan raya menuju ke pasar. Dari keadaan pakaian mereka, dapat diketahui siapa diantara mereka yang pedagang beruang dan siapa yang hanya kuli miskin.

Pakaian mereka yang mendatangkan perbedaan itu, bukan hanya pakaian, akan tetapi juga pandang mata dan sikap mereka. Sebagian besar manusia mencerminkan keadaan kehidupan mereka pada sikap dan air muka. Yang kaya, pandai atau berkedudukan biasanya mengangkat muka tinggi-tinggi, merasa lebih daripada orang lain. Sebaliknya, orang-orang yang merasa dirinya miskin, bodoh dan tidak ada kekuasaan, banyak menunduk dan merendahkan diri.

Akan tetapi pada pagi hari itu, terdapat suatu suasana gembira yang dapat dirasakan oleh semua orang dari segala tingkatan. Semacam kegembiraan yang aneh, yang terasa oleh seluruh badan dan batin, kegembiraan yang tercipta oleh keadaan bumi dan udara.

Setelah hujan lebat semalam, jalan-jalan raya, genteng-genteng rumah, kesemuanya nampak bersih tercuci oleh air hujan. Biarpun hujan masih gerimis dan matahari masih tertutup kabut, namun suasana terasa bersih, sejuk dan jernih. Suara air selokan yang menampung air hujan dan segala kotoran yang disapu olehnya, seperti dendang pagi yang amat merdu. Bahkan pohon-pohon nampak berseri karena merekapun dicuci bersih dari debu-debu, juga daun-daun tua dirontokkan. Setiap daun kini nampak hijau bersih kemilau. Suasana ini mendatangkan suatu rasa gembira yang ajaib.

Di pintu gerbang kotapun nampak beberapa orang atau gerobak lewat. Mereka datang dari dusun-dusun di luar kota Ceng-tao. Matahari sudah naik agak tinggi namun hujan masih turun rintik-rintik, walaupun sudah mulai jarang. Dan pada saat itu, pintu gerbang telah sunyi, tidak nampak orang lewat lagi. Agaknya orang-orang dusun yang menuju ke kota Ceng-tao sudah habis.






Mereka datang mulai pagi sekali tadi, takut kalau kesiangan yang akan membuat dagangan mereka jatuh harga atau tidak laku. Para penjaga pintu gerbang duduk bersantai di dalam gardu. Mereka itu tentu saja merasa enggan untuk berjaga diluar dan tertimpa air hujan. Pula, dalam keadaan aman seperti hari itu, perlu apa berjaga dengan ketat? Yang memasuki pintu gerbang bukan lain hanyalah orang-orang dusun yang hendak berjualan ke pasar kota.

Suasana di sekitar pintu gerbang sunyi dan hening. Para penjaga yang berada di dalam gardu mengasyikkan diri bermain kartu sambil minum arak untuk menghangatkan tubuh.

Tiba-tiba, dari jauh terdengar suara nyanyian! Suaranya agak parau, dalam, dan terdengar lucu, nada-nadanya seenaknya saja. Mau tidak mau para penjaga mendengarnya juga karena suara itu terdengar lucu dan aneh, merekapun setengah memperhatikan. Suara nyanyian itu kini diseling suara ringkik kuda dan makin didengarkan, makin tertariklah hati para penjaga karena memang suara nyanyian itu lucu dan juga aneh kata-katanya. Apalagi diseling ringkik kuda, seolah-olah manusia dan kudanya bernyanyi bersama-sama.

"Tok-tak-tok-tak
hujan turun bertitik
Top-tap-top-tap
langkah kudaku cantik!
Hiiii... yeeehhhh...! (ringkik kuda)
Biar hujan biar panas,
manusia tetap mengeluh
biar panas biar hujan,
kuda takkan mengaduh!
Hiii... yeeehhhh...! (ringkik kuda)
Manusia memang pintar,
pandai berkeluh-kesah
kudaku memang tolol,
tak kenal hati susah!
Hiii... yeeehhhh...! (ringkik kuda)
Ha-ha-hi-ha-ha-ha-ha!"

Para penjaga dalam gardu kini menghentikan permainan kartu mereka dan beberapa orang diantara mereka melongok dari jendela gardu untuk melihat siapa gerangan orangnya yang bernyanyi-nyanyi secara aneh dalam hujan rintik-rintik itu.

Tak lama kemudian nampaklah orangnya! Seekor kuda yang bentuknya lucu, kecil kurus dan pendek sehingga mirip seekor anak kuda yang mukanya sudah tua, melangkah seenaknya dan agaknya kuda itu selalu berbunyi meringkik kalau lehernya ditepuk oleh penunggangnya.

Tidak mengherankan kalau dia dapat ikut bernyanyi menyelingi suara nyanyian majikannya tadi. Kuda kecil mirip keledai itu melangkah sambil menunduk, kadang-kadang berdongak kalau meringkik dan matanya yang besar itu berkilat. Dia nampak gembira dan lega karena tersiram air yang menyegarkan setelah setiap hari melakukan perjalanan jauh di atas jalan berdebu dan di bawah sengatan terik matahari. Air hujan itu amat menyenangkan hatinya, agaknya perasaan itu sama dengan apa yang dirasakan oleh para tukang pikul tadi.

Penunggang kuda itu tidak kalah anehnya dibandingkan dengan kudanya sendiri. Ia seorang wanita muda, seorang gadis remaja yang pakaiannya aneh dan tidak karuan! Bajunya kembang-kembang dan tambal-tambal, dijahit seenaknya saja sehingga kebesaran dan kedodoran, lengan kiri terlalu pendek lengan kanan terlalu panjang, bahkan ada bagian pundak yang robek.

Mukanya kotor berdebu, muka yang amat lincah gembira penuh senyum dan matanya juga bersinar-sinar membayangkan kelucuan dan kenakalan. Rambutnya yang hitam dan subur itu dikepang dua dan yang sebelah membelit leher, sebelah lagi berjuntai di depan dada.

Lucunya, dara remaja yang aneh ini memegang sebuah payung butut yang sudah bocor di sana-sini. Naik kuda pakai payung butut dan bernyanyi-nyanyi! Belum pernah para penjaga itu melihat yang selucu ini dan merekapun tertawa. Mungkin perempuan gila, pikir mereka.

Akan tetapi, setelah dara dan kudanya datang semakin dekat, nampaklah oleh mereka bahwa di balik kelucuan dan kesederhanaan yang ugal-ugalan itu masih dapat dilihat bentuk wajah yang manis dan bentuk tubuh yang padat ramping dan mulai mekar, mulai menunjukkan lekuk lekung tubuh yang amat indah bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar dari kuncupnya. Seorang dara yang usianya kurang lebih lima belas tahun.

Enam orang penjaga di dalam gardu itu tertawa keras, membuat dara penunggang kuda menengok. Melihat orang-orang itu tertawa, gadis itupun tersenyum dan melihat mereka kini melambaikan tangan, iapun ikut melambaikan tangan. Hal ini membuat para penjaga menjadi semakin gembira. Keadaan yang sunyi, hawa yang dingin, dan pengaruh arak membuat mereka menjadi iseng. Dua orang diantara mereka, yaitu kepala penjaga dan pembantunya, bangkit dan keluar dari gardu sambil berseru,

"Heii, nona manis, tunggu dulu!"

Empat orang teman mereka mencoba untuk mengingatkan mereka, akan tetapi karena mereka itu adalah kepala jaga dan pembantunya, yang lain tidak berani menentang.

"Hemm, kalian tahu aku bukanlah jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita). Aku hanya ingin menggoda anak lucu itu, paling-paling hanya akan menciumnya. Kalau ia mau, boleh kita bawa kesini dan kita ajak main-main, kalau ia tidak maupun aku tidak akan memaksa."

Dengan kata-kata demikian, para temannya hanya tertawa gembira. Bagaimana-pun juga, mereka adalah perajurit-perajurit yang sudah biasa suka bersikap ugal-ugalan dan suka main-main untuk memperlihatkan kekuasaan dirinya.

Kepala jaga itu adalah seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun, tubuhnya pendek dengan perut gendut sebesar gentong, rambut kepala di bagian ubun-ubun botak dan matanya juga lebar bundar. Tubuh yang gendut pendek itu membayangkan kekuatan yang besar dan ketika dia menyeringai, giginya nampak hitam oleh candu rokok.

Pembantunya juga berusia empat puluhan, tubuhnya tinggi kurus dan matanya sipit, kulit mukanya agak pucat seperti orang berpenyakitan. Kedua orang ini sudah keluar dari pintu gardu dan kini berdiri menghadang di tengah-tengah pintu gerbang, bertolak pinggang dengan kedua kaki mereka terpentang lebar. Mereka memandang ke depan, kearah dara berkuda itu dengan mulut menyeringai.

Dara itu agaknya tidak mengerti akan maksud dua orang laki-laki yang hendak menggoda atau mengganggu itu. Karena dua orang itu menghadang di tengah pintu gerbang, maka terpaksa ia menahan kudanya agar tidak sampai menabrak mereka dan dengan senyum lebar iapun berkata,

"Heii, dua orang sobat penjaga, berilah kudaku jalan dan biarkan aku lewat!"

Setelah kini berhadapan dan melihat dari dekat, kepala jaga itu dengan hati girang sekali mendapatkan kenyataan bahwa gadis yang berpakaian aneh-aneh ini, biarpun kulit mukanya kotor penuh debu, namun sesungguhnya wajah itu amat manis dan sebagian kulit yang agaknya terkena usapan tangan dan bersih dari debu nampak mulus dan putih. Seorang dara remaja yang manis sekali! Apalagi, ketika gadis itu tersenyum, nampak lesung pipit menghias pipinya dan juga giginya nampak putih dan rata.

"Ha-ha-ha, nona. Boleh saja engkau lewat, akan tetapi engkau harus membayar pajak lebih dulu!" kata kepala jaga yang gendut sambil tertawa sehingga perut gendutnya bergerak-gerak.

Nona muda itu mengerutkan alisnya dan memandang heran.
"Eh, eh, mana ada aturan begitu? Sudah banyak aku keluar pintu gerbang, dan pintu gerbang yang inipun sudah banyak dilewati orang setiap hari, akan tetapi tidak pernah ada orang lewat diharuskan membayar pajak! Rasanya pemerintah belum pernah mengeluarkan keharusan membayar pajak lewat pintu gerbang!"

"Ha-ha-ha, engkau ini nona manis tapi bodoh. Kalau yang berkuasa menghendaki, jangankan lewat pintu gerbang kota, bahkan orang kentutpun bisa saja diharuskan membayar pajak. Dan sekarang saat ini, yang berkuasa di pintu gerbang ini telah mengharuskan engkau membayar pajak. Jadi, engkau tidak boleh membangkang, nona, karena pembangkangan berarti pemberontakan dan engkau bisa ditangkap dan dijebloskan penjara!"

"Hemm, dan siapa yang berkuasa di pintu gerbang ini sekarang?"

"Siapa lagi kalau bukan tuan besarmu ini?" Si gendut menunjuk perutnya sendiri yang besar sambil tertawa.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: