*

*

Ads

Sabtu, 30 Desember 2017

Harta Karun Jenghis Khan Jilid 28

"Mo-ko, engkaupun menipuku. Pura-pura mengulurkan tangan bekerja sama, akan tetapi begitu aku memasuki ruangan itu dan pintu dikunci dan kalian menonton di luar, aku tahu bahwa kalian hanya menipuku. Apa kau kira aku juga begitu bodoh untuk tidak melihat siasatmu? Bu-twako, jangan ceritakan apa-apa!"

Wajah Pat-pi Mo-ko yang hitam itu menjadi semakin hitam karena darah telah naik ke mukanya karena marah.

"Bocah she Bu! Kalau engkau menuruti kata-kata perempuan ini, apakah engkau lebih sayang peta dari pada nyawamu? Aku tidak akan ragu-ragu untuk membunuhmu!"

"Bu-twako, jangan percaya omongannya! Dia tidak akan membunuh kita karena peta itu masih ada pada kita! Peta itulah satu-satunya gantungan hidup kita saat ini!" kata pula Kim Hong.

Kok Siang tertawa.
"Ha-ha-ha, engkau benar juga, nona Toan. Heii, Mo-ko, apa kau kira kami begitu bodoh? Kalau aku menyerahkan peta, tentu engkau akan segera membunuh kami! Tidak, aku tidak tahu apa-apa tentang peta, aku sudah lupa lagi, ha-ha!"

Pat-pi Mo-ko adalah seorang yang sudah kenyang akan asam garam di dunia kang-ouw maka diapun tahulah bahwa tidak ada gunanya untuk menggertak dua orang muda ini lagi.

"Bagus, katakanlah bahwa pendapat kalian benar. Aku tidak dapat membunuh kalian, akan tetapi jangan mengira bahwa aku tidak dapat memaksa kalian bicara. Ada hal-hal lain yang lebih hebat dari kematian!"

Dia lalu menghampiri dipan dimana Kim Hong menggeletak terlentang dengan kaki dan tangan dibelenggu rantai besi.

"Bu-siucai, hendak kulihat apakah engkau tetap hendak menutup mulut kalau melihat gadis ini diperkosa dan dihina di depan matamu!" Lalu jari-jari tangannya bergerak ke depan.

"Breeetttt...!"

Terdengar kain robek dan pakaian luar yang menutup tubuh Kim Hong terkoyak-koyak oleh jari-jari tangan yang hitam besar dan kuat itu. Nampaklah kulit tubuh yang putih mulus di balik pakaian dalam yang tipis!

Akan tetapi, demikian hebatnya kekuatan dalam yang dikuasai oleh Kim Hong sehingga tidak ada segarispun uratnya bergerak. Ia hanya memejamkan matanya dan wajahnya tidak memperlihatkan perobahan apapun!

Tidak demikian dengan Kok Siang yang menoleh dengan mata terbelalak dan muka pucat. Dia melihat tubuh pendekar wanita itu yang kini terancam bahaya yang amat hebat.

"Siapa diantara kalian yang mau menikmati tubuh wanita ini?" teriak Pat-pi Mo-ko keluar, ke arah para penjaga.

Tidak ada yang menjawab, akan tetapi belasan orang penjaga itu mendekat dengan mulut menyeringai dan muka merah. Mereka memandang ke arah tubuh itu dengan mata penuh gairah dan nafsu berahi! Thian Sin yang sudah berada diantara para penjaga itu mengepal tinju, akan tetapi wajahnyapun tidak memperlihatkan tanda sesuatu.

"Masih belum mau bicara, Bu-siucai? Bagaimana kalau kubuka sedikit lagi?"

Tangan itu kembali bergerak, terdengar kain robek dan kini penutup dada Kim Hong terbuka sama sekali. Tubuhnya bagian depan dari perut ke atas nampak! Gadis itu tetap memejamkan matanya dan wajahnya tetap biasa saja! Demikian hebat gadis ini sehingga dalam keadaan seperti itu, ia masih dapat bersikap tenang dan seolah-olah ia telah dapat mematikan rasa.

Kok Siang membuang muka dan mengeluarkan suara kutukan.
"Demi Tuhan, Mo-ko, engkau bukan manusia! Jangan lanjutkan!"

"Ha-ha-ha, kalau engkau tidak mau mengaku tentang peta itu, aku akan menyuruh dua orang perajurit untuk memperkosanya di depan matamu, Bu-siucai!"

"Bu-toako, jangan dengarkan dia! Dia akan mampu menghina tubuhku, akan tetapi tidak dapat menjamah hatiku. Paling-palling aku mati, atau kalau tidak, hinaan ini tentu akan dibayarnya dengan bunga berlipat ganda! Jangan mengaku, karena sekali engkau mengaku, nyawa kita akan tidak ada harganya lagi!" demikian Kim Hong berkata, suaranya tetap tenang, sama sekali tidak gemetar.






"Hemm, biarpun hatiku berat sekali rasanya, agaknya engkau benar, nona." jawab Kok Siang.

Pat-pi Mo-ko menjadi semakin marah. Dia sudah menggerakkan tangan lagi untuk merenggut penutup tubuh terakhir, akan tetapi tiba-tiba Su Tong Hak mendekatinya dan berbisik,

"Pemuda itu tentu akan menyerah kalau melihat kekasihnya yang terancam!"

Mendengar ini, tiba-tiba Pat-pi Mo-ko tertawa.
"Ha-ha-ha, engkau benar juga!" dan sambil tertawa-tawa kakek hitam tinggi besar itu lalu berlari keluar dari dalam ruangan itu.

Tak lama kemudian dia sudah kembali sambil menarik tangan seorang gadis setengah menyeretnya. Gadis itu bermuka pucat dan matanya merah bekas menangis, rambutnya dan pakaiannya kusut.

"Murid durhaka, lihat siapa itu, dan selamatkan nyawanya! Dia akan kubebaskan kalau dia mau mengaku tentang peta asli!" kata Pat-pi Mo-ko sambil mendorong gadis itu ke depan, ke arah dipan dimana Kok Siang rebah terlentang.

"Siang-koko...!" Gadis itu menubruk, berlutut dan menangis di dekat dipan.

"Bwee-moi... engkaukah ini? Hemm, akhirnya engkau juga merasakan kekejaman iblis yang menjadi guru dan pamanmu sendiri?" kata Kok Siang sambil mengerutkan alisnya.

In Bwee merangkulnya dan menangis di dada pemuda itu.
"Siang-koko... demi keselamatanmu, menyerah sajalah, katakanlah kepadanya tentang peta itu... ah, koko, kalau engkau mati, akupun tidak mau hidup lagi... berikanlah peta itu dan mari kita pergi berdua, tidak mencampuri urusan ini dan aku rela hidup melarat asal selalu bersamamu, koko..."

Gadis itu menangis dan Kim Hong mengerutkan alisnya. Ia tidak mencela gadis itu bahkan kagum akan cinta gadis itu terhadap Kok Siang. Akan tetapi gadis itu telah memperlihatkan kelemahannya dan hal ini merusak siasat mereka berdua yang hendak mempertahankan peta. Siapa tahu, demi cintanya kepada gadis itu, Kok Siang akhirnya akan menyerah dan kalau sudah begitu, percuma sajalah semua siasat mereka dan akhirnya mereka semua akan celaka!

"Huh, tolol!" Ia membentak. "Apakah kalau peta itu diberikan, iblis itu mau melepaskan kita bertiga? Jangan kira begitu enak, ya? Dia akan segera membunuh kita untuk menutup mulut seperti yang dilakukannya terhadap diri Ciang Kim Su dan juga Louw siucai!"

Ia sengaja menyebut nama Louw siucai untuk membakar semangat Kok Siang. Dan ia berhasil. Kok Siang yang tadinya ragu-ragu melihat dan mendengar tangis kekasihnya, kini nampak bersinar-sinar matanya.

"Mo-ko, muslihat apapun yang kau lakukan, peta itu takkan kuberikan kepadamu!" teriak Kok Siang. "Bwee-moi, jangan kecil hati. Kita lawan iblis itu, kalau perlu dengan pengorbanan nyawa dari pada dia berhasil dan akhirnya kita dibunuhnya juga!"

"Keparat!"

Pat-pi Mo-ko marah sekali dan dengan langkah lebar dia menghampiri muridnya dengan tangan kanan menyambar. Akan tetapi, dibangkitkan oleh kata-kata kekasihnya, In Bwee meloncat dan mengelak, lalu menyerang guru dan pamannya sendiri yang biasanya amat ditakutinya itu.

Tentu saja kakek itu menjadi kaget dan marah sekali. Jelaslah baginya bahwa muridnya ini sekarang telah berpihak kepada musuh secara berterang. Dia telah menangkap muridnya, ketika mendengar laporan bahwa muridnya itu diam-diam pada malam buta mengunjungi Pendekar Sadis. Dia membayangi dan melihat muridnya bicara dengan Pendekar Sadis, maka murid itu pada waktu pulang lalu ditangkapnya dan dijadikan tawanan.

Kini, melihat In Bwee melawan, cepat diapun turun tangan dan tentu saja gadis itu bukan lawannya. Dalam beberapa gebrakan saja, dia telah berhasil merobohkan In Bwee dengan dua kali totokan, membuat gadis itu roboh dengan tubuh lemas dan tak mampu bangkit kembali, rebah miring dengan kaki dan tangan seperti lumpuh rasanya.

"Murid murtad! Biar kekasihmu melihat engkau diperkosa di depan matanya kalau begitu!"

Tiat-ciang Lai Cai Ko yang perutya gendut dan matanya juling, rambutnya riap-riapan itu segera maju dan menyeringai.

"Heh-heh, twako, kalau memang gadis ini hendak diperkosa, serahkan saja kepadaku untuk melaksanakannya. Telah lama aku tergila-gila kepadanya, hanya karena mengingat dia itu muridmu maka aku tidak berani mengganggu. Sekarang, ia berkhianat dan berpihak kepada musuh, kalau memang mau diperkosa, biar aku yang..."

"Boleh, lakukanlah! Tapi disini dan sekarang juga, biar kekasihnya dapat melihatnya!" kata kakek tinggi besar berkulit hitam itu.

Tiat-ciang Lui Cai Ko adalah seorang begal tunggal yang usianya sudah empat puluh lima tahun, kejam dan sudah biasa dengan kekerasan. Dia sudah kebal perasaannya, tidak mengenal malu lagi maka biarpun disitu terdapat banyak orang yang menyaksikan, dia tidak malu-malu dan sambil tertawa bergelak dia maju menghampiri tubuh In Bwee yang menggeletak diatas lantai dengan lemas itu.

"Mo-ko, manusia iblis! Tega engkau terhadap murid dan keponakan sendiri?" Kok Siang berteriak-teriak.

"Brett...!"

Sebagian dari baju In Bwee terkoyak dalam genggaman tangan Tiat-ciang Lui Cai Ko. Semua mata mereka yang hadir, juga para penjaga, terbelalak dan jantung mereka berdebar tegang membayangkan apa yang akan mereka saksikan di dalam ruangan itu. In Bwee sendiri yang tidak lagi mampu bergerak, hanya terbelalak seperti seekor kelinci yang berada dalam cengkeraman kuku harimau.

"Ha-ha-ha, engkau sungguh manis sekali. Aha, sungguh besar untungku malam ini!"

Tiat-ciang Lui Cai Ko merangkul, meremas dan menciumi muka gadis itu yang hanya dapat mengeluh akan tetapi tidak mampu bergerak untuk melawan. Semua orang yang melihat adegan ini, terbelalak, ada yang menelan ludah, ada yang membuang muka, ada yang tertawa-tawa dengan mata melotot hampir keluar dari rongga matanya.

Si Tangan Besi Lui Cai Ko adalah orang yang sudah kebal, tidak tahu malu sama sekali dan dia beraksi seolah-olah di tempat itu tidak ada orang lain. Tangannya meraih dan hendak menanggalkan sisa pakaian In Bwee.

"Tahan...!" Tiba-tiba Kok Siang berteriak, matanya terbelalak, mukanya pucat. "Mo-ko, aku mengaku...!"

Akan tetapi Tiat-ciang Lui Cai Ko seperti tidak mendengar ini dan hendak melanjutkan perbuatannya. Baru setelah Mo-ko sendiri melangkah dan menepuk pundaknya, dia berhenti dan memandang kecewa, akan tetapi tidak berani membantah.

"Tiat-ciang, kau mundurlah." kata Pat-pi Mo-ko.

Tiat-ciang Lui Cai Ko bangkit dan mundur, matanya melotot ke arah Kok Siang, kelihatan kecewa, mendongkol dan marah. Daging yang sudah tersentuh bibir itu, sebelum dapat digigit dan dikunyah lalu ditelannya, telah direnggut orang dan terlepas!

Kim Hong mengerutkan alisnya, akan tetapi hanya dapat memandang kepada sasterawan muda itu. Habislah harapannya. Ia tahu bahwa Kok Siang dan In Bwee hanyalah orang biasa yang jalan pikiran dan perasaannya sudah tercetak sejak kecil sehigga sama dengan jalan pikiran dan perasaan umum pada waktu itu.

Wanita diperkosa merupakan hal yang paling hebat bagi mereka, merupakan malapetaka yang tak dapat diperbaiki lagi, seperti kematian, bahkan dianggap lebih hebat dari pada kematian. Karena inilah maka Kok Siang tidak tahan mempertahankan ketika melihat kekasihnya hendak diperkosa di depan matanya. Betapa bodohnya. Apakah kalau pemuda itu sudah mengaku lalu In Bwee terbebas dari pada ancaman pemerkosaan atau pembunuhan?

"Mo-ko, aku mau mengaku tentang peta yang asli, akan tetapi engkau harus berjanji bahwa engkau tidak akan membiarkan nona Toan dan In Bwee diperkosa orang. Kalau engkau tidak mau berjanji, biar apapun yang terjadi, jangan harap aku akan mau mengaku." kata Kok Siang dengan suara lantang.

"Baik, aku berjanji bahwa mereka berdua tidak akan diperkosa." kata Pat-pi Mo-ko dan wajahnya nampak berseri gembira sekali.

"Ingat, Mo-ko. Bagi seorang yang berkedudukan tinggi seperti engkau, biar hanya sebagai seorang datuk sesat, janji merupakan sumpah yang lebih berharga dari pada nyawa. Aku percaya bahwa engkau tidak akan melanggar janjimu itu, disaksikan oleh semua orang yang mendengarnya."

Harta Karun Jenghis Khan







Tidak ada komentar: