*

*

Ads

Kamis, 28 Desember 2017

Harta Karun Jenghis Khan Jilid 17

Tak lama kemudlan muncullah banyak orang mengepung tempat itu dan Kim Hong benar-benar merasa heran dan terkejut melihat bahwa yang mengepung tempat itu adalah pasukan pemerintah!

Yang memimpin pasukan itu adalah seorang perwira yang berpakaian indah dan gagah, berusia empatpuluh lima tahun dan bertubuh tinggi besar. Cepat Kim Hong meloncat mendekati Kok Siang yang juga memandang dengan heran.

"Berhenti semua dan lepas senjata!"

Bentak perwira itu dengan suara yang agaknya sudah terbiasa mengeluarkan aba-aba atau perintah yang harus ditaati.

"Yang berani bergerak dianggap pemberontak dan akan dihukum! Kalian telah menimbulkan perkelahian dan kekacauan di tempat umum, semua harus menyerah dan ikut bersama kami ke kantor untuk dibawa ke pengadilan!"

Kim Hong dan Kok Siang saling pandang, tiba-tiba Kok Siang berbisik halus sekali sehingga hanya gadis itulah yang mungkin dapat mendengarnya,

"Aku tahu dimana peta yang aseli."

Kim Hong terkejut. Otaknya bekerja dengan cepat. Ia tidak meragukan kebenaran omongan pemuda ini dan tentu karena melihat bahaya maka pemuda sastrawan ini membuka rahasia itu, atau karena sudah percaya penuh kepadanya. Bagaimana pemuda ini dapat mengetahui dimana adanya peta yang aseli? Kalau begitu, yang kini menguasai peta tentu hanya menguasai peta palsu! Bagaimana mungkin terjadi demikian? Bukankah Ciang Kim Su dan pamannya, Su Tong Hak, telah membagi dua peta itu dan peta yang dibawa Ciang Kim Su itu adalah peta yang aseli?

Apa yang sesungguhnya telah terjadi? Pikirannya yang cerdas segera mencari sebab-sebab dan dugaan-dugaan. Tentu ada hubungannya dengan mendiang Louw siucai! Di antara mereka yang pertama kali mengetahui akan rahasia peta itu, adalah Liuw Siucai. Bahkan dialah orang pertama yang sudah dapat mengetahui akan isi peta sesungguhnya, karena dialah yang menterjemahkannya!

Akan tetapi, bagaimana siucai itu dapat menguasai peta aselinya? Apa yang telah terjadi? Ia tidak sempat untuk bertanya, karena disitu terdapat banyak orang dan pasukan itu telah mengepung ketat. Ketika ia melihat pasukan mengepungnya, timbul kemarahan di dalam hatinya. Akan tetapi Kok Siang bersikap lain.

"Ciangkun, kami berdua tidak bersalah. Kami berdua sedang duduk bercakap-cakap disini lalu gerombolan ini datang menyerang kami, agaknya mereka hendak merampok kami!" katanya membela diri.

"Bohong! Mana buktinya kami merampok?" Lui Cai Ko membentak marah.

"Cukup, tidak perlu cekcok!" Perwira itu menegur. "Tidak perduli siapa diantara kalian yang bersalah. Yang sudah jelas, kalian berkelahi disini dan hal ini berarti mendatangkan kekacauan. Kalian semua harus menyerah untuk kami bawa ke pengadilan!"

Kim Hong mengerutkan alisnya hendak membantah, akan tetapi Kok Siang lalu berkata, sikapnya halus menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang terpelajar.

"Baik, ciangkun. Kami percaya bahwa pengadilan tentu akan menyelidiki dan memberi keputusan yang seadil-adilnya. Mari, adik Hong, kita ikut ke kantor pengadilan."

Kim Hong cukup cerdik untuk mengerti mengapa pemuda itu bersikap mengalah. Kok Siang adalah penduduk Thian-cin yang sudah dikenal, maka baginya amatlah berbahaya kalau sampai dia dianggap melawan pasukan dan pemberontak. Berbeda dengan Kim Hong yang tidak dikenal, apalagi mengingat bahwa tempat tinggal wanita ini juga jarang ada yang mengetahuinya.

Untuk membiarkan Kok Siang ditangkap sendiri dan ia melarikan diri, Kim Hong merasa tidak tega. Apalagi setelah ia tahu bahwa pemuda itu tahu dimana peta yang aseli, maka pemuda itu menjadi amat penting baginya. Ia harus melindungi pemuda ini, jangan sampai peta yang aseli terjatuh pula ke tangan penjahat. Maka iapun mengangguk dan menyetujui.

Sepuluh orang gerombolan itu bersama Kim Hong dan Kok Siang lalu digiring oleh pasukan menuju ke kantor kejaksaan. Sepuluh orang itu langsung dimasukkan ke dalam kamar tahanan besar, sedangkan Kim Hong dan Kok Siang dibawa ke bagian belakang dimana terdapat beberapa buah kamar tahanan.

"Kalian harus menunggu dulu di dalam kamar tahanan ini sambil menanti datangnya pembesar yang akan membuka sidang pengadilan." kata perwira itu sambil membuka daun pintu kamar tahanan.

Tentu saja Kim Hong merasa marah dan mengerutkan alisnya.
"Kami bukan penjahat, kenapa mesti dijebloskan dalam kamar tahanan?"

Akan tetapi, kembali Kok Siang yang berkata dengan sikap tenang dan suara halus.
"Kalau memang demikian peraturannya, kita tidak perlu membantah. Pula, kita sama sekali tidak bersalah, takut apa? Biarlah kita menunggu disini." Dan pemuda itupun lalu memasuki kamar tahanan.






Melihat sikap pemuda ini, terpaksa Kim Hong mengalah dan sambil cemberut dan mukanya merah saking marahnya, iapun terpaksa ikut masuk. Pintu kamar sel yang terbuat dari pada besi itu lalu dikunci dari luar. Perwira itu bersama pasukannya masih berjaga di situ dan melihat wajah perwira itu yang kelihatan girang sekali, diam-diam Kim Hong merasa tidak enak. Ia merasa seperti seekor harimau yang dijebak ke dalam kerangkeng.

Akan tetapi ia sama sekali tidak merasa khawatir. Bagaimanapun juga, ia terjatuh ke tangan petugas pemerintah, bukan tangan penjahat. Dan kalau ia mengbendaki, apa sih sukarnya untuk membongkar pintu kamar itu dan meloloskan dirinya? Pikiran ini membuatnya menjadi tenang, akan tetapi karena perwira dan para anak buahnya masih berada di luar kamar, ia tidak dapat bicara dengan leluasa kepada Kok Siang

Sesungguhnya, ingin sekali ia mengajukan banyak pertanyaan mengenai peta itu dan rahasianya. Karena hal itu tidak mungkin dilakukan pada saat itu, Kin Hong lalu duduk bersila di tengah ruangan yang tidak berapa luas itu untuk mengumpulkan tenaga dan menenangkan hatinya yang diliputi rasa penasaran dan kemarahan itu.

Sedangkan Kok Siang sendiri juga duduk di sudut ruangan itu dengan tenang-tenang saja. Urusan perkelahian adalah urusan kecil dan para pembesar pengadilan tentu akan lebih percaya kepada keterangannya dari pada keterangan orang macam Lui Cai Ko yang kasar. Setidaknya, dia lebih pandai bicara, lebih sopan dan sebagai seorang terpelajar, tentu dia akan memperoleh perhatian dan penghormatan dari para petugas pengadilan.

Tak dapat disangkal lagi bahwa Bu Kok Siang adalah seorang pemuda pilihan, pandai dalam ilmu silat, juga ahli sastera dan memiliki pengetahuan yang cukup luas. Akan tetapi, bagaimanapun juga, dia masih muda dan belum mengenal benar akan kepalsuan manusia seperti keadaan yang sesungguhnya. Kebenaran dan keadilan selalu menjadi lemah dan goyah dimana terdapat kekuasaan yang jauh lebih kuat, yaitu ketamakan akan uang! Uang berarti kesenangan.

Dimanapun di bagian dunia ini, manusia benar-benar telah dicengkeram dan dikuasai oleh uang atau lebih luas lagi, dikuasai oleh keinginan untuk memperoleh kesenangan. Dan kesenangan ini, harus diakui, hanya bisa dicapai kalau orang mempunyai uang. Untuk memperoleh uang sebagai sarana utama hidup senang ini, orang tidak segan-segan melakukan apa saja! Dari yang paling licin sampai yang paling keji dan kejam.

Orang tidak segan-segan untuk berpura-pura, untuk merendahkan diri sedemikian rupa, untuk menipu, untuk menyiksa kalau perlu membunuh, menjadi penjahat-penjahat, wanita menjual diri menjadi pelacur, pendeknya segala kemaksiatan itu terdorong oleh keinginan memperoleh uang sebanyaknya. Uang membuat apa saja dapat terjadi, yang nampaknya tidak mungkin sekalipun!

Kok Siang tidak atau belum sadar bahwa karena kekuasaan uang, dia akan menghadapi hal-hal yang nampaknya tidak mungkin. Dia tidak pernah menduga bahwa seorang pembesar tinggi bisa saja melakukan hal-hal yang lebih rendah dari pada pencuri atau perampok, karena kehausan akan uang.

Kedudukan disalah-gunakan, kekuasaan menjadi alat untuk mencari uang sebanyaknya, martabat terlupa, hati nurani tiada bisikan murni lagi, prikemanusiaan menipis, semua ini terjadi apabila manusia telah dikuasai oleh pengejaran kesenangan melalui pengumpulan uang.

Halal atau tidak sudah tidak diperhitungkan lagi. Dan hal ini kemudian menjadi suatu kebiasaan dan kalau sudah menjadi kebiasaan, ahlak makin menipis sehingga keburukannya tidak terasa atau teringat lagi. Orang yang untuk pertama kali melakukan pencurian, tentu akan merasa adanya penyesalan dalam hatinya, penyesalan yang datang kerena kesadaran bahwa apa yang dilakukannya itu adalah tidak baik atau tidak benar.

Akan tetapi kalau dia sudah terbiasa dengan perbuatan mencuri, maka penyesalan itu akan makin menipis dan akhirnya lenyap sama sekali. Demikian pula dengan segala macam kemaksiatan lainnya.

Bu Kok Siang masih tebal kepercayaannya akan kebenaran dan keadilan. Dia tidak tahu bahwa pengaruh kesenangan melalui penumpukan uang sudah menjalar sampai ke manapun, sampai ke dalam kantor-kantor para pembesar, bahkan sampai ke istana. Dan kantor kejaksaan itupun tidak terluput, kantor pengadilanpun digerayangi oleh setan ini sehingga yang namanya keadilanpun dikemudikan oleh uang!

Selagi kedua orang muda itu tenggelam ke dalam keheningan masing-masing, tiba-tiba terdengar suara keras dan lantai dalam kamar tahanan itupun terbuka ke bawah! Hat ini terjadi sedemikian cepat dan tiba-tiba sehingga mengejutkan Kim Hong dan Kok Siang karena mendadak tubuh mereka kehilangan tempat berpijak dan terjeblos ke bawah.

Akan tetapi, mereka adalah dua orang yang terlatih baik dan telah menguasai ilmu silat sehingga gerakan ilmu itu telah mendarah daging dalam tubuh mereka. Terutama sekali Kim Hong yang memiliki gin-kang tinggi.

Begitu tubuhnya tetjeblos ke bawah, ia mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuh yang sudah meluncur ke bawah itu tiba-tiba membuat gerakan dengan kaki yang mengenjot atau menendang ke bawah, kedua tangannya bergerak seperti sayap dan tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas!

Kok Siang juga berhasil melompat ke atas, akan tetapi gin-kangnya tidak sehebat Kim Hong sehingga kembali tubuhnya meluncur ke bawah karena dia tidak dapat berpegang kepada sesuatu.

Berbeda dengan Kim Hong yang mampu membuat gerakan menyamping sehingga tubuhnya yang mencelat ke atas itu dapat meluncur ke arah pintu besi. Ia mengerahkan tenaga sin-kangnya dan sambil meluncur ke arah pintu, ia menggerakkan kaki tangannya untuk menerjang pintu dan membobolkannya.

Akan tetapi ia melihat seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih, bertubuh hitam tinggi besar, tiba-tiba muncul di luar daun pintu berjeruji itu dan kakek itupun mendorongkan kedua tangannya menyambut terjangan Kim Hong. Dari dorongan kedua tangan ini menyambar hawa pukulan dahsyat sekali yang amat mengejutkan pendekar wanita itu. Ia mengenal tenaga yang amat kuat, maka Kim Hong lalu mengerahkan seluruh tenaganya pula.

"Brakkk...!"

Pintu besi yang kokoh kuat itu tidak dapat menahan himpitan dua tenaga raksasa dari dalam dan luar kamar, pecah dan patah-patah berantakan. Akan tetapi, tubuh Kim Hong yang tertahan oleh tenaga kakek itupun terdorong ke belakang dan tentu saja kini meluncur ke bawah tanpa dapat dicegah pula.

Sebaliknya, kakek itu sendiripun terdorong mundur sampai empat langkah. Agaknya dia kaget bukan main, mengeluarkan seruan aneh, mukanya pucat dan matanya terbelalak. Dia tidak mengira bahwa gadis muda itu sedemikian lihainya.

Sementara itu, tubuh Kim Hong yang meluncur ke bawah itu tiba-tiba diterima oleh sepasang lengan yang kuat. Karena di tempat itu amat gelap, maka Kim Hong tidak dapat melihat siapa yang menerimanya dengan pondongan kedua lengan itu, akan tetapi ia merasa jantungnya berdebar dan mukanya terasa panas ketika mendengar suara yang dikenalnya,

"Hong-moi, engkau tidak apa-apa?"

Kiranya yang menerima tubuhnya itu adalah Kok Siang! Tentu saja ia merasa malu dan cepat meloncat turun.

"Aku tidak apa-apa, dan engkau?"

"Untung bahwa lantai yang menjadi dasar tempat ini lunak sehingga aku tidak sampai terluka. Ketika aku melihat tubuh meluncur dari atas, aku khawatir dan menangkapmu. Maafkan aku, adik Hong."

Betapa sopan pemuda ini, pikir Kim Hong. Ia mengerti bahwa pemuda itu sama sekali tidak mempunyai bayangan pikiran kotor ketika menerima tubuhnya. Dan sekarang, melihat ia tidak apa-apa dan sesungguhnya tidak perlu ditangkap dalam pondongan, pemuda itu minta maaf. Bagaimana mungkin ia bisa marah terhadap pemuda seperti ini?

"Tidak apa dan terima kasih, Bu-twako. Kita berada dimana? Kita harus dapat keluar dari tempat ini. Tak kusangka bahwa kita telah terjebak."

"Sudah kuperiksa dengan teliti tadi, akan tetapi baru sebentar karena engkau kulihat jatuh ke bawah. Agaknya tempat ini buntu, merupakan lubang seperti sumur. Tidak ada jalan keluar dari sini kecuali melalui atas."

"Belum tentu. Mari kita periksa lagi dengan meraba-raba."

Merekapun mulai meraba-raba di sepanjang dinding yang bentuknya bundar seperti sumur itu.

"Apakah yang terjadi? Bukankah kita dimasukkan kamar tahanan kantor kejaksaan? Kenapa kita terjebak seperti ini? Mungkinkah di kantor pemerintah ada tempat jebakan seperti ini?"

Sambil memeriksa dinding, Kok Siang mengomel karena dia sungguh merasa penasaran dan terheran-heran.

"Ah, twako. Dimanapun juga, apapun juga kedudukannya, manusia tetap merupakan mahluk yang palsu dan kejam. Aku sebetulnya sudah tidak setuju menyerahkan diri. Kurasa penangkapan itu memang sudah diatur sebelumnya. Tentu ada hubungannya antara Tiat-ciang Lui Cai Ko dengan perwira itu. Dan kulihat tadi kakek yang menyambut pukulanku ke arah pintu, hemmm... sungguh dia seorang lihai, seorang lawan tangguh."

"Siapa dia?"

"Aku tidak pernah mengenalnya, akan tetapi aku dapat menduganya. Mungkin dia itulah yang menjadi dalang dan biang keladi ini semua, yang menjadi raja penjahatnya."

"Siapa?"

Pemuda itu berhenti meraba-raba karena memang sekeliling dinding ruangan itu tanah padas belaka.

"Kalau tidak salah tentu yang bernama Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng."

"Ahhh...!"

"Kau mengenal dia?"

"Mengenal orangnya belum, akan tetapi siapa yang tidak pernah mendengar namanya? Pat-pi Mo-ko adalah nama seorang datuk kaum sesat yang baru. Boleh dibilang semenjak keempat datuk kaum sesat itu lenyap, dia inilah yang terkenal sebagai datuk. Engkau tentu pernah mendengar nama keempat datuk kaum sesat, bukan? Pertama adalah See-thian-ong datuk dunia barat yang kabarnya telah tewas oleh Pendekar Sadis. Kedua adalah Pak-san-kui Siongkoan Tiang yang kabarnya juga tewas di tangan Pendekar itu. Ketiga adalah Tung-hai-sian datuk timur yang kini melepaskan kedudukannya dan mencuci tangan, hidup sebagai seorang saudagar dan tidak pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw. Ke empat adalah Lam-sin datuk selatan yang lenyap tanpa ada yang tahu kemana perginya. Nah, setelah empat orang datuk kaum sesat itu lenyap, muncullah Pat-pi Mo-ko ini!"

Tentu saja apa yang diceritakan oleh Kok Siang itu diketahui dengan baik oleh Kim Hong karena dia sendirilah yang dahulu menyamar sebagai seorang nenek berjuluk Lam-sin. Dengan sendirinya ia tidak tertarilk oleh cerita itu, akan tetapi ia amat memperhatikan nama Pat-pi Mo-ko.

"Jadi Pat-pi Mo-ko ini mengangkat diri menjadi pengganti para datuk itu?"

"Bukan mengangkat diri menjadi datuk, tetapi semua penjahat di seluruh empat penjuru takut dan menganggap dia sebagai datuk mereka karena ilmunya yang amat hebat dan kekejamannya terhadap siapa saja yang tidak mau tunduk kepadanya. Akan tetapi, dia bekerja secara rahasia, bahkan para anak buahnya sendiri tidak pernah berhubungan langsung dengannya dan siapa saja yang ingin mengetahui rahasianya tentu dibunuhnya. Apalagi membuka rahasianya. Dia orang aneh dan hanya dugaan orang saja dia berada di kota raja sebagai sarangnya, karena dia sering mengirim perintah dari kota raja. Kalau benar dia yang berdiri di belakang urusan harta karun Jenghis Khan ini..."

Kok Siang berhenti seolah-olah merasa terlanjur bicara. Keadaan disitu gelap, mereka hanya saling dapat melihat bayangan masing-masing. Akan tetapi suara ini cukup bagi Kim Hong yang segera mendesak.

"Harta karun Jenghis Khan? Peta dari dusun itu?"

"Ya, kalau benar dia yang memimpin semua itu, celakalah. Agaknya hanya Pendekar Sadis saja yang akan mampu menghadapinya dan kabarnya, dia tidak pernah muncul karena jerih terhadap Pendekar Sadis yang telah membunuh See-thian-ong dan Pak-san-kui. Dia sendiri kabarnya adalah seorang sute dari mendiang See-thian-ong. Ah, kalau saja Pendekar Sadis dapat muncul... aku... sungguh mengagumi kegagahan pendekar itu."

Kim Hong diam saja. Iapun memikirkan Thian Sin. Disini ia terjebak bersama Kok Siang! Apa dayanya? Dan apakah Thian Sin akan dapat menemukannya sebelum terlambat?

Tiba-tiba terdengar suara mendesis dan tempat itu segera penuh dengan asap!
"Celaka, asap beracun!" seru Kok Siang sambil mendekap hidung dan mulutnya.

"Ah, terlambat...!" Kim Hong juga berseru, melanjutkan lamunannya tentang Thian Sin tadi.

"Cepat tiarap dan rapatkan muka ke lantai!"

Mereka bertiarap. Akan tetapi usaha ini hanya dapat menolong sejenak saja dan memperpanjang siksaan mereka karena akhirnya tempat itu penuh dengan asap dan setelah hawa udara diatas tanah itu habis, asappun tersedot oleh mereka. Mereka terbatuk-batuk dan akhirnya keduanya roboh pingsan.

**** 17 ****
Harta Karun Jenghis Khan







Tidak ada komentar: