*

*

Ads

Rabu, 27 Desember 2017

Harta Karun Jenghis Khan Jilid 15

"Bu-kongcu...! Tunggu sebentar...!"

Bu Kok Siang yang sedang berjalan seorang diri di pagi hari itu, tentu saja mendengar teriakan suara wanita ini dan diapun cepat berhenti melangkah dan menoleh. Wajahnya segera berseri dan bibirnya tersenyum ketika dia melihat siapakah wanita yang memanggilnya itu. Kiranya yang memanggilnya itu adalah wanita cantik yang telah dikenalnya di dalam rumah makan, yang bernama Toan Kim Hong!

Setelah wanita itu tiba di depannya, Kok Siang cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil berkata,

"Ah, kukira siapa, tidak tahunya nona Toan. Dan harap jangan menyebutku kongcu (tuan muda), membuat aku menjadi malu saja."

"Selamat pagi, Bu... twako! Biar kusebut twako, biarpun mungkin aku lebih tua. Engkau tahu, wanita selalu ingin dianggap lebih muda." kata Kim Hong tersenyum.

Kok Siang tertawa.
"Dan memang nampaknya engkau jauh lebih muda dari pada aku, nona. Sepagi ini engkau hendak kemanakah? Dan mengapa nona sendirian saja? Mana saudara Ceng Thian Sin yang gagah perkasa itu?"

"Dia tinggal di kamarnya di hotel. Aku memang sengaja keluar hendak mencarimu."

Pemuda itu mengangkat kedua alisnya dan memandang heran.
"Lihiap... eh, nona mencari aku? Ya nasib mujur! Sungguh beruntung sekali. Ada keperluan apakah gerangan...?"

Kim Hong tertawa, manis sekali.
"Kita sudah saling berkenalan, apakah kalau tidak ada urusan penting tidak boleh mencari dan mengunjungi? Tadi aku lewat di hotelmu dan engkau tidak ada, lalu kulihat engkau berjalan sendirian, seperti orang tergesa-gesa, maka kupanggil. Apakah aku mengganggumu? Kalau begitu biarlah aku pulang lagi saja."

"Eh, eh... nanti dulu. Tentu saja aku girang dapat bertemu denganmu, nona. Akupun belum sempat mengunjungi rumah penginapan kalian, dan kebetulan berjumpa disini. Nah, kemana kita pergi sekarang untuk merayakan pertemuan ini?"

"Aku ingin bercakap-cakap denganmu, Bu-twako."

"Kalau begitu, mari kita pergi ke taman umum di tepi sungai, disana indah dan sepi. Tidak enak bercakap-cakap di tepi jalan seperti ini."

Mereka lalu berjalan bersama menuju ke taman yang luas itu. Kota raja terkenal dengan taman-tamannya yang indah, akan tetapi hanya beberapa buah saja yang terbuka untuk umum, diantaranya taman di tepi sungai yang dikunjungi oleh dua orang muda itu

Banyak mata yang bertemu dengan mereka di jalan memandang pasangan ini dengan kagum karena memang pasangan ini cocok sekali. Yang wanita cantik jelita, yang pria juga tampan dan ganteng. Dan keduanya tidak merasa canggung berjalan bersama, seolah-olah memang mereka telah menjadi sababat baik sejak dahulu.

Di sepanjang perjalanan menuju ke taman bunga itu, Kim Hong mendapat kenyataan bahwa pemuda itu sudah hafal akan keadaan kota raja dan menunjukkan tempat-tempat penting kepadanya, seperti seorang penunjuk jalan yang pandai dan ramah.

Pagi itu di taman tepi sungai masih sepi. Hanya ada beberapa orang saja yang mengunjungi dan berjalan-jalan di dalam taman, dan mereka itu tentulah pendatang-pendatang dari luar kota. Ada pula yang pesiar naik perahu di tepi sungai. Kim Hong dan Kok Sang memilih tempat duduk di tepi kolam ikan emas, di atas sebuah bangku panjang dimana mereka duduk berdampingan.

"Nah, sekarang kita berada di tempat sepi, berdua saja. Apakah yang hendak kau katakan kepadaku, nona?"

"Bu-twako, bukan aku yang hendak mengatakan sesuatu, akan tetapi engkaulah yang sebaiknya mengatakan dengan terus terang kepadaku tentang dirimu..." kata Kim Hong sambil menatap wajah tampan itu dengan tajam dan penuh selidik.

Pemuda itu mengerutkan alisnya.
"Maksudmu?"

Kim Hong memutar tubuhnya, sepenuhnya menghadapi pemuda itu dan pandang matanya mencorong, mengejutkan hati pemuda itu.






"Bu-twako, kiranya tidak perlu lagi engkau bersandiwara. Kemunculanmu di restoran itu tentu bukan hal yang kebetulan saja. Engkau membawa suatu rahasia dan engkau tentu telah mengenal kami, setidaknya engkau mengetahui sesuatu tentang kami. Benarkah itu?"

Hening sejenak. Pemuda itu masih mengerutkan alisnya dan kini pandang matanya juga serius, berkilat dan penuh semangat, tidak lagi disembunyikan di balik kejenakaan dan kegembiraannya.

"Bagaimana engkau dapat menduga seperti itu, nona? Adakah sesuatu yang mencurigakan dalam tindak tandukku selama ini?"

Dia memancing karena masih meragukan ucapan Kim Hong tadi yang dianggapnya hanya duga-dugaan belaka.

Kim Hong tersenyum, senyum yang mengandung ejekan.
"Kau kira kami begitu bodoh? Engkau seorang yang memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi engkau bersikap bodoh dan berkelakar. Kemudian, dengan sengaja engkau melemparkan Hai-pa-cu Can Hoa yang kau robohkan di restoran itu kepada kami. Ya, kami tahu bahwa dengan sengaja engkau melemparnya kepada kami, dan tentu saja ini berarti bahwa engkau ingin menguji kami dan berarti pula bahwa engkau telah tahu atau menduga sesuatu tentang kami. Nah, kuminta engkau bicara blak-blakan saja, kecuali kalau engkau hendak menganggap kami sebagai musuh."

Sejenak pemuda itu memandang kagum, lalu menarik napas panjang.
"Aihh, sungguh aku telah berlaku ceroboh sekali, tidak tahu menghadapi gunung Thai-san yang menjulang tinggi, tidak tahu bahwa nona amatlah cerdas dan pandai. Tentu sikapku itu telah memancing tertawa dalam hati kalian. Maafkanlah. Terus terang saja aku mengetahui ketika kalian menghadapi Siang-to Ngo-houw, dan biarpun aku tidak mendengar sendiri percakapan antara kalian dengan mereka, akan tetapi aku dapat menduga mengapa kalian dicari oleh mereka itu. Tentu karena urusan... peta rahasia dan kunci emas, bukan?"

Kim Hong tidak terkejut, melainkan tersenyum. Memang ia dan Thian Sin sudah menduga bahwa pemuda ini tentu ada kaitannya dengan urusan itu.

"Bagus, kiranya engkaupun tersangkut. Tidak tahu engkau berdiri di pihak manakah?" katanya sambil melirik tajam.

Kok Siang menggelengkan kepala.
"Tidak berdiri di pihak manapun, melainkan di pihakku sendiri. Aku hendak menyelidiki siapa yang telah membunuh pamanku."

"Pamanmu?"

"Ya, Louw siucai adalah pamanku."

"Ahhh...!"

"Engkau tentu pernah mendengarnya."

Kim Hong mengangguk.
"Sastrawan yang telah membantu keluarga Ciang menterjemahkan peta kuno itu?"

"Benar, dia itu pamanku. Paman membantu mereka menterjemahkan peta kuno dan beberapa hari kemudian dia terbunuh. Tentu pembunuhnya menghendaki agar dia tidak membocorkan rahasia tentang peta itu."

"Hemm, mungkin saja Su Tong Hak, paman Ciang Kim Su yang kurasa bukan orang baik-baik itu." kata Kim Hong.

"Akupun tadinya menduga demikian. Akan tetapi aku ingin tahu secara pasti agar tidak salah tangan. Aku harus membalas kematian pamanku itu. Dia amat mencintaku dan dia seperti ayahku sendiri. Aku sudah tidak mempunyai ayah bunda dan paman Louw itu kakak dari mendiang ibuku, merupakan pengganti orang tua bagiku. Dan dia dibunuh orang tanpa dosa!" Pemuda itu mengerutkan alis dan mengepal tinju.

Kim Hong merasa kasihan.
"Jangan khawatir, Bu-twako, aku... kami akan membantumu. Kamipun sedang menyelidiki mereka, yaitu mereka yang merampas peta kuno itu. Kami adalah utusan dari petani Ciang Gun atau mendiang petani itu karena diapun dibunuh orang. Kami sedang menyelidiki perkara ini. Menurut keterangan Su Tong Hak, Ciang Kim Su juga lenyap. Kami merasa curiga. Tentu ada permainan kotor dalam urusan ini dan diapun bilang bahwa peta yang mereka bagi dua itu, yang berada di tangannya, juga dicuri orang. Kami sedang menyelidiki, di tangan siapa gerangan peta itu."

"Hemm, dan kunci emas itu berada di tangan kalian, bukan? Aku sudah tahu bahwa rahasia itu meliputi peta dan kunci emas."

"Ya, dan kami hendak menggunakan kunci emas itu untuk menjadi umpan memancing datangnya ikan yang menguasai peta."

"Dan lihat, kurasa ada ikan-ikan yang datang!" tiba-tiba pemuda itu berkata sambil melirik ke arah kiri.

Kim Hong juga melirik ke kiri dan memang benar ada sekelompok orang, sepuluh orang jumlahnya, mendatangi taman itu dan mereka itu nampaknya bukan seperti pelancong biasa.

"Hemm, agaknya benar, mereka tentu anak buah yang dikirim ke sini." kata Kim Hong.

"Jangan khawatir, aku akan membereskan mereka kalau mereka berani mengganggumu!"

Kok Siang berkata sambil bangkit berdiri. Akan tetapi Kim Hong memegang lengannya dan menariknya duduk kembali.

"Jangan, Bu-toako. Kalau mereka bergerak, tentu mereka itu bermaksud untuk menyerangku, menangkap atau merampas kunci. Mereka datang untuk aku, sama sekali tidak ada hubungannya dengan engkau. Kau duduk sajalah dan biar aku menghajar mereka."

Ketika sepuluh orang itu tiba disitu, Kim Hong masih saling berpegang tangan dengan Kok Siang dengan maksud mencegah pemuda ini menghadapi orang-orang yang kelihatan kasar dan kuat-kuat itu.

Seorang diantara mereka, yang rambutnya riap-riapan dan matanya agak juling, yang nampaknya sebagai pemimpin sepuluh orang itu, tertawa. Perutnya yang gendut itu bergoyang-goyang.

"Ha-ha-ha-ha, kiranya si manis ini mempunyai pacar di mana-mana, sering berganti pacar! Kawan-kawan, sekali ini kita tidak boleh gagal. Tangkap si manis ini dan bunuh saja pacar barunya!"

Kim Hong adalah seorang wanita yang pernah menyamar sebagai Lam-sin selama beberapa tahun, hal ini berarti bahwa ia pernah berkecimpung di dunia sesat, kaum penjahat, maka ucapan itu sesungguhnya tidak aneh atau asing baginya. Ia sudah terbiasa mendengar kata-kata kasar. Ucapan kasar tidak akan memarahkannya, akan tetapi tuduhan bahwa ia berganti-ganti pacar, bahwa Kok Siang adalah pacarnya yang baru, membuat kedua pipinya berobah merah.

Hanya biasanya, Kim Hong tidak pernah memperlihatkan perasaan hatinya. Tidak ada seorangpun di dunia ini, kecuali Thian Sin tentunya, yang dapat menduga isi hatinya. Maka, biarpun pada saat itu ia sedang marah, namun wajahnya tetap berseri dan senyumnya bertambah manis.

Sepuluh orang itu telah mengepung bangku dimana Kim Hong dan Kok Siang tadi duduk dan dari gerakan kaki mereka tahulah Kim Hong bahwa biarpun orang-orang ini nampak kasar, namun mereka adalah ahli-ahli silat pilihan! Terutama sekali si mata juling itu ternyata memiliki kepandaian yang tinggi, dengan gerakan yang begitu ringan tanda bahwa gin-kangnya sudah mencapai tingkat yang tinggi. Maka diam-diam iapun terkejut sekali.

Melihat gerakan si mata juling ini, agaknya akan merupakan lawan yang berat dan amat berbahaya bagi Kok Siang, maka iapun mengambil keputusan untuk menandingi sendiri pemimpin gerombolan ini. Maka, sebelum gerombolan itu menyerbu dan membahayakan Kok Siang, ia sudah melangkah maju mendekati pemimpin gerombolan itu sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung orang.

"Eh, mata juling gendut yang bermulut busuk! Kalau engkau dan anjing-anjingmu ini mampu menangkapku, biar aku berjanji akan memberi ciuman sepuluh kali kepadamu!"

Mendengar ucapan ini, si mata juling dan teman-temannya tertawa.
"Ha-ha-ha, nona manis, sungguhkah itu? Memberi ciuman dengan suka rela? Ha-ha-ha!"

"Tentu saja, aku tidak pernah berbohong!" jawab Kim Hong dan mendengar ini, Kok Siang mengerutkan alisnya.

Kenapa wanita cantik dan gagah perkasa ini melayani segala macam orang kasar seperti mereka?

Harta Karun Jenghis Khan







Tidak ada komentar: