*

*

Ads

Rabu, 27 Desember 2017

Harta Karun Jenghis Khan Jilid 14

Gadis yang sedang membaca kitab seorang diri di pondok mungil tengah taman bunga itu sungguh nampak cantik manis di bawah sinar lampu merah. Dan pondok yang terbuka jendelanya itu dipenuhi oleh keharuman bunga-bunga mawar yang sedang mekar dan juga bunga-bunga lain yang memenuhi taman.

Tidak ada seorangpun pelayan menemani Bouw In Bwee. Memang In Bwee ingin bersendirian membaca kitab dan ia mengusir semua pelayan dari pondok di taman bunga keluarganya yang kaya raya. Bulan di luar pondok cemerlang karena memang malam itu menjelang bulan purnama yang akan muncul dua malam lagi. Bulan sudah nampak bundar dan cerah.

Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di dalam pondok itu sudah berdiri seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar dan hermuka hitam. Sekali pria itu mengebutkan lengan bajunya, lampu yang terletak agak jauh, terletak di atas meja, padam! Ini membuktikan betapa hebatnya tenaga sin-kang dari pria itu. Keadaan dalam pondok menjadi gelap remang-remang karena kini hanya mendapatkan penerangan sedikit sinar bulan.

Akan tetapi In Bwee tidak nampak terkejut. Memang ia sudah menanti sejak tadi. Ia hanya bangkit berdiri, menoleh ke arah pria itu.

"Paman..." katanya lirih sebagai sambutan.

"In Bwee, bagaimana hasilnya?"

"Aku sudah berhasil menghubungi mereka, paman. Akan tetapi aku harus bertindak hati-hati sekali. Mereka berdua memiliki ilmu yang amat tinggi, dan mengingat bahwa pemuda itu adalah Pendekar Sadis, hatiku sungguh tidak tenang sekali."

"Hemm, sudah kukatakan bahwa engkau tidak perlu mengandalkan ilmu silatmu. Untuk menghadapinya dalam hal itu, serahkan kepadaku kelak. Yang penting, engkau harus dapat memikatnya, menarik perhatiannya sehingga dia dapat menceritakan dengan terus terang tentang kunci emas itu. Bagaimana hasilnya malam kemarin itu?"

"Sudah kuatur dengan bantuan Hai-pa-cu seperti yang paman kehendaki. Akan tetapi sungguh sial, ada yang campur tangan dan sama sekali di luar rencana kita. Muncul seorang sastrawan muda dari Thian-cin bernama Bu Kok Siang yang memiliki kepandaian tinggi juga. Melihat gerakannya ketika dia mengalahkan Hai-pa-cu, tentu kepandaiannya lebih tinggi daripada tingkatku."

"Hemm... jadi engkau gagal karena ulah sastrawan jail itu?"

"Gagal sama sekali sih tidak. Aku berhasil berkenalan dengan mereka, juga dengan sastrawan itu tentu saja, dan aku sudah menjadi kenalan mereka, malah sudah kuundang dia untuk datang ke sini..."

"Bagus, kau atur saja dan jangan engkau main-main, In Bwee. Kalau berhasil, selain engkau akan mewarisi ilmu-ilmu simpananku, juga engkau akan memperoleh sebagian dari harta pusaka Jenghis Khan itu. Akan tetapi kalau engkau menolak dan mengkhianatiku, awas kau, aku tidak akan mengampunimu lagi. Ayah bundamu akan mendengar semuanya!"

"Paman..." Gadis itu terisak.

"Jangan khawatir, aku tidak akan sekejam itu, engkau adalah keponakanku sendiri. Akan tetapi engkau harus mentaati perintahku, hanya sekali ini. Mengerti?"

"Baik, paman."

"Nah, aku pergi. Lakukan secepat mungkin dan harus berhasil!" Tiba-tiba orang tinggi besar itu berkelebat dan lenyap dari situ seperti setan saja.

In Bwee menyalakan lampu dengan jari-jari tangan gemetar. Wajahnya masih agak pucat dan jantungnya berdebar tegang. Setelah lampu menyala, barulah hatinya tenang, akan tetapi pikirannya mengenang keadaan dirinya dan tidak dapat ditahan lagi gadis itupun menangis sambil meletakkan kepala di atas kedua lengannya di atas meja. Entah berapa lamanya ia terhanyut dalam kedukaan ini ia tidak ingat lagi.

"Nona In Bwee... kenapa kau menangis...?"

In Bwee terkejut sekali dan sekali tubuhnya bergerak, ia sudah meloncat keluar dari kamar pondok itu dan ia berhadapan dengan seorang pemuda yang tadi berdiri di luar jendela, pemuda yang bersikap tenang dan bukan lain adalah Bu Kok Siang!

"Ah, engkau..."

In Bwee berkata dengan hati lega ketika melihat siapa orangnya yang menegurnya tadi. Akan tetapi segera ia teringat akan kedatangan orang pertama tadi, maka sambil berusaha menatap wajah di bawah sinar bulan yang sayu itu, ia bertanya,

"Sudah lamakah engkau tiba disini?"

Kok Siang mengangguk.
"Lama juga, aku tadi berlindung di balik rumpun bunga disana."






"Ahh...! Jadi... jadi kau tadi melihat...?"

Pemuda itu mengangguk.

"Ahh...!" In Bwee menjadi terkejut sekali dan menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya.

Sentuhan tangan pemuda pada pundaknya itu halus sekali, sama sekali tidak mengandung kekurang ajaran dan suara itu tergetar penuh perasaan.

"In Bwee... nona... tenangkanlah hatimu. Aku tidak sengaja melihat semua itu tadi, tapi... percayalah aku tidak akan mengatakannya kepada siapapun juga. Aku bersumpah! Dan kau jangan khawatir, aku... aku siap untuk melindungimu terhadap ancaman apapun juga, dengan taruhan nyawaku!"

Gadis itu menurunkan kedua tangannya dan sampai lama ia memandang wajah pemuda itu, memandang dengan penuh keheranan dan keraguan. Kemudian ia berkata.

"Mari kita bicara di dalam. Disini bisa terlihat orang lain."

Tanpa berkata-kata, In Bwee memasuki pondok itu diikuti oleh Kok Siang. Kemudian, setelah menutupkan daun jendela, In Bwee bersikap agak tenang dan mencoba untuk menahan getaran suaranya yang masih terguncang.

"Bu-kongcu... eh, saudara Kok Siang, kau duduklah."

Mereka duduk berhadapan dan kembali di bawah penerangan lampu kini mereka saling pandang dan sinar mata mereka bertaut sampai lama sekali. Gadis itu lalu menunduk dan menarik napas panjang.

"Jawab pertanyaan-pertanyaanku. Pertama, mengapa malam-malam begini engkau datang kesini, bukan berkunjung sebagai tamu melainkan datang seperti ini, seperti pencuri melalui taman?"

Pertanyaan itu tidak mengandung kemarahan, akan tetapi tatapan mata itu demikian tajam seolah-olah gadis itu hendak menjenguk isi hati pemuda itu. Kok Siang yang biasanya berjenaka itu, sekarang nampak serius.

"Entahlah... aku tidak dapat tidur... siang tadi ingin mengunjungimu akan tetapi selalu teringat akan perbedaan keadaan antara kita, membuat aku ragu-ragu. Tapi malam ini... aku begitu gelisah, ingin sekali bertemu denganmu, atau setidaknya melihatmu, atau paling tidak melihat rumahmu dan... disinilah aku. Ketika lewat di rumahmu, aku semakin ingin melihatmu, maka dengan lancang aku meloncati tembok dan ke taman ini dan sungguh kebetulan sekali aku melihatmu dan tadi..."

"Cukup. Kini pertanyaan ke dua. Apakah kau tadi mengenal orang itu?"

Pemuda itu menggeleng.
"Terlalu gelap untuk dapat melihatnya dan gerakannya demikian cepat, seperti setan menghilang saja. Akan tetapi dia itu pamanmu, bukan?"

Kedua tangan gadis itu mencengkeram lengan pemuda itu, bukan serangan, melainkan cengkeraman karena terkejut.

"Kau... kau tahu...?"

Kok Siang menggeleng kepala.
"Aku tadi lapat-lapat mendengar engkau menyebut dia paman, dan... aku... aku tidak sengaja mendengar ancamannya yang terakhir tadi, yaitu kata-kata ini : Nah, aku pergi, lakukan secepat mungkin dan harus berhasil."

"Ahhh...!"

Entah apa artinya keluhan ini, mungkin juga lega karena pemuda itu tidak mengetahui semuanya, atau juga khawatir. Kok Siang tidak dapat menyelami hati gadis ini. Akan tetapi In Bwee melepaskan cengkeraman tangannya, lalu duduk kembali.

"Sekarang, jawablah sejujurnya, ah, jangan sembunyikan rahasia, jawablah sejujurnya... mengapa engkau bersikap seperti ini kepadaku? Mengapa engkau tadi mengatakan bahwa engkau hendak melindungi aku terhadap ancaman apapun juga, dengan taruhan nyawamu?"

Sekali ini, dengan terang-terangan In Bwee memandang wajah pemuda itu, sinar matanya seperti hendak menembus dan mengetahui isi hati pemuda itu.

Berdebar rasa jantung Kok Siang. Beberapa kali dia menelan ludah sebelum menjawab, lalu diapun berkata, suaranya lirih dan tergetar penuh perasaan,

"Demi Tuhan, aku bersumpah bahwa apa yang hendak kukatakan ini adalah sejujurnya. Nona... eh, Bwee-moi, terus terang saja, selama hidupku belum pernah aku jatuh cinta. Akan tetapi sejak aku bertemu denganmu di restoran itu, melihat sikapmu menghadapi penjahat, aku sudah jatuh hati kepadamu dan aku sudah mengambil keputusan bahwa engkaulah satu-satunya wanita yang kuingin agar menjadi jodohku. Akan tetapi... mendengar bahwa engkau adalah puteri seorang hartawan besar, timbul keraguanku karena aku tidak ingin dinamakan pengejar harta dan hendak mengawini hartamu. Aku... aku cinta padamu, Bwee-moi. Nah, terus terang saja kukatakan ini, dari pada kusimpan-simpan menjadi racun hatiku. Dan melihat engkau menangis begitu sedih tadi... aku merasa bahwa akulah orangnya yang harus melindungimu dengan taruhan nyawaku."

"Ah, tidak... tidak...!" Dan tiba-tiba In Bwee menutupi mukanya dan menangis lagi!

"Bwee-moi, jangan salah sangka. Aku sungguh tidak menginginkan hartamu. Aku sendiri bukan orang yang terlalu miskin, walaupun tidak sekaya ayahmu. Akan tetapi aku mempunyai cinta dan biarpun baru satu kali kita saling berjumpa, akan tetapi aku sudah yakin bahwa aku cinta padamu dan... aku bersedia menjadi jodohmu walaupun engkau tidak membawa harta secuwilpun."

Akan tetapi ucapan itu bahkan membuat In Bwee menangis semakin sedih.

"Bwee-moi, maafkan aku... ampunkanlah kalau aku menyinggung perasaanmu..."

In Bwee menggeleng kepala.
"Biarkan aku menangis... biarkan aku menangis..." dan iapun mengguguk.

Kok Siang diam saja hanya memandang dengan hati terharu dan ia tahu bahwa gadis itu bukan tersinggung melainkan berduka dan agaknya baru sekarang memperoleh kesempatan untuk menumpahkan semua kedukaan hatinya melalui air matanya.

Setelah tangisnya mereda, akhirnya gadis itu mengangkat muka dan memandang kepada pemuda itu dengan wajah pucat dan mata merah. Sampai lama ia memandang, kemudian berkata lirih,

"Aku percaya... sudah kurasakan kemarin malam akan tetapi, aku... aku sungguh tidak berharga untuk menjadi isterimu atau isteri siapapun juga." Kembali ia menangis.

Kok Siang terkejut dan cepat memegang tangan yang tergetar itu.
"Ah, moi-moi... kenapa engkau bicara seperti itu? Engkau seribu kali lebih berharga dari pada aku!"

"Engkau tidak mengerti... ah, baiklah, dengarkan akan kuceritakan padamu. Duduklah yang tenang, dan dengarkan ceritaku. Tiga tahun yang lalu terjadinya malapetaka itu...! Kau tahu, sejak kecil aku berlatih silat, dibimbing oleh pamanku yang amat tinggi ilmu silatnya. Aku berlatih dengan beberapa orang murid pamanku. Setelah aku dewasa, tiga tahun yang lalu, aku berusia delapan belas tahun... dan keadaan pamanku itu, biarpun dia lihai... ah, dia bukan orang baik-baik... dia bergaul dengan orang-orang jahat, bahkan menjadi pemimpin mereka... demikian pula murid-muridnya... ah, aku terpikat oleh seorang suhengku... sampai... sampai pada suatu hari, dalam kemabokanku karena kami minum arak, agaknya disengaja oleh suhengku itu, aku... aku menyerahkan diriku padanya..."

Gadis itu menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Kemudian ia mengepal tinjunya dan mengangkat muka.

"Nah, sudah kau dengar baik-baik? Apakah engkau masih berani mengaku cinta padaku?"

Pengakuan itu bagaikan halilintar menyambar kepala pemuda itu. Dia menjadi nanar dan mukanya pucat, matanya menjadi sayu dan merenung kosong. Akan tetapi, dia segera menggoyang kepalanya dan juga mengepal tinju.

"Bwee-moi, aku cinta padamu sekarang! Yang kucinta adalah engkau sekarang ini, bukan engkau dahulu-dahulu dan bukan pula keperawananmu! Nah, sudah dengarkah engkau?"

Ucapan yang keras itu mengejutkan In Bwee, juga mengherankannya.
"Tapi... tapi..."

"Lanjutkan ceritamu!"

"Aku merasa menyesal sekali dengan peristiwa itu dan aku... aku lalu membunuh suhengku itu! Aku tahu bahwa dia sengaja memikat dan melolohku dengan arak keras, dan aku tahu bahwa aku sama sekali tidak cinta padanya dan bahwa diapun hanya mau mempermainkan aku. Paman, yaitu suhu kami, tahu akan hal itu. Dia membantuku, merahasiakan hal itu. Kalau dia memberitahu kepada ayah, tentu ayah akan marah sekali dan mungkin aku akan diusir, tidak akan menjadi ahli warisnya karena ayahku tidak suka anak perempuan. Nah, paman membantuku, menyimpan rahasia itu akan tetapi sebaliknya aku harus membantunya."

"Membantunya? Membantu apa?"

"Macam-macam, pokoknya yang mendatangkan uang. Bahkan sering aku disuruh mencuri barang-barang berharga milik ayah dan ibu untuknya, dan aku disuruh pula melakukan kejahatan bersama murid-murid dan anak buahnya..."

"Ahhh!"

"Aku terpaksa... aku takut kalau sampai ayah ibu tahu bahwa aku sudah bukan gadis lagi... aku bahkan terus menerus menolak kalau mau dikawinkan... ah, betapa aku telah menderita hebat... bukan hanya karena keadaanku, akan tetapi juga karena penekanan paman..."

Gadis itu menangis lagi dan kini tanpa ragu-ragu lagi pemuda itu maju dan memegang tangannya.

"Bwee-moi, pandanglah aku. Nah, percayakah engkau bahwa aku cinta padamu? Mencinta dengan murni dan tulus, bukan hanya mencinta keperawananmu atau harta bendamu?"

Mereka saling pandang dan gadis itu mengangguk.
"Kalau engkau percaya dan engkau dapat membalas atau menerima cintaku, dengarkan baik-baik. Engkau telah bertindak keliru. Semestinya, engkau berterus terang kepada ayah bundamu dan menghadapi segala akibatnya. Dengan membiarkan dirimu diperalat oleh orang lain, berarti engkau semakin dalam terperosok. Sekarang, kau ceritakanlah kesemuanya kepadaku..."

"Tidak... aku tidak berani... engkau tidak tahu betapa lihainya pamanku." Gadis itu berkata dengan muka pucat dan mata liar memandang ke kanan kiri. "Engkau pergilah, Siang-ko, pergilah dulu... biarkan aku berpikir dengan matang... kedatanganmu terlalu tiba-tiba. Besok... besok atau lusa kita bertemu lagi, disini... malam-malam begini... sekarang kau pergilah..."

Kok Siang menghela napas, tidak berani memaksa.
"Baiklah, akan tetapi ingatlah selalu bahwa di dunia ini ada Bu Kok Siang yang akan melindungimu dengan taruhan nyawa, yang akan tetap mencintamu dan tidak memperdulikan riwayatmu yang sudah lalu. Nah, selamat tinggal, sampai jumpa besok atau lusa malam."

"Baik, Siang-ko... kalau engkan melihat lampu merah di pondok ini, jendelanya terbuka, berarti aku menantimu disini..."

Pemuda itu mengangguk, menggenggam kedua tangan itu, kemudian meloncat keluar dan lenyap dalam kegelapan malam. In Bwee memandang ke arah lenyapnya pemuda itu dengan mata sayu, kemudian termenung-menung dan akhirnya iapun menangis lagi sendirian, menahan isaknya agar tidak menimbulkan suara. Peristiwa yang baru saja terjadi itu terlalu hebat baginya. Dan ia sama sekali tidak tahu bahwa ada bayangan yang mendekatinya, kemudian terdengar suara orang di balik jendela.

"Hemm, engkau diam-diam telah mempunyai pacar, ya? Baik, selesaikan tugasmu sampai berhasil dan engkau akan menikah dengan pacarmu itu, aku yang akan membujuk orang tuamu agar setuju. Akan tetapi kalau engkau mengkhianatiku, pacarmu itu akan kubunuh dan rahasiamu akan kuumumkan tidak hanya kepada ayah bundamu, akan tetapi kepada semua orang!"

"Paman...!"

In Bwee berseru kaget sekali akan tetapi bayangan itu telah berkelebat lenyap dan In Bwee hanya dapat merenung dengan muka pucat. Kemunculan guru atau pamannya yang lihai itu seketika membuyarkan harapan dan khayalnya yang timbul bersama munculnya pemuda sastrawan itu. Sedikit harapan itu bagaikan awan tipis tersapu badai.

**** 14 ****
Harta Karun Jenghis Khan







Tidak ada komentar: