*

*

Ads

Rabu, 20 Desember 2017

Harta Karun Jenghis Khan Jilid 04

"Kau tahu, aku bukan gila harta. Akan tetapi aku kasihan kepada petani itu yang telah menjadi korban kejahatan dan ingin tahu apakah anaknya itu masih hidup. Selain itu, biarpun kita tidak gila harta, kalau benar ada harta karun sampai terjatuh ke tangan penjahat, kan sayang?"

Thian Si mengangguk.
"Bagaimanapun juga, kakek petani itu telah percaya kepada kita dan pesan terakhir seorang yang mati sungguh tak baik untuk diabaikan begitu saja."

"Jadi kita ke kota raja?"

"Bagaimana kau pikir sebaiknya?"

Thian Sin balas bertanya sambil memandang dengan sikap bertanya dan menguji. Kim Hong memang tidak perlu banyak bicara dengan kekasihnya ini. Dari pandang mata saja mereka sudah dapat saling mengutarakan isi hati masing-masing. Dara cantik itu tersenyum manis, bukan senyuman khas minta cium.

"Mari kita tulis pendapat masing-masing," katanya sambil membalikkan tubuhnya dan berjongkok, membuat corat-coret di atas tanah.

Thian Sin tersenyum dan juga membalikkan tubuhnya, seperti juga yang dilakukan kekasihnya itu dia mencorat-coret di atas tanah. Hampir berbareng mereka selesai dan tanpa bicara, keduanya membaca tulisan masing-masing. Mereka lalu tertawa dan saling rangkul. Tulisan mereka, walaupun dengan kalimat yang berbeda, isinya sama! Mereka berdua berpendapat bahwa mereka akan mempergunakan kunci itu untuk memancing datangnya para penjahat sebagai pintu atau jembatan pertama ke arah perkara kakek petani itu!

Mereka masih tertawa-tawa geli dan juga girang ketika mereka kembali ke rumah penginapan mereka di kota An-keng, berjalan bergandeng tangan dan tidak tergesa-gesa karena mereka sengaja hendak meninggalkan jejak atau memberi kesempatan kepada para penjahat untuk membayangi mereka dan mengetahui dimana mereka tinggal.

Akan tetapi, begitu tiba di dalam kamar di rumah penginapan, diam-diam Thian Sin mempergunakan kepandaiannya untuk lolos dari dalam kamar, membawa kunci emas itu dan pergilah dia ke tukang pembuat perhiasan emas dan minta kepada tukang itu untuk membuatkan sebuah kunci emas untuknya.

Tentu saja hanya bentuknya yang mirip, akan tetapi dengan mata kunci yang jauh berbeda. Setelah selesai, dibawanya kunci emas palsu itu kembali ke hotel dan dia memberikan kunci emas yang aseli kepada Kim Hong, sedangkan yang palsu dia simpan dalam saku bajunya. Setelah membuat persiapan ini merekapun hanya tinggal menanti.

Dan mereka tidak usah menanti terlalu lama. Malam itu juga, selagi keduanya duduk di serambi samping rumah penginapan, menghadapi taman bunga yang diatur cukup nyeni bercakap-cakap menikmati malam cerah penuh bintang dan merasakan nyamannya angin malam bersilir sepi, tiba-tiba nampak sinar berkelebat karena adanya benda meluncur tertimpa sinar lampu.

Akan tetapi, dua orang muda perkasa itu dapat mengikuti luncuran benda ini dengan pandang mata mereka dan maklum bahwa benda itu masih jauh dari tubuh mereka.

"Ceppp!"

Sebatang pisau runcing menancap di daun jendela di belakang mereka, hanya lewat beberapa belas sentimeter di atas kepala mereka. Kalau bukan ahli yang telah memiliki kematangan dalam ilmu silat sehingga ilmu itu seolah-olah sudah mendarah daging di tubuh mereka, tentu keduanya tadi sudah kaget dan mengelak.

Kim Hong hendak meloncat ke arah datangnya pisau, akan tetapi sentuhan halus tangan Thian Sin menahannya dan iapun melirik ke arah jendela, melihat bahwa pisau itu membawa sesampul surat yang kini tertancap di daun jendela. Mengertilah ia akan maksud kekasihnya. Pihak lawan telah mulai mengadakan hubungan dan karena lawan mengirim surat, maka tidak baik kalau mempergunakan kekerasan. Pula, yang melemparkan pisau secara ahli itupun tentu hanya merupakan anak buah belaka dan tidak ada artinya kalau hanya berurusan dengan anak buah.

Isi surat itu singkat saja, ditulis oleh orang yang agaknya lebih biasa memegang golok dan pedang dari pada pena. Namun cukup jelas bagi Thian Sin dan Kim Hong yang membaca bersama.

"Kalian mengetahui rahasia Ciang Gun, kami mengetahui rahasia Ciang Kim Su. Kita dapat saling menukar pengetahuan itu besok pagi di hutan cemara sebelah utara telaga."






Surat itu tidak ditandatangani akan tetapi isinya sudah jelas. Pihak penjahat, agaknya teman-teman dari dua orang penjahat yang menyerang mendiang Ciang Gun, menawarkan semacam kerjasama atau saling menukar rahasia. Tentu maksud mereka untuk mengetahui sebagian dari rahasia yang ditemukan keluarga petani Ciang.

"Hemm, umpan mulai didekati ikan," kata Thian Sin sambil merobek-robek surat itu.

"Baik kalau yang mendekati itu ikan kakap, bagaimana kalau hanya teri?" kata Kim Hong.

"Kakap atau teri, setidaknya lebih mendekatkan kita kepada rahasia Ciang Kim Su. Melalui mereka kita dapat mengetahui tentang putera petani itu dan kemana harus mencarinya, atau apa yang telah terjadi dengan dirinya. Nah, kita boleh bersabar sampai besok pagi."

Pada keesokan harinya, setelah semalam tidak terjadi sesuatu yang mengganggu tidur mereka, pergilah Thian Sin dan Kim Hong menuju ke luar kota An-keng, ke hutan cemara yang berada di sebelah utara telaga.

Sunyi sekali tempat di hutan itu, bukan hanya karena hari masih terlalu pagi, melainkan karena memang tempat ini jarang didatangi pelancong. Tempat ini agak liar dan pemandangannya juga tidak indah, diantara pohon-pohon cemara terdapat banyak semak-semak belukar yang berduri dan jalannyapun tidak rata. Karena sunyinya, jarang ada yang tertarik untuk mendatangi tempat ini, apa lagi tempat-tempat yang sunyi biasanya merupakan daerah rawan.

Dengan sikap tenang, seperti sepasang suami isteri muda pelancong saja, Thian Sin dan Kim Hong memasuki hutan ini. Biarpun hutan, akan tetapi karena pohon-pohonnya adalah pohon cemara, maka tidaklah begitu rimbun dan gelap. Cahaya matahari pagi mulai menerobos diantara celah-celah batang dan daun pohon, menciptakan berkas-berkas cahaya yang putih kekuningan dan amat indahnya.

Burung-burang pagi berkicau diantara pohon-pohon cemara, menambah indahnya suasana dan kegembiraan yang mendalam terasa sekali dalam hati muda mudi itu. Mereka adalah dua orang pendekar yang sudah terlalu sering menghadapi bahaya-hahaya besar, maka urusan yang mereka hadapi sekarang ini merupakan persoalan kecil saja yang sama sekali tidak mengganggu ketenangan batin mereka, bahkan ketika mereka berdua menikmati suasana hening di pagi hari itu, urusan kunci emas sudah mereka lupakan!

Akan tetapi, panca indera mereka yang terlatih dan amat tajam segera membuyarkan keheningan itu. Mereka maklum bahwa terdapat banyak sekali orang, ada dua puluh orang lebih yang diam-diam berada di sekitar tempat itu dan diam-diam telah mengurung mereka dari jarak jauh.

Akan tetapi keduanya hanya saling pandang saja sambil tersenyum-senyum, seperti dua orang dewasa yang melihat tingkah anak-anak kecil yang nakal. Kemudian, muncullah dua orang laki-laki dari balik semak-semak. Seorang diantara mereka adalah seorang kakek yang pendek, gendut berkepala botak bermata lebar. Di punggungnya tergantung sebatang ruyung yang besar dan berat dan kakek yang usianya sudah lima puluh lebih ini nampak kuat sekali.

Orang ke dua adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, tubuhnya kurus kering dan mukanya seperti tikus, membayangkan kelicikan dan kecerdikan. Melihat dua orang ini menghadang di depan dan bersikap seolah-olah mereka itu hanya berdua saja, Thian Sin dan Kim Hong kembali saling pandang dan mengulum senyum. Mereka segera maju menghampiri dan Thian Sin lalu bertanya dengan suara ramah.

"Maaf, kami mencari orang yang mengenal Ciang Kim Su. Dapatkah ji-wi menunjukkan?"

Si pendek gendut tertawa bergelak, suara ketawa yang kasar dan biarpun dia sudah mendengar bahwa sepasang orang muda ini sudah mengalahkan dua orang pembantunya yang paling lihai, yaitu si codet dan temannya, akan tetapi melihat keadaan pemuda dan gadis itu, si gendut ini memandang rendah. Betapapun juga, karena dia membutuhkan kunci emas yang diduganya tentu berada pada muda mudi ini, dia memaksa diri bersikap ramah. Setelah tertawa, dia berkata,

"Kamilah orangnya yang mengenal Ciang Kim Su. Kalian berdua mengenal Ciang Gun. Nah, mari kita saling menukar pengetahuan kita."

Thian Sin mengangguk-angguk, nampak gembira seperti sikap seorang pemuda yang masih hijau dan bodoh, mudah untuk ditipu orang.

"Baik sekali. Nah, harap engkau suka memberi tahu kepada kami tentang Ciang Kim Su, dan kami akan memberi tahu tentang rahasia Ciang Gun."

"Tentang kunci emas?" tanya si gendut sambil memandang tajam.

Dia masih meragukan dan tidak mau lancang turun tangan sebelum dia tahu pasti apakah muda mudi ini telah menguasai kunci emas. Kalau belum, dia tidak akan turun tangan, karena kini setelah kakek Ciang Gun meninggal dunia, kiranya orang-orang yang tahu akan kunci emas itu hanyalah muda-mudi ini.

"Benar, tentang kunci emas. Nah, ceritakan dulu tentang pemuda putera petani itu."

"Dan engkau akan menunjukkan kepada kami dimana adanya kunci emas?"

"Benar sekali." jawab Thian Sin.

Tentu saja kakek gendut yang merupakan kepala gerombolan penjahat itu menjadi girang sekali. Kegirangan ini dicobanya untuk ditutupi, akan tetapi masih nampak jelas oleh Thian Sin dan Kim Hong.

"Baik, dengarlah ceritaku. Pemuda petani tolol Ciang Kim Su itu telah tiba di kota raja setahun yang lalu. Dia berhasil menemui pamannya, yaitu Su Tong Hak yang menjadi pedagang rempah-rempah di kota raja. Mereka berdua membagi peta rahasia harta karun yang dibawa pemuda dari dusun itu menjadi dua dan masing-masing menyimpan potongan peta. Akan tetapi, tiba-tiba saja pemuda itu menghilang dan karena mereka berdua itu ceroboh, rahasia mereka ketahuan oleh Mo-ko." Si gendut itu berhenti dan menarik napas panjang.

"Mo-ko? Siapakah itu?"

"Ah, engkau tidak mengenal Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng yang menjadi raja dunia hitam di kota raja?" si gendut itu bertanya dengan heran.

Hampir semua orang kang-ouw mengenal Mo-ko, kenapa muda mudi ini tidak mengenalnya?

"Kami tidak mengenalnya, akan tetapi... lanjutkanlah ceritamu dan bagaimana engkau sendiri sampai mengetahui rahasia itu?" kata Thian Sin.

Si gendut pendek itu tertawa,
"Pat-pi Mo-ko boleh jadi lihai dan menjadi raja dunia hitam di kota raja, akan tetapi aku Liong-tut-pian Ban Lok, tidak ada keduanya di kota raja dalam hal membongkar rahasia orang! Sebelum diketahui oleh Mo-ko, aku telah mengetahui lebih dahulu rahasia besar yang dibawa dari dusun oleh pemuda she Ciang itu, bahkan aku tahu bahwa selain peta rahasia itu, terdapat pula kunci emasnya yang dipegang oleh ayah pemuda itu. Tanpa adanya kunci emas ini, peta itupun tidak akan ada gunanya."

"Jadi peta itu dibagi dua, masing-masing bagiannya disimpan oleh Su Tong Hak dan Ciang Kim Su yang lenyap secara tiba-tiba?" tanya pula Thian Sin.

Si gendut mengangguk.
"Benar dan apa yang kuceritakan ini adalah yang sebenarnya. Nah, aku telah menceritakan tentang peta dan Ciang Kim Su, sekarang giliranmu untuk menukarnya dengan penjelasanmu tentang kunci emas..."

Thian Sin menepuk kantung di bajunya.
"Kunci emas itu telah berada disini, oleh kakek Ciang Gun diberikan kepadaku sebelum dia tewas karena luka-luka di tubuhnya yang dilakukan oleh anak buahmu."

Mendengar ini, sinar aneh terpancar dari sepasang mata kakek gendut itu ketika dia memandang ke arah baju Thian Sin. Akan tetapi, si gendut yang mengaku bernama Ban Lok dan berjuluk Liong-kut-pian (Ruyung Tulang Naga) itu agaknya menahan keinginan hatinya untuk dapat segera merampas kunci yang diinginkannya itu.

"Kalau aku tidak melihat sendiri, bagaimana aku dapat percaya omonganmu? Siapa tahu engkau membohong atau kunci itu hanya kunci palsu belaka?"

"Kalau orang tidak percaya kepada kita, perlu apa kita melayaninya?" Tiba-tiba Kim Hong berkata dengan sikap mendongkol. "Mari kita pergi saja mencari kerjasama dengan orang lain yang akan lebih dapat menghargai dan percaya kepada kita!"

Melihat Thian Sin dan Kim Hong hendak pergi, Ban Lok cepat berkata,
"Eiit, nanti dulu. Aku sudah memberi keterangan tentang rahasia pemuda she Ciang itu, dan kalian belum memberi penukarnya. Bukan aku tidak percaya, hanya aku harus berhati-hati karena aku belum mengenal kalian. Nah, biarkan aku melihat kunci itu."

Harta Karun Jenghis Khan







Tidak ada komentar: