*

*

Ads

Rabu, 20 Desember 2017

Harta Karun Jenghis Khan Jilid 02

"Crakkk...!"

Tubuh kakek itu terguling, pundaknya terluka parah oleh bacokan golok dan sebuah tendangan mengenai lambungnya, membuat dia terguling-guling. Kembali golok itu menyambar ke arah leher kakek petani.

"Desss... aughhh...!"

Si gendut berteriak mengaduh ketika pergelangan tangannya bertemu dengan sepatu yang menendangnya dari samping. Demikian kerasnya tendangan pemuda tampan itu, sehingga bukan hanya golok yang terlempar, akan tetapi juga pergelangan tangan itu menjadi patah tulangnya.

Si tinggi kurus menjadi marah. Goloknya menyambar, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara "ngekkk!" dan diapun roboh terguling karena tengkuknya disambar tangan halus gadis teman pemuda itu.

Pasangan muda mudi itu ternyata telah tiba disitu, agak terlambat sehingga kakek petani telah menerima bacokan dan tendangan, akan tetapi masih belum terlambat untuk mencegah terjadinya pembunuhan. Mereka menggerakkan kaki menendang dan tubuh dua orang penjahat itu terlempar ke arah danau.

"Byurrrr...!"

Dua orang itu gelagapan dan berdaya upaya sekuatnya agar jangan sampai tenggelam. Mereka telah terluka, akan tetapi karena terancam bahaya mati tenggelam, mereka seperti memperoleh tenaga baru dan berenang ke darat, menjauhi pemuda dan gadis yang amat lihai itu.

Sepasang muda mudi yang lihai ini tidak lagi memperdulikan mereka, melainkan cepat menolong petani tua yang menggeletak dengan napas empas-empis.

"Bagaimana keadaanmu, lopek?" tanya si pemuda sambil memeriksa luka-luka yang diderita oleh kakek itu.

"Lekas... lekas bawa aku pergi... tolonglah... auhhh... jumlah para penjahat itu banyak sekali... lekas sembunyikan aku... ahhhh!"

Dan kakek itu tak sadarkan diri. Pemuda dan gadis itu saling pandang dan mereka melihat dua orang penjahat tadi telah berhasil mendarat dan melarikan diri.

"Bagaimana?" tanya si gadis tenang. "Kita menanti disini dan menghajar mereka semua?"

Pemuda itu menggeleng.
"Lebih baik kita sembunyikan dia dan merawatnya. Kurasa ada tersembunyi rahasia yang menarik di balik peristiwa ini. Aneh kalau penjahat-penjahat itu mengejar-ngejar dan mendesak seorang kakek petani miskin seperti ini. Dan tadi agaknya mereka menghendaki suatu benda..."

"Baik," jawab gadis itu.






Pemuda itu memondong tubuh si kakek petani dan sebentar saja dia bersama temannya telah berlari dengan cepat meninggalkan tempat itu. Cara mereka berjalan cepat tentu akan mengejutkan hati seorang ahli silat kelas tinggi sekalipun karena mereka telah mempergunakan gin-kang atau ilmu meringankan tubuh yang amat luar biasa!

Siapakah gerangan pemuda dan gadis yang luar biasa ini? Orang yang mengenal mereka tentu tidak akan heran menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian mereka karena pemuda itu bukan lain adalah tokoh dunia persilatan yang pernah menggegerkan dunia persilatan dengan julukannya yang menyeramkan, yaitu Pendekar Sadis! Dan temannya, gadis cantik jelita itupun pernah menjadi datuk kaum sesat yang berjuluk Lam-sin atau Malaikat Selatan!

Pendekar Sadis itu bernama Ceng Thian Sin. Dalam usianya yang baru dua puluh tiga tahun, pemuda ini telah berhasil mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dan yang pada waktu itu jarang dapat dicari bandingannya. Dia bukan keturunan sembarangan orang, karena mendiang orang tuanya adalah Pangeran Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai, seorang pangeran yang pernah berambisi untuk menjadi Jagoan Nomor Satu di dunia, sedang mendiang ibunya adalah Lie Ciauw Si, cucu dari ketua Cin-ling-pai!

Pendekar Sadis ini bukan hanya mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, bahkan telah menerima gemblengan banyak orang sakti, dan terutama sekali dia telah mewarisi peninggalan ilmu yang mujijat dari mendiang ayah kandungnya.

Adapun temannya itu, yang pernah menyamar sebagai seorang nenek dengan julukan Lam-sin sebagai datuk selatan, bernama Toan Kim Hong, juga bukan orang sembarangan. Seperti juga Ceng Thian Sin, nona cantik ini adalah keturunan bangsawan karena ia adalah puteri seorang pangeran bernama Toan Su Ong yang sakti, ibu kandungnya adalah seorang wanita sakti pula bernama Ouwyang Ci yang mewarisi ilmu rahasia dari Perdana Menteri The Hoo yang terkenal itu. Seperti juga Thian Sin, orang tua Kim Hong telah tiada dan ia hidup seorang diri, mewarisi ilmu-ilmu yang hebat.

Kedua orang muda yang sama-sama keturunan bangsawan tinggi ini, dalam petualangan mereka, berjumpa dan saling tertarik, saling mencinta. Sudah tiga tahun mereka hidup bersama, hidup sebagai kekasih, sebagai suami isteri walaupun mereka berdua tidak pernah menikah dengan sah. Hal ini sudah mereka kehendaki berdua, dan walaupun mereka tidak disahkan dengan upacara pernikahan, namun mereka saling mencinta, melebihi suami isteri yang menikah dengan sah.

Thian Sin dan Kim Hong hidup berdua di sebuah pulau kosong yang bernama Pulau Teratai Merah, jauh dari daratan Tiongkok. Mereka hidup di pulau kosong itu dengan penuh kebahagiaan, tetangga mereka hanya penghuni pulau-pulau lainnya yang berdekatan dan kadang-kadang mereka naik perahu mendarat.

Sudah tiga tahun lamanya mereka bertualang berdua, penuh kasih sayang, penuh kebahagiaan dan menghadapi apapun, mereka bersatu padu, saling mencinta, saling setia, walaupun kekerasan hati masing-masing membuat mereka kadang-kadang bercekcok! Akan tetapi, setiap percekcokan mereka seolah-olah merupakan pupuk bagi cinta kasih mereka karena setiap kali habis bercekcok, mereka menjadi lebih mesra lagi!

Demikianlah riwayat singkat dari Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong, dua sejoli yang sama cantik sama tampan, juga sama lihai ini. Telah lama Ceng Thian Sin tidak lagi mau menggunakan nama julukan Pendekar Sadis, juga Toan Kim Hong tidak lagi menggunakan nama julukan Lam-sin. Betapapun juga, para tokoh haum sesat masih ngeri mendengar kedua nama julukan ini. Setelah berkenalan sejenak dengan Thian Sin dan Kim Hong, mari kita lanjutkan dengan mengikuti perjalanan mereka yang penuh dengan petualangan itu.

Luka-luka yang diderita oleh petani tua itu amat parah, Thian Sin dan Kim Hong melihat kenyataan ini dan mereka berdua hanya dapat memberi obat untuk mengurangi rasa nyeri saja, akan tetapi mereka maklum bahwa nyawa petani itu tidak mungkin dapat ditolong lagi.

Petani itu agaknya juga merasa bahwa keadaannya amat parah dan bahwa dia harus meninggalkan rahasianya kepada dua orang yang telah menolongnya itu, maka dengan suara tersendat-sendat dan napas terengah-engah dia lalu menceritakan keadaannya.

Petani itu bernama Ciang Gun, hidup di dusun Cin-bun-tang bersama dengan isterinya dan seorang puteranya yang sudah berusia duapuluh lima tahun. Keadaan mereka sedemikian sederhana dan miskinnya sehingga untuk mengawinkan Ciang Kim Su saja, yaitu putera tunggal mereka, tidak ada biaya.

Sebidang tanah yang tidak begitu subur menjadi sumber nafkah mereka, hanya cukup untuk mencegah mereka mati kelaparan saja. Itupun mereka bertiga, Ciang Gun, isterinya dan Ciang Kim Su, harus mengerahkan tenaga bekerja di ladang mereka.

Pada suatu hari, kurang lebih setahun yang lalu, karena membutuhkan air yang mahal karena musim kering terlampau lama, keluarga ini menggali sumur di tengah ladang mereka. Ketika mereka sudah menggali tanah sedalam kurang lebih dua meter, cangkul mereka bertemu dengan sebuah peti hitam kecil. Dengan hati penuh ketegangan mereka mengeluarkan peti itu, membukanya dan di dalam peti itu mereka menemukan sebuah peta dengan catatan huruf-huruf kuno, dan sebuah kunci yang terbuat dari pada emas.

"Kunci ini terbuat dari emas!" kata isteri Ciang Gun. "Cukup untuk dapat ditukar dengan beberapa karung gandum!"

"Dan sebagian untuk membeli bibit!" kata Ciang Gun girang.

Akan tetapi Kim Su, putera mereka yang pernah duduk di bangku sekolah walaupun hanya untuk dua tahun, menggeleng kepala.

"Ayah dan ibu, kurasa kita telah menemukan sesuatu yang amat berharga, yang jauh lebih berharga dari pada kunci emas ini."

Ayah itu memandang wajah puteranya dengan heran.
"Maksudmu, gambaran corat-coret ini?"

Kim Su mengangguk.
"Ini adalah sebuah peta dan kurasa peta ini menunjukkan tempat penyimpanan sesuatu yang amat berharga dan kunci ini untuk membukanya. Bayangkan saja. Baru kuncinya terbuat dari emas, apa lagi barang-barang yang disimpan di dalam tempat terkunci itu!"

"Harta karun...?" Ayahnya bertanya dan ibunya terbelalak.

"Aku belum tahu benar, ayah. Itu hanya dugaanku. Sayang bahwa huruf-huruf ini amat kuno dan aku tidak dapat membacanya. Akan tetapi, bukankah paman Su yang tinggal di kota raja mengenal banyak sasterawan pandai?"

"Kau benar, Kim Su!" kata ibunya yang merasa bangga akan adiknya yang tinggal di kota raja dan yang dianggapnya memiliki pengetahuan banyak dan kenalan-kenalan orang besar. "Dia tentu dapat membantumu membaca huruf-huruf itu."

"Sebaiknya, sekarang juga aku berangkat ke kota raja membawa peta ini, ayah. Dan kuncinya ayah simpan saja baik-baik, jangan sampai hilang dan menunggu sampai aku pulang dari kota raja dan mengetahui rahasia peta ini."

Berangkatlah Kim Su ke kota raja dan ayah ibunya menanti dengan penuh harapan. Akan tetapi, bulan berganti bulan dan sampai setahun lamanya Kim Su tidak pulang, juga tidak pernah ada beritanya ke rumah. Setelah lewat setahun lebih, pada suatu siang muncullah empat orang laki-laki yang sikapnya kasar. Kakek Ciang Gun menerima kedatangan mereka dengan heran dan menanyakan maksud kedatangan mereka.

Seorang diantara mereka yang bercodet di pipi kirinya, dengan suara lantang menerangkan maksud kedatangan mereka.

"Kami disuruh oleh Ciang Kim Su..."

Baru sampai disini, kakek dan isterinya itu girang bukan main.
"Bagaimana kabarnya dengan Kim Su? Dimana dia sekarang dan mengapa sampai sekarang dia tidak pulang dan tidak memberi kabar? Apakah dia telah bertemu dengan pamannya?" Pertanyaan bertubi-tubi diajukan oleh suami isteri itu kepada empat orang pengunjung ini.

"Dia baik-baik saja dan dia menyuruh kami untuk datang mengabarkan kepada lopek berdua bahwa semua urusan berjalan beres. Dia menyuruh kami datang untuk menerima sebuah kunci dari lopek." Sambil berkata demikian, si codet ini memandang tajam kepada petani tua itu.

Ciang Gun mengerutkan alisnya.
"Kunci? Kunci apa?"

Biarpun dia seorang petani dusun, namun dia telah hidup cukup lama untuk dapat mengenal ciri-ciri orang yang tidak dapat dipercaya dan dia tidak percaya kepada empat orang ini. Selain itu, puteranya ketika hendak pergi dahulu pernah berpesan bahwa kunci emas itu tidak boleh diberikan kepada siapapun juga selain kepadanya sendiri. Bahkan membicarakan soal kunci emas itupun dilarang.

"Sebuah kunci emas!" Si codet mendesak.

"Kunci emas...? Aku tidak mengerti." Ciang Gun menjawab.

Tiga orang tamu yang lain mengerutkan alis dan kelihatan marah, akan tetapi si codet memberi isyarat dengan tangannya agar mereka bersabar.

"Kamipun tidak tahu. Puteramu itu, Ciang Kim Su, hanya menyuruh demikian dan katanya engkau akan mengerti sendiri, lopek."

"Tapi... tapi..."

"Jangan ragu-ragu, lopek. Kami berempat adalah sahabat-sahabat baik puteramu dan Kim Su yang mengutus kami. Serahkan saja kunci emas itu kepadaku, lopek."

"Tidak mungkin!" Tiba-tiba isteri petani itu berteriak. "Tidak mungkin Kim Su bersahabat dengan kalian!"

Empat orang itu kini menjadi marah dan mereka mengurung suami isteri itu. Si codet kini menanggalkan kedok matanya dan dengan suara geram dia mendekati petani itu dan menghardik,

"Tidak perlu banyak cerewet lagi. Serahkan kunci emas itu kalau engkau ingin selamat!"

Harta Karun Jenghis Khan







Tidak ada komentar: