*

*

Ads

Kamis, 17 Agustus 2017

Pendekar Sadis Jilid 181

"Ayah dan ibu baik-baik saja, sungguhpun mereka juga amat mengharapkan kedatanganmu, Sin-te. Dan Adik Lian Hong juga baik-baik saja, kini sudah tinggal di Lembah Naga bersama kami. Kau tahu, Sin-te, dimana aku menemukan Hong-moi? Disarang datuk sesat Lam-sin, bahkan sempat menjadi murid datuk itu yang ternyata juga telah menolongnya ketika terjadi keributan itu." Han Tiong tersenyum dan memandang kepada Kim Hong yang hanya tersenyum saja.

Tentu saja Thian Sin sudah tahu akan hal itu dari Kim Hong. Dia hanya mengangguk-angguk dan berkata,

"Syukurlah kalau ia sudah berada di Lembah Naga. Bukankah kalian sudah menikah sekarang, Tiong-ko?"

Han Tiong menggeleng kepala dan memandang kepada adiknya.
"Aku selalu mengulur waktu untuk itu, Sin-te. Aku tidak mau menikah sebelum engkau pulang..."

"Eh, kenapa begitu?" Thian Sin bertanya kaget.

Han Tiong mengerling kepada Kim Hong, lalu berkata,
"Tadinya aku selalu meragu, adikku... mana mungkin aku hidup bersenang-senang sendiri saja sementara engkau masih belum kuketahui keadaanmu? Tapi sekarang, ah, sekarang lain lagi. Tapi sudahlah, ada hal yang lebih penting yang perlu kubicarakan denganmu, Sin-te, juga denganmu, Nona Toan."

"Hal penting apakah, Tiong-ko?" jawab kedua orang itu hampir berbareng dan mereka berdua memandang kepada Han Tiong dengan penuh perhatian.

"Bukan lain tentang pertanggungan jawab, adik-adikku. Tanggung jawab akan perbuatan sendiri merupakan syarat mutlak bagi seorang pendekar. Oleh karena itu, aku minta kepadamu, Sin-te, agar engkau suka mempertanggung jawabkan perbuatanmu di Kun-lun-pai dan menyerahkan diri!"

"Tiong-ko...!" Thian Sin memandang dengan mata terbelalak.

"Tiong-ko, sudah kukatakan bahwa urusan Kun-lun-pai adalah urusanku sendiri!" Kim Hong membantah. "Thian Sin tidak bertanggung jawab, aku yang bertanggung jawab!"

Han Tiong menggeleng kepala dan menghela napas.
"Adik Kim Hong, biarpun aku tahu bahwa ilmu silatmu amat hebat, akan tetapi agaknya namamu tidaklah sedahsyat nama julukan Sin-te sebagai Pendekar Sadis, sehingga Kun-lun-pai menekankan Pendekar Sadis dalam peristiwa di Kun-lun-pai itu sebagai pelaku utamanya. Pula, jelas bahwa Sin-te ikut pula turun tangan maka dia tidak mungkin dapat lepas dari tanggung jawab. Selain itu, setelah kalian berdua menjadi calon jodoh, bukankah berarti tanggung jawab yang seorang juga menjadi tanggung jawab yang lain? Maka, kuminta, marilah pergi ke Kun-lun-pai, biar aku yang antar kalian. Kun-lun-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah yang tentu akan bersikap bijaksana."

Thian Sin menggeleng kepalanya lalu memegang lengan kakaknya.
"Tiong-ko, engkau tidak tahu. Mereka itu memusuhi aku, memusuhi kami. Mereka itu membenciku! Ketika kami berada di Kun-lun-pai, kami sudah menjelaskan bahwa kami tidak memusuhi Kun-lun-pai, bahkan ketika mereka itu mengeroyok dan hendak menangkap kami, kami mengalah dan tidak membunuh seorangpun. Kami melarikan diri. Mana mungkin sekarang kami harus menyerahkan diri begitu saja padahal kami tidak bersalah terhadap mereka?"






Han Tiong membalas pegangan adiknya.
"Adikku, sudah kukatakan bahwa Kun-lun-pai bukanlah perkumpulan jahat, melainkan perkumpulan para pendekar dan dijunjung tinggi oleh para pendekar di seluruh dunia persilatan. Kalian telah menyebabkan kematian Jit Goat Tosu yang dianggap sebagai saudara sendiri oleh para pimpinan Kun-lun-pai, dan kematian itu terjadi di Kun-lun-pai, dan engkau masih mengatakan bahwa Kun-lun-pai tidak ada sangkut-pautnya sama sekali?”

“Biarpun begitu, Kun-lun-pai tidak mau membalas dendam begitu saja terhadapmu, Sin-te, melainkan mau minta pertimbangan dan keadilan dalam pertemuan para pendekar. Mereka hendak menangkap kalian untuk dimintakan pengadilan, bukan untuk membalas dendam dan mencelakai kalian. Tahukah engkau bahwa menurut kabar yang kudapatkan di jalan, pihak Kun-lun-pai bahkan akan minta pertanggungan jawab Cin-ling-pai dan ayah kita di Lembah Naga? Nah, sebagai seorang gagah, marilah kuantar engkau menghadap ke Kun-lun-pai, menyerahkan diri dan menghadapi pengadilan dengan gagah pula. Percayalah, kalau terjadi ketidak adilan nanti, aku yang akan membelamu, kalau perlu dengan taruhan nyawaku!"

Thian Sin menjadi ragu-ragu dan menoleh kepada Kim Hong. Akan tetapi Kim Hong mengerutkan alisnya dan gadis itu kemudian menggeleng kepala.

"Aku tidak akan menyerahkan diri kepada tosu-tosu bau itu!"

Thian Sin juga membayangkan betapa akan malunya untuk menyerahkan diri, dan tentu para tosu yang merasa sakit hati itu akan berdaya sedapat mungkin untuk membalas dendam. Pula, dia tidak mau kalau sampai perbuatannya harus dipertanggung jawabkan oleh semua keluarga Cin-ling-pai, apalagi harus ayah angkatnya ikut-ikut bertanggung jawab.

"Tiong-ko, ah, Tiong-ko, mengapa begitu? Mengapa engkau malah hendak membantu mereka yang hendak menangkap kami?" Dia mengeluh sambil memandang kepada kakaknya dengan sinar mata sedih.

Han Tiong mengerutkan alisnya.
"Adikku, ke manakah kegagahanmu? Lupakan engkau bahwa seorang pendekar adalah pembela kebenaran, bahwa matipun bukan apa-apa, asal mati dalam kebenaran? Aku bukan membantu mereka yang hendak menangkapmu, adikku, melainkan membantumu kembali ke jalan lurus seorang pendekar. Marilah kuantar engkau. Biarlah kalau Adik Kim Hong tidak mau pergi, sudah sepatutnya kalau engkau yang mempertanggung jawabkan pula perbuatan calon isterimu."

Kembali Thian Sin menjadi ragu-ragu. Menurutkan kata kesadarannya, apa yang dikatakan oleh kakaknya itu memang benar. Kalau dia mempertanggung jawabkan semua perbuatannya, apapun akibatnya, maka urusan akan menjadi selesai dan selanjutnya dia tidak akan merasa dikejar-kejar dan dimusuhi orang lagi. Akan tetapi ketika dia melihat wajah Kim Hong yang cemberut, diapun maklum bahwa kalau dia menuruti kata-kata kakaknya, Kim Hong akan menentang dan marah sekali dan bukan tidak mungkin hubungan antara mereka akan putus sampai di situ saja.

"Tiong-ko, makilah aku, pukullah aku, suruh melakukan apa saja, akan tetapi jangan menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai!" akhirnya Thian Sin berkata.

Han Tiong bangkit berdiri dan mukanya menjadi merah, alisnya berdiri dan matanya terbelalak.

"Sin-te! Masih begitu lemahkah engkau? Sudah kupikirkan masak-masak dan satu-satunya jalan bagimu untuk dapat kembali ke jalan lurus dan membersihkan namamu, hanyalah menyerahkan dan membiarkan dirimu diadili!"

Akan tetapi Thian Sin sudah mengambil keputusan bulat. Dia menggeleng kepala dan wajahnya menjadi agak pucat. Sakit sekali hatinya bahwa dia terpaksa harus menentang kehendak kakaknya yang amat disayangnya dan yang telah lama sekali baru saja dijumpainya kembali itu.

"Tidak, Tiong-ko. Aku tidak akan menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai. Maafkan aku, Tiong-ko, akan tetapi sungguh aku tidak bisa menyerahkah diri kepada mereka."

"Sin-te, apakah engkau sudah menjadi seorang penakut? Engkau takut menghadapi hukuman? Takut mati?"

Thian Sin menggelengkan kepalanya,
"Tidak, aku hanya tidak mau diperlakukan tidak adil. Aku tidak merasa bersalah, maka tidak mungkin aku menyerahkan diri seperti orang yang bersalah."

"Akan tetapi, engkau akan diadili!"

"Hemm, pengadilan terhadap Pendekar Sadis yang dibenci sudah dapat dibayangkan lebih dulu akan bagaimana jadinya."

"Sin-te, sekali lagi, demi membersihkan nama Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang terlibat namanya olehmu, mari ikut aku ke Kun-lun-pai."

"Sekali lagi, tidak, Tiong-ko, dan maafkan aku."

"Kalau aku menggunakan kekerasan terhadapmu?"

Thian Sin tersenyum.
"Terserah, engkau tahu aku tidak akan melawanmu, aku tidak akan dapat mengangkat tangan terhadapmu. Akan tetapi engkau harus tahu benar bahwa engkau takkan dapat membawaku dan memaksaku ke Kun-lun-pai selama aku masih bernyawa. Engkau harus membunuh aku lebih dulu sebelum dapat memaksa pergi, Tiong-ko. Ah, Tiong-ko, mengapa kita harus begini?" Dan tiba-tiba Thian Sin menubruk, merangkul dan menangis!

Kim Hong memandang dengan wajah pucat dan bengong. Tak pernah dapat disangkanya bahwa kekasihnya, Pendekar Sadis yang demikian gagah perkasa, berani mati, dan keras hati itu kini seakan-akan mencair semua kekerasannya dan menjadi lembek dan lunak dan lemah sekali! Han Tiong sendiri merangkul adiknya dan menengadah, mukanya pucat sekali.

"Kau pun tahu bahwa tak mungkin aku dapat melakukan kekerasan terhadap dirimu, adikku," katanya dengan suara serak penuh keharuan. "Akan tetapi engkaupun tahu bahwa tak mungkin aku membiarkan saja namamu berlepotan noda dan membawa pula nama Lembah Naga menjadi tercemar. Kalau engkau berkeras tidak mau ikut aku ke Kun-lun-pai, nah, selamat tinggal, adikku. Semoga Thian memberkahimu dan engkau dapat hidup bahagia bersama isterimu. Selamat tinggal, adikku, dan akulah yang akan menebus segalanya, selamat tinggal!"

Setelah berkata demikian, pemuda itu lalu pergi meninggalkan Thian Sin dan Kim Hong yang memandang dengan muka pucat sampai akhirnya bayangan Han Tiong lenyap dari pandang mata mereka.

Thian Sin menjatuhkan dirinya duduk di atas rumput dan menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya. Kesedihan besar mencekam hatinya. Dia merasa berduka sekali bahwa pertemuannya dengan kakaknya yang tersayang, terpaksa harus berakhir seperti itu. Kakaknya yang selama ini merindukannya, mencintanya, bahkan tidak mau menikah sebelum bertemu dengannya! Dia tahu bahwa kakaknya itu menunggunya, bahkan dia tahu pula bahwa kakaknya itu akan mau mengalah untuk mundur dan membiarkan Lian Hong menikah dengan dia! Dia tahu benar akan isi hati dan watak kakaknya, tahu akan kasih sayang kakaknya itu terhadap dirinya yang amat mendalam.

Kim Hong hanya memandang saja, membiarkan kekasihnya terbenam dalam lamunannya sendiri. Iapun dapat mengerti akan kesedihan Thian Sin. Setelah agak lama, barulah Kim Hong mendekati kekasihnya duduk di dekatnya di atas rumput, memegang tangannya tanpa bicara.

Thian Sin yang merasa tangannya dipegang dan digenggam kekasihnya, lalu mengangkat muka dan menurunkan tangannya. Mukanya pucat dan matanya agak kemerahan, pipinya masih basah air mata. Mereka saling pandang sejenak, kemudian Kim Hong mengangguk perlahan dan berkata lirih.

"Engkau benar, Thian Sin. Kakakmu itulah yang terlalu lemah, mau mengalah saja terhadap orang lain. Pihak manapun juga, kalau mau menang sendiri dan terlalu mendesak, harus kita tandingi, bukannya mengalah dan membiarkan diri dihina."

Thian Sin memandang wajah kekasihnya lalu menarik napas panjang.
"Engkau tidak tahu, Kim Hong. Engkau belum mengenal Tiong-ko. Dia sama sekali bukan orang lemah, bukan mengalah begitu saja, dan sama sekali tidak takut. Akan tetapi Tiong-ko selalu bertindak demi kebenaran, dan untuk membela kebenaran, dia tidak segan-segan untuk mengorbankan dirinya sendiri. Dia seorang manusia yang gagah perkasa lahir batin, yang berhati tulus dan cintanya amat tulus. Aku khawatir sekali..."

"Khawatir apa, Thian Sin?"

"Aku tidak dapat menduga apa yang akan dilakukannya di Kun-lun-pai. Aku hanya merasa tidak enak sekali. Apa kata-katanya yang terakhir tadi? Selamat tinggal, akulah yang akan menebus segalanya. Nah, itulah yang membuat hatiku merasa gelisah sekali."

Kim Hong mengerutkan alisnya.
"Lalu, apa yang akan dilakukannya?"

"Kita harus membayanginya, Kim Hong. Aku harus melihat apa yang akan dilakukan Tiong-ko. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan dirinya karena aku, maka selama hidupku aku akan menderita penyesalan batin yang lebih hebat daripada kematian. Mari, kita bayangi dia dan lihat apa yang akan dilakukannya."

Kim Hong lalu mengangguk dan keduanya lalu bangkit dan lari cepat mengejar Han Tiong, menuju ke Kun-lun-san.

**** 181 ****
Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: