*

*

Ads

Selasa, 01 Agustus 2017

Pendekar Sadis Jilid 161

Asalkan kita tidak terkecoh oleh si aku yang licik itu, asalkan yang mengamati bukanlah si aku itu pula, karena kalau yang mengamati itu adalah si aku, maka akan timbullah pula keinginan agar rasa takut itu lenyap! Dan keinginan dari si aku inilah justeru yang memperkuat adanya rasa takut itu sendiri, karena rasa takut rasa kesepian itu bukan lain adalah si aku itu juga!

Dan kalau rasa takut akan kesepian itu sudah tidak ada lagi, maka berada sendirian bukan lagi merupakan kesepian, melainkan keheningan. Dan keheningan bukanlah rasa kesepian. Keheningan merupakan sesuatu yang amat mendalam, yang amat luas, yang mencakup seluruh alam, dimana getaran cinta kasih mencapai puncaknya, dimana sinar cinta kasih bercahaya tanpa halangan sesuatupun.

Di dalam perjalanannya menuju ke Tai-goan, Thian Sin sering kali termenung seorang diri dengan peasaan kosong dan sunyi. Dia sering kali membayangkan semua pengalamannya, semua perbuatannya. Dia telah dijuluki Pendekar Sadis, dan dia tidak merasa menyesal atau malu dengan julukan itu. Biarlah dia dikatakan sadis, akan tetapi dia bersikap kejam hanya terhadap para penjahat!

Dia memang sudah berniat untuk membasmi para penjahat dengan kekerasan, dengan menggunakan ilmu kepandaiannya. Dia akan menghancurkan semua datuk kaum sesat dan memperkenalkan diri sebagai pembasmi para datuk, menjadi jagoan nomor satu di dunia ini, melanjutkan cita-cita mendiang ayah kandungnya yang ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia. Dia menganggap bahwa semua tindakan itu benar, dan menurut pendapatnya, kalau semua pendekar di dunia ini bertindak seperti dia, membasmi para penjahat tanpa ampun lagi, maka dunia akan bersih dari kejahatan!

Sungguh dangkal sekali jalan pikiran pendekar muda ini. Sayang! Akan tetapi, dalam pikiran kitapun amat seringnya muncul pendapat yang sama seperti pendapat Thian Sin ini. Bagi kita, yang dinamakan "adil" adalah kalau yang berbuat jahat itu dihukum berat, dan menurut pendapat kita, kalau semua penjahat dihukum berat, maka tidak akan ada lagi kejahatan di dunia ini! Kita lupa bahwa kejahatan tak terpisahkan dari manusia itu sendiri, dan selama manusia belum dapat hidup waras lahir batin, maka kejahatan akan selalu timbul.

Kalaupun seluruh manusia yang jahat di dunia ini dibasmi sehingga yang bersisa hanya tinggal dua orang saja, namun selama dua orang ini belum waras dalam arti yang seluas-luasnya, maka mungkin saja timbul kejahatan diantara kedua orang ini! Kejahatan adalah bentuk kekerasan yang didasari keinginan menyenangkan diri sendiri.

Diri sendiri ini bisa saja diperluas menjadi teman sendiri, keluarga sendiri, kelompok sendiri, aliran sendiri, bahkan bangsa sendiri. Dan mungkinkah membasmi kejahatan, yang merupakan suatu bentuk kekerasan, dengan jalan kekerasan pula? Sama saja dengan mencoba untuk mengakhiri perang dengan peperangan!

Juga Thian Sin mengenangkan hubungannya dengan semua wanita semenjak yang pertama kali. Pertama-tama dia berdekatan dengan wanita adalah dengan Bwe Cu Ing, gadis dusun dekat Lembah Naga, yang merupakan cinta pertamanya.

Kedukaan pertama karena wanita adalah ketika secara paksa Bhe Cu Ing dipisahkan darinya. Kemudian muncul Loa Hwi Leng, puteri anggauta Jeng-hwa-pang itu yang kemudian dibunuh oleh Jeng-hwa-pang, membuat dia amat membenci Jeng-hwa-pang dan mengobrak-abriknya. Lalu bermunculanlah So Cian Ling yang telah berhubungan sangat akrab dengan dia, lebih daripada wanita-wanita lain sebelumnya.

Dan ada pula Bin Biauw, puteri Tung-hai-sian itu yang manis dan yang pada pertemuan pertama juga menggerakkan hatinya, akan tetapi dia terpaksa mundur karena disitu hadir pula Cia Kong Liang yang terhitung pamannya. Lalu muncul pula Ang Bwe Nio, anak buah Ji Beng Tat yang terpaksa dia buntungi hidungnya karena telah mengkhianatinya itu, kemudian ada lagi Leng Ci, selir dari Raja Agahai, dan terakhir adalah Kim Hong atau Lam-sin.






Dia sering duduk termenung dan bertanya-tanya di dalam hatinya. Apakah artinya semua wanita itu baginya? Itukah cinta? Ataukah semua itu hanya nafsu berahi saja? Atau apa? Dia sendiri tidak tahu. Akan tetapi yang jelas, mereka semua itu mendatangkan duka setiap kali berpisah. Juga Ciu Lian Hong, dara satu-satunya yang menimbulkan keinginan hatinya untuk memperisterinya, mendatangkan rasa duka dan sengsara karena berpisah darinya, karena harapannya untuk memperisteri dara itu gagal. Apakah terhadap Lian Hong itu cinta? Dan bagaimana dengan Kim Hong ini? Cintakah? Atau sekedar nafsu berahi. Kalau cinta, mengapa mendatangkan duka? Dia bingung, tak mampu menjawab!

Tai-goan adalah kota kedua sesudah ibu kota Peking yang terdekat dengan ibu kota itu, menjadi ibu kota Propinsi Shan-si. Kota ini amat ramai karena kota itu terletak di tepi Sungai Fen-ho yang menjadi cabang dari Sungai Hoang-ho. Dengan adanya Sungai Fen-ho ini, maka tentu saja hubungan antara kota Tai-goan dengan kota-kota lain menjadi lancar, bukan hanya melalui darat, melainkan juga melalui air.

Hubungan antara kota Tai-goan dengan kota-kota di dalam Propinsi Ho-nan dan Shan-tung dapat melalui air dan daerah yang dilalui Sungai Fen-ho yang kemudian bersatu dengan induknya, Sungai Hoang-ho, amatlah luasnya. Karena hubungan dengan daerah dan kota-kota lain amat lancar, maka tentu saja perdagangan di Tai-goan menjadi makmur sekali.

Berita tentang terbunuhnya See-thian-ong dan para muridnya oleh Pendekar Sadis, sudah mendahului Thian Sin dan sudah sampai ke Tai-goan, membuat gempar para pendekar dan juga para tokoh dunia hitam di daerah Tai-goan, bahkan sudah sampai pula ke daerah kota raja! Dan tentu saja berita itu telah pula terdengar Pak-san-kui!

Seperti kita ketahui, Pak-san-kui hidup sebagai seorang hartawan yang kaya raya di kota Tai-goan. Dia memiliki banyak perusahan dan toko-toko, terutama sekali penginapan-penginapan, restoran-restoran, rumah-rumah judi dan rumah-rumah pelesiran di seluruh kota Tai-goan, boleh dibilang adalah miliknya, atau kalaupun milik orang lain, tentu berada di bawah kekuasaannya.

Datuk kaum sesat yang menguasai wilayah utara ini mempunyai banyak kaki tangan. Akan tetapi yang menjadi murid-muridnya dan langsung menerima pelajaran ilmu silat dari datuk ini hanyalah Pak-thian Sam-liong dan tentu saja puteranya sendiri, yaitu Siangkoan Wi Hong. Dan untuk kota Tai-goan, yang mengenalnya sebagai Pak-san-kui juga hanya para tokoh kang-ouw dan para pendekar saja, sedangkan rakyat disitu lebih mengenalnya sebagai hartawan Siangkoan Tiang atau Siangkoan-wangwe (hartawan) atau Siangkoan-loya (tuan besar).

Ketika mendengar terbunuhnya See-thian-ong dan murid-muridnya oleh Pendekar Sadis, Pak-san-kui Siangkoan Tiang menjadi terkejut dan merasa gentar. Dia sudah dapat menduga siapa adanya Pendekar Sadis itu. Dia teringat kepada Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw itu. Pemuda itu pernah mengalahkannya setelah menipunya dengan kitab-kitab palsu! Biarpun selama ini, semenjak kekalahannya, dia sudah memperdalam ilmunya bersilat dengan huncwe, namun diam-diam dia merasa gentar juga.

Lawan yang pernah mengalahkannya itu adalah orang muda, dan amat mudahnya bagi seorang pemuda untuk memperoleh kemajuan dalam ilmu kepandaiannya, berbeda dengan orang tua seperti dia yang sudah mulai lemah. Maka diapun lalu memanggil Pak-thian Sam-liong dan puteranya, Siangkoan Wi Hong.

"Hampir dapat dipastikan bahwa Ceng Thian Sin adalah Si Pendekar Sadis, dan kalau benar demikian, sudah tentu dia pada suatu hari akan muncul disini," kata Pak-san-kui.

"Ayah, kalau dia hanya datang seorang diri, takut apa? Dahulupun aku hanya kalah setingkat olehnya dan selama ini aku telah berlatih dengan tekun. Juga ayah telah berlatih memperdalam ilmu. Dengan adanya kita berdua, dibantu oleh para suheng Pak-thian Sam-liong, dan kalau kita mengerahkan lagi sepasukan orang-orang pilihan, tentu kita akan dapat membekuknya! Kita berlima saja kiraku akan cukup untuk membekuknya, betapapun lihainya. Bukankah benar demikian, suheng?"

Pak-thian Sam-liong mengangguk.
"Benar sekali apa yang dikatakan oleh Siangkoan-sute. Dengan suhu sendiri saja, atau melawan sute sendiri sudah setingkat, apalagi kalau kita berlima maju bersama. Kami merasa yakin akan dapat membekuknya atau membunuhnya."

Mendengar ucapan murid-murid dan puteranya, legalah hati Pak-san-kui.
"Betapapun juga, kita harus berhati-hati. Penjagaan harus diperketat dan setiap malam harus diadakan perondaan dan penjagaan, jangan sampai jahanam itu menyelundup. Kalian bertiga harus mengatur sendiri penjagaan itu," katanya kepada Pak-thian Sam-liong yang cepat menyatakan kesanggupan mereka.

"Wi Hong," katanya kepada puteranya. "Engkau pergilah mengunjungi Siong-ciangkun, undang dia kesini untuk membicarakan tentang kemungkinan Pendekar Sadis mengacau Tai-goan."

"Baik, ayah." Siangkoan Wi Hong lalu pergi untuk melaksanakan perintah ayahnya.

Siong-ciangkun atau Komandan Siong adalah komandan yang mengepalai pasukan keamanan di Tai-goan. Seperti juga dengan para pembesar tinggi lain, baik di Tai-goan maupun di kota raja, Pak-san-kui mempunyai hubungan baik sekali, tentu saja dengan bantuan kekayaannya. Diapun mempunyai hubungan erat dengan komandan pasukan keamanan di Tai-goan itu dan untuk menghadapi Pendekar Sadis, datuk utara itu kini mengadakan persekutuan dengan Siong-ciangkun.

Tentu saja dalam pertemuan itu Pak-san-kui sama sekali tidak membayangkan bahwa dia takut menghadapi Ceng Thian Sing, akan tetapi dia mengatakan bahwa pemuda itu adalah musuhnya dan mungkin saja mengacaukan kota Tai-goan yang tenteram itu. Dan dia tidak lupa untuk memberi bekal yang cukup banyak untuk biaya pasukan yang akan mengadakan penjagaan ketat.

Seratus orang anggauta pasukan pilihan dibentuk menjadi pasukan yang kuat oleh komandan ini dan mereka itu disebar untuk melakukan penjagaan di kota, memata-matai semua orang yang datang, terutama sekali menghubungi Pak-san-kui setiap kali mereka menaruh curiga kepada seorang pendatang baru yang memasuki kota.

Hanya repotnya bagi para petugas itu adalah bahwa mereka belum pernah melihat bagaimana macamnya orang yang berjuluk Pendekar Sadis, dan tentu saja nama julukan itu membuat mereka membayangkan wajah seorang laki-laki yang bengis.

Dan Pak-san-kui sendiripun belum berani menentukan bahwa Pendekar Sadis adalah Ceng Thian Sin, karena hal itupun baru merupakan dugaan-dugaannya saja. Diapun tidak berani ceroboh. Bagaimana kalau ternyata Thian Sin bukan Pendekar Sadis? Dia harus berhati-hati, bukan hanya terhadap Thian Sin yang telah menjadi musuhnya, akan tetapi juga terhadap kemungkinan bahwa Pendekar Sadis bukanlah Thian Sin sehingga dia harus menghadapi seorang yang berbahaya dan belum pernah dikenalnya, akan tetapi yang mungkin sekali akan mengganggunya, seperti yang dilakukan pendekar itu terhadap See-thian-ong.

Inilah sebabnya maka Thian Sin dapat memasuki kota Tai-goan tanpa hanyak halangan. Para anggauta pasukan istimewa yang disebar oleh Siong-ciangkun sebagai mata-mata itu tentu saja sama sekali tidak curiga ketika melihat seorang pemuda yang demikian tampan dan halus, yang pantasnya adalah seorang pemuda terpelajar tinggi, dan melihat pakaiannya yang cukup mewah dan pesolek, pantasnya pemuda itu adalah putera bangsawan atau hartawan yang sedang berpesiar ke Tai-goan dan mungkin datang dari kota raja!

Thian Sin bukan seorang bodoh. Dia dapat menduga bahwa di tempat itu banyak terdapat kaki tangan Pak-san-kui, maka biarpun dia tidak memasuki kota dengan cara bersembunyi, namun diapun tidak mau menonjolkan diri karena dia tidak ingin bertemu halangan sebelum sempat bertemu muka dengan Pak-san-kui sendiri. Maka sebelum pergi ke tempat lain, dia lebih dahulu mencari-cari tempat yang baik unluk bersembunyi atau bermalam.

Dia tidak mau bermalam di rumah penginapan karena biarpun dia dapat menggunakan nama palsu, tentu dalam waktu beberapa hari saja Pak-san-kui akan mengetahui tempat itu. Dan hatinyapun girang sekali ketika dia melihat sebuah rumah kecil di sudut kota, rumah seorang miskin yang terpencil dan letaknya di tepi sungai.

Ketika melihat bahwa rumah ini hanya dihuni oleh seorang kakek miskin yang pekerjaannya sebagai kuli mengangkut barang-barang yang diangkut oleh perahu-perahu di tempat itu, Thian Sin segera menyewa rumah itu. Kakek yang miskin itu girang sekali dan dia memberikan satu-satunya pembaringan dalam kamar satu-satunya pula, sedangkan dia sendiri mengalah, tidur di lantai bertilam tikar rombeng.

Kepada kakek itu Thian Sin memberi tahu bahwa dia datang dari kota raja, ingin berpesiar dan tidak ingin terganggu kenalan-kenalan maka dia sengaja mencari tempat sunyi untuk menginap agar jangan terganggu orang lain. Juga dia berpesan kepada kakek itu agar kehadirannya tidak diberitahukan kepada siapapun juga.

Kakek itu menerima uang, tentu saja dia tidak peduli akan urusan orang dan tidak mau bicara tentang tamunya yang mendatangkan rejeki baginya itu.

Setelah memperoleh tempat itu dan meninggalkan buntalan pakaiannya di dalam kamar, barulah Thian Sin memasuki daerah kota yang ramai untuk mencari rumah makan. Sebuah rumah makan bercat merah amat menarik hatinya. Baru melihat tempatnya yang mewah dan bersih itu saja sudah menimbulkan selera, maka diapun memasuki rumah makan itu.

”sore, kongcu." Seorang pelayan menyambutnya dengan manis. "Kongcu hendak makan di bawah ataukah di loteng?"

Thian Sin menengok ke atas, melihat ada tangga yang indah menuju ke sebuah ruangan di loteng, dibuat dengan cara yang nyeni sekali. Karena melihat bahwa dia ingin makan di loteng, pelayan itu lalu mengantarnya naik ke loteng. Tiba-tiba, setelah dia hampir sampai ke loteng, Thian Sin berhenti melangkah dan wajahnya berubah. Dia mendengar suara Kim Hong!

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: