*

*

Ads

Minggu, 30 Juli 2017

Pendekar Sadis Jilid 155

Ketika Kim Hong membuka kedua matanya, ia mengeluh. Seluruh tubuhnya merasa nyeri dan ketika ia hendak menggerakkan kedua tangannya yang terasa paling nyeri, ternyata kedua tangan itu berada di belakang tubuhnya, terbelenggu oleh sesuatu yang selain amat kuat, juga runcing dan menusuk kedua pergelangan tangannya! Seketika ia menjadi sadar betul dan membuka matanya lebar-lebar. Teringatlah ia bahwa ia telah terjebak, lalu diserang dengan asap pembius.

Dengan tenang Kim Hong memutar pandang matanya. Ia harus tenang dan tidak panik, itulah syarat utama menghadapi keadaan seperti sekarang ini. Ia tahu bahwa ia berada di tangan musuh, akan tetapi satu hal yang sudah pasti dan menimbulkan harapan adalah kenyataan bahwa ia masih hidup sampai saat ini. Dan itu berarti bahwa fihak musuh belum menghendaki kematiannya dan mempunyai suatu rencana mengapa ia masih dibiarkan hidup. Dan selama ia masih bernapas, berarti masih ada kesempatan untuk lolos dan masih ada harapan.

Pandang matanya menyatakan bahwa ia berada di dalam sebuah kamar yang agaknya terbuat dari tembok tebal yang amat kokoh kuat. Ada sebuah pintu saja disitu, pintu besi yang di atasnya terdapat jeruji besi yang kuat pula. Ia tidak akan kehabisan hawa yang tentu masuk dari jeruji besi itu. Kamar itu kosong, hanya ada sebuah dipan besi dimana ia rebah miring.

Kedua kakinya bebas, akan tetapi kedua lengannya dibelenggu ke belakang. Jari-jari tangannya bergerak dan meraba-raba, dan tahulah ia bahwa kedua lengannya itu diikat dengan kawat berduri, dan bahwa duri-duri besi telah melukai kedua pergelangan tangannya. Sinar lampu yang masuk melalui celah-celah jeruji menunjukkan bahwa waktu itu masih malam. Dia mengingat-ingat.

Thian Sin menerima surat seorang wanita, bekas sahabatnya, murid See-thian-ong yang mengajaknya mengadakan pertemuan. Begitu Thian Sin pergi, ia dipancing dan dijebak. Padahal, See-thian-ong tidak pernah mengenalnya, apalagi bermusuhan. Jelaslah bahwa ia ditawan itu tentu ada hubungannya dengan Thian Sin.

Otaknya yang cerdik itu diputarnya dan Kim Hong dapat menduga bahwa tentu ia ditawan untuk dijadikan umpan memancing Thian Sin. Dan ia tahu bahwa Thian Sin sudah pasti akan mencarinya dan berusaha sedapatnya untuk menolongnya, dan agaknya hal ini yang dikehendaki oleh pihak musuh yaitu memancing datangnya Thian Sin.

Ini berarti bahwa ia sendiri sudah tertawan, dan dengan adanya kenyataan bahwa pihak musuh tidak atau belum membunuhnya, berarti bahwa ia sendiri untuk sementara waktu ini belum terancam bahaya maut, akan tetapi Thian Sinlah yang terancam. Ia harus dapat lolos untuk memperingatkan Thian Sin!

Dengan hati-hati Kim Hong lalu bangkit, duduk di tepi pembaringan. Pertama-tama, ia harus dapat membebaskan kawat berduri yang membelenggu pergelangan tangannya. Dengan kedua kakinya yang tidak terbelenggu, ia masih akan mampu menjaga dan melindungi dirinya.

Agaknya pihak musuh terlalu memandang rendah dirinya sehingga hanya kedua tangannya saja yang dibelenggu, akan tetapi kedua kakinya dibiarkan bebas. Betapapun juga, ia harus hati-hati karena maklum bahwa pihak musuh, selain lihai, juga mempunyai banyak kaki tangan dan juga licin. Ia harus melepaskan belenggu kawat berduri itu.

Akan tetapi, hal ini jauh lebih mudah dibicarakan daripada dilaksanakan. Dengan pengerahan sin-kang, mungkin saja ia akan dapat melepaskan kedua lengannya, akan tetapi untuk itu ia akan melukai pergelangan kedua lengannya. Dan kalau sampai urat besarnya yang terluka, dapat berbahaya juga. Apalagi ketika ia mencoba tenaganya untuk mengukur kekuatan kawat berduri, ia memperoleh kenyataan bahwa kawat itu amat kuat, tidak mungkin dapat dipatahkan begitu saja tanpa bantuan senjata tajam. Atau setidaknya harus ada tangan orang lain yang membukanya.






Kim Hong bangkit dan memandang ke arah kaki dipan. Itulah satu-satunya benda keras yang terdapat di dalam kamar, yang terbuat dari besi. Maka diapun lalu menjatuhkan diri berlutut, dan mendorongkan kedua lengan yang terbelenggu di belakang itu ke dekat kaki dipan, dan mulailah ia menggosok-gosokkan kawat itu pada kaki dipan meraba-raba dengan ujung jarinya untuk mencari sambungan kawat.

Lebih dari dua jam ia bekerja, mengerahkan tenaga, dan hasilnya baru sedikit saja, baru mulai dapat merenggangkan sambungan kawat. Ia merasa lelah dan juga amat lapar. Obat bius itu dan bekerja keras ini membuatnya lapar. Untuk ketegangan yang dihadapinya dan untuk berusaha melepaskan belenggu, sungguh memakan banyak sekali tenaga dalam badan.

Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendatangi arah pintu kamar tahanan. Pendengarannya yang tajam dapat menangkapnya dan Kim Hong cepat bangkit dan merebahkan dirinya lagi, miring seperti tadi.

Yang masuk adalah tiga orang laki-laki yang kesemuanya memegang pedang. Dari gerakan mereka, tahulah Kim Hong bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian cukup tinggi. Kalau saja ia tidak mengkhawatirkan Thian Sin yang akan dipancing dan dijebak, tentu ia akan nekad, menyerang mereka dengan kedua kakinya.

Akan tetapi ia menahan dirinya. Ia merasa yakin bahwa Thian Sin pasti dipancing dan akan dijebak setelah tadi ia melihat betapa sebelah celananya robek di bagian bawah. Robekan itu hilang! Kalau mereka itu hendak kurang ajar atau berbuat cabul, tentu bukan ujung celananya yang dirobek.

Maka Kim Hong bersikap waspada dan pura-pura baru siuman ketika mereka memasuki kamar. Ia mengeluh, pura-pura bingung ketika menarik-narik lengannya, kemudian dengan susah payah ia bangkit, duduk, memandang kepada tiga orang itu. Seorang di antara mereka adalah Si Jangkung yang menjebaknya tadi.

Kim Hong bangkit dan pura-pura terhuyung. Tiga orang itu siap menyerangnya, karena Si Jangkung ini sudah maklum bahwa gadis yang ditawannya memiliki kepandaian yang cukup hebat. Dia adalah murid See-thian-ong pula, walaupun tingkatnya belum setinggi tingkat para suhengnya, yaitu Ching-hai Ngo-liong, namun dia dan dua orang sutenya yang bertugas menjaga disitu memiliki kepandaian yang cukup boleh diandalkan dan mereka merupakan pembantu-pembantu Ching-hai Ngo-liong.

Si Jangkung tersenyum mengejek ketika melihat gadis itu agaknya hendak melawan namun tidak berdaya dan dia melihat darah segar yang baru menitik dari luka-luka di pergelangan lengannya.

“Tidak perlu engkau melawan, karena melawan berarti hanya akan menyiksa dirimu. Nona, siapakah namamu?"

"Persetan dengan kalian!" bentaknya. "Kenapa engkau menjebakku di tempat ini? Kalian mau apa?"

Si Jangkung tersenyum dan mengelus jenggotnya yang hanya beberapa helai itu.
"Nona manis, simpanlah kegalakanmu. Engkau sekarang telah menjadi tawanan dari Locianpwe See-thian-ong."

"Ahhhhh...!"

Dengan sengaja Kim Hong memperlihatkan kekagetannya dan juga memperlihatkan rasa takut.

Tiga orang itu tertawa dan Si Jangkung juga senang melihat betapa gadis itu terkejut dan nampak takut.

"Ha-ha-ha-ha, karena itu, jangan mencoba untuk melawan, nona. Dan sekarang, mari ikut dengan kami, suhu See-thian-ong hendak bertemu denganmu."

Kim Hong masih memperlihatkan sikapnya yang ketakutan dan iapun mengangguk seperti orang yang terpaksa sekali.

"Baiklah, siapa berani menentang See-thian-ong?"

Ia disuruh berjalan di muka dan tiga orang itu mengikutinya dari belakang sambil menodongkan pedang. Biarpun demikian, seandainya dia mau, Kim Hong merasa yakin bahwa dengan kedua kakinya saja, ia akan mampu merobohkan tiga orang ini. Akan tetapi hal ini tidak ia lakukan.

Sebelum kedua tangannya bebas, ia tidak akan mau bertindak sembrono karena ia akan gagal kalau harus berhadapan dengan See-thian-ong dengan kedua tangan terbelenggu. Dalam keadaan yang sudah mutlak berada dalam kekuasaan lawan tangguh, dan dalam keadaan tidak berdaya ini ia harus mempergunakan kecerdikan, tidak hanya melakukan kekerasan dengan nekad.

Ruangan itu luas dan See-thian-ong duduk di kursinya sambil memandang tawanan wanita itu. Diam-diam ia merasa kagum karena wanita ini memang cantik sekali, akan tetapi mengingat bahwa wanita ini adalah sahabat baik, mungkin kekasih atau malah isteri Ceng Thian Sin, dia memandang marah.

"Duduk!" bentak Si Jangkung sambil mendorong tubuh Kim Hong ke atas lantai.

Gadis itu jatuh berlutut, akan tetapi ia menegakkan kepalanya memandang kepada See-thian-ong, sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut kini. Baru sekarang ia melihat kakek yang usianya hampir enam puluh tahun akan tetapi masih nampak gagah perkasa dengan tubuhnya yang tinggi besar dan berkulit hitam ini. Selama ia menjadi Lam-sin, ia baru mendengar nama saja dari "rekan" ini, akan tetapi belum pernah saling berjumpa.

"Nona, engkau ini apanya Ceng Thian Sin?" Tiba-tiba See-thian-ong bertanya.

Kim Hong tidak segera menjawab, hanya memandang ke sekelilingnya. Di dekat kakek itu duduk seorang wanita cantik yang manis yang berpakaian mewah dan pesolek, sedangkan di sebelah wanita muda cantik itu duduk pula seorang laki-laki tinggi kurus bermuka pucat dengan mata sipit, pakaiannya berwarna kuning sederhana.

Ia dapat menduga bahwa tentu wanita ini murid See-thian-ong bernama So Cian Ling seperti yang pernah diceritakan oleh Thian Sin, dan tentu laki-laki tinggi kurus itu murid kepala yang bernama Ciang Gu Sik. Lima orang laki-laki tua lain yang duduk di sebelah kiri See-thian-ong dan nampak gagah perkasa itu sama sekali tidak dikenalnya dan tidak dapat diduganya siapa karena Thian Sin tidak pernah menyebut-nyebutnya. Ia tidak tahu bahwa lima orang itu adalah Ching-hai Ngo-liong murid See-thian-ong yang lihai.

Melihat So Cian Ling berada disitu, Kim Hong yang tadinya tidak ingin menjawab, kini menjawab dengan suara lantang,

"Aku adalah kekasihnya. Apakah engkau yang berjuluk See-thian-ong?"

See-thian-ong tertawa dan minum araknya dari guci besar. Tokoh ini memang suka sekali minum arak dan kekuatan minumnya amat luar biasa. Tak pernah dia kelihatan mabuk, betapapun banyaknya arak memasuki perutnya.

"Ha-ha, engkau memang pantas menjadi kekasih Pendekar Sadis! Engkau cukup berani. Dan engkaupun cukup manis. Siapakah namamu, nona?"

"Namaku Kim Hong!" jawab Kim Hong singkat tanpa menyebutkan shenya.

She Toan adalah she yang terkenal sebagai she keluarga kaisar, maka ia tidak mau menyebutnya. Dengan menyebutkan nama Kim Hong, tentu orang akan menyangka ia she Kim dan bernama Hong.

"Nama yang manis seperti orangnya," kata See-thian-ong dengan jujur, bukan untuk merayu. "Akan tetapi sayang, Nona Kim. Nyawamu berada dalam tangan Pendekar Sadis."

"Apa maksudmu?" tanya Kim Hong dan memandang tajam kepada kakek itu.

"Cian Ling, katakan kepadanya apa yang akan terjadi dengan dirinya kalau Pendekar Sadis tidak muncul kesini,"

See-thian-ong berkata kepada muridnya, tahu dari pandang mata Cian Ling betapa muridnya itu merasa cemburu dan membenci nona cantik itu. Dan memang sesungguhnyalah. Melihat Kim Hong yang cantik jelita itu, diam-diam Cian Ling merasa cemburu sekali dan membencinya. Ia sendiri harus hidup disitu sebagai isteri suhengnya yang sama sekali tidak dicintanya. Sebaliknya wanita ini selalu berdampingan dengan Ceng Thian Sin sebagai kekasihnya. Tentu saja ia merasa iri sekali.

"Perempuan rendah," kata So Cian Ling. "dengarlah baik-baik. Kami telah mengutus orang untuk memanggil Ceng Thian Sin kesini menghadap suhu. Kalau sampai besok pagi setelah matahari terbit dia belum juga kesini bersama utusan kami, maka engkaulah yang akan mengalami siksaan sampai mati. Pertama-tama, engkau akan diserahkan kepada dua puluh orang yang telah menang undian, engkau akan mereka perkosa sampai mereka itu semua merasa puas. Dan kalau engkau belum mampus, engkau akan dijemur di tepi telaga sampai burung-burung pemakan bangkai datang mengeroyokmu dan makan habis dagingmu!"

Kim Hong tersenyum dan berkata dengan nada suara mengejek,
"Dan aku mati, habislah. Tapi engkau masih terus hidup, setiap hari dalam pelukan laki-laki yang tidak kau cinta sedangkan hatimu selalu merindukan Ceng Thian Sin, sampai engkau menjadi nenek-nenek keriputan yang menderita rindu. Hi-hik, Cian Ling, agaknya nasibku jauh lebih baik daripada nasibmu."

"Perempuan rendah!" Cian Ling bangkit dan sikapnya hendak menyerang.

"Cian Ling, jangan!" terdengar See-thian-ong berkata sambil tertawa dan muridnya itu tentu saja tidak berani melanggar. Kakek tinggi besar itu kembali minum araknya, lalu mengangguk-angguk.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: