*

*

Ads

Minggu, 30 Juli 2017

Pendekar Sadis Jilid 152

"Cian Ling...!"

"Thian Sin, ah, Thian Sin...!" Wanita itu menubruk dan merangkulnya sambil menangis.

Thian Sin mengelus rambut kepala itu, membiarkan Cian Ling menangis sejenak di dadanya. Setelah agak mereda, dengan halus dia mendorong pundak wanita itu dan mereka saling pandang di dalam cuaca yang remang-remang diterangi bintang-bintang.

"Engkau kurus..." kata Thian Sin dan memang wanita itu nampak kurus dibandingkan dengan ketika masih menjadi kekasihnya dahulu.

"Aku hidup menderita, Thian Sin. Aku... aku nyaris dibunuh suhu ketika engkau melarikan diri. Suheng membelaku dan menyelamatkan, maka aku terpaksa menerima saja ketika dia mengambilku sebagai isterinya. Dan suhu... suhu menghancurkan kedua tulang pergelangan tanganku." Cian Ling memandang kepada dua tangannya dengan sinar mata sedih.

"Ah, maafkan aku, Cian Ling." Thian Sin memegang kedua tangan itu dan mencium kedua tangan itu bergantian. "Engkau menderita karena aku."

"Dan engkau agaknya sudah senang sekarang, ya? Lupa kepadaku dan sudah memperoleh gantinya?"

"Ah, jangan berkata demikian, Cian Ling. Bukankah engkau sudah menjadi isteri suhengmu? Nah, katakan, apa kepentingan yang hendak kau bicarakan denganku?"

"Apa pertemuan antara kita ini tidak kau anggap penting?"

"Memang, akan tetapi tentu ada yang lebih daripada itu yang hendak kau sampaikan kepadaku."

"Aku diutus suhu untuk menyelidikimu. Apa maksud kedatanganmu di Si-ning? Tentu bukan untuk mencariku, karena kau datang dengan seorang gadis cantik. Apakah hendak memusuhi See-thian-ong?"

Thian Sin tersenyum dan mencium bibir itu. Betapapun juga, wanita ini adalah bekas kekasihnya dan mencintanya. Hal ini terasa benar sekarang.

"Ah, engkau diutus menyelidiki aku akan tetapi mengapa engkau berterus terang begini kepadaku?" Inilah bukti bahwa wanita ini masih mencintanya.

"Memang tadinya aku ingin mencelakaimu, karena engkau telah meninggalkan aku, karena engkau telah menyebabkan aku begini. Tapi... tapi... mana bisa aku mencelakaimu, Thian Sin? Aku malah hendak memperingatkanmu bahwa guruku dan suamiku dan semua kaki tangannya telah siap untuk membalas dendam, untuk menawanmu, untuk menyiksamu dan membunuhmu. Karena itu, engkau hati-hatilah dan lebih baik engkau segera pergi saja dari tempat ini."

"Cian Ling, kenapa kau lakukan ini semua? Kenapa engkau lagi-lagi mengkhianati suhumu dan suamimu...?" Thian Sin bertanya, terharu juga.

"Aku... ohhh..." Cian Ling merangkul leher Thian Sin dan menangis lagi.

Mereka saling berciuman, Cian Ling untuk melepaskan rindunya, Thian Sin untuk menyatakan keharuan dan terima kasihnya. Setelah mereda, Cian Ling melepaskan rangkulannya.






"Aku girang bahwa aku berterus terang padamu, Thian Sin. Engkau memang patut kubela. Biarpun engkau tidak mencintaku, namun engkau seorang laki-laki yang baik, yang dapat menyenangkan hati wanita."

"Nah, ceritakan apa yang hendak mereka lakukan."

Dengan singkat namun jelas Cian Ling lalu menceritakan pertemuan yang diadakan oleh See-thian-ong dan para murid dan pembantunya setelah datuk itu mendengar akan kemunculan Thian Sin dan Kim Hong di telaga Ching-hai.

"Semenjak kalah olehmu, suhu telah melatih diri dengan tekun sekali, dan sekarang suhu malah telah memperoleh murid dan pembantu yang pandai, yaitu lima orang yang berjuluk Ching-hai Ngo-liong. Mereka itu, kalau maju bersama, lebih lihai daripada aku atau suheng sendiri. Belum lagi suhu yang kini semakin tua menjadi semakin lihai. Engkau berhati-hatilah, Thian Sin. Lebih baik engkau pergi malam ini juga meninggalkan Si-ning. Aku tidak dapat lama-lama bertemu denganmu, mereka tentu akan menjadi curiga. Akan kukatakan kepada mereka bahwa kedatanganmu ini bersama wanita itu hanya untuk pesiar saja, tidak ada keinginanmu untuk mengacau. Bukankah begitu?"

"Ya, sebaiknya katakan saja begitu. Akan tetapi untuk pergi melarikan diri, nanti dulu, Cian Ling. Aku memang ingin menentang suhumu itu, dan terima kasih atas semua kebaikanmu kepadaku."

"Jadi, engkau hendak nekad menentang suhu?"

"Dia memang pantas ditentang, apalagi setelah apa yang dilakukannya kepada dirimu."

"Ah, aku khawatir sekali!"

"Tak usah khawatir, aku dapat menjaga diri."

"Selamat berpisah."

Cian Ling ragu-ragu lalu berlari menghampiri, merangkul dan mencium Thian Sin dengan sepenuh hatinya, lalu terisak dan melarikan diri, menghilang dalam kegelapan malam.

Thian Sin berdiri tertegun, lalu tersenyum dan mengelus bibirnya. Diantara para wanita yang pernah mendekatinya, yang pertama menyentuh hatinya adalah Kim Hong, kedua adalah Cian Ling inilah. Lian Hong tidak dapat diperbandingkan karena perasaannya terhadap Lian Hong lain lagi, lebih halus, bahkan agaknya jauh dari kekasaran nafsu berahi. Dia sendiri tidak tahu apakah terhadap Cian Ling atau Kim Hong. Betapapun juga, Cian Ling takkan mudah terhapus begitu saja dari lubuk hatinya. Wanita itu telah menyerahkan dirinya, hatinya dan pada saat inipun sudah membuktikan pembelaannya, setelah berkorban kedua pergelangan tangannya yang hampir melenyapkan ilmu kepandaiannya.

Dia tahu bahwa kalau pertemuan tadi, percakapan dan sikap Cian Ling tadi diketahui oleh See-thian-ong, tentu sekali ini nyawa wanita itu taruhannya. Akan tetapi dia tidak akan undur selangkah. Biarpun See-thian-ong mempersiapkan diri. Lebih baik lagi. Sekali ini See-thian-ong harus dapat dia kalahkan secara mutlak!

Akan tetapi, teringat akan penuturan Cian Ling betapa See-thian-ong telah mengerahkan kaki tangannya, ia harus berhati-hati juga. Orang seperti See-thian-ong itu tentu tidak akan segan untuk mempergunakan tipu muslihat dan kecurangan.

Baiknya ia datang bersama Kim Hong yang dalam hal ilmu kepandaian tidak kalah dibandingkan dengan See-thian-ong. Bersama dengan Kim Hong dia merasa mampu untuk menghadapi seluruh jagoan di dunia ini! Teringat akan Kim Hong yang ditinggalkan seorang diri dalam keadaan marah dan cemburu, Thian Sin tersenyum dan mempercepat larinya, kembali ke kota, ke losmen dimana mereka bermalam.

Akan tetapi, ketika dia memasuki kamar, ternyata kamar mereka itu kosong. Kim Hong tidak berada di situ, tidak meninggalkan surat maupun pesan. Seketika hatinya berdebar tegang dan khawatir. Jangan-jangan kekasihnya itu pergi meninggalkannya karena marah dan cemburu. Akan tetapi, buntalan pakaiannya masih ada, berarti Kim Hong tidak minggat. Akan tetapi ke manakah? Dia pergi mencari ke belakang dan sekitar losmen itu, namun tidak dapat menemukannya. Lalu dia memanggil pelayan yang tadi menyerahkan surat kepadanya.

"Engkau melihat nona?" tanyanya kepada pelayan itu.

"Tidak, tuan..."

Akan tetapi Thian Sin melihat betapa kedua kaki pelayan itu menggigil, ini menandakan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh pelayan itu.

"Baiklah," katanya dan seperti tidak mencurigai sesuatu, diapun memasuki kamarnya.

Akan tetapi cepat sekali diapun membuka jendela, meloncat ke luar dan terus menuju ke luar, mengintai dari tempat gelap. Dilihatnya ada tiga orang laki-laki tinggi besar berbisik-bisik dengan pelayan tadi. Hanya terdengar olehnya Si Pelayan berkata, suaranya terdengar agak takut-takut.

"Dia sudah pulang, dan tidak menduga sesuatu. Di kamarnya..."

"Baik, kami akan menjemputnya," kata seorang diantara tiga orang itu.

Thian Sin cepat meloncat dan berlari memasuki kamarnya kembali melalui jendela, menutupkan daun jendela dan merebahkan dirinya, pura-pura tidur di atas pembaringan.

"Tok-tok-tokk!"

Thian Sin membiarkan sampai ketukan pintu itu terulang beberapa kali, barulah dia menjawab dengan suara mengantuk,

"Siapa di luar?"

"Aku, utusan See-thian-ong Locianpwe! Harap buka pintu, Pendekar Sadis!"

Thian Sin tersenyum, akan tetapi hatinya terasa tidak enak. Kalau See-thian-ong sudah berani mengirim utusan secara terbuka seperti ini, hal itu hanya berarti bahwa datuk itu telah mempunyai sesuatu yang dapat dipakai sebagai andalan.

"Hemm, pintu kamarku tak pernah kukunci. Masuklah saja."

Hening sejenak. Agaknya orang-orang yang berada di luar pintu itu meragu dan berunding. Terdengar mereka saling berbisik. Lalu seorang diantara mereka mondorong daun pintu.

Daun pintu terbuka dan nampak orang itu berlindung di kusen pintu, dan golok tajam berkilau di tangannya. Akan tetapi ketika melihat Thian Sin masih rebah di atas pembaringannya, dia menjadi lebih berani, lalu melangkah masuk. Orang tinggi besar, seorang diantara tiga orang yang dilihat Thian Sin tadi. Thian Sin bangkit duduk dan orang itu maju sambil menodongkan goloknya, siap untuk menyerang.

"Hemm, kalau aku jadi engkau, lebih baik kusimpan saja golokku itu. Salah-salah golok itu bisa minum darah tuannya sendiri. Amat berbahaya itu!" kata Thian Sin sambil minum air teh dari mangkok di atas meja, sikapnya tidak peduli.

Orang itu jelas kelihatan gentar, mukanya agak pucat. Dia menyeringai dan berkata dengan suara lantang, untuk menutupi rasa gentar di dalam hatinya.

"Pendekar Sadis, golok ini hanya untuk menjaga diri kalau-kalau engkau akan mengamuk sebelum habis mendengarkan kata-kataku."

"Hemm, kalau aku mengamuk, sekarang engkau tak mungkin dapat bicara lagi, juga dua orang temanmu di luar kamar itu. Masuk saja kalian semua dan katakan apa yang dipesan oleh See-thian-ong?"

Sikap Thian Sin tetap tenang saja dan justeru ketenangan inilah yang membuat jantung tiga orang itu terasa dingin membeku karena gentar.

Dua orang tinggi besar yang menanti dan berjaga-jaga di luar kamar itupun menampakkan diri sambil memegang golok dengan tangan agak gemetar. Nama besar Pendekar Sadis sudah membuat mereka ketakutan, apalagi kalau diingat bahwa pemuda ini adalah putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang pernah mengalahkan See-thian-ong sendiri! Mereka bertiga kini menghadapi Thian Sin, siap dengan golok di tangan dan Thian Sin memandang dengan sikap tak acuh.

"Pendekar Sadis," kata seorang yang pertama tadi. "Ketua kami hanya hendak menyampaikan pesan kepadamu bahwa engkau harus mengikuti kami menghadap beliau tanpa banyak ribut."

Thian Sin tersenyum.
"Hemm, bagaimana kalau sekarang aku menggerakkan tangan dan membunuh kalian bertiga? Apa sukarnya bagiku?"

Orang yang mewakili teman-temannya bicara itu menelan ludah sebelum menjawab, merasa sukar bicara seolah-olah jantungnya naik dan mengganjal tenggorokannya.

"Kalau... kalau kami tidak kembali bersamamu, selambat-lambatnya besok pagi setelah matahari terbit, wanita itu akan mati..."

"Wanita...?" Thian Sin pura-pura bodoh.

"Ya, wanita cantik sahabatmu itu, Pendekar Sadis!" Orang tinggi besar itu merasa dapat mengancam dan berada di pihak yang menang sekarang. "Dan matinya akan mengerikan sekali! Ketua kami tidak akan kalah olehmu dalam menyiksa orang-orang yang menjadi tawanannya. Sedikit saja engkau mengganggu kami, kawanmu yang cantik itu besok sebelum matahari terbit, akan menjadi mayat dengan tubuh terhina dan tidak berupa manusia lagi!"

Thian Sin masih bersikap tak acuh.
"Huh, bagaimana aku dapat mempercaya omongan bajingan-bajingan macam kalian bertiga ini?"

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: