*

*

Ads

Rabu, 28 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 146

"Nah, pertemuan ini sudah berakhir. Kalian boleh kembali ke tempat masing-masing dan memanggil pulang semua saudara yang masih berada diluar, dan kalian menanti sampai lima orang pelayanku ini menyelesaikan semua urusan harta. Awas, jangan sampai peristiwa ini bocor dan ketahuan pihak lain. Setelah kalian membentuk perkumpulan baru dengan lain nama, baru boleh diumumkan bahwa perkumpulan baru itu tidak ada sangkut-pautnya lagi dengan Lam-sin. Mengertikah kalian?"

Tiga orang ketua itu berkata.
"Kami mengerti!" dan disusul oleh para anggota yang menyatakan telah mengerti.

Lam-sin mengangguk dan mengajak Thian Sin dan lima orang pelayannya untuk masuk lagi ke dalam gedung, dimana Lam-sin minta disediakan beberapa stel pakaian untuk bekal dan beberapa potong perhiasan yang diambilnya sendiri dari almari. Lima orang pelayan itu melakukan perintah terakhir ini sambil menangis sesenggukan.

Setelah beres, Lam-sin lalu berkata kepada mereka,
"Kalian laksanakan pembagian harta ini baik-baik, dan setelah itu, sebaiknya kalian pulang kampung dan menikah. Dengan bagian harta itu kalian akan dapat membangun rumah tangga. Nah, selamat tinggal."

Lima orang itu hanya terisak dan menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi Lam-sin lalu menggandeng tangan Thian Sin, memanggul buntalan pakaiannya dan bersama pemuda itu iapun meninggalkan istananya melalui pintu samping yang kecil dan sunyi, melewati taman bunga yang indah.

Akan tetapi Lam-sin tidak mau menengok lagi semua miliknya itu dan setelah keluar dari pintu pekarangan, ia mengajak Thian Sin untuk cepat meninggalkan kota Heng-yang, pemuda itu mengikuti tanpa membantah, akan tetapi ketika Lam-sin mengajaknya pergi ke tepi sungai dimana terdapat sebuah perahu hitam disembunyikan dalam rumpun alang-alang di tepi sungai, dan mengajaknya naik perahu itu, dia menjadi ingin tahu dan bertanya,

"Kemanakah kita pergi?"

"Kau ikut sajalah, aku mempunyai sebuah tempat yang indah dan di sanalah kita bicara tanpa ada seorangpun yang akan mengganggu kita," jawab Lam-sin sambil mengemudikan perahu dengan sebatang dayung.

Karena perahu itu mengalir mengikuti arus Sungai Siang-kiang (Sungai Harum), maka perahu meluncur tanpa didayung lagi, menuju ke utara. Menjelang tengah hari, perahu kecil itu memasuki daerah hutan yang lebat dan Lam-sin lalu menggerakkan dayung, membuat perahu itu minggir dan akhirnya berhenti di bagian tengah hutan yang sangat liar, penuh dengan pohon-pohon raksasa. Tempat itu kelihatan menyeramkan sekali, dan agaknya tidak pernah didatangi manusia.

Dengan sehelai tali, Lam-sin mengikat perahu itu ke batang pohon yang doyong ke sungai, lalu meloncat ke darat yang penuh dengan rumpun alang-alang. Thian Sin mengikutinya dan harus meloncat jauh karena berbahaya kalau harus mendarat di tengah rumpun alang-alang yang tidak nampak tanahnya itu.

Tanpa banyak bicara Lam-sin menggandeng tangan pemuda itu, berjalan diantara pohon-pohon raksasa dan sepuluh menit kemudian mereka tiba di tempat terbuka.






Thian Sin mengeluarkan seruan tertahan, dan memandang kagum ke depan. Di depan diantara pohon-pohon besar, nampak padang rumput terbuka dan tempat itu merupakan taman yang penuh dengan bunga-bunga.

Mereka disambut suara kicau ratusan macam burung-burung hutan dan sinar matahari yang menerobos masuk diantara pohon-pohon yang jarang, membuat tempat itu nampak keemasan dan indah bukan main. Seperti sorga diantara pohon-pohon raksasa yang tumbuh liar. Dan di sudut lapangan rumput itu terdapat sebuah pondok mungil. Kecil namun kokoh kuat, terbuat dari kayu secara nyeni sekali.

Lam-sin mendorong daun pintu, memasuki pondok yang hanya mempunyai sebuah kamar itu dan membuka semua jendela. Hawa yang sejuk memasuki pondok dan Thian Sin melihat bahwa pondok itu biarpun kecil namun isinya lengkap.

Sebuah pembaringan yang biarpun tidak semewah pembaringan di istana Lam-sin, namun cukup baik dan bersih, dan perlengkapan-perlengkapan lain yang cukup untuk keperluan beberapa hari. Dan biarpun agaknya sudah lama tempat itu tidak ditempati orang, namun tidak nampak debu. Diantara pohon-pohon raksasa itu memang tidak ada debu maka tempat itu tinggal bersih dan menyenangkan sekali.

Lam-sin melempar buntalan pakaiannya ke atas meja, lalu melempar dirinya di atas pembaringan, nampaknya gembira sekali.

"Nah, inilah tempat persembunyianku dimana aku berada jika hatiku sedang risau. Kini aku bebas...! Bebas...!" Dan iapun mengembangkan kedua lengannya nampaknya berbahagia sekali.

"Tempat yang indah, seperti sorga, pantas menjadi tempat peristirahatan seorang dewi kahyangan seperti engkau!"

Thian Sin juga melempar buntalan pakaiannya ke atas meja lalu duduk di pembaringan, merangkul nenek itu.

Lam-sin mengelak.
"Nanti dulu," katanya. "Lam-sin telah membayar sumpahnya, telah melunasi sumpahnya, oleh karena itu, siapa yang menyentuh Lam-sin berarti akan mati!"

"Eh... kenapa begini? Bukankah... bukankah..."

"Mari kita keluar dan engkau saksikan betapa aku akan membunuh Lam-sin, si nenek buruk yang mengerikan ini!"

"Apa... apa maksudmu...?" Thian Sin semakin kaget.

Akan tetapi Lam-sin sudah meloncat dan berlari keluar. Thian Sin mengikutinya dan mereka tiba di lapangan rumput. Rumput disitu hijau segar dan tumbuh rata, semacam rumput yang tumbuhnya tidak meliar dan tidak bisa tinggi. Lam-sin sudah duduk di atas rumput dan ketika Thian Sin yang mengejarnya tiba, ia berkata,

"Maukah engkau membantuku mencari kayu kering untuk membuat api unggun?"

"Membuat api unggun? Untuk apa...? Tapi baiklah..." Thian Sin tentu saja merasa heran.

Saat itu matahari sedang berada di atas, cuaca cukup cerah dan biarpun tempat itu amat sejuk, akan tetapi segar dan tidak terlalu dingin. Perlu apa api unggun? Tapi melihat sikap Lam-sin begitu sungguh-sungguh, diapun cepat pergi mencari kayu kering yang dibutuhkan wanita tua.

Setelah memperoleh kayu kering cukup, Lam-sin menumpuknya di atas batu-batu yang sudah diatur di tempat itu, dan iapun lalu membakar tumpukan kayu itu. Api bernyala cukup besar dan nenek itu lalu meraba ke arah mukanya.

"Ceng Thian Sin, engkaulah orangnya yang telah membantuku, melunasi sumpahku dan engkau pula satu-satunya orang yang menyaksikan musnahnya nenek buruk rupa yang bernama Lam-sin!"

Sekali ia merenggut ke mukanya, maka terlepaslah topeng nenek itu dan nampak wajahnya yang berkulit putih halus dan bentuknya cantik jelita itu. Topeng tipis itu dilemparnya ke dalam api yang bernyala-nyala dan tentu saja segera dimakan api.

Wanita itu lalu menanggalkan pakaian luarnya, baju dan celana nenek yang kedodoran itu sehingga kini gadis itu hanya memakai pakaian dalam yang tipis itu. Pakaian nenek itupun melayang ke arah api, dimakan api menyusul topeng yang sudah menjadi abu. Gadis itu mengembangkan kedua lengannya dan wajahnya yang cantik manis itu tersenyum gembira.

"Nah, mampuslah sudah Lam-sin si nenek buruk!"

"Dan terciptalah si dara cantik jelita seperti bidadari...!" kata Thian Sin yang menghampiri dan memeluknya.

Gadis itu tersenyum, nampak deretan giginya yang rapi dan putih. Kini Thian Sin dapat menikmati semua itu dengan bebasnya, menatap wajah itu, menyelusuri seluruh tubuh yang menggairahkan itu dengan pandang matanya, sampai akhirnya gadis itu menundukkan muka karena malu, lalu mendorong dada Thian Sin dengan halus ketika pemuda itu hendak menciumnya.

"Nanti dulu, engkau belum mengenalku!" bisiknya.

"Siapa bilang? Aku sudah mengenalmu baik-baik semalam..." Thian Sin tersenyum.

"Tidak, engkau belum mengenal siapa aku, siapa namaku dan bagaimana riwayatku."

"Perlukah itu? Engkau adalah seorang gadis yang cantik seperti bidadari, yang kucinta, menjadi dewi pujaanku..." Thian Sin hendak meraih lagi akan tetapi gadis itu mengelak.

"Kalau memang memaksaku, aku akan membunuhmu, Thian Sin!" tiba-tiba ia membentak dan sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar mencorong, mengingatkan Thian Sin akan sinar mata Nenek Lam-sin dan diam-diam dia bergidik.

Sukarlah menerima kenyataan bahwa gadis cantik ini adalah Nenek Lam-sin yang memiliki ilmu silat demikian hebatnya sehingga hanya dengan susah payah dia dapat mengalahkannya.

"Baiklah, maafkan aku. Nah, aku siap mendengarkan ceritamu," kata Thian Sin yang lalu duduk di atas rumput tebal.

Gadis itu sejenak memandang ke arah pakaian nenek yang terbakar sampai berkobar, dan sebentar saja pakaian itupun lenyap menjadi abu, seperti halnya topeng tadi. Dan tiba-tiba gadis itu menangis di depan api unggun, terdengar suaranya lirih,

"Ibu... ibu... anakmu tidak pernah melanggar janji dan sumpah..."

Akan tetapi sebentar saja ia menangis karena ia sudah mampu mengendalikan dirinya dan menyusut kering air mata itu dengan saputangan yang tadinya tersisip diantara bukit dadanya. Matanya dan hidungnya menjadi agak merah akan tetapi dalam pandangan mata Thian Sin, hal itu bahkan menambah manisnya!

Gadis itu lalu menghampiri Thian Sin dan duduk pula di dekatnya, di atas rumput. Thian Sin memandang dengan kagum, terpesona oleh kecantikan dan keindahan bentuk tubuh itu. Semalam dia sama sekali tidak dapat menikmati pemandangan ini, dan pagi tadi hanya sebentar saja.

Sekarang dia dapat melihat semua itu dengan bebas dan diam-diam dia membanding-bandingkan dan akhirnya mengambil kesimpulan bahwa belum pernah dia melihat seorang gadis yang lebih hebat daripada gadis ini, baik kecantikannya, keindahan tubuhnya, apalagi kepandaian silatnya, juga kepandaiannya dalam membuat sajak, memainkan alat musik dan menulis. Gadis yang luar biasa sekali!

"Thian Sin, namaku sesungguhnya adalah Kim Hong..."

"Nama yang sangat indah dan cocok untukmu!"

"Aku she Toan..."

"Ehh...?"

Thian Sin teringat kepada pangeran she Toan yang dibunuhnya karena kebodohannya tertipu perempuan jahat bernama Kim Lan.

”Toan Kim Hong”, gadis cantik itu mengangguk, agaknya mengerti apa yang menyebabkan kekagetan pemuda itu.

"Memang, Toan-ong-ya, pangeran yang telah kau bunuh itu adalah terhitung pamanku. Mendiang ayahku adalah pangeran Toan Su Ong."

Tentu saja Thian Sin terkejut bukan main. Dia tidak pernah mendengar nama Pangeran Toan Su Ong, akan tetapi kalau Toan-ong-ya adalah paman dari gadis ini, maka keadaannya tentu gawat!

"Aku telah kesalahan membunuh Toan-ong-ya, hanya karena fitnahan seorang perempuan jahat. Aku sudah ditegur oleh banyak pendekar dan aku merasa menyesal sekali."

"Aku tidak peduli akan hal itu!" Gadis itu berkata dengan suara kesal. "Ayahku adalah seorang pangeran pemberontak!"

"Ahhh...!"

"Ya, ayahku tidak seperti Toan-ong-ya dan para pangeran yang taat dan setia kepada kaisar. Tidak, ayahku berjiwa pemberontak dan selalu menentang kebijaksanaan-kebijaksanaan kaisar yang dianggapnya menekan dan menindas rakyat. Ayahku lebih dekat dengan rakyat jelata daripada dengan kaisar."

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: