*

*

Ads

Rabu, 28 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 144

Maka, setelah sejak tadi mereka bertanding lebih dari seratus jurus tanpa ada yang menang atau kalah dan mereka itu saling desak, Thian Sin lalu mengeluarkan suara melengking panjang dan setelah menyimpan kipasnya, tiba-tiba tangan kirinya membuat gerakan menyerong, miring dan dari tangan ini menyambar angin pukulan dasyat, dan dia membarengi dengan tusukan pedangnya.

Dahsyat bukan main serangan tangan kiri itu karena dia sudah mengeluarkan ilmunya yang dahsyat, yaitu Hok-liong Sin-ciang, ilmu yang disempurnakannya di dalam gua, di bawah bimbingan bayangan Bu-beng Hud-couw sendiri berdasarkan ilmu dari kitab peninggalan mendiang ayah kandungnya.

Nenek itu mengeluarkan teriakan kaget dan sebatang pedangnya yang kiri terlepas dari pegangan tangan. Ia masih dapat menangkis, lalu menahan desakan Thian Sin dengan sambitan jarum merahnya.

Thian Sin mengelak dan memutar pedangnya, lalu menyerang lagi, kini malah menggunakan ilmu Hok-liong Sin-ciang. Menghadapi serangan-serangan ini, nenek itu bingung. Pedangnya tidak ada artinya lagi karena sebelum pedangnya dapat menyentuh lawan, sudah ada sambaran hawa pukulan dahsyat yang membuat ia selalu terdorong mundur. Maka nenek itupun menjadi nekat. Ia mengerahkan seluruh khi-kangnya dan melawan keras sama keras!

Beberapa kali jurus-jurus yang dikeluarkan Thian Sin disambut oleh wanita tua itu dan akibatnya Nenek Lam-sin terlempar dan terbanting. Akan tetapi, ia memang nekat dan kuat sekali. Agaknya tubuh yang tua renta itu mengandung kekuatan yang luar biasa dan kekebalan sehingga beberapa kali terbanting, ia masih terus melawan dengan nekat dan lebih ganas lagi. Thian Sin sendiri sampai merasa penasaran, tidak enak dan kasihan.

Mengapa nenek ini masih belum juga mengaku kalah? Ketika nenek itu menubruk, Thian Sin menyambut dan menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang, lalu ia menggerahkan Thi-khi-i-beng!

Nenek itu menjerit, akan tetapi lalu tiba-tiba saja seluruh tubuhnya mengendur sehingga sin-kang tidak lagi membanjir keluar. Agaknya nenek ini yang amat lihai memiliki kecerdikan sehingga ia tahu bagaimana menghadapi Thi-khi-i-beng dan kepalanya bergerak, rambutnya yang panjang menyambar dua kali, seperti ular hidup, ujung kuncir itu menotok ke arah kedua mata Thian Sin.

Diserang seperti ini, tentu saja Thian Sin harus melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang. Kedua matanya tentu saja tidak dapat dilindungi dengan kekebalan.

Karena kehabisan akal bagaimana untuk dapat mengalahkan nenek ini tanpa membunuhnya, tiba-tiba Thian Sin berjungkir balik dan dia telah menggunakan Hok-te Sin-kun, tahu-tahu tubuhnya yang berjungkir balik itu mencelat ke depan dan terdengar nenek itu berteriak kaget lalu roboh terguling, kedua kakinya terasa lumpuh karena telah kena ditotok oleh jari tangan Thian Sin yang tubuhnya berjungkir balik itu.

Sebelum pedang itu menyambar, yaitu pedang hitam kanan yang masih dipegang oleh Lam-sin, Thian Sin sudah meloncat ke belakang. Sambil memandang kepada nenek yang tidak mampu berdiri lagi itu, dia berkata,

"Lam-sin apakah engkau belum juga mengaku kalah?"

Sejenak mereka mengadu pandang mata. Dan Thian Sin terkejut, juga kasihan melihat nenek itu tiba-tiba menangis! Thian Sin tidak dapat berkata apa-apa, terheran-heran melihat hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya ini. Lam-sin, datuk kaum sesat dari selatan ini, menangis seperti anak kecil! Menangis terisak-isak!






"Kau... kau kenapakah, nek?" Thian Sin bertanya sambil mendekati.

"Aku sudah kalah... lebih baik mati...!" Berkata demikian, Lam-sin menggerakkan pedang hitamnya ke arah leher sendiri.

"Jangan...!" Secepat kilat Thian Sin menubruk dan menangkap pergelangan tangan nenek itu.

Lam-sin meronta, akan tetapi Thian Sin merangkul dan memeluknya, memegangi pula pergelangan tangan kirinya. Karena kedua kaki Lam-sin tak dapat digerakkan, masih dalam pengaruh totokan, maka tenaga rontaannya tentu saja sangat berkurang, bahkan menjadi lemah dan ia tidak meronta lagi, melainkan menangis.

Sementara itu, ketika mencegah nenek itu membunuh diri dan memeluknya, secara tidak sengaja tangan dan tubuh Thian Sin berhimpitan dengan tubuh nenek itu dan dia merasakan sesuatu yang amat aneh. Tubuh nenek itu padat, mengkal dan penuh, sama sekali bukan seperti tubuh seorang nenek tua renta, melainkan lebih pantas menjadi tubuh seorang dara!

"Kenapa kau hendak bunuh diri hanya karena kalah olehku, Lam-sin?"

Thian Sin bertanya, masih merangkul dan memegangi tangan Lam-sin walaupun pedang hitam itu sudah terlepas dari pegangan nenek itu.

"Engkau tahu... mengapa sampai... saat ini aku belum menikah?"

Akhirnya Lam-sin berkata dan ketika Thian Sin menggeleng kepala menyatakan tidak tahu, nenek itu melanjutkan,

"Aku telah bersumpah bahwa aku hanya akan menyerahkan diriku kepada seorang pria yang dapat mengalahkan aku... dan sampai detik ini... sebelum ini tidak ada seorangpun pria yang mampu menandingiku... karena itu aku belum pernah... sampai sekarang aku masih perawan... dan setelah akhirnya ada yang mengalahkan aku... hu-hu-huhh... engkau... engkau tentu tidak akan sudi menerimaku... maka daripada aku terhina, lebih baik aku mati...!"

Thian Sin tersenyum dan mendekap kepala wanita yang menangis itu ke dadanya. Bukan hanya tubuh itu yang hangat dan padat seperti tubuh orang muda, juga setelah dia merangkul dan berada dekat dengan nenek ini, dia melihat suatu hal yang tidak mungkin.

Sepasang mata itu, demikian jeli dan beningnya, sama sekali bukan mata nenek-nenek biarpun di pinggir mata itu keriputan. Dan sekarang, setelah dekat sekali, baru Thian Sin melihat betapa ketika nenek ini bicara tadi, keriput di pipinya, di tepi hidung dan mulut, di tepi matanya, sama sekali tidak berubah, sama sekali tidak bergerak.

Mana ada keriput begitu kaku dan tidak bergerak ketika mulut bicara? Juga suara nenek ini, demikian halus dan bening, juga tidak seperti nenek tua, melainkan suara yang penuh dan suara orang muda. Dan gigi itu! Gigi yang berderet dan putih bersih, biarpun nenek itu berusaha untuk tidak membuka mulut terlalu lebar agar giginya jangan nampak.

"Engkau keliru, nenek tua renta yang baik!" Thian Sin berkata. "Biarpun engkau seorang nenek, namun engkau masih perawan, tubuhmu belum terjamah pria lain. Kalau memang demikian sumpahmu, akupun bersedia menerimamu, aku bersedia membantumu memenuhi sumpahmu."

"Kau... kau mau...?"

Lam-sin berkata dengan mata terbelalak dan Thian Sin melihat betapa indahnya mata itu. Dia tersenyum dan mengangguk, lalu dia memondong tubuh nenek itu dengan mudah dan ringannya.

"Benarkah kau... kau mau...?" Nenek itu seolah-olah tidak percaya.

Thian Sin mengangguk dan menundukkan mukanya, mencium ke arah leher di balik baju leher yang agak tersingkap itu. Leher yang kulitnya putih kuning dan halus, sedikitpun tidak ada keriputnya seperti yang sudah diduganya, dan dia mencium bau harum minyak wangi.

"Diantara semua kamar di dalam istana ini, hanya kamar tidur saja yang tadi belum kulihat, maka coba tunjukkan dimana kamar tidurmu, dan aku akan buktikan bahwa aku akan membantumu memenuhi sumpahmu, Lam-sin."

Ketika dicium lehernya tadi, seketika tubuh Lam-sin menjadi lemas dan kedua lengannya sudah merangkul leher pemuda yang memondongnya dan hanya terdengar bisikan dari muka yang disembunyian di dada Thian Sin,

"Ke kiri... melalui pintu kiri itu..."

Thian Sin melangkah sambil memondong tubuh Lam-sin, memasuki pintu kiri dan selanjutnya, tanpa mengangkat muka dari tempat persembunyiannya, Lam-sin menunjukkan dimana adanya kamarnya. Karena tadi sudah diperintah oleh Lam-sin, lima orang pelayannya sama sekali tidak nampak karena mereka itu berdiam di dalam kamar masing-masing tanpa berani keluar!

Ketika Thian Sin sudah mendorong daun pintu kamar itu terbuka, dia tercengang dan kagum. Sebuah kamar tidur yang luar biasa mewahnya! Begitu dibuka, bau semerbak harum menyambut hidungnya. Kamar itu lengkap dengan perabot yang serba indah dan mahal, dan nampak begitu bersihnya, tidak pantas menjadi kamar nenek-nenek peyot, pantasnya menjadi kamar seorang puteri istana!

Thian Sin melangkah masuk dan mempergunakan jari tangan yang memondong untuk menutupkan daun pintu lagi, kemudian dengan perlahan dia merebahkan tubuh nenek itu ke atas pembaringan yang berkasur tebal lunak dan bertilam sutera warna merah muda. Sebuah lampu yang berada di atas meja, agaknya tadi dinyalakan oleh pelayan, tertutup kap berwarna hijau sehingga membuat suasana di kamar itu nampak romantis dan indah sejuk.

"Kau... kau tidak mau membebaskan aku dari totokan?" tanya nenek itu.

"Ah, tentu saja! Aku sampai lupa, maafkan."

Dengan halus Thian Sin meraba pinggang nenek itu dan bukannya menotok dengan kasar, melainkan mengurut dan menekan lembut dan totokan itupun punah. Thian Sin duduk di tepi pembaringan dan tangannya meraba kaki nenek itu. Otomatis Lam-sin menarik kakinya yang diraba.

"Apa... apa yang hendak kau lakukan...?" tanyanya, suaranya lirih dan gemetar.

Thian Sin tersenyum. Sikap nenek ini sungguh tidak lebih seperti seorang dara remaja yang pemalu.

"Hanya ingin melepaskan sepatumu, Lam-sin. Aku sendiri harus melepaskan sepatu, bukan? Pembaringan akan kotor..."

"Nanti..." kembali Lam-sin menarik kakinya. "Kau... kau padamkan dulu lampu itu... aku... aku tidak bisa, aku malu... padamkan lekas, Thian Sin..."

Thian Sin meraih lampu di atas meja dan memadamkannya. Lenyaplah semua keindahan dalam kamar yang menjadi gelap gulita. Thian Sin meraba-raba, melepaskan sepatu Lam-sin dan sepatunya sendiri, lalu memeluk nenek itu. Dan malam itu Thian Sin mengalami sesuatu yang amat luar biasa. Dia tidak ragu-ragu lagi bahwa wanita yang berwajah nenek ini sebenarnya adalah seorang dara yang muda dan memiliki tubuh yang indah, montok dan yang benar-benar selamanya belum pernah berdekatan dengan seorang pria!

Dan wanita ini menyerahkan diri dengan sepenuh hati, dan rela bahkan menangis, saking bahagianya ketika berada dalam pelukannya. Mereka itu seperti pengantin baru saja. Hanya yang agak mengecewakan hati Thian sin adalah bahwa mereka berada di tempat yang gelap gulita. Lam-sin selalu menolak kalau dia hendak menyalakan lampu.

"Thian Sin, kasihanilah aku... jangan nyalakan lampu... kau tunggu saja sampai besok pagi... ah, bertahun-tahun aku menyembunyikan diri dan kini... setelah aku menemukan engkau... engkaulah orang pertama yang akan tahu segala-galanya... maafkan aku."

Tentu saja Thian Sin mau memaafkannya dan ketika dia menciumnya, Lam-sin balas mencium dengan kemesraan dan kehangatan yang membuat Thian Sin tercengang. Biarpun wanita ini mengubah mukanya sebagai nenek-nenek, entah dengan topeng apa maka demikian persisnya sehingga dia sendiripun sebelum berdekatan muka tidak akan pernah menyangkanya, namun dia dapat menduga bahwa wanita ini tentulah seorang gadis cantik.

Tentu saja hal itu baru dapat dibuktikan besok dan malam ini, di dalam gelap, biarpun tidak dapat melihatnya, namun dia dapat merabanya dan memperoleh kenyataan bahwa memang Lam-sin seorang wanita yang masih muda, masih gadis.

Bermain cinta dengan wanita yang menyerahkan diri dengan penuh kerelaan, dan wanita yang sama sekali belum pernah diketahui bagaimana wajahnya, merupakan pengalaman baru bagi Thian Sin dan mendatangkan ketegangan luar biasa. Betapapun juga, harus diakuinya bahwa mereka bermain cinta dengan penuh kesadaran, penuh kerelaan dan kemesraan.

Setelah malam lewat, pada keesokan harinya, setelah sinar matahari mulai menerobos masuk dan kamar itu diterangi oleh cahaya keemasan matahari pagi, Lam-sin menyembunyikan dirinya dalam selimut! Bahkan mukanyapun disembunyikannya, seluruh tubuhnya tertutup selimut!

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: