*

*

Ads

Minggu, 25 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 140

Pak-san-kui Siangkoan Tiang juga pantas dinamakan datuk wilayah utara karena memang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, juga mempunyai pengaruh dan wibawa yang tak dapat dibantah lagi kekuatannya. Demikian pula See-thian-ong amat gagah perkasa dan menyeramkan, pantas menjadi datuk wilayah barat.

Akan tetapi mengapa datuk wilayah selatan hanya seorang nenek tua renta seperti ini. Nampaknya lemah dan sudah pikun. Melawan seorang nenek seperti ini saja sudah merupakan hal yang memalukan. Akan tetapi, melihat sikap nenek ini yang agaknya sama sekali tidak mempedulikannya, diam-diam Thian Sin merasa penasaran sekali.

Dia terbatuk beberapa kali untuk menarik perhatian nenek pikun itu, akan tetapi nenek itu agaknya tidak mendengarnya. Ketika Thian Sin mengulangi batuknya, nenek itu mengerutkan alisnya, tanpa menengok ia berkata kepada seorang diantara lima orang gadis cantik itu.

"A-bwee, suara apakah itu? Tikus? Anjing?"

Thian Sin mendongkol sekali. Dia dianggap tikus atau anjing! Dan lima orang gadis cantik itu tidak menjawab, melainkan menutupi mulut mereka dengan saputangan sutera untuk menyembunyikan senyum dan tawa mereka.

Hal ini saja sudah membuat Thian Sin mengerti bahwa Si Nenek memang sengaja hendak menghina, mempermainkan dan memandang rendah kepadanya. Tentu saja dia menjadi semakin gemas.

"Nenek tua bangka! Apakah engkau yang berjuluk Lam-sin?" akhirnya dia bertanya dengan suara nyaring.

Dia melihat betapa wajah lima orang gadis itu menjadi pucat dan mereka memandang kepada nenek itu dengan sinar mata mengandung kengerian. Dari sikap ini saja Thian Sin maklum bahwa kata-katanya itu tentu luar biasa sekali, dan agaknya nenek ini amat ditakuti, maka gembiralah dia dapat membalas dengan cara demikian.

Thian Sin, dan tangan yang menjepit sumpit itu nampak gemetar. Akan tetapi sebentar saja lalu sumpit itu melanjutkan pekerjaannya menjepit makanan. Tanpa menoleh, nenek itu berkata dengan suaranya yang lirih namun halus,

"Bocah ingusan, apakah engkau yang berjuluk Pendekar Sadis?"

Kembali Thian Sin merasa mendongkol sekali. Nenek ini sungguh memandang rendah kepadanya, menyebutnya bocah ingusan! Sekaligus, rasa gembira karena perasaan menang dengan pertanyaannya yang menghina itu lenyap, dan hatinya merasa semakin panas. Akan tetapi dia menjawab juga.

"Benar, akulah yang dijuluki Pendekar Sadis!"

"Dan akulah yang dijuluki Lam-sin!"

"Huh, tidak pantas seorang nenek tua bangka yang lemah dijuluki Malaikat Selatan, datuk kaum sesat di dunia selatan!"






"Heh, engkau lebih tidak patut lagi dijuluki Pendekar Sadis, karena engkau hanya seorang kanak-kanak hijau yang pantasnya hanya menjadi kacung di sekolah yang berusaha meniru lagak seorang siucai!"

Hampir meledak rasanya dada Thian Sin saking mendongkolnya. Nenek ini ternyata seorang yang pandai berdebat dan pandai menghina. Teringatlah Thian Sin bahwa semakin tua wanita, semakin cerewet, maka dia pikir kalau harus berdebat adu mulut, dia akan kalah. Lebih baik menghentikan adu sindir-menyindir agar dia tidak menjadi semakin mendongkol.

"Lam-sin, engkau telah mengundangku dan aku sudah datang! Nah, engkau mengundangku mau apakah?"

Nenek itu menengok ke kiri, ke arah pemuda itu. Thian Sin kini melihat dari samping sebuah wajah yang berkeriputan kedua pipinya, dengan hidung kecil dan bibir kering mengejek.

"Aku sedang makan, apa engkau tidak melihatnya? Aku tidak bisa bicara sambil makan, dan karena kau datang pada saat aku makan maka aku mengundangmu untuk makan bersamaku. Tidak tahu apakah engkau berani makan bersamaku dan apakah engkau masih ada selera makan menghadapi kematianmu."

Thian Sin merasa dipandang rendah sekali dan ditantang. Seolah-olah nenek ini sudah merasa begitu yakin bahwa sebentar lagi nenek itu akan mampu membunuhnya. Dia melangkah maju dan berkata dengan nada tidak kalah mengejeknya,

"Memang sebaiknya orang yang akan mati makan dulu sekenyangnya. Dan aku memang senang menemani calon pecundangku makan bersama. Hendak kulihat racun apa yang hendak kau serahkan dan gunakan untuk bertindak curang."

Dan Thian Sin pun lalu duduk menghadapi meja makan, mengambil bangku yang berhadapan dengan nenek itu sehingga mereka kini dapat saling pandang, terhalang meja makan yang penuh dengan bermacam-macam masakan yang masih mengepulkan uap dengan bau yang sedap. Tidak kurang dari dua puluh macam masakan sedap yang masih panas-panas terhidang di atas meja itu, disamping arak dan anggur wangi.

Akan tetapi, setelah kini mereka duduk saling berhadapan dan melihat sinar mata nenek itu, diam-diam Thian Sin terkejut bukan main dan merasa serem sehingga bulu kuduknya meremang. Nenek ini dilihat dari jauh nampak seperti seorang nenek tua renta yang lemah dan biasa saja, sama sekali tidak menimbulkan segan.

Akan tetapi begitu dia saling pandang dengan nenek itu, dia melihat sinar mata yang luar biasa, sepasang mata yang begitu tajam dan mencorong penuh wibawa, sepasang mata yang terang dan jernih, tidak pantas dimiliki seorang nenek tua renta, sepantasnya menjadi mata seorang anak kecil yang masih bersih batinnya! Kontras antara wajah tua keriputan dan sinar mata inilah yang membuat nenek itu amat berwibawa dan juga amat menyeramkan, juga menakutkan.

Kini Thian Sin tidak merasa heran lagi mengapa lima orang gadis pelayan itu kelihatan begitu ketakutan tadi melihat betapa dia berani mengeluarkan kata-kata menghina kepada nenek luar biasa ini.

Setelah sejenak saling pandang dan nenek itupun agaknya nampak tercengang setelah menatap wajah pemuda itu karena agaknya baru pertama kali inilah dia melihat wajah pemuda itu dengan jelas, saling berhadapan dalam jarak yang tidak jauh, nenek itu sampai lama tidak mengeluarkan kata-kata. Sinar matanya seperti menjelajahi seluruh bagian muka Thian Sin.

Setelah pemuda itu tersenyum seperti mengejek, barulah nenek itu nampak gugup dan sambil menoleh kepada para pelayannya ia berkata,

"Nyalakan lampu, tak enak makan agak gelap begini!"

Memang saat itu sudah menjelang senja dan cuaca di dalam ruangan makan itu yang jendela-jendelanya menghadap ke timur sudah tidak kebagian sinar matahari lagi dan menjadi agak remang-remang.

Dua orang pelayan sibuk menyalakan beberapa buah lampu yang digantung di sudut-sudut ruangan itu dan sebentar saja ruangan itu menjadi terang. Karena lampu-lampu itu ditutup kain warna-warni, ada yang merah, ada yang kuning, ada yang biru dan hijau, maka suasana berubah menjadi romantis dan indah sekali, sungguhpun wajah nenek yang keriputan itu menjadi semakin jelas setelah tertimpa sinar yang berwarna-warni itu. Sebaliknya wajah lima orang gadis pelayan menjadi semakin manis dan bercahaya, dan demikian pula Thian Sin nampak semakin ganteng.

"Tuangkan arak untuk Pendekar Sadis!" kata pula nenek itu yang cepat ditaati oleh seorang pelayan.

Ketika pelayan yang berbaju ungu ini mendekat dan menuangkan arak ke dalam cawan di depan Thian Sin, pemuda ini mencium bau harum semerbak keluar dari lengan baju gadis, itu. Akan tetapi dia bersikap tenang dan tidak memandang wajah halus cantik yang dekat dengannya itu, melainkan dia tetap mengamati gerak-gerik nenek di depannya karena dia maklum bahwa orang seperti nenek itu yang menjadi datuk kaum sesat, mempunyai watak aneh yang tidak terduga-duga.

Dia tidak akan merasa heran kalau pada saat dia mencurahkan perhatiannya kepada lain hal, misalnya kepada gadis pelayan cantik itu, Si Nenek akan tiba-tiba melakukan serangan gelap yang amat berbahaya. Maka, dia tetap memandang wajah nenek itu. Baru setelah gadis itu memenuhi cawan araknya dan mundur, Thian Sin melirik ke cawan araknya yang sudah penuh dengan arak wangi. Nenek itu tersenyum dan mulutnya menjadi miring, bibirnya tinggi dan sepasang mata itu berkilat-kilat.

"Pendekar Sadis, beranikah engkau minum arak dalam cawanmu itu?"

Berkata demikian, nenek itu mengisi cawannya sendiri dengan arak sampai penuh, dari guci arak yang sama.

Thian Sin adalah seorang pemuda yang selain berkepandaian tinggi, juga amat cerdik. Dia maklum bahwa seorang datuk besar seperti nenek ini yang sudah berani mengangkat diri sebagai datuk wilayah selatan, yang merajai seluruh wilayah selatan, biasanya, seperti para datuk lain, memiliki ketinggian hati yang luar biasa.

Seorang datuk sudah terlalu percaya kepada dirinya sendiri dan selalu menjaga kehormatan namanya sebagai seorang yang berada di tingkatan atas. Maka, kiranya tidak mungkinlah kalau seorang datuk seperti Lam-sin ini akan sudi menggunakan racun, suatu perbuatan yang amat rendah dan hanya dilakukan golongan penjahat rendahan saja.

Perbuatan seperti ini akan menghancurkan nama besarnya sendiri dan Lam-sin tentu akan menggunakan kepandaiannya untuk menjatuhkannya, bukan dengan menggunakan racun. Apalagi Lam-sin belum pernah mencoba sendiri kepandaiannya sehingga datuk ini tidak mungkin merasa gentar kepadanya sehingga sampai begitu merendahkan diri menggunakan bantuan racun. Dengan pikiran ini, Thian Sin tersenyum memandang kepadanya.

"Andaikata engkau menggunakan racun, Lam-sin, maka aku akan mati sebagai pendekar gagah perkasa yang tidak takut akan kecuranganmu, akan tetapi sebaliknya engkau akan hidup sebagai seorang datuk yang paling rendah di dunia ini, akan dikutuk sebagai seorang datuk yang wataknya tidak lebih tinggi daripada seorang penjahat yang paling hina sekalipun! Nah, takut apa minum arak suguhanmu?" Berkata demikian, Thian Sin mengangkat cawan araknya dan minum arak itu sampai habis.

"Heh-heh-heh, bagus sekali. Engkau memang cukup bernyali!"

Nenek itupun lalu minum araknya, akan tetapi bukan seperti lagak seorang jago minum yang kawakan, melainkan seperti seorang nenek lemah yang tidak begitu suka minum arak. Arak di cawan itu hanya diteguk seperempat saja, lalu ia letakkan kembali cawannya di atas meja.

"Nah, silakan, Pendekar Sadis. Makanlah seadanya dan jangan malu-malu, setelah kita makan baru kita bicara nanti!"

Dan mereka berdua makanlah. Sungguh luar biasa sekali suasana di saat itu. Dua orang tokoh silat yang pada masa itu mendatangkan rasa serem di hati siapapun juga bahkan para pendekar menjadi kecil nyalinya apabila mendengar nama mereka, duduk berhadapan sambil makan bersama! Padahal, keduanya sudah saling tantang-menantang dan dapat dibayangkan bahwa tak lama lagi mereka itu akan saling serang dan saling berusaha untuk membunuh lawan.

Namun, melihat betapa mereka itu duduk semeja menghadapi hidangan yang banyak macamnya, makan dengan selera yang baik dan kelihatan enak, seolah-olah mereka berdua itu bukan dua orang lawan yang sebentar lagi akan mengadu nyawa melainkan seperti dua orang sahabat lama yang saling jumpa dan kini merayakan perjumpaan mereka dengan gembira! Dan anehnya, mereka itu makan tanpa saling pandang, tanpa mengeluarkan sepatahpun kata.

Keduanya makan dengan enak, menyumpit sayur ini dan daging itu, tanpa saling menawarkan, seolah-olah mereka itu berlumba makan. Biarpun keduanya nampak makan bersama, namun terasa suatu tegangan luar biasa diantara mereka, bahkan lima orang pelayan yang berada di pinggiran itu dapat merasakan ketegangan luar biasa yang memenuhi kamar itu. Ketegangan yang panas dan yang sebentar lagi akan meledak menjadi suatu perkelahian seru dan mati-matian antara kedua orang yang kini makan minum bersama itu.

Thian Sin makan lebih banyak, juga minum arak lebih banyak. Nenek itu biarpun kelihatan makan dengan sama gembiranya, akan tetapi sepasang sumpitnya hanya mendorong nasi sedikit demi sedikit saja, juga mengambil sayur atau daging yang kecil-kecil potongannya. Malah araknyapun dilanjutkan dengan anggur yang tidak begitu keras.

Akhirnya, keduanya meletakkan sumpit dan mangkok kosong di atas meja, merasa puas dan kenyang. Setelah membersihkan mulut dengan minum teh yang dihidangkan oleh para pelayan, keduanya duduk diam seperti orang bersamadhi sementara lima orang pelayan yang tahu akan kewajiban mereka itu, maklum bahwa makan minum telah selesai dan mereka tanpa diperintah lagi membersihkan meja, membawa pergi sisa-sisa makanan sehingga sebentar saja meja makan itupun bersih dan tidak ada sedikitpun sisa makanan. Bersih mengkilap setelah digosok kain.

"Keluarlah kalian, tinggalkan kami sendiri," tiba-tiba nenek itu berkata kepada lima orang pelayannya dan sungguh aneh, nada suaranya seperti orang yang merasa tak senang.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: