*

*

Ads

Minggu, 25 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 139

Memang penyerangan itu teratur sekali, kalau dia menghadapi barisan kiri, maka barisan kanan menyerbu, kalau dia membalik ke kanan, maka yang dari depan menyerbu dan demikian sebaliknya. Dia mengamuk terus dan kini sudah ada kurang lebih dua belas orang roboh dan tewas oleh amukannya. Dan ketika dia memperoleh kesempatan, melihat Ang-i Kai-ong yang terdekat, dia meloncat, membiarkan senjata para pengemis menghantaminya dan melindungi dirinya dengan kekebalan, dia langsung menyerang Ang-I Kai-ong!

Kakek ini terkejut dan menggerakkan tongkatnya, menyambut tubuh Thian Sin dengan tusukan tongkat dengan ujung tongkat yang runcing itu meluncur ke arah ulu hati Thian Sin. Pemuda ini cepat miringkan tubuhnya sehingga tusukan itu luput. Akan tetapi dengan gerakan kilat, tongkat berujung runcing itu sudah membalik dan dari samping menusuk ke arah lambung. Melihat kecepatan gerakan tongkat ini, maklumlah Thian Sin bahwa ilmu kepandaian si jubah merah ini hebat juga.

"Dukkk!"

Dia menangkis dengan lengannya dan mengerahkan tenaga. Kini giliran Ang-i Kai-ong terkejut. Tangkisan pemuda itu mengandung tenaga yang sedemikian besarnya sehingga dia terdorong mundur dan terhuyung. Cepat dia memberi isyarat dan kedua orang adiknya, yaitu Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong sudah cepat meloncat datang dan tongkat mereka menyambar ganas. Tongkat Jeng-i Kai-ong meluncur ke arah pusarnya dan tongkat Pek-i Kai-ong menghantam ke arah kepalanya.

"Plak! Plak!"

Dua tangan Thian Sin berhasil menangkis dua batang tongkat itu dan seperti juga Ang-i Kai-ong, dua orang ketua pengemis ini terkejut karena tangkisan itu membuat mereka terpelanting dan hampir terbanting roboh. Mereka lalu bergerak cepat dan mengeroyok dengan permainan tongkat mereka yang lihai. Karena mereka telah menerima latihan dari Lam-sin, maka permainan tongkat mereka dengan Ilmu Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk Iblis) sungguh hebat dan tingkat kepandaian mereka itu tidak di sebelah bawah mendiang Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, kedua orang ketua Hwa-i Kai-pang di kota raja itu!

Para anggauta Bu-tek Kai-pang terlalu kaget dan gentar menyaksikan betapa pemuda yang terkenal dengan julukan Pendekar Sadis itu telah membunuh dua belas orang teman mereka! Oleh karena itu, melihat betapa kini tiga orang ketua mereka telah maju bertiga dan mengeroyok Pendekar Sadis, mereka hanya mengurung tempat itu dan membiarkan tiga orang ketua mereka membereskan pemuda yang lihai itu dengan senjata siap di tangan. Masih ada dua puluh orang yang mengepung tempat itu.

Sementara itu, Thian Sin mengamuk dengan hebat. Biarpun tiga orang itu memiliki Hok-mo-pang yang tangguh dan senjata mereka yang terbuat dari baja tulen itu juga ampuh sekali, apalagi gerakan mereka bertiga demikian teratur, saling mengisi dan saling melengkapi, namun berhadapan dengan Thian Sin mereka seolah-olah bertemu dengan gurunya.

Pemuda ini menghadapi tiga tongkat mereka dengan tangan kosong saja dan sama sekali tidak pernah terdesak! Bahkan sebaliknya malah, dengan mainkan Thai-kek Sin-kun dan mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, pemuda itu membuat mereka repot sekali dan sering kali mereka terhuyung-huyung dan terpaksa memutar tongkat melindungi diri dan cepat-cepat dibantu oleh temannya.

Thian Sin memang sengaja hendak memamerkan kepandaian dan juga hendak mengenal Ilmu Tongkat Hok-mo-pang, karena dia harus mempersiapkan diri menghadapi Lam-sin yang tentu lebih lihai lagi daripada tiga orang ini. Setelah dia mengenal liku-liku Ilmu Tongkat Hok-mo-pang yang harus diakuinya memang hebat itu, dia mengambil keputusan untuk mengakhiri perkelahian itu.






"Plakkk!"

Tongkat Ang-i Kai-ong yang menghantam punggungnya, dia terima dengan punggungnya tanpa mengelak atau menangkis. Tongkat itu tetap melekat. Sepasang mata Ang-i Kai-ong terbelalak dan wajahnya pucat sekali. Dia meronta, akan tetapi semakin hebat tenaga sin-kang mengalir keluar dari kedua tangannya yang memegang tongkat. Hal ini terasa olehnya, membuat dia panik.

"Tolong... tolong...!" teriaknya dan terus berusaha menarik-narik tongkatnya.

Melihat ini, Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong cepat membantu. Si jubah hijau cepat memasukkan tongkatnya ke arah lambung Thian Sin. Dan Pek-i Kai-ong menghantamkan tongkatnya ke punggung pemuda itu untuk membantu kakaknya melepaskan diri.

"Plakk! Bukk!"

Thian Sin menangkap tongkat yang menusuk lambungnya dan membiarkan tongkat Pek-i Kai-ong menghantam punggungnya pula. Tenaga Thi-khi-i-beng yang dia kerahkan kini bekerja sepenuhnya dan tiga batang tongkat itu melekat di tangan dan punggungnya.

Tiga orang pengemis tua itu terkejut, akan tetapi makin hebat mereka mengerahkan tenaga, makin keras pula tenaga sin-kang mereka membanjir keluar tersedot oleh tubuh pemuda itu!

Para pengemis yang melihat tiga orang ketua mereka itu memegangi tongkat dan meronta-ronta seperti hendak menarik kembali tongkat mereka, dengan muka pucat mata terbelalak dan terengah-engah, menjadi terheran-heran. Mereka tidak tahu apa yang terjadi. Karena mengira bahwa para ketua mereka itu hendak menarik kembali tongkat itu yang agaknya secara aneh dipertahankan oleh si pemuda, maka beberapa orang lalu meloncat maju dan membantu ketua mereka, memegang tongkat dan Bantu menarik.

Namun mereka inipun berteriak kaget ketika tenaga merekapun tersedot. Lebih banyak lagi yang datang ikut membantu dan kini ada belasan orang menarik-narik tongkat-tongkat itu, dan lebih banyak orang lagi tenaga sin-kangnya tersedot oleh Thian Sin! Sisa para pengemis memandang bengong.

Pada saat itu, nampak ada bayangan berkelebat di atas kepalanya. Thian Sin terkejut melihat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali dan ketika bayangan itu melayang lewat, ada dua buah benda kecil hitam menyambar ke arah kedua pundak Thian Sin!

"Tuk! Tuk!"

Dua buah batu hitam sebesar ujung jari tangan menyambar dengan lembut ke arah kedua pundak pemuda itu. Akan tetapi ternyata dua buah batu kecil itu tepat mengenai jalan darah yang membuat Thian Sin seketika merasa tubuhnya tergetar hebat. Dia terkejut bukan main, maklum bahwa orang itu merupakan lawan yang amat tangguh dan kini keadaannya menjadi terancam.

Maka dia menarik kembali tenaga sedotan Thi-khi-i-beng dan menggunakan tenaga yang telah disedotnya itu untuk dihempaskan keluar melalui kedua tangan dan seluruh badannya, membuat gerakan seperti seekor anjing berkirik mengusir air dari tubuhnya.

Akibatnya, terdengar teriakan-teriakan dan belasan orang itu terlempar sampai jauh. Banyak diantara mereka yang tidak begitu kuat, roboh dan tewas, sedangkan tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang itu hanya merasa dada mereka sesak dan mereka muntah darah. Akan tetapi mereka masih mempunyai sisa tenaga untuk bangkit dan melarikan diri secepatnya!

Thian Sin berloncatan mengejar bayangan tadi. Akan tetapi dia melihat bayangan itu telah berada jauh sekali di depan, melintasi sebuah lereng bukit. Dia terus mengejar, akan tetapi akhirnya bayangan itu lenyap dan kemanapun dia mencari, hasilnya sia-sia. Akhirnya dia kembali ke tempat pertempuran tadi dan disitu telah sunyi, tidak nampak seorangpun pengemis, juga mayat-mayat para anggauta pengemis telah lenyap. Hanya darah-darah yang berceceran disitu saja yang membuktikan bahwa di tempat itu baru saja terjadi perkelahian yang hebat.

Tiba-tiba Thian Sin tertarik oleh bentuk ceceran darah di atas rumput. Ceceran darah itu membentuk huruf-huruf!

LAM-SIN MENANTANG PENDEKAR SADIS DI RUMAHNYA.

Membaca huruf-huruf itu, Thian Sin tertawa.
"Ha-ha-ha, Lam-sin, biarpun engkau main curang, jangan mengira aku takut padamu!"

Thian Sin lalu berlari cepat memasuki kota dan segera mencari sarang Bu-tek Kai-pang. Sarang itu megah dan menyeramkan, akan tetapi dengan langkah tenang pemuda itu memasuki pintu gerbang yang terjaga oleh beberapa orang pengemis Bu-tek Kai-pang.

Para penjaga itu berdiri berbaris di kanan kiri pintu gerbang, sama sekali tidak melarang atau bertanya kepada Thian Sin, bahkan rata-rata mereka memperlihatkan sikap tegang dan gentar terhadap pemuda ini.

Thian Sin berlenggang kangkung, masuk menuju ke gedung di belakang perumahan Bu-tek Kai-pang itu sambil tersenyum. Akan tetapi tentu saja dia tidak pernah melepaskan kewaspadaannya karena dia maklum bahwa dia telah memasuki tempat tinggal Lam-sin, datuk dari selatan yang amat terkenal itu. Dia telah memasuki gua naga dan harimau! Kelengahan di tempat seperti ini berarti ancaman maut.

Keadaan di tempat itu sunyi saja. Hanya nampak beberapa orang anggauta Bu-tek Kai-pang yang berdiri seperti patung. Seolah-olah tempat itu diselubungi suasana berkabung dan memanglah, selain gentar, juga para anggauta Bu-tek Kai-pang berkabung karena kematian para anggauta yang dua belas orang itu, ditambah lagi enam orang yang tewas ketika Thian Sin mempergunakan Thi-khi-i-beng.

Di dalam gedung Bu-tek Kai-pang, tiga orang ketuanya sedang rebah dengan muka pucat, karena mereka telah menderita luka dalam yang cukup parah.

Ketika Thian Sin tiba di depan gedung yang menjadi tempat tinggal Lam-sin, dia memandang kagum. Gedung itu mungil dan nyeni, dengan tanaman-tanaman yang amat terawat rapi dan indah. Halaman depan dihias petak rumput yang hijau segar dan rata, dan di sana-sini tumbuh pohon kembang mawar dan bermacam-macam bunga.

Jalan menuju ke pintu depan ditutup dengan kerikil yang merupakan kerikil yang putih kebiruan. Ketika menginjak jalan berkerikil itu, terdengar suara berisik dan Thian Sin lalu mengerahkan gin-kangnya. Kini dia berjalan melalui kerikil itu tanpa mengeluarkan suara sedikitpun seolah-olah tubuhnya hanya seringan bulu saja!

Dua orang wanita muda yang menyambutnya di pintu depan, memandang dengan wajah tak berhasil menyembunyikan keheranan dan kekaguman mereka melihat betapa pemuda itu dapat berjalan di atas jalan kerikil tanpa menimbulkan suara. Ini saja merupakan demontrasi gin-kang yang hebat, dan yang mereka ketahui hanya dapat dilakukan oleh majikan mereka, Lam-sin.

Ketika Thian Sin berdiri di depan pintu, dua orang wanita yang berpakaian rapi dan memiliki wajah yang manis itu cepat memberi hormat. Seorang diantara mereka, yang mempunyai tahi lalat kecil di dagu sehingga ia nampak manis sekali, berkata dengan suara halus dan merdu,

"Kongcu, silakan masuk. Pangcu sedang menghadapi meja makan dan mempersilakan kongcu untuk masuk saja."

"Pangcu juga mengundang kongcu untuk makan malam bersamanya," kata wanita ke dua.

Thian Sin tersenyum. Dua orang gadis muda ini sungguh cantik dan berpakaian mewah, sama sekali tidak nampak seperti pelayan. Maka diapun mengangguk.

"Pangcu kalian sungguh baik hati."

Maka diapun melangkah ke dalam gedung itu, diiringkan oleh dua orang, satu di depan dan satu lagi di belakangnya.

Ketika memasuki gedung kecil itu, Thian Sin merasa semakin kagum. Lantainya begitu bersih dan licin mengkilat, langit-langitnya agak tinggi dan banyak terpasang lubang angin berukir sehingga ruangan di dalam gedung terasa sejuk sekali. Dan di dinding tergantung lukisan-lukisan indah dan tulisan-tulisan huruf indah yang tentu terbuat oleh ahli-ahli yang pandai dan berharga mahal sekali. Kain-kain sutera dan beludru menghias ruangan, dan perabot-perabot yang mungil. Sebuah rumah gedung kecil mungil yang dalamnya indah seperti istana saja!

Ketika mereka berdua membawanya masuk ke sebuah ruangan yang cukup luas, dia melihat seorang nenek duduk menghadapi meja makan yang panjang, dilayani oleh tiga orang gadis muda lain yang pakaiannya juga mewah dan wajahnya manis-manis seperti dua orang gadis pertama.

Kini lima orang gadis itu berkumpul dan berdiri seperti hiasan ruangan, berjajar di latar belakang, membiarkan nenek itu menghadapi Thian Sin. Akan tetapi nenek itu masih duduk sambil menyumpit sepotong daging kecil, lalu dimasukkan ke mulutnya, mengunyah daging itu dengan cara sopan tanpa membuka mulutnya, dan dengan sikap tenang seolah-olah tidak tahu bahwa ada tamu datang..

Thian Sin sendiri hanya berdiri dan memandang dengan sikap tenang pula, memandang penuh perhatian. Diam-diam hati pemuda ini kecewa. Kalau yang berjuluk Lam-sin hanya seorang nenek tua renta yang sudah mendekati lubang kubur ini, maka sia-sialah agaknya perjalanannya yang jauh ini. Dia sudah melihat tiga orang diantara empat datuk empat penjuru,

Tung-hai-sian Bin Mo To adalah seorang tokoh yang nampak kebesaran dan keangkerannya sebagai datuk wilayah timur, dan memang kakek itu memiliki kepandaian yang hebat.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: