*

*

Ads

Minggu, 25 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 138

Thian Sin menerima surat beramplop merah muda itu, membaca tulisannya di luar

KEPADA PENDEKAR SADIS.

Dia tersenyum dan mengangguk.
"Benar, surat ini untukku. Terima kasih!"

Itulah tindakan terakhir dari pihak kai-pang untuk meyakinkan bahwa memang pemuda itu Pendekar Sadis, yaitu melalui pelayan itu. Pelayan itu membungkuk, agak terlalu dalam karena dia terkejut dan ketakutan, lalu mengundurkan diri keluar dari kamar itu.

Thian Sin tersenyum dan merobek amplop, mengeluarkan kertas merah muda. Dia bersikap hati-hati, tidak ceroboh ketika membuka surat karena dia maklum bahwa seorang penjahat yang lihai dapat saja membunuh lawan melalui surat.

Akan tetapi, tidak ada jarum rahasia atau asap beracun yang menyambar keluar dari amplop, juga tidak tercium sesuatu kecuali sedikit keharuman minyak wangi, maka dia membuka kertas tertulis itu dengan senyum geli. Namanya juga datuk kaum sesat, pikirnya. Menulis surat dengan amplop dan kertas berwarna merah muda dan berbau harum pula! Dengan tenang namun tertarik dibacanya tulisan yang goresannya halus dan rapi itu.

Lam-sin menantang kepada Pendekar Sadis untuk mengadu kepandaian melawan murid-muridnya di Lembah Gunting Cemara sebelah timur kota Heng-yang, kalau memang Pendekar Sadis berani! Lewat tengah hari menjelang sore hari ini

Tertanda : Lam-sin

Thian Sin tertawa dan merasa girang sekali. Akhirnya sang kakap mulai memperlihatkan dirinya, walaupun masih bersembunyi di balik murid-muridnya.

"Ha-ha-ha, menghadapi engkau sendiri aku tidak takut, apalagi murid-muridmu, Lam-sin!" katanya sambil tersenyum dan tak lama kemudian, sudah terdengar pemuda ini bernyanyi-nyanyi di dalam kamarnya, sikapnya tenang-tenang saja sehingga anak buah kai-pang yang dipasang disitu untuk menyelidiki, cepat melaporkan kepada tiga orang ketua kai-pang yang menjadi semakin terheran-heran, akan tetapi juga mendongkol dan penasaran sekali.

Pemuda itu sudah menerima tantangan Lam-sin, tentu sudah membacanya, akan tetapi malah bernyanyi-nyanyi. Manusia ataukah setan orang itu? Siang hari itu Thian Sin memesan makanan yang cukup mewah seperti orang berpesta-pora seorang diri.

Tadinya timbul pikiran para ketua kai-pang untuk meracuni pemuda ini, akan tetapi mereka takut kepada Lam-sin, karena satu diantara hal-hal yang dibenci oleh datuk itu, kecuali perkosaan yang merupakan hal terutama, adalah kecurangan dalam menghadapi lawan.

Lam-sin kini sudah mengirim surat sendiri, menantang, maka kalau sampai mereka melakukan penyerangan melalui makanan dengan racun, kalau sampai gagal, tentu Lam-sin akan mendapat malu dan akan menjadi marah kepada mereka. Dan mereka bergidik kalau membayangkan datuk itu marah kepada mereka.






Sehabis makan, setelah beristirahat beberapa jam lamanya, pada saat matahari mulai condong ke arah barat, Thian Sin keluar dari kamarnya, langsung menghampiri meja pengurus rumah penginapan itu dan bertanya dengan ramah,

"Tolong kalian beritahukan dimana aku dapat menemukan lembah Gunung Cemara di sebelah timur kota ini."

Para pengurus itu gemetar ketakutan. Alangkah beraninya pemuda ini, pikir mereka. Tentu pemuda ini sudah menduga bahwa para pengurus di rumah penginapan ini juga tunduk kepada kai-pang akan tetapi sikapnya demikian tenang seperti berada diantara sahabat-sahabat sendiri saja.

Tergopoh-gopoh pengurus rumah penginapan yang memang sudah menerima pesan itu memberitahukan jalan dan arah tempat yang hendak dikunjungi oleh pemuda yang kini diam-diam mereka kenal sebagai Pendekar Sadis sehingga pandang mata mereka berbeda, penuh kengerian dan ketakutan.

Lembah itu merupakan padang rumput yang rata dan lembut, nampak kehijauan seperti permadani dihamparkan. Tempat itu dikelilingi hutan-hutan kecil, akan tetapi di padang rumput itu sendiri tidak ada pohonnya.

Ketika Thian Sin sedang berjalan seorang diri menuju ke lembah ini, melalui hutan cemara seperti yang diberitahukan oleh pengurus rumah penginapan, tempat yang sunyi dan tidak nampak ada seorangpun manusia, tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara ketawa dan berkelebatnya orang tak jauh di sampingnya.

Yang amat mengejutkan hatinya adalah karena orang itu bergerak sedemikian cepatnya seperti menghilang saja. Thian Sin seakan tenang-tenang saja dan tidak akan mengambil peduli kalau saja yang bergerak itu orang biasa, atau dengan gin-kang biasa saja. Akan tetapi gerakan orang ini mengejutkan hatinya. Demikian cepatnya seperti terbang. Maka ia merasa penasaran dan diapun lalu mengerahkan gin-kang dan melakukan pengejaran.

Bayangan itu masih nampak di depan, akan tetapi bayangan itu sungguh luar biasa cepatnya. Lenyap di balik pohon di depan, tahu-tahu muncul di sebelah kirinya. Dia mengejar, lenyap lagi dan muncul di sebelah kanan.

Thian Sin semakin penasaran, jelas bahwa bayangan itu mempermainkannya, atau setidaknya, tentu hendak menguji kecepatan gerakannya. Dia lalu meloncat dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengejar, akan tetapi bayangan itu lenyap ketika dia tiba di padang rumput dan di situ ternyata telah berkumpul tiga orang ketua berikut sedikitnya tiga puluh orang anak buah Bu-tek Kai-pang yang tinggi tingkatnya.

Thian Sin teringat bahwa dahulu, menurut penuturan Cia Kong Liang, Bu-tek Kai-pang dipimpin oleh seorang pengemis sakti bernama Lam-thian Kai-ong. Dia tidak tahu bahwa kini telah terjadi perubahan besar, Lam-thian Kai-ong telah meninggal dunia dan kini Bu-tek Kai-pang telah berganti pimpinan, yaitu ketiga orang pengemis setengah tua yang berdiri dengan gagahnya di depannya itu.

Maka, melihat tiga orang pengemis yang berdiri dengan kedua kaki tegak agak dipentang dengan sikap gagah, dia lalu melangkah maju, menghampiri mereka dan setelah memandang ke kanan kiri, dia lalu berkata, suaranya halus, wajahnya berseri, seolah-olah dia tidak sedang menghadapi calon lawan melainkan berada diantara para sahabat!

"Manakah ketua Bu-tek Kai-pang yang bernama Lam-thian Kai-ong? Dan mana pula datuk Lam-sin yang telah mengirim surat tantangan kepadaku? Aku telah datang, harap mereka berdua suka memperkenalkan diri."

"Pendekar Sadis, kalau engkau mencari ketua Bu-tek Kai-pang, kamilah ketuanya!"

Thian Sin memandang kepada tiga orang itu dengan penuh perhatian. Yang bicara tadi adalah seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, berjubah merah tambal-tambalan, di sampingnya berdiri kakek berjubah hijau dan seorang lagi berjubah putih. Usia mereka sebaya dan ketiganya memegang sebuah tongkat yang ujungnya runcing.

"Yang manakah diantara sam-wi yang bernama Lam-thian Kai-ong?"

Ang-i Kai-ong menjawab,
"Pendekar Sadis, orang yang kau cari itu, Lam-thian Kai-ong telah meninggal dunia dan kini yang menjadi ketua Bu-tek Kai-pang adalah kami bertiga."

"Ah, begitukah? Dan dimana adanya locianpwe yang berjuluk Lam-sin? Aku datang untuk memenuhi panggilan dan tantangannya."

"Bocah sombong!" bentak Jeng-i Kai-ong dengan marah. "Tidak sembarangan orang boleh berhadapan dengan Locianpwe Lam-sin! Engkau telah mengacau dan menghina Bu-tek Kai-pang, nah, kini engkau sudah berhadapan dengan kami, ketuanya. Kalau engkau mampu mengalahkan kami, barulah boleh bicara tentang bertemu dengan Lam-sin!"

Thian Sin mengangguk-angguk dan tersenyum. Dia sudah menduga akan hal ini, maka diapun tertawa bergelak dan berkata lantang, dengan harapan agar suara ketawanya dan kata-katanya dapat terdengar oleh Lam-sin yang dia kira tentu bersembunyi tidak jauh dari situ.

Dia keliru karena Lam-sin sama sekali tidak mendekati tempat itu kecuali ketika mencoba gin-kangnya tadi, lalu terus pulang dan hanya mengutus seorang pelayannya untuk menyaksikan jalannya pertempuran sambil bersembunyi.

"Ha-ha-ha-ha! Kiranya yang bernama Lam-sin hanyalah seorang licik yang bersembunyi dan berlindung di belakang sekumpulan pengemis tukang pukul!"

Ucapan Thian Sin ini merupakan penghinaan yang luar biasa. Para pengemis Bu-tek Kai-pang memandang Lam-sin sebagai seorang junjungan yang ditakuti, dikagumi dan dihormati. Sekarang pemuda ini memaki nenek itu, tentu saja mereka menjadi marah sekali.

Akan tetapi, tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang itu sudah mendengar tentang Pendekar Sadis yang telah menggegerkan kota raja, telah mengacau Hwa-i Kai-pang di kota raja, membunuh dua orang ketua Hwa-i Kai-pang, bahkan telah membunuh Toan-ong-ya, kemudian terdengar desas-desus bahwa pemuda ini telah mengacau Pek-lian-kauw dan membunuh Tok-ciang Sian-jin yang amat lihai itu.

Maka, mereka bertiga tidak berani ceroboh dan Ang-i Kai-ong lalu berteriak kepada para anak buahnya, yaitu para tokoh Bu-tek Kai-pang yang sudah mempunyai tingkat tinggi, untuk maju mengepung dan mengeroyok!

Kurang lebih tiga puluh orang tenaga Bu-tek Kai-pang segera maju mengepung dan mereka bergerak mengitari pemuda itu sambil mengeluarkan senjata masing-masing. Sebagian besar di antara mereka, memegang tongkat pendek dari baja, akan tetapi ada pula yang membawa tombak, golok atau pedang.

Thian Sin yang datang memang dengan maksud membasmi Bu-tek Kai-pang yang pernah membantu ketika keluarga Ciu Khai Sun diserbu, berdiri tegak dengan sikap tenang sekali. Sepasang matanya mengerling ke depan kanan dan kiri, sedangkan telinganya mengikuti gerak-gerik para pengurung yang tidak dapat dilihat oleh sepasang matanya, yaitu mereka yang berada di belakangnya. Setiap urat syaraf di tubuhnya menegang dan siap.

Dia berdiri tegak dan diam bukan karena menanti mereka menyerang lebih dulu, melainkan terutama sekali membuat perhitungan, mempelajari kedudukan mereka. Dia melihat bahwa para pengemis itu bergerak dengan teratur, dengan barisan yang terlatih bukan sekedar mengeroyok secara awut-awutan belaka.

Oleh karena itu diapun bersikap waspada. Dia melihat betapa ketua baju merah berdiri di belakang barisan yang berada di depannya, ketua baju hijau memimpin barisan yang berdiri di belakang barisan yang berada di depannya, ketua baju hijau memimpin barisan di sebelah kanannya sedangkan ketua baju putih memimpin barisan yang berdiri di sebelah kirinya. Sisa pasukan pengemis itu berada di belakangnya.

Tiba-tiba mereka yang berada di belakangnya itu bersorak dan dia mendengar mereka itu sudah menggerakkan senjata dan menyerbu ke arahnya. Menurut pendengarannya, kiranya tidak kurang dari sepuluh orang yang menerjangnya dari belakang.

Akan tetapi dia masih sempat memperhatikan ke depan, kanan dan kirinya dan tahulah dia bahwa bahaya datangnya dari tiga orang ketua itu. Dia melihat betapa mereka, tiga golongan ini telah siap untuk menyerbu dan menanti kesempatan. Diapun dapat menduga bahwa barisan belakang yang agaknya tidak dipimpin langsung oleh para ketua itu hanya dipergunakan untuk menggertak atau mengacau saja, untuk memecah perhatiannya, padahal yang menjadi inti pasukan penyerang adalah dari depan, kanan dan kiri itu.

Karena itu, Thian Sin seperti tidak mempedulikan serangan dari belakang, melainkan tetap memperhatikan musuh-musuh di depan. Baru setelah dia merasa adanya sambaran senjata sudah dekat sekali dengan tubuh belakangnya, dia membalik dan menggerakkan kedua tangan yang mengandung tenaga sakti Thian-te Sin-ciang.

Terdengar teriakan-teriakan, dan nampak senjata-senjata terlempar lalu disusul robohnya lima orang penyerang terdepan yang terjengkang dan tidak berkutik lagi karena mereka telah tewas oleh sambaran hawa pukulan Thian-te Sin-ciang yang meretakkan kepala dan memecahkan dada mereka itu!

Memang Thian Sin tidak mau berlaku kepalang tanggung, begitu memapaki serangan dia telah mengerahkan tenaga sin-kang yang kuat sekali.

Melihat ini, sisa penyerang dari belakang itu terbelalak dan muka mereka pucat, hati mereka gentar sekali. Belum pernah mereka melihat ada lawan yang diserbu, sekali membalikkan tubuh mendorong dengan kedua tangan membunuh lima orang teman mereka!

Ketika Ang-i Kai-ong menggerakkan pasukannya menyerbu, Thian Sin sudah membalikkan tubuhnya lagi. Dia melihat bahwa Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong telah menggerakkan barisan masing-masing maka senjata dari depan, kiri dan kanan datang bagaikan hujan saja.

Thian Sin menyambut semua serangan itu dengan tangkisan, elakan, dan juga tidak tinggal diam melainkan membagi-bagi tamparan dan tendangan. Hebatnya, setiap serangan balasan dari kaki dan tangannya tentu membuat roboh seorang pengeroyok untuk tidak bangun lagi karena tewas seketika!

Terjadi pengeroyokan dan perkelahian yang seru dan mengerikan. Karena datangnya senjata seperti hujan, dan penyerangan itu amat teratur, maka biarpun Thian Sin dapat melindungi dirinya dengan pengerahan sin-kang yang membuat tubuhnya kebal dan tidak dapat terluka oleh senjata, namun dia tidak dapat melindungi bajunya yang menjadi robek-robek di sana-sini! Dia menjadi marah.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: