*

*

Ads

Kamis, 22 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 129

Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) sebenarnya bukanlah suatu perkumpulan agama, melainkan sebuah perkumpulan politik yang menentang pemerintah. Memang para pemimpinnya terdiri dari para tosu yang sebagian menganut Agama To yang sudah tidak aseli lagi, yang bercampur-baur dengan pelajaran-pelajaran Agama Buddha dan pelajaran aliran-aliran lain yang suka akan hal-hal mistik.

Pek-lian-kauw merupakan perkumpulah penentang pemerintah yang kuat. Biarpun sudah sering kali pemerintah melakukan usaha untuk membasminya, namun perkumpulan ini selalu berdiri lagi dan mempunyai cabang di mana-mana. Kekuatannya terletak kepada pengerahan rakyat yang mudah terbujuk perkumpulan ini melalui ilmu-ilmu sihir, melalui filsafat-filsafat agama dan janji-janji. Tentu saja semua ini didasarkan atas penderitaan rakyat.

Pek-lian-kauw pandai menggunakan bujuk rayu, memanfaatkan kemiskinan dan penderitaan rakyat yang merasa tidak puas terhadap pemerintah yang memang pada waktu itu amat buruk.

Banyak pembesar yang bersikap sewenang-wenang, pejabat-pejabat yang menindas rakyat dengan berbagai jalan. Kekeliruan pemerintah yang terutama adalah bahwa pemerintah selalu mengejar-ngejar perkumpulan itu dengan kekerasan. Tentu saja pemerintah selalu gagal, karena pemerintah hanya mengejar dan berusaha membasmi akibatnya saja tanpa mempedulikan sebabnya.

Timbulnya ketidak puasan rakyat membentuk adanya perkumpulan seperti perkumpulan Pek-lian-kauw yang ideologinya dilandaskan atas kemiskinan rakyat yang menderita dan tidak puas itu adalah akibat saja, dan sebabnya terletak pada keadaan rakyat itu sendiri. Biarpun ribuan kali perkumpulan semacam itu dibasmi, namun selama rakyat masih tertindas, miskin dan tidak puas, tentu akan muncul pula perkumpulan baru yang serupa, yaitu menentang pemerintah dan merongrong pemerintah.

Pek-lian-kauw selalu menghasut di dusun-dusun, rakyat miskin dengan mengatakan betapa rakyat sengsara hidupnya,ditindas, dan menonjolkan pula betapa mewahnya kehidupan orang-orang kaya dan pembesar-pembesar yang korup di kota-kota dan kota raja. Dengan perbandingan-perbandingan yang menyolok ini, yang ditambahi pula bumbu-bumbu, Pek-lian-kauw menghasut rakyat jelata untuk menentang, untuk memberontak terhadap orang kaya, terhadap pembesar, terhadap pemerintah.

Kemiskinan rakyat merupakan sumber pertumbuhan perkumpulan semacam Pek-lian-kauw itulah. Rakyat yang kecewa atau tidak puas akan keadaan hidupnya, merupakan makanan empuk bagi perkumpulan semacam itu, mudah dihasut. Oleh karena itu, mengejar-ngejar Pek-lian-kauw, membasminya dengan kekuatan senjata, sama saja dengan membabat rumput pada daunnya saja.

Karena akarnya masih, maka dalam waktu singkat saja rumput-rumput itu akan tumbuh lagi, bahkan lebih subur mungkin. Sebuah pemerintahan yang baik, di bawah bimbingan pemimpin-pemimpin yang bijaksana, tentu akan lebih mempelajari sebabnya daripada terkecoh oleh akibatnya, tentu akan lebih memperhatikan akarnya daripada mengacuhkan rumputnya.

Sebabnya atau akarnya terletak kepada kesengsaraan atau kemelaratan rakyat jelata. Kalau pemerintah memperhatikan keadaan kehidupan rakyat jelata, di dusun-dusun, di gunung-gunung, kalau pemerintah dapat meningkatkan kehidupan mereka yang miskin dengan pendapatan yang memadai, sehingga semua rakyat dapat memperoleh sandang pangan papan yang layak, kalau perbedaan antara si kaya dan si miskin tidak begitu menyolok, kalau semua pejabat yang memeras dan korupsi diberantas dan diganti orang-orang yang bijaksana, maka rakyat akan hidup tenteram, tenang dan tidak kecewa.






Nah, kalau sudah begini, maka tanpa diberantaspun, perkumpulan-perkumpulan macam Pek-lian-kauw itu akan mati sendiri. Rakyat tentu akan terbuka matanya bahwa perkumpulan semacam itu hanya menghasut belaka untuk mempergunakan kekuatan mereka, kekuatan rakyat, untuk memberontak dan mengambil alih kekuasaan, atau lebih jelas lagi perkumpulan itu hendak mempergunakan kekuatan rakyat untuk merebut kedudukan, demi kepentingan beberapa gelintir pemimpin perkumpulan itu sendiri tentu saja. Dan rakyat tentu akan menentangnya.

Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam adalah seorang tokoh besar yang memiliki ilmu kepandalan tinggi. Akan tetapi semenjak Jeng-hwa-pang diserbu oleh putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang kemudian dibantu oleh keturunan Cin-ling-pai, dia merasa tidak aman hidupnya. Dia masih merasa ngeri kalau membayangkan kelihaian putera Pangeran Ceng Han Houw itu. Dan diapun mengerti bahwa pemuda yang mengandung sakit hati atas kematian ayah bundanya itu tentu akhirnya akan mencarinya. Maka larilah dia, setelah Jeng-hwa-pang dibasmi, ke kota raja dimana dia mempunyai banyak sahabat dan dapat menyembunyikan dirinya. Beberapa tahun lamanya tidak ada orang mencarinya maka dia mulai merasa tenang.

Akan tetapi, kemudian terdengar munculnya seorang pemuda yang dijuluki Pendekar Sadis karena kekejamannya membasmi orang-orang jahat. Tok-ciang Sian-jin teringat kepada Thian Sin, putera Ceng Han Houw itu, dan dia sudah dapat menduga bahwa agaknya Pendekar Sadis adalah Ceng Thian Sin putera pangeran yang pernah menggegerkan dunia persilatan sebagai jagoan nomor satu itu! Dan diapun menjadi panik dan ketakutan, apalagi ketika dia mendengar bahwa Hwa-i Kai-pang telah diobrak-abrik oleh Pendekar Sadis, bahkan Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai juga telah dibunuhnya secara mengerikan.

Makin yakinlah hatinya bahwa pemuda itu tentulah Ceng Thian Sin dan diapun tahu bahwa pemuda itu tentu akan mencarinya, tentu tahu pada akhirnya bahwa diapun menjadi satu diantara pengeroyok dan pembunuh Pangeran Ceng Han Houw.

Tok-ciang Sian-jin merasa tidak aman lagi tinggal di kota raja dan diapun lari ke satu-satunya tempat yang dirasanya aman baginya, yaitu ke sarang Pek-lian-kauw. Memang sudah lama dia mempunyai hubungan baik dengan Pek-lian-kauw. Setelah dia menempati sebuah pondok di dalam komplek sarang Pek-lian-kauw dan beberapa orang tokoh Pek-lian-kauw yang cukup lihai sebagai teman, hatinya menjadi tenteram juga.

Betapapun juga putera Sang Pangeran Ceng Han Houw yang diduganya tentulah Si Pendekar Sadis itu hanya seorang diri saja, maka dengan bantuan Pek-lian-kauw, bukan saja dia akan mampu menandingi Pendekar Sadis, bahkan kalau pemuda itu berani muncul, dia tentu akan berusaha agar pendekar itu dikeroyok dan tewas seperti mendiang ayahnya.

Sarang Pek-lian-kauw yang berada di lereng Pegunungan Tai-hang-san dan tidak jauh dari daerah kota raja itu memang merupakan tempat yang amat baik bagi perkumpulan ini. Dan agaknya untuk tidak menarik perhatian pemerintah, maka perkumpulan itu tidak mendirikan sebuah benteng, melainkan mempergunakan sebuah dusun untuk menjadi sarang mereka.

Mereka mendirikan rumah-rumah diantara penduduk dusun, dan ada pula yang mendirikan rumah-rumah di hutan-hutan tepi dusun itu, akan tetapi diantara rumah-rumah ini terdapat hubungan rahasia dan setiap saat tempat itu terjaga oleh anak buah Pek-lian-kauw yang bersembunyi di tempat-tempat rahasia.

Para penduduk dusun Tiong-king itupun kesemuanya telah dipengaruhi dan biarpun mereka masih merupakan penduduk dusun biasa, namun sesungguhnya mereka itu telah menjadi anggauta-anggauta yang setia dari Pek-lian-kauw yang menjanjikan perbaikan nasib bagi mereka kalau kelak "perjuangan" Pek-lian-kauw berhasil.

Pada suatu pagi, seorang wanita yang manis memasuki perkampungan Pek-lian-kauw itu dan karena ia membawa kulit harimau dan mengatakan bahwa wanita itu adalah isteri mendiang Hok-houw-kwi (Setan Penakluk Harimau), yaitu pemburu yang biasa menjual kulit harimau dan ular besar kepada para pimpinan Pek-lian-kauw, maka ia diterima tanpa banyak kecurigaan.

Bahkan Kim Lan yang membawa dua gulung kulit harimau itu segera dibawa menghadap kepada Thian Hwa Lo-su, yaitu kakek yang pada waktu itu menjadi pemimpin atau ketua cabang Pek-lian-kauw di daerah itu.

Adapun pusat Pek-lian-kauw masih berada di selatan, di Propinsi Hok-kian. Thian-hwa Lo-su ini adalah seorang sahabat baik dari Tok-ciang Sian-jin, dan dia memimpin Pek-lian-kauw cabang daerah itu dengan bantuan lima orang sutenya. Dengan hadirnya Tok-ciang Sian-jin di tempat itu, tentu saja dia merasa gembira dan berarti memperoleh tenaga yang boleh diandalkan, yang akan membuat Pek-lian-kauw cabang daerah itu menjadi semakin kuat.

Pada waktu itu, Thian-hwa Lo-su sedang bersama lima orang sutenya dan juga Tok-ciang Sian-jin hadir pula. Mereka sedang menerima kunjungan seorang tokoh Pek-lian-kauw dari Hok-kian. Tokoh ini adalah seorang tosu Pek-lian-kauw yang bernama Giok-lian-cu, seorang tosu tinggi kurus yang mukanya seperti tikus akan tetapi matanya amat berwibawa dan memang tokoh ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi di samping ilmu sihir yang cukup kuat.

Giok-lian-cu ini datang membawa pesan dari para pimpinan Pek-lian-kauw pusat untuk memperingatkan para pengurus cabang bahwa mereka itu kurang tekun berusaha menarik dukungan rakyat.

"Bagaimana dapat dikatakan kami kurang berusaha?" Thian-hwa Lo-su membantah. "Kami setiap hari sudah membujuk dan menghibur rakyat di dusun-dusun, dan sudah banyak yang menjadi pengikut kami. Seperti di dusun Tiong-king ini, dari anak-anak sampai kakek-kakek, laki-laki maupun wanita, semua mendukung gerakan kita!"

Dia merasa agak penasaran kalau dikatakan bahwa para pimpinan cabang kurang giat atau tekun bekerja.

"Siancai... harap Lo-heng jangan salah mengerti dan dapat menyelami apa yang dimaksudkan para pimpinan kita," kata Giok-lian-cu sambil tersenyum.

Kalau tersenyum, mukanya semakin mirip dengan muka tikus karena bentuk muka itu memang meruncing dan panjang, sedangkan muka itu dicukur licin, hanya disisakan beberapa helai kumis jarang.

"Coba Lo-heng jawab, selain berusaha membujuk dan mengambil hati rakyat dengan janji-janji muluk, apakah juga kawan-kawan di daerah ini berusaha untuk mencegah dan menghalangi adanya kemakmuran rakyat? Apakah ada usaha untuk mengacaukan pembagian air sawah, merusak tanaman, meracuni sungai-sungai agar ikan-ikan banyak mati, juga mengadakan kekacauan-kekacauan berselubung sehingga rakyat hidup dalam kekurangan, kelaparan dan kegelisahan?"

Para pimpinan Pek-lian-kauw daerah itu terbelalak. Selama mereka menerima "gemblengan" di pusat belum pernah mereka mendengar akan usaha seperti itu.

"Tapi mengapa? Bukankah kita malah harus berbaik dengan rakyat miskin? Mengapa kita harus membuat kehidupan mereka menjadi semakin memburuk...?"

"Ha-ha-ha, agaknya Lo-heng lupa bahwa rakyat harus dibuat semenderita mungkin, karena dengan demikian, dengan adanya kegagalan panen, kegagalan para nelayan, kekacauan dan ketidak amanan, maka semakin besar pula rakyat akan tidak puas dan membenci pemerintah. Kaisar dianggap sebagai utusan Thian, dan kalau sampai panen gagal dan kehidupan sukar, berarti bahwa Thian marah kepada kaisar maka menjatuhkan hukuman. Ini lebih mudah untuk mendorong rakyat untuk memberontak dan menjadi pengikut-pengikut kita."

Para pimpinan Pek-lian-kauw mengangguk-angguk dan mereka merasa kagum akan siasat baru yang dibawa oleh rekan ini dari pusat. Mereka lalu menyatakan kesanggupan mereka untuk mempergiat usaha mereka membuat rakyat di wilayah kekuasaan mereka menjadi semakin melarat, dan kalau perlu mereka akan membasmi hartawan-hartawan yang suka menderma, menghancurkan atau membakar persediaan pangan, meracuni sungai yang banyak ikannya dan meracuni tanaman-tanaman agar mati sebelum mengeluarkan hasil.

Akhirnya mereka itu minum arak dari cawan mereka sambil berseru,
"Hidup Pek-lian-kauw! Demi kemakmuran rakyat kalau pemerintah telah digulingkan dan Pek-lian-kauw yang berkuasa!"

Rapat pimpinan dilanjutkan dengan makan minum untuk menjamu tamu dari pusat itu. Dan biarpun para pimpinan Pek-lian-kauw itu terdiri dari orang-orang yang mengenakan jubah pendeta, akan tetapi mereka semua tidak pernah pantang makan barang berjiwa maupun minuman keras. Bahkan merekapun tidak pernah pantang bersenang-senang dengan wanita.

Karena itu, dalam perjamuan itupun terdapat beberapa orang wanita muda, yaitu wanita-wanita dari dusun-dusun yang telah menjadi pendukung mereka, tentu saja dipilih yang manis-manis melayani mereka makan minum.

Para gadis yang telah dipilih oleh pimpinan Pek-lian-kauw itu rata-rata telah lama menjadi kekasih mereka pula, dan sewaktu-waktu dapat dipanggil untuk menghibur para pimpinan Pek-lian-kauw.

Gadis ini merasa seolah-olah mereka itu terpilih dan merasa bangga karena selain mereka merasa dipakai oleh para orang terkemuka, juga mereka tentu saja dihadiahi banyak barang berharga, pakaian indah dan emas permata. Karena itu, dalam melayani mereka makan minum gadis-gadis itupun bersikap genit-genit, apalagi terhadap tamu itu, walaupun pendeta tamu itu tak dapat dikatakan memiliki wajah dan bentuk badan yang menarik hati wanita.

Pada pagi hari itulah, selagi para pimpinan Pek-lian-kauw menjamu Giok-lian-cu, tokoh Pek-lian-kauw pusat itu, muncul Kim Lan yang menawarkan dua gulungan kulit harimau kepada para pimpinan Pek-lian-kauw.

Anggauta Pek-lian-kauw yang mengenal suami wanita ini dan bahwa ketua mereka suka sekali mengumpulkan kulit binatang buas, segera membawa Kim Lan masuk ke ruangan dimana mereka sedang berpesta, apalagi melihat bahwa wanita penjual kulit harimau ini amat manis.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: