*

*

Ads

Kamis, 22 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 127

Seperti halnya Thian Sin, ketika menghadapi segala penglihatan dan pendengaran itu, dia tidak membayangkan hal-hal yang mengerikan, melainkan dengan waspada dia mengamati, maka dia terbebas dari rasa takut dan dapat menanggulangi keadaan yang bagaimanapun juga.

Ada yang mengatakan bahwa kita takut setan karena kita tidak mengertinya, karena kita tidak mengenalnya. Benarkah itu? Kalau kita mau menyelidiki, maka rasa takut akan setan itu sama sekali bukan timbul karena kita tidak mengenalnya. Orang yang tidak pernah mengenal setan, yang tidak pernah mendengar cerita tentang setan, anak-anak yang belum pernah mendengar sama sekali tentang setan, tidak mungkin akan takut!

Sebaliknya, yang kita takuti adalah karena kita sudah tahu tentang setan, sudah mendengar tentang setan, bahwa setan itu menakutkan, mengerikan, menyeramkan dan sebagainya. Maka, takutlah kita, karena pikiran kita membayangkan hal-hal yang menakutkan itu! Sederhana sekali, bukan? Maka sekali lagi, dapatkah kita hidup bebas dari rasa takut?

Senja itu Thian Sin kembali ke tempat persembunyiannya yang sunyi itu. Seperti biasa kalau dia hendak beristirahat di tempat ini, dia tidak langsung memasuki kuil. Dia tahu bahwa pada waktu itu, dia telah menanam banyak sekali bibit permusuhan dan pasti banyak orang pandai yang akan mencarinya dan mencelakainya.

Oleh karena itu, dia selalu hati-hati dan ketika dia tiba di tempat sunyi itu, diapun tidak langsung memasuki kuil tua. Dia mengambil jalan memutar, lebih dulu mengelilingi kuil itu untuk melihat kalau-kalau ada orang bersembunyi. Ketika dia mulai memutari kuil, tiba-tiba dia mendengar suara isak tangis perlahan yang datangnya dari arah belakang kuil dimana terdapat pohon besar yang menakutkan itu.

Hemm, apakah ada orang gila lain lagi yang hendak menakut-nakutinya, pikirnya. Ataukah ada orang pandai yang datang untuk membalas segala perbuatannya terhadap orang-orang jahat selama beberapa pekan di kota raja ini?

Dengan hati-hati Thian Sin lalu pergi ke belakang kuil, dan diapun terheran-heran melihat ada sesosok tubuh wanita berlutut di bawah pohon besar itu, tak jauh dari tengkorak yang masih tergantung, dan menangis terisak-isak!

Hemm, apakah ini? Perangkap? Thian Sin bersikap hati-hati sekali dan dengan kepandaiannya, dia berloncatan jauh dan mengelilingi pohon itu dari jauh untuk melihat kalau-kalau kehadiran wanita itu merupakan perangkap untuknya. Akan tetapi sunyi saja. Tidak ada orang lain kecuali wanita itu sendiri yang masih menangis. Maka diapun tidak curiga lagi dan cepat menghampiri, lalu setelah berdiri dekat diapun menegur halus.

"Siapakah engkau? Mengapa kau menangis disini?"

Wanita itu nampak terkejut dan mengangkat muka memandang. Thian Sin melihat sebuah wajah yang cukup manis, dengan usia kurang dari tiga puluh tahun dan wanita itu segera bangkit berdiri dan menghadapi Thian Sin dengan sikap marah.

"Kenapa engkau menggangguku? Pergilah! Urusanku tidak ada sangkut-pautnya denganmu. Pergi!"

Akan tetapi tentu saja Thian Sin tidak mau pergi, bahkan dia mengerutkan alisnya dan berkata,

"Hemm, engkaulah yang menggangguku, engkaulah yang harus pergi dari sini. Tempat ini adalah tempatku. Kau siapa dan apa maksudmu..."






"Persetan denganmu!" bentak wanita itu, yang segera menerjang dan memukulnya!

Thian Sin melihat gerakan orang yang paham ilmu silat, bahkan pukulannya cukup cepat dan keras. Dia menangkap lengan yang memukulnya itu dan sekali memutarnya, tubuh wanita itu terpelanting jatuh. Akan tetapi, dengan nekat wanita itu bangkit lagi dan menyerang lagi, kini menendang dengan tendangan cepat dan kuat ke arah pusar. Thian juga menangkap kaki itu dan mendorongnya sehingga wanita itu jatuh terbanting lebih keras lagi! Wanita itu menangis lagi.

"Hu-huuuh... kau... kamu manusia kejam... !"

Dan iapun menghampiri pohon dimana sudah terpasang selendangnya, sehelai selendang yang diikatkan ujungnya di cabang, dekat tempat tengkorak bergantung, kemudian wanita itu meloncat, memegang selendang yang tergantung itu dan memasang ujungnya pada lehernya, kemudian melepaskan kedua tangannya sehingga lehernya tergantung!

Thian Sin terkejut sekali, akan tetapi dia berdiri dan tetap tersenyum. Ah, wanita itu tentu hanya hendak menggertak saja, pikirnya. Wanita seperti itu tentu bisa saja mempergunakan akal, pura-pura gantung diri untuk menarik perhatiannya, atau mungkin juga ada udang di balik batu. Siapa tahu wanita itu hendak menjebaknya. Maka diapun diam saja, bahkan bersedakap dan berdiri memandang sejenak, kemudian membalikkan tubuhnya dan memasuki kuil!

Wanita itu sejak menggantung diri tadi memandang kepada Thian Sin dengan sinar mata tajam dan kini tubuhnya berkelojotan, lidahnya terjulur keluar, matanya melotot, akan tetapi ia tetap tidak mau mempergunakan kedua tangannya untuk menahan selendang.

Kalau dikehendakinya, tentu saja ia dapat mempergunakan tangannya untuk menahan selendang dan melepaskan lehernya dari gantungan itu. Akan tetapi agaknya keputusannya sudah bulat dan ia memilih mati di tempat gantungan itu, berdekatan dengan tengkorak orang yang dahulu telah menggantung diri sampai mati disitu dan yang arwahnya kabarnya menjadi setan di tempat itu.

Setelah tubuh itu tidak berkejojotan lagi, barulah Thian Sin berloncatan keluar dari kuil menuju ke pohon itu. Dengan mudah saja dia menurunkan wanita itu dari tempat gantungan, memondongnya memasuki kuil dimana telah dinyalakan sebatang lilin. Dia biasa tidur di lantai yang ditilami jerami kering dan selimut. Direbahkannya tubuh itu ke atas selimut dan dia memeriksanya. Memang wanita itu telah pingsan. Cepat dia mengurut leher itu, menotok beberapa jalan darah dan memaksa bibir itu terbuka dan dituanginya beberapa teguk air dari guci airnya. Tak lama kemudian wanita itu membuka mata, mengeluh dan nampak bingung.

"Su... sudah matikah...?" akan tetapi ia melihat wajah Thian Sin dan cepat ia memukul sambil meloncat bangun.

Thian Sin menangkap tangan itu.
"Tenanglah. Aku menyelamatkanmu dari kematian dan engkau malah hendak memukulku?"

"Kenapa kau menurunkan aku? Kenapa tidak membiarkan aku mati. Ah, aku ingin mati saja! Aku ingin mati...huh-huuuhh..." dan wanita itupun menangis lagi, mengguguk.

Thian Sin merasa kasihan. Tadinya dia merasa curiga, akan tetapi setelah melihat betapa wanita itu sungguh-sungguh hendak membunuh diri, dia merasa kasihan dan timbul keinginannya untuk menolong wanita yang merasa berduka dan lebih baik memilih mati itu.

"Katakanlah kepadaku, mengapa engkau ingin mati? Kalau ada rasa penasaran, beritahukan padaku dan aku akan menolongmu."

Wanita itu menghentikan tangisnya dan memandang kepada wajah Thian Sin, lalu menangis lagi.

"Tak mungkin..." isaknya. "Biarpun engkau dapat mengalahkan aku, akan tetapi seorang pemuda pelajar macam engkau ini mana mungkin dapat menandingi Toan-ong-ya?"

Diapun menangis lagi. Diam-diam Thian Sin tertarik. Dia sudah pernah mendengar nama ini. Toan-ong-ya adalah seorang pangeran tua yang kabarnya tidak aktip lagi dalam pemerintahan, akan tetapi orang itu terkenal sebagai seorang pangeran yang kaya raya, memiliki ilmu silat cukup tinggi, dan terutama sekali, amat dermawan dan dikenal baik oleh para tokoh persilatan. Pangeran tua yang dikabarkan kaya raya dan gagah itu bagaimana kini dapat membuat seorang wanita muda yang manis ini menderita dan ingin membunuh diri?

"Ceritakanlah, jangankan Toan-ong-ya, biarpun raja neraka sekali, kalau kuanggap cukup memenuhi syarat untuk dibasmi, akan kubunuh dia!" katanya dengan nada suara yang serius dan halus, namun mengandung ancaman yang mendirikan bulu roma.

Wanita itu masih menangis, membuat Thian Sin menjadi jengkel juga.
"Ceritakanlah dan aku akan membantumu. Kalau engkau tidak mau, nah, pergi dari sini dan kalau kau mau bunuh diri, silakan, akan tetapi jangan di tempatku sini!"

Wanita itu menghentikan tangisnya, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Sin.

"Benarkah taihiap sudi menolongku, membalaskan dendam sakit hatiku yang sedalam lautan?"

"Ceritakanlah apa yang terjadi," potong Thian Sin.

"Pangeran terkutuk itu telah membunuh ayahku, suamiku, lalu memperkosaku dan memaksaku menjadi selirnya. Aku tak tahan lagi dan hendak membunuhnya untuk membalas kematian ayahku dan suamiku, akan tetapi dia terlalu kuat bagiku dan aku malah dihinanya... sampai aku melarikan diri dan pergi ke tempat yang terkenal ada hantunya ini untuk membunuh diri..."

Thian Sin mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak mau menelan dan menerima saja cerita sepihak macam ini.

"Mengapa ayahmu dan suamimu dibunuh oleh pangeran itu?"

Wanita itu lalu bercerita yang kadang-kadang diselingi isak. Ia bernama Louw Kim Lan, sudah beberapa tahun lamanya menjadi isteri dari seorang pemburu she Gak yang pekerjaannya memburu binatang buas berdua dengan ayahnya. Mereka berburu di hutan-hutan sebelah utara kota raja dan mereka telah mendapatkan seorang langganan yang baik, yaitu keluarga Pangeran Toan itulah.

Pada suatu hari, ketika Kim Lan membawa kulit binatang hutan untuk dikirimkan ke rumah Toan-ong-ya, kebetulan sekali pangeran tua itu sendiri yang menerimanya dan agaknya pangeran yang terkenal kaya raya dan dermawan akan tetapi juga terkenal suka bermain-main dengan wanita-wanita cantik itu agaknya tertarik kepada Kim Lan yang manis.

Kim Lan dibujuk dan diancam, bahkan Sang Pangeran itu mempergunakan kekerasan untuk menahannya di dalam istananya dan akhimya Kim Lan tak dapat melawan dan terpaksa harus menyerahkan diri kepada pangeran tua yang juga adalah seorang ahli silat tinggi yang amat lihai itu.

Suaminya dan ayahnya yang sudah lama menjadi teman berburu suaminya, jauh sebelum ia menikah dengan pemburu itu, malam-malam datang menyelidiki dan dalam pertempuran melawan Toan-ong-ya, keduanya roboh tewas. Selanjutnya, Kim Lan diambil sebagai selir oleh pangeran itu. Ketika malam tadi Kim Lan mencari kesempatan untuk membunuh pangeran itu dengan racun ia ketahuan dan biarpun ia diampuni, namun ia diusir pergi dari istana.

"Demikianlah, taihiap. Apa dayaku sebagai seorang wanita lemah? Biarpun aku mengerti sedikit ilmu silat, akan tetapi mana mungkin aku menandingi Toan-ong-ya? Baru melawan para pengawalnya saja aku tidak akan mampu. Karena putus harapan dan penasaran, aku mengambil keputusan untuk mati dan menyusul ayah dan suamiku saja!"

Kim Lan mengakhiri penuturannya dan menangis lagi. Thian Sin sudah mengerutkan alisnya dan mengepal tinju tangannya.

"Baik, malam ini juga Toan-ong-ya akan kubunuh, akan tetapi engkau harus ikut untuk membuktikan kebenaran ceritamu!" katanya.

Wanita itu terkejut dan menggeleng kepala.
"Tidak... tidak... mana aku berani ke sana?"

"Jangan takut, ada aku yang akan melindungimu. Aku berjanji, takkan ada orang yang dapat mengganggumu seujung rambutmu pun. Mari!"

Dengan terpaksa, akan tetapi juga penuh harapan, wanita yang bernama Kim Lan itu lalu berlari menuju ke dalam kota raja. Ketika mereka tiba di pintu gerbang kota raja, Thian Sin memondongnya dan membawanya melompati tembok kota raja yang tinggi itu, membuat Kim Lan menahan napas dan juga kagum bukan main. Setelah mereka turun di sebelah dalam tembok itu, Kim Lan berkata.

"Ah, sekarang aku percaya bahwa taihiap tentu akan dapat membantuku menghadapi pangeran terkutuk itu!"

Thian Sin tidak menjawab, melainkan menurunkan Kim Lan dan mereka melanjutkan perjalanan menuju ke istana pangeran itu. Suasana sudah sunyi karena waktu telah mulai menjelang tengah malam. Dengan mudahnya mereka tiba di sebelah belakang tembok yang mengurung istana Pangeran Toan itu.

Disini, kembali Thian Sin memondong tubuh Kim Lan dan meloncat ke atas pagar tembok, lalu mereka, atas petunjuk Kim Lan, turun ke dalam taman di belakang istana. Dari sini, Kim Lan menjadi penunjuk jalan. Dengan berindap-indap mereka memasuki bangunan yang besar dan megah itu, melalui pintu-pintu rahasia kecil yang dikenal baik oleh Kim Lan.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: