*

*

Ads

Kamis, 22 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 124

Lima orang pengemis itu lalu mengikat lagi kedua pergelangan tangan Thian Sin ke belakang tubuhnya, kemudian pemuda ini lalu mereka giring menuju ke sarang mereka. Di sepanjang perjalanan, banyak orang menonton iring-iringan ini. Tidak aneh melihat orang-orang Hwa-i Kai-pang menganiaya orang.

Akan tetapi sekali ini lain. Pemuda itu tidak kelihatan berduka atau ketakutan. Sebaliknya malah, lima orang pengemis yang menggiringnya itu, yang oleh banyak orang terkenal sebagai tokoh-tokoh tinggi Hwa-i Kai-pang, berjalan di depan dan belakang pemuda itu dengan wajah muram dan pendiam, nampak serius sekali, sedangkan si pemuda yang menjadi tawanan mereka itu tersenyum-senyum, bahkan kelihatan bernyanyi-nyanyi kecil! Tentu saja hal ini membuat semua orang menjadi terheran-heran dan ada yang mengira bahwa pemuda tampan yang berpakaian mewah itu tentu telah menjadi gila!

Tempat yang menjadi pusat atau sarang Hwa-i Kai-pang sekarang jauh berbeda dengan dahulu sebelum perkumpulan pengemis itu dekat dengan kekuasaan kaisar. Tempat itu berada di luar pintu gerbang sebelah timur, merupakan bangunan yang cukup besar, terdiri dari rumah-rumah kecil mengelilingi bangunan besar yang menjadi tempat tinggal dua orang ketua mereka.

Dan di sekeliling perumahan itu terdapat pagar tembok yang tinggi dan tebal, seperti keadaan sebuah benteng saja. Pintu tembok itupun tebal dan dijaga ketat oleh pengemis-pengemis yang lagaknya seperti penjaga di pintu gerbang istana saja, setiap orang pengemis memegang sebuah tongkat.

Diam-diam Thian Sin merasa girang bahwa dia telah mempergunakan siasat membiarkan dirinya ditawan ini. Harus diakuinya bahwa biarpun dengan mudah dia akan dapat melewati tembok itu dan menyerbu ke dalam, namun belum tentu dia akan bisa mencari dua orang ketua itu kalau mereka menyembunyikan diri atau melarikan diri.

Dengan akalnya yang sekarang, dia malah akan dibawa menghadap mereka, jadi dia tidak perlu mencari lagi! Jantungnya berdebar tegang ketika dia dibawa melalui lorong dimana terdapat pengemis-pengemis yang berjaga-jaga.

Beberapa orang pengemis tua memandang heran dan ada yang bertanya kepada lima orang tokoh pengemis yang menangkap pemuda itu. Mereka menjawab dengan singkat bahwa pemuda itu adalah tawanan mereka yang hendak mereka hadapkan kepada ketua.

Jawaban ini saja sudah dapat dimengerti oleh para rekan mereka itu bahwa tangkapan itu adalah orang penting maka harus dihadapkan dengan ketua sendiri. Betapapun juga, para tokoh Hwa-i Kai-pang dari tingkat tiga ke atas menjadi tertarik dan merekapun ikut pula mengawal pemuda itu memasuki bangunan besar untuk menghadap ketua. Mereka semua ingin mendengar dan melihat karena mereka dapat menduga bahwa pemuda itu tentulah orang yang penting maka oleh lima orang rekan itu dibawa menghadap ketua.

Pada waktu itu, Hwa-i Kai-pang merupakan perkumpulan yang kuat. Para anggauta pimpinan terdiri dari dua orang ketuanya, para murid tingkat dua yang jumlahnya ada enam orang, yaitu murid-murid kepala yang digembleng oleh dua orang ketua itu sendiri, lalu lima belas orang murid yang ilmu silatnya lebih rendah daripada murid-murid kepala, akan tetapi lima belas orang murid tingkat tiga ini telah membentuk Ngo-heng-tin yang tangguh dan biasanya merupakan inti kekuatan Hwa-i Kai-pang kalau menanggulangi urusan yang memerlukan kekerasan.

Kini, melihat adanya seorang pemuda yang tampan dan kelihatan gagah menjadi tawanan dan diajukan kepada ketua, hal yang jarang terjadi, semua murid tingkat dua dan tiga yang kebetulan berada di tempat itu segera berkumpul dan ikut pula menghadap.






Tentu saja murid-murid lain yang lebih rendah tingkatnya tidak berani ikut memasuki ruangan dimana terdapat ketua mereka. Murid-murid tingkat rendah ini tidak berani menghadap tanpa dipanggil.

Pada waktu itu, yang kebetulan berada di sarang ada tiga orang murid tingkat dua dan sepuluh orang murid tingkat tiga, atau dua Ngo-lian-tin berikut yang menawan Thian Sin. Mereka memasuki sebuah ruangan yang luas, karena ruangan ini selain merupakan ruangan untuk persidangan para pimpinan, juga merupakan sebuah lian-bu-thia dimana mereka biasa berlatih silat.

Thian Sin yang dibawa memasuki ruangan ini memandang dengan penuh perhatian. Dia melihat betapa ruangan yang luas itu cukup mewah, dihias dengan lukisan-lukisan dan di sudut terdapat rak-rak terisi segala macam senjata. Biarpun keistimewaan para pengemis ini adalah memainkan tongkat, namun sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka juga melatih diri dengan senjata lain sehingga mereka tidak akan merasa asing apabila berhadapan dengan lawan yang mempergunakan lain macam senjata.

Di sudut ruangan itu nampak dua orang kakek yang tengah duduk berhadapan dengan santai dan bercakap-cakap. Sebagai ketua perkumpulan yang intinya adalah ilmu silat, maka dua orang ketua ini tidak pernah dikawal dan kini mereka duduk berdua saja di ruangan itu dan baru mereka mengangkat muka memandang ketika para murid datang menghadap membawa seorang pemuda yang tidak mereka kenal.

Thian Sin memperhatikan dua orang kakek itu. Yang seorang bertubuh kurus sekali, seperti tulang dibungkus kulit saja, mukanya penuh keriput dan pucat, nampak sudah tua sekali dan kiranya kakek ini tidak akan kurang dari tujuh puluh tahun lebih, mukanya hitam seperti pantat kwali, sungguh merupakan kebalikan dari muka kakek pertama, akan tetapi anehnya, kakek bermuka hitam ini mempunyai kulit tangan yang putih.

Melihat keadaan mereka, Thian Sin dapat menduga bahwa tentu kakek tua renta itu adalah Lo-thian Sin-kai sedangkan yang kedua adalah sutenya yang bernama atau berjuluk Hek-bin Mo-kai.

Jantungnya berdebar karena tegangnya dan juga marah. Jadi dua orang inilah yang telah membantu Kerajaan Beng untuk mengeroyok dan ikut membunuh ayah bundanya!

Tiga belas orang tingkat dua dan tiga itu berlutut di atas lantai menghadap dua orang kakek yang masih duduk di atas kursi itu. Akan tetapi ketika lima orang pengemis itu mendorong Thian Sin untuk berlutut, pemuda ini tetap berdiri saja sambil memandang ke arah dua orang kakek itu dengan sinar mata tajam penuh selidik.

"Apa artinya ini? Siapakah bocah yang kalian bawa ini?"

Hek-bin Mo-kai menegur dengan suara tidak senang melihat sikap pemuda itu yang demikian angkuh.

Biarpun pemuda itu tampan dan gagah, memakai pakaian mewah seperti seorang pelajar tinggi, akan tetapi berhadapan dengan dua orang ketua Hwa-i Kai-pang dengan sikap demikian angkuh sungguh merupakan suatu sikap yang kurang ajar. Si Hidung Pesek, pemimpin dari Ngo-lian-tin itu, cepat memberi hormat,

"Harap ji-wi pangcu sudi memaafkan kami. Pemuda ini telah membuat kacau di lapangan dekat pasar, membela penjual koyo yang berani membuka dagangan tanpa ijin kita, bahkan pemuda ini telah memukul dan membuntungi telinga dua orang anak buah kita. Maka kami lalu datang dan kami menangkapnya untuk kami bawa menghadap ji-wi pangcu dan mohon keputusan ji-wi pangcu terhadap dirinya."

Mendengar laporan itu, Hek-bin Mo-kai yang wataknya berangasan itu menjadi marah. Terutama dia mendongkol mendengar ada orang berani membuntungi telinga kedua orang anak buah Hwa-i Kai-pang.

"Hemm, urusan sepele begini saja kalian tidak dapat memutuskan sendiri dan harus minta keputusan kami? Tolol! Dia telah mengacau, dia telah menghina anak buah kita, mau apa lagi? Kalau dia membuntungi telinga anak buah kita, nah, buntungi kedua telinganya dan cokel kedua mata itu yang seperti mata setan!"

Mendengar perintah ini, para tokoh yang lain mengangguk-angguk setuju, akan tetapi lima orang pengemis yang tadi menggiring Thian Sin masuk saling pandang dengan muka pucat. Si Hidung Pesek menjadi serba salah maka diapun tak dapat berlagak telah menangkap pemuda itu lagi.

"Tapi... tapi... pangcu, dia... dia itu lihai sekali dan kami tidak akan dapat melaksanakan perintah itu."

Kini dua orang ketua itu mengangkat muka memandangnya penuh keheranan, juga merasa marah dan terkejut.

"Apa? Dan kalian bukankah telah meringkusnya dan menyeretnya ke sini?" yang bertanya ini adalah Lo-thian Sin-kai, suaranya halus dan sikapnya hati-hati, kini memandang penuh kecurigaan kepada lima orang anak buahnya itu, juga kepada Thian Sin.

"Mohon maaf sebesarnya dari ji-wi pangcu," Si Hidung Pesek berkata, suaranya gemetar. "Sesungguhnya... kami berlima telah dikalahkan oleh pemuda ini... dan dia... dia sendiri yang minta agar dibelenggu dan dibawa menghadap ji-wi pangcu."

Dua orang ketua Hwa-i Kai-pang itu terkejut bukan main. Kiranya pemuda ini dapat mengalahkan Ngo-lian-tin! Akan tetapi mengapa lalu menyerah dan minta ditangkap? Apa yang tersembunyi dibalik sikap aneh ini? Kini kedua orang ketua itu bangkit dari tempat duduk mereka, memandang tajam kepada Thian Sin.

"Orang muda, siapakah engkau?" Lo-thian Sin-kai bertanya, suaranya halus. "Apa maksudmu mengacau anak buah kami lalu minta dihadapkan kepada kami?"

Dengan kedua tangan masih terbelenggu ke belakang tubuhnya, Thian Sin menjawab sambil tersenyum, akan tetapi sepasang matanya mencorong seperti hendak membakar kedua orang pengemis tua itu!

"Kalian adalah Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, benarkah?"

"Benar!" bentak Hek-bin Mo-kai. "Dan siapakah engkau, pemuda sombong?"

"Ha-ha-ha!" Thian Sin tertawa girang setelah mendapatkan kepastian bahwa dua orang inilah musuh besar yang dicari-carinya. "Kuberitahukan namakupun kalian tidak akan mengenalnya. Akan tetapi kalian tentu mengenal nama Pangeran Ceng Han Houw dan isterinya yang bernama Li Ciauw Si, bukan?"

Seketika pucat wajah kedua orang kakek pengemis itu mendengar disebutnya nama ini. Semenjak mereka berdua ikut mengeroyok dan membunuh pangeran itu bersama isterinya, mereka dapat mengangkat nama Hwa-i Kai-pang sebagai perkumpulan yang tidak lagi dimusuhi oleh kerajaan, bahkan dianggap berjasa dan memperoleh kekuasaan dan pengaruh.

Akan tetapi, sering kali mereka bermimpi buruk karena mereka tahu bahwa pangeran itu adalah seorang yang amat sakti dan isterinya adalah keluarga dari Cin-ling-pai. Kalau saja Cin-ling-pai berusaha membalas kematian itu! Mereka sering merasa ngeri dan ketakutan, maka mereka lebih banyak bersembunyi dan berlindung di balik kekuasaan kaisar.

Setelah lewat bertahun-tahun dan tidak ada usaha dari fihak Cin-ling-pai untuk mengganggu mereka, hati mereka mulai tenang sungguhpun mereka lebih menikmati kedudukan mereka itu dengan bersenang-senang di dalam sarang yang terjaga kuat itu daripada berkeliaran di luar. Maka, sungguh amat mengejutkan hati mereka ketika pemuda ini bicara tentang Pangeran Ceng Han Houw dan isterinya!

"Siapakah engkau? Apa maksudmu bicara tentang orang yang sudah mati?" tanya Hek-bin Mo-kai sambil berusaha menyembunyikan getaran suaranya di balik bentakan marah yang tidak sangat berhasil.

"Pandanglah baik-baik. Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai. Aku adalah putera tunggal mereka!" Dia berhenti sebentar, menikmati kekagetan yang membayang di wajah-wajah yang pucat itu. "Dan tak perlu kiranya kujelaskan mengapa aku datang mencari kalian, bukan?"

Dua orang ketua Hwa-i Kai-pang itu terbelalak, akan tetapi mereka bukanlah orang lemah. Apalagi disitu terdapat tiga belas orang murid-murid mereka yang boleh diandalkan, dan juga bukankah pemuda itu dalam keadaan terbelenggu kedua tangannya?

"Bentuk dua Ngo-lian-tin dan bekuk pemuda ini!" bentak Hek-bin Mo-kai, memerintah kepada sepuluh orang murid tingkat tiga itu.

Biarpun lima orang yang tadi menggiring Thian Sin pernah merasakan kelihaian pemuda ini dan mereka merasa gentar, namun kini mereka berada di kandang sendiri. Disitu terdapat dua orang guru dan ketua mereka, juga teman-teman mereka yang lihai, maka timbul pula keberanian mereka, bahkan mereka hendak mempergunakan kesempatan ini untuk membalas kekalahan mereka tadi. Cepat mereka lari ke rak senjata dan menyambar tongkat-tongkat yang banyak terdapat disitu, kemudian bersama Ngo-lian-tin yang kedua, mereka sudah membentuk barisan lima teratai dan mengurung Thian Sin.

Pemuda ini masih belum melepaskan belenggu kedua tangannya. Dia berdiri menghadapi pengepungan dua barisan Ngo-lian-tin itu dengan tenang sekali dan masih tersenyum-senyum saja. Kepada Si Hidung Pesek dia berkata,

"Sekali ini aku tidak akan mengampuni kalian."

Dan dia masih saja belum melepaskan diri dari belenggu kedua tangannya, seolah-olah dia hendak menunjukkan bahwa untuk menghadapi kedua barisan Ngo-lian-tin itu dia tidak membutuhkan kedua lengannya!

Melihat hal ini, tentu saja Si Hidung Pesek melihat keuntungan dan cepat dia memberi aba-aba kepada teman-temannya untuk cepat bergerak. Maka mulailah Ngo-lian-tin pertama itu bergerak menyerang sedangkan Ngo-lian-tin ke dua juga mendesak dan membantunya.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: