*

*

Ads

Kamis, 15 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 118

Maka sebentar saja dia telah dapat membangun sebuah rumah besar dan hidup mewah diantara kehidupan sederhana dari para penghuni perkampungan itu. Dan bukan ini saja. Semakin lama Su Lo To semakin bersikap sewenang-wenang dan wanita mana saja yang disukainya, mau tidak mau harus datang kepadanya dan melayaninya! Pendeknya, Su Lo To hidup sebagai raja kecil yang memeras orang-orangnya dan mempergunakan tangan besi. Semua orang takut kepadanya, karena Su Lo To ini amat kejam.

Beberapa orang telah tewas olehnya karena melakukan kesalahan atau pelanggaran perintahnya. Laki-laki tinggi besar yang memimpin teman-temannya untuk menangkap orang hutan itu tadinya adalah orang yang dianggap sebagai pemimpin kelompok itu. Orang ini bernama Gak Song dan sudah dikalahkan oleh Su Lo To, lalu diangkat menjadi wakilnya.

Gak Song amat setia kawan terhadap teman-temannya, maka biarpun dia diangkat menjadi wakil Su Lo To, namun dia secara diam-diam membela kawan-kawannya. Akan tetapi, akhirnya Su Lo To mau juga mengganggu pembantu atau wakilnya ini, Gak Song mempunyai seorang mantu perempuan yang baru saja dikawini puteranya. Mantu perempuan ini datang dari dusun lain yang agak jauh dari tempat itu, dan termasuk seorang wanita yang cantik dan manis. Kecantikan mantu perempuan inilah yang mendatangkan malapetaka bagi keluarganya, karena seperti mudah diduga, Su Lo To tertarik kepadanya!

Akan tetapi, terhadap wakilnya, Su Lo To merasa tidak enak hati juga untuk mempergunakan kekerasan. Dan timbullah akalnya yang busuk! Selama beberapa bulan ini, di sebuah hutan besar tak jauh dari daerah perburuan mereka, terdapat seekor orang hutan yang anat ganas dan kuat. Karena mereka merasa kewalahan untuk menghadapi orang hutan ini, bahkan telah kehilangan seorang teman menjadi korban orang hutan, maka para pemburu lalu meninggalkannya dan menjauhi hutan itu.

Dan Su Lo To juga tidak memaksa anak buahnya untuk menghadapi bahaya itu. Akan tetapi, setelah dia melihat mantu Gak Song, tiba-tiba dia memerintahkan agar Gak Song dan anak buahnya, termasuk puteranya sendiri, pergi menangkap orang hutan itu hidup-hidup!

"Orang hutan itu merupakan binatang yang cerdik," demikian katanya kepada Gak Song.

"Aku ingin menjinakkannya dan kemudian menjadikannya semacam keamanan rumah. Maka diapun harus dapat ditangkap dalam keadaan hidup!"

Gak Song dan kawan-kawannya tidak berani membantah lagi karena membantah berarti akan membuat kepala itu marah dan celakalah mereka kalau Su Lo To sudah marah. Terpaksa mereka berangkat dan memasang jebakan dengan menggali lubang. Akhirnya, setelah menanti dengan sabar dan menggunakan segala akal untuk memancing orang hutan itu datang, mereka berhasil menjebak dan orang hutan itu terjerumus ke dalam perangkap.

"Demikianlah, taihiap, selanjutnya taihiap melihat sendiri apa yang terjadi dan tanpa bantuan taihiap, tidak mungkin kami akan berhasil. Kalau tidak menjadi korban orang hutan itu, tentu sebaliknya kami akan menerima hukuman dari ketua kami sendiri."

Thian Sin mengangguk-angguk.
"Tapi, bagaimana seorang temanmu dapat berada di dalam perangkap itu?"

"Kami semua mempergunakan tombak untuk mencegah orang hutan itu yang berusaha untuk keluar dari lubang. Sayang bahwa lubang itu terlalu dangkal sehingga tanpa dicegah dengan tombak, orang hutan itu tentu akan dapat keluar lagi. Dan binatang itu hebat sekali. Tusukan tombak tidak melukainya, dan dia bahkan berhasil menangkap sebatang tombak dan menarik tombak itu, membuat teman kami terjungkal ke dalam lubang dan kami tidak dapat menyelamatkannya lagi," Gak Song menarik napas panjang. "Dan... teman kami yang menyerang taihiap tadi mencari mati sendiri, dia melakukannya karena takut kepada ketua kami. Maka, harap taihiap sudi memaafkan kami dan dapat mengerti keadaan kami yang tersudut ini..."






Thian Sin mengangguk-angguk.
"Dan bagaimana kalian akan dapat menaklukkan orang hutan di dalam perangkap itu dan membawanya kepada pemimpin kalian?"

"Kami tadi tidak berani mempergunakan racun, takut kalau-kalau membunuhnya. Sekarang, dia tidak berdaya di dalam lubang, kami akan melaporkan kepada pemimpin kami dan kalau perlu kami akan membuat binatang itu kelaparan sehingga mudah ditangkap."

Pada saat itu terdengar jerit suara wanita. Semua orang menengok dan nampaklah seorang wanita muda berlarian sambil menangis dan menjerit-jerit memanggil nama dua orang diantara mereka.

"Su Bwee...!" teriak seorang muda, seorang diantara mereka yang cepat berlari maju menyambut wanita itu.

Mereka berpelukan dan wanita itu menangis sesenggukkan. Wanita muda itu manis dan pakaiannya, juga rambutnya awut-awutan, mukanya pucat dan matanya basah karena tangis.

"Apa yang terjadi?" Thian Sin bertanya kepada Gak Song yang memandang dengan alis berkerut.

"Ia mantuku, baru beberapa bulan menikah dengan puteraku... entah apa yang telah terjadi, taihiap..."

Sambil berkata demikian, laki-laki tinggi besar ini melangkah maju menghampiri dua orang yang saling berpelukan itu. Thian Sin juga melangkah maju.

"Su Bwee, berhentilah menangis dan ceritakan, apa yang telah terjadi maka engkau menyusul ke tempat berbahaya ini sambil menangis?" kata Gak Song.

Mendengar suara Gak Song, wanita muda bernama Su Bwee itu lalu mengangkat mukanya dari dada suaminya, menoleh ke arah ayah mertuanya, kemudian sambil menangis iapun lalu menjatuhkan diri berlutut menubruk kaki ayah mertuanya.

"Ayah... bunuhlah saja saya..." tangisnya.

Mendengar ratapan anak mantunya, Gak Song memandang dengan mata tebelalak, lalu diapun membentak, suaranya berwibawa.

"Bangkitlah, jangan seperti anak kecil dan ceritakan apa yang telah terjadi!"

Su Bwee menceritakan dengan suara tidak jelas karena betapapun ia menahannya, tetap saja ia bicara sambil menangis sesenggukan.

"Setelah ayah dan suami saya pergi... ketua kedatangan seorang tamu... dan untuk menjamu tamu itu... saya dan beberapa orang wanita muda disuruh melayani mereka makan... kemudian... ketua memaksa saya... uh-hu-huuh... dia... dia menyeret saya ke dalam kamarnya dan... dan... uh-huu-huuh..."

Wanita itu tidak dapat melanjutkan ceritanya karena ia sudah terguling dan roboh pingsan. Agaknya ia telah menempuh jarak jauh mencari suami dan ayah mertuanya itu sambil menangis dan berlari-larian, maka ia kehabisan napas dan juga kesedihan yang amat besar menghimpit perasaannya. Biarpun ceritanya tidak jelas, namun semua orang dapat menangkap dan membayangkan apa yang telah terjadi, apa yang telah dilakukah oleh pemimpin mereka, Su Lo To, kepada Su Bwee ini.

Suaminya, pemuda yang menjadi putera Gak Song itu, mengepal tinju dan memejamkan kedua matanyat seolah-olah hendak mengusir bayangan yang nampak olehnya, betapa isterinya dipaksa dan diperkosa oleh Su Lo To. Sedangkan Gak Song marah sekali. Laki-laki tinggi besar ini berdiri tegak, kedua tangan dikepal dan diapun lalu berteriak dengan geramnya.

"Su Lo To, manusia jahanam! Berani menghinaku seperti ini?"

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa, disusul suara parau.
"He-he, kaulihat saja, sute, bagaimana aku akan menghukum mereka yang berani menentangku!"

Dan muncullah dua orang laki-laki dari antara pohon-pohon di depan. Melihat bahwa yang datang itu adalah Su Lo To dan seorang laki-laki setengah tua lainnya, semua orang terkejut dan nampak jelas betapa mereka itu ketakutan.

Thian Sin melihat betapa gerakan kaki kedua orang itu cukup gesit dan ketika dia mengenal orang ke dua, wajah pemuda ini berubah, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga. Bahkan beberapa kali mengedipkan matanya, seolah-olah tidak percaya akan penglihatannya sendiri.

Betapa dia tidak akan terkejut dan heran ketika mengenal laki-laki yang bukan lain adalah Torgan, bekas koksu dari Raja Agahai! Bukankah bekas koksu itu telah dihukum mati, dipenggal di lehernya dan kepalanya malah digantungkan di depan pintu gerbang untuk menjadi peringatan bagi orang lain? Kenapa orang yang telah mati itu tiba-tiba dapat muncul disini? Apakah arwah atau setannya? Thian Sin memandang lagi, kini dia khawatir kalau-kalau dia terkena pengaruh sihir. Akan tetapi, tetap saja orang yang dipandangnya itu adalah Torgan.

Sementara itu Gak Song yang sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi begitu melihat munculnya Su Lo To yang telah mengganggu dan memperkosa mantunya timbul kenekatan hatinya.

"Su Lo To manusia setan, biar aku mengadu nyawa denganmu."

Gak Song mempergunakan tombaknya untuk menyerang. Melihat serangan yang cukup hebat dan dilakukan dengan hati yang penuh kemarahan ini, Su Lo To tertawa. Laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun ini tubuhnya gendut agak pendek, mukanya buruk sekali, kulit mukanya kasar hitam dan matanya besar sebelah, mulutnya lebar dan ketika tertawa, nampak giginya yang berwarna kuning menghitam.

Ketika mata tombak Gak Song sudah dekat dengan perutnya, tiba-tiba Su Lo To menggerakkan tangannya. Tubuhnya miring dan sekali sambar, dia sudah berhasil menangkap tombak itu, menariknya dengan semakin kuat, kakinya melangkah maju dan sekali diayun, dia sudah menendang dan Gak Song tak dapat mengelak lagi, terkena tendangan dan jatuh terjengkang.

Pada saat itu, puteranya, suami Su Bwee, yang juga marah dan nekat, juga menerjang dan menusukkan tombaknya. Kembali Su Lo To tertawa, dengan mudah saja dia menangkis sehingga terdengar suara keras dan tombak di tangan pemuda itu patah. Sebelum lawannya yang muda itu sempat mengelak, sebuah tendangan mengenai pahanya dan pemuda itu terlempar dan terbanting jatuh di dekat ayahnya.

"Ha-ha-ha, ayah dan anak yang tiada guna, kalian berani melawan aku? Ha-ha, sudah bosan hidup, ya?"

Tiba-tiba terdengar gerengan yang dahsyat sekali. Su Lo To terkejut dan menengok ke arah lubang jebakan itu dan diapun mengerti, lalu tertawa girang.

"Aha, si liar itu sudah terperangkap? Bagus, bagus, biarlah kuberi hadiah pertama dia agar mudah menjadi jinak!"

Lalu dia melangkah menghampiri Gak Song dan puteranya.
"Hemm, kalian berani melawan aku, ya? Biarlah kalian yang akan menjadi mangsa pertama dari orang hutan itu!"

Semua orang menjadi ketakutan sehingga mereka sudah menjatuhkan diri berlutut dengan tubuh menggigil. Mereka tahu apa yang hendak dilakukan oleh Su Lo To. Gak Song dan puteranya itu tentu akan dilempar ke dalam lubang perangkap agar dibunuh oleh orang hutan!

Akan tetapi, sebelum Su Lo To menggerakkan tangannya atau kakinya untuk melempar dua orang itu ke dalam lubang perangkap, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu seorang pemuda telah berdiri di depannya. Pemuda itu adalah Thian Sin. Seorang pemuda tampan berpakaian sastrawan yang berdiri tenang dan tersenyum ramah kepadanya.

"Apakah engkau yang bernama Su Lo To?" tanya Thian Sin dengan suara halus.

Su Lo To mengernyitkan alisnya dan memandang tajam. Baru sekarang dia melihat adanya seorang pemuda asing diantara orang-orangnnya.

"Benar, aku bernama Su Lo To, engkau siapa, orang muda? Bagaimana engkau bisa berada disini?"

"Suheng! Dialah pemuda setan itu, putera Pangeran Ceng Han Houw yang kuceritakan padamu! Jangan lepaskan dia!"

Tiba-tiba Torgan berseru sambil meloncat maju pula, mendekati Su Lo To dan memandang kepada Thian Sin dengan sikap marah.

Thian Sin tersenyum.
"Aha, kiranya dua ekor srigala busuk telah berkumpul disini, dan kalian adalah suheng dan sute! Torgan dan Su Lo To memang cocok untuk menjadi saudara, sepasang manusia jahat yang tak boleh kubiarkan hidup begitu saja!"

Memang orang itu adalah bekas koksu Torgan. Bagaimana dia dapat muncul secara tiba-tiba disini? Bukankah dia telah dihukum pancung sampai mati? Tidak demikianlah sesungguhnya. Torgan ini terlalu cerdik untuk membiarkan dirinya mati begitu saja. Kalau dia tidak mengamuk dan melawan adalah dia tahu bahwa melawan di depan raja berarti memberontak dan dia tidak mungkin akan dapat menyelamatkan diri lagi kalau begitu. Maka, biarpun dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, dia tidak mau melawan dan membiarkan dirinya ditangkap dan dibelenggu.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: