*

*

Ads

Minggu, 04 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 109

Keluarga Raja Agahai mengadakan pesta untuk merayakan kelahiran pangeran pertama yang sudah sebulan usianya. Berbeda sekali keadaan pesta yang diadakan raja ini dengan Raja Sabutai dahulu.

Kalau Raja Sabutai berpesta, sebagai seorang raja dan juga seorang tokoh besar dunia kang-ouw di dunia utara sebagian besar undangannya adalah tokoh-tokoh kang-ouw pula. Akan tetapi, Raja Agahai hanya mengundang kepala-kepala suku bangsa dan juga wakil-wakil dari pasukan penjaga tapal batas di Tembok Besar yaitu pasukan Beng-tiauw. Ada pula orang-orang Han yang biasa hilir mudik ke kerajaan ini, membawa dagangan-dagangan, dan menjadi langganan keluarga raja, menjadi tamu pula.

Selain para undangan, juga para pembantu Raja Agahai yang tinggi kedudukannya, hadir bersama isteri masing-masing. Diantara mereka tentu saja terdapat penasihat raja, yaitu Koksu Torgan. Bahkan Koksu Torgan inilah yang mengatur penjagaan dengan ketat. Kedua matanya yang lebar dan liar itu, di bawah sepasang alis tebal tiada hentinya memandang ke kanan kiri, menyelidiki para tamu dengan penuh kecurigaan sehingga siapapun juga yang bertemu pandang dengan koksu ini akan merasa kikuk dan tidak nyaman hatinya.

Raja Agahai sendiri dengan senyum bahagia duduk bersanding dengan para isterinya yang rata-rata masih muda-muda dan cantik-cantik, akan tetapi isterinya atau selirnya yang berbangsa Biauw itu, yang memang amat cantik dan yang usianya paling banyak baru sembilan belas tahun, duduk paling dekat di sebelah kiri Sang Raja.

Kecantikan selir ini memang menyolok sekali, bukan hanya wajahnya yang cantik jelita dan manis, akan tetapi bentuk tubuhnya amat menggairahkan, ditambah lagi sikapnya yang memang menarik, bukan dibuat-buat, melainkan karena memang sudah pembawaannya wanita ini memiliki sikap yang menarik dan merangsang.

Selir yang beruntung mendapatkan keturunan itu, duduk di sebelah kanan Sang Raja, tentu saja karena melahirkan seorang putera, sekakigus kedudukannya naik dan ia dipandang sebagai isteri yang paling berjasa.

Anak kecil berusia satu bulan itu ditidurkan di sebuah pembaringan kecil, dijaga dua orang inang pengasuh. Dan tak jauh dari situ, di atas meja besar, dikumpulkanlah semua barang hadiah atau sumbangan dari para tamu, sumbangan yang lebih ditujukan kepada Raja Agahai daripada kepada anak kecil berusia sebulan itu.

Setelah semua tamu datang berkumpul, Menteri Abigan yang sejak pagi sekali sudah sibuk mengatur pesta itu yang menjadi bagiannya atau tugasnya, menghadap Raja Agahai dan berkata.

"Sri baginda, tukang sulap yang akan menghibur pesta ini telah siap menanti."

"Ha-ha-ha, bagus sekali, suruh dia datang menghadapku lebih dulu sekarang. Aku ingin melihat dan bertemu dengannya."

Menteri Abigan memberi isyarat kepada pembantu-pembantunya, dan tak lama kemudian, Thian Sin diiringkan beberapa orang petugas menuju ke panggung dimana keluarga raja itu duduk berkumpul.

"Ah, dia masih muda dan tampan sekali, Abigan!" kata raja itu ketika melihat seorang pemuda bangsa Han memberi hormat di depannya dengan sikap yang selain hormat, juga amat ramah, dengan senyum yang menarik.






"Banyak terima kasih atas pujian Sri baginda yang mulia, dan semogalah menjadi berkah bagi hamba!" kata Thian Sin dengan suara yang diatur bersajak, dan juga dia mengucapkannya dengan suara seperti orang berdeklamasi!

Mendengar Thian Sin mengeluarkan kata-kata yang indah dalam bahasa daerah, dengan suara merdu seperti bernyanyi pula, raja dan para selir menjadi tertarik. Raja Agahai tertawa gembira.

"Bagus! Bagus sekali, engkau pandai berbahasa daerah, tentu saja kabarnya engkau pandai bersajak, menyanyi dan bermain sulap, tentu saja pandai segala bahasa. Eh, orang muda yang pandai, coba katakan, menurut pendapatmu, nama apakah yang patut kami berikan kepada putera kami ini?"

Thian Sin sudah memperoleh keterangan segala-galanya mengenai keadaan keluarga itu, bahkan pilihan nama untuk putera raja itu yang belum diumumkan telah bocor dan dapat diketahui olehnya melalui para pembantu Menteri Abigan. Dia mendengar bahwa Raja Agahai hendak memberi nama Temuyin kepada puteranya. Sungguh merupakan suatu kesombongan karena nama ini adalah nama raja terbesar dalam sejarah bangsa Mongol, karena Temuyin ini adalah nama kecil dari Raja Jenghis Khan!

Mendengar ini, Thian Sin mengambil sikap sungguh-sungguh.
"Nama untuk putera paduka, ditentukan oleh para dewata, seorang manusia biasa seperti hamba, mana berani lancang menerkanya?" katanya kemudian dengan nada suara indah.

Kemudian, pemuda ini mengerahkan tenaga sakti ilmu sihirnya, memandang kepada raja dan melanjutkan.

"Akan tetapi, Sri Baginda yang mulia. Hamba melihat cahaya disekitar tubuh putera paduka, ah, benar... cahaya cemerlang menyilaukan mata, dan cahaya seperti itu hanya dimiliki oleh raja besar pertama dari bangsa Mongol yang gagah perkasa tiga abad yang lalu..."

Raja Agahai tadi memandang sepasang mata yang mencorong dari pemuda itu, lalu dia ikut menoleh ke arah pembaringan puteranya dan... dia terbelalak melihat betapa benar saja ada cahaya terang meliputi seluruh tubuh puteranya itu! Cahaya yang mencorong menyilaukan mata!

Kemudian, mendengar ucapan bahwa cahaya seperti itu hanya dimiliki raja besar pertama dari bangsa Mongol pada tiga abad yang lalu, hatinya girang bukan main. Karena raja pertama yang dimaksudkan itu, siapa lagi kalau bukan Raja Besar Jenghis Khan yang di waktu kecilnya bernama Temuyin? Dan memang dia hendak memberi nama Temuyin kepada puteranya, disamakan dengan nama raja besar itu!

"Bagus... bagus... memang engkau seorang yang amat pandai. Eh, siapakah namamu, orang muda yang cerdas dan pandai?"

"Nama hamba adalah Hauw Lam, Sri Baginda." jawab Thian Sin tanpa memberi she atau nama keturunan pada nama itu.

Akan tetapi Raja Agahai tidak memperhatikan, atau mengira bahwa pemuda ini she Hauw bernama Lam. Dia tidak berpikir lebih panjang bahwa nama itu berarti Anak Laki-laki Berbakti.

"Baik, kami girang sekali engkau mau menghibur pesta ini, Hauw Lam. Nanti setelah tiba waktunya, engkau boleh menghibur para tamu dengan permainanmu."

Pada saat itu, tiba-tiba saja muncul Koksu Torgan. Dengan sinar matanya yang tajam dia memandang kepada pemuda tampan yang bercakap-cakap dengan rajanya itu, dan melihat rajanya tertawa-tawa gembira, kemudian melihat sinar mata yang mencorong dari pemuda itu, koksu ini mengerutkan alisnya yang bercampur uban dan cepat menghampiri.

Melihat datangnya Sang Koksu, Raja Agahai tertawa.
"Ah, Koksu, kebetulan engkau datang. Lihat, pemuda tukang sulap ini sungguh seorang yang hebat dan menyenangkan sekali. Dia akan menghibur para tamu, memeriahkan pesta ini dengan pertunjukan sulap dan permainan suling dan sajak."

Hanya koksu inilah satu-satunya orang yang tidak bersikap sangat hormat kepada raja, tidak berlebih-lebihan seperti sikap orang lain karena dia yakin benar akan pengaruh dan kekuasaannya. Dengan alis berkerut dia memandang wajah pemuda itu tanpa menjawab ucapan raja.

"Siapakah yang memperkenalkan pemuda ini kepada Paduka?" Dia balik bertanya akan tetapi masih terus mengamati Thian Sin.

"Menteri Abigan yang membawanya," kata Raja.

"Hamba yang melihat kebagusan permainannya dan hamba yang memperkenalkannya kepada Sri Baginda, Koksu," kata menteri tua itu dengan hormat.

Koksu itu mengeluarkan suara dari hidung, seperti orang mendengus.
"Hemm, kami tidak mengenal pemuda ini dan karenanya tidak percaya kepadanya. Akan tetapi kami mengenalmu, Menteri Abigan. Tentu engkau sudah mengerti bahwa segala yang dilakukan pemuda ini menjadi tanggung jawabmu, tanggung jawab seluruh keluargamu kalau sampai dia melakukan yang tidak baik!"

Setelah berkata demikian, koksu ini sekali lagi menatap tajam wajah Thian Sin, kemudian menjura kepada raja dan meninggalkan panggung itu. Diam-diam Thian Sin mencatat dalam hatinya bahwa orang itu amat berbahaya dan perlu segera disingkirkan.

Akan tetapi ada suatu hal lain yang mendebarkan hatinya, yaitu selir bangsa Biauw itu. Selir muda dan cantik ini, selama dia tadi menghadap kaisar, memandang kepadanya dengan sinar mata yang jelas mengandung kekaguman dan kemesraan! Senyum itu! Kerling mata itu! Begitu penuh daya pikat dan begitu penuh janji. Tahulah Thian Sin bahwa selir muda dari raja tua itu menaruh hati kepadanya. Inipun merupakan jalan yang amat baik, pikirnya sambil diam-diam tersenyum puas.

Sikap koksu tadi agaknya mengurangi kegembiraan Sang Raja yang memberi isyarat kepada Menteri Abigan untuk mengajak Thian Sin mundur dari situ. Setelah mereka mundur dari situ, melalui seorang pembicara, raja lalu mengumumkan nama dari puteranya, yaitu Pangeran Temuyin!

Tentu saja pengumuman ini disambut dengan tepuk tangan, ada yang memuji pilihan yang tepat itu, ada pula yang diam-diam mencela bahwa tidak pantaslah seorang raja kecil seperti Agahai ini menamakan puteranya Temuyin, nama pendiri Dinasti Goan yang telah tumbang itu.

Akan tetapi tentu saja tidak ada yang berani mencela. Setelah pengumuman itu, pestapun dimulailah. Thian Sin sendiri juga dijamu oleh Menteri Abigan dan pemuda ini makan minum sepuasnya. Di tengah-tengah perjamuan itu, para tamu saling bicara sendiri dan keadaan menjadi bising, apalagi ditambah dengan adanya suara musik yang dimainkan orang untuk memeriahkan suasana pesta.

Berbeda dengan kalau mendiang Raja Sabutai mengadakan pesta dimana selalu diadakan pertunjukkan silat, kini yang dipertunjukkan adalah tari-tarian dari para penari-penari muda yang cantik dan genit, suasana menjadi meriah sekali ketika diantara para tamu yang sudah terlalu banyak minum arak itu ada yang ikut pula menari bersama para penari genit itu.

Terdengar suara ketawa di sana-sini dan suasana menjadi amat gembira. Setelah beberepa tarian dimainkan, akhirnya Menteri Abigan sebagai pengatur acara hiburan, mengumumkan dengan suara lantang.

"Hadirin yang terhormat, kini Sri Baginda Raja yang kita cintai berkenan menghibur cu-wi (anda sekalian) dengan menampilkan seorang muda yang ahli bermain sulap, meniup suling dan membuat sajak. Inilah dia, pemuda yang cerdas dan menarik, Hauw Lam!"

Terdengar tepuk sorak ketika Thian Sin muncul ke atas panggung, dan ternyata yang bertepuk sorak itu adalah keluarga raja yang dipelopori oleh selir suku bangsa Biauw itu!

Thian Sin menjura ke arah tempat duduk raja dan keluarganya sambil tersenyum manis. Wajahnya yang tampan itu agak merah, karena selain dia tadi minum arak agak banyak juga diapun sebetulnya merasa canggung harus berhadapan dengan demikian banyaknya orang sebagai seorang pemain panggung. Dia merasa seolah-olah dia telah menjadi seorang badut!

"Cu-wi yang terhormat," kata Thian Sin dengan lagak menarik, suaranya seperti orang bernyanyi. "Hari ini adalah hari keramat dan kepada keluarga Sri Baginda yang amat berbahagia kami mengucapkan selamat! Saya sebagai seorang pengembara, hanya dapat menyumbangkan seekor burung dara!"

Setelah mengeluarkan kata-kata bersajak ini, dengan suara yang menarik sekali, tiba-tiba Thian Sin berseru.

"Lihatlah, seekor burung dara terbang ke angkasa!"

Dan tiba-tiba saja, seperti keluar dari lengan bajunya, di tangan kanannya yang diangkat tinggi-tinggi itu terdapat seekor burung dara putih menggeleparkan sayapnya dan ketika dilepaskan, burung itu terbang ke udara sampai tinggi dan lenyap.

"Aku tidak melihat burung dara!" Tiba-tiba terdengar suara mengguntur dan Thian Sin cepat menengok.

"Jangan mengeluarkan permainan menipu! Tidak ada kulihat burung dara!"

Kiranya yang bicara itu adalah Koksu Torgan yang memandang kepada Thian Sin dengan sepasang matanya yang tajam dan berpengaruh itu.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: