*

*

Ads

Minggu, 04 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 108

Ada perbedaan besar antara mendiang Raja Sabutai dan Raja Agahai yang kini mengepalai beberapa bangsa Nomad itu. Raja Sabutai dahulu dicintai rakyatnya karena raja yang gagah perkasa itu juga mencinta rakyatnya, menggembleng rakyatnya menjadi rakyat yang gagah dan raja itu selalu berusaha untuk meningkatkan kehidupan rakyatnya bahkan bercita-cita membawa rakyatnya ke dalam kebesaran dengan menundukkan raja-raja bangsa lain, bahkan pernah hampir saja berhasil mengalahkan Kerajaan Tiongkok di selatan.

Dan biarpun kekuasaannya mutlak dan seluruh rakyatnya cinta dan taat kepadanya, Raja Sabutai tidak pernah bersikap sewenang-wenang terhadap rakyatnya dan tidak pernah mengejar kesenangan diri sendiri dan mengorbankan rakyatnya.

Tidak demikian dengan Raja Agahai. Raja ini adalah seorang yang lemah, malas dan juga hanya mengejar kesenangan diri sendiri saja, menjadi hamba nafsu, senang bermewah-mewah dan senang mengumpulkan harta kekayaan dan membiarkan diri terseret ke dalam pemuasan nafsu berahi dengan memaksa gadis-gadis bangsanya menjadi selirnya yang selalu bertambah itu. Tentu saja dia tidak mendapat hati dalam batin rakyatnya.

Diam-diam, rakyatnya membencinya, akan tetapi rakyatnya tidak berani berbuat apa-apa, karena Raja Agahai mengandalkan pasukannya. Raja ini memanjakan pasukannya dan biarpun dia tidak mempedulikan rakyatnya, namun dia bersikap royal terhadap pasukannya. Oleh karena ini, dia ditaati oleh pasukannya yang juga mencontoh perbuatannya dan menindas rakyat dengan tindakan sewenang-wenang. Dengan demikian, terdapat perpisahan antara rakyat dan tentara.

Tidak seperti di jaman Raja Sabutai dahulu, dimana tentara dan rakyat menjadi kesatuan yang tak terpisahkan. Ketika itu, tentaranya kuat karena dukungan rakyat, sedangkan rakyatnya merasa aman tenteram karena merasa memiliki pelindung, yaitu pasukan kerajaan.

Kini, rakyat memandang pasukan seperti orang memandang penjahat, dengan rasa takut-takut karena biasanya, setiap berdekatan atau berkenalan dengan tentara, berarti mereka akan menemui kesulitan dan kekerasan, atau setidaknya mereka tentu akan terganggu dan menderita kerugian. Raja Agahai memerintah rakyatnya dengan tangan besi melalui pasukan-pasukannya.

Pasukan-pasukannya itu kini seperti tentara bayaran saja, yang menjadi tentara karena menghendaki kehidupan yang layak dan kekuasaan yang melebihi rakyat biasa, bukan sekali-kali menjadi tentara karena panggilan tugas membela negara dan bangsa. Keadaan seperti itu tentu saja membuat kerajaan kecil ini menjadi lemah dan kekuasaannya terhadap suku-suku bangsa lain tidak lagi seperti dahulu ketika masih dipimpin Raja Sabutai.

Kini, suku-suku bangsa lain mulai bangkit, apalagi karena suku bangsa Mancu pedalaman mulai membentuk diri menjadi bangsa yang kuat sehingga kekuasaan suku bangsa yang dipimpin oleh Raja Agahai mulai terdesak. Akhirnya, Raja Agahai terpaksa mencari tempat menetap di dekat perbatasan selatan, tidak dapat lagi berpindah-pindah seperti dahulu.

Puteri Khamila, bekas permaisuri Raja Sabutai, sering kali mengingatkan adik misan suaminya ini, akan tetapi Raja Agahai malah menjadi marah. Karena permaisuri mendiang Raja Sabutai ini merupakan satu-satunya orang yang berani mencelanya, menegur dan menentangnya, apalagi ketika pada suatu hari Puteri Khamila menentang secara terang-terangan ketika Raja Agahai dengan kekerasan memaksa seorang pelayan wanita sang puteri untuk menjadi selirnya, maka Raja Agahai lalu menyuruh tangkap Putri Khamila.

Puteri yang usianya sudah enam puluh lima tahun itu dipenjarakan! Para komandan tua dan pembesar yang mengingat akan kebaikan sang puteri tua ini, merasa tidak setuju, akan tetapi tak seorangpun berani menentang keputusan Raja Agahai.






Juga rakyat yang mencinta sang puteri ini hanya dapat membelanya. Hanya baiknya, para pejabat yang mengurus penjara, masih ingat akan kebaikan permaisuri Raja Sabutai ini, maka sang puteri inipun diperlakukan dengan baik sehingga tidak terlalu menderita sengsara.

Pada waktu itu, Puteri Khamila telah dipenjarakan selama dua tahun! Puteri yang sudah tua ini siang malam hanya berdoa untuk mengharap kedatangan puteranya, yaitu Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw, yang tidak pernah didengar beritanya selama belasan tahun itu.

Tak seorangpun yang berani mengabarkan kepadanya bahwa pangeran yang ditunggu-tunggunya itu, putera tunggalnya yang amat dicintanya, telah tewas oleh pengeroyokan pasukan kerajaan di selatan, yang dibantu pula antara lain oleh pasukan yang dikirim oleh Raja Agahai.

Juga politik Raja Agahai terhadap Kerajaan Beng di selatan sekarang menjadi amat lunak. Mengharapkan bantuan pasukan Beng-tiauw untuk menghadapi persaingan dengan bangsa Mancu dan suku-suku bangsa lainnya, ia rela untuk menyatakan takluk kepada Kerajaan Beng dan mengirim upeti setiap tahun, karena sebagai imbalannya, dia juga menerima barang-barang indah dari selatan, yaitu kerajaan itu.

Dalam keadaan seperti itulah ketika Ceng Thian Sin tiba di kerajaan kecil itu! Pada waktu itu, karena hubungan baik antara kerajaan itu dan Kerajaan Beng, maka banyak juga orang-orang Han dari selatan berdatangan kesitu untuk berdagang. Mereka ini membawa barang-barang dari selatan, kain-kain sutera dan sebagainya, menjualnya atau lebih tepat menukarnya dengan barang-barang berharga dari utara, seperti kulit-kulit binatang, rempah-rempah, akar-akar obat yang berharga, dan sebagainya lagi.

Perdagangan ini amat ramai dan kerajaan kecil itu hampir setiap hari didatangi banyak pedagang yang datang menyeberang Tembok Besar. Hal ini amat menguntungkan Thian Sin karena dia dapat dengan mudah memasuki pintu gerbang kerajaan kecil itu tanpa dicurigai sedikitpun.

Marah sekali hati Thian Sin ketika dia mendengar berita bahwa neneknya telah dipenjara! Di waktu kecil, ayahnya mengajarkan bahasa suku bangsa itu kepadanya, dan kini tibalah waktunya dia memanfaatkan pengertian ini. Dengan kepandaiannya berbahasa daerah, dia dapat menghubungi banyak orang dan mendengar bahwa neneknya ditahan dalam sebuah rumah penjara. Bukan dicampurkan dengan orang-orang penjara lainnya, melainkan mendiami sebuah rumah, akan tetapi rumah itu dijaga siang malam dengan ketat.

Sang puteri selalu tinggal di dalam rumah itu, tidak pernah diperbolehkan keluar sehingga melewatkan penghidupan yang amat kesepian, hanya dilayani oleh dua orang pelayan yang sudah tua pula.

Thian Sin maklum bahwa tidak mungkin dia melawan Raja Agahai secara berterang. Dia hanya seorang diri saja dan raja itu dilindungi oleh ribuan orang tentera. Pula, kalau dia menyelundup dan melawan Raja Agahai dengan berterang, andaikata dia berhasil membunuhnya juga, tentu akibatnya amat tidak baik bagi neneknya.

Maka diapun segera mempergunakan akal. Dia melihat betapa semua pejabat dan pegawal pemerintah kini mudah sekali makan sogokan. Sebelum memasuki kerajaan itu, dia sudah mempersiapkan diri dan membawa bekal untuk keperluan itu.

Maka diapun lalu mempergunakan perak untuk menyogok para penjaga rumah penjara Sang Puteri Khamila. Pada waktu itu, orang-orang Han yang berdatangan di negeri itu dipandang dengan hormat, tentu saja karena Raja Agahai telah menyatakan tunduk kepada Kerajaan Beng. Oleh karena itu, permintaan Thian Sin kepada para penjaga dengan memberi sogokan, agar dia boleh menghadap sang puteri tua, tidak mendatangkan kecurigaan melainkan keheranan.

"Sobat, mau apakah engkau hendak menghadap sang puteri?" tanya komandan jaga.

"Aku membawa beberapa macam barang dagangan, sutera-sutera dan permata yang tentu akan disukai oleh seorang puteri."

"Ah, akan tetapi sang puteri tidak akan datang membelinya! Beliau berada dalam penahanan, tidak mempunyai uang untuk membeli barang mahal," bantah si penjaga dengan heran.

"Tidak bisa belipun tidak mengapalah. Ketika masih kecil, aku pernah melihat sang puteri yang cantik dan agung, dan kini aku ingin sekali bertemu kembali dan menghadap beliau, sekedar untuk menawarkan dagangan sambil melihat sekali wajah beliau."

"Ah, orang muda. Beliau sekarang sudah tua dan lemah. Akan tetapi, asal jangan terlalu lama dan jangan sampai ketahuan orang luar, baiklah, kau boleh menghadap. Biar kulaporkan dulu apakah beliau bersedia menerimamu."

Kepala jaga itu lalu masuk dan melaporkan. Puteri Khamila merasa heran sekali mendengar bahwa ada seorang Han, seorang pedagang muda yang mohon menghadap untuk menawarkan barang dagangan. Ia tidak mempunyai uang, dan pula, untuk apa ia membeli barang-barang indah? Akan tetapi, Puteri Khamila bukan seorang bodoh. Kalau ada orang Han yang ingin berjumpa dengannya, tentu membawa sesuatu yang penting. Maka, iapun memperkenankan orang muda itu datang menghadap.

Ketika Thian Sin memasuki ruangan rumah itu, jantungnya berdebar tegang. Rumah itu sunyi sekali dan ketika dia dipersilakan masuk ke dalam ruangan belakang, dia melihat seorang nenek tua berambut putih duduk di atas sebuah kursi. Mudah saja mengenal neneknya. Biarpun baru satu kali dia melihat neneknya, yaitu ketika dia masih kecil dan diajak ayahnya mengunjungi nenek ini, namun dia tidak dapat melupakan wajah yang cantik dan agung itu.

Nenek itu sudah tua, rambutnya sudah putih semua, kulit mukanya keriputan, akan tetapi kulit itu masih halus dan sikapnya kelika duduk di kursi itu seperti sikap seorang ratu duduk di atas singgasana saja. Begitu agung, yang berada disitu hanya dua orang pelayan yang duduk bersimpuh di kanan kiri kursi.

Ketika dengan perlahan Thian Sin melangkah masuk dan sepasang mata yang membayangkan kedukaan itu menatap wajahnya, kedua tangan nenek itu mencengkeram lengan kursi dan matanya terbelalak, mengeluarkan sinar akan tetapi diliputi keraguan.

"Siapakah engkau...?" Suara itu agak gemetar dan penuh harap dan puteri itu berbahasa Han yang cukup baik, "dan apa maksudmu datang menemui aku?"

Thian Sin merasa terharu sekali dan dia berkata dengan halus,
"Apakah saya dapat bicara dengan bebas dan leluasa dengan paduka?"

Puteri Khamila memandang ke arah daun pintu yang sudah ditutupkan kembali itu, lalu mengangguk.

"Jangan khawatir, dua orang pelayan ini adalah orang-orang setia dan para penjaga itu betapapun juga tidak berani melakukan pengintaian. Bicaralah!"

Thian Sin melangkah maju, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu sambil berkata dengan hati terharu,

"Nenek yang baik, saya adalah Ceng Thian Sin, putera dari Pangeran Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai."

"Oohhh... ah, sudah kuduga... ah, wajahmu begitu sama dengan dia...! Ah, cucuku, kesinilah... ke sinilah..."

Thian Sin maju mendekat dan nenek itu lalu merangkul dan mendekap kepalanya sejenak. Akan tetapi ia segera dapat menguasai hatinya, mendorong halus kepala pemuda itu dari rangkulannya, memandang wajah itu sampai lama lalu berkata,

"Ah, betapa bahayanya... bagaimana engkau dapat menyelundup kesini, cucuku? Ah, ketika engkau kesini dahulu, engkau masih kecil... tapi wajahmu mirip benar dengan ayahmu. Engkau tahu, selama ini aku... aku..."

"Saya sudah tahu segalanya, nek."

"Dan mana ayahmu? Ibumu? Kenapa selama ini mereka tiada berita?"

Thian Sin mengepal tinjunya. Neneknya belum tahu akan malapetaka yang menimpa ayah bundanya itu, dan hatinya makin sakit terhadap Raja Agahai.

"Maaf, nek, saya membawa berita buruk sekali. Ayah dan ibuku... mereka sudah tewas..."

"Ahhh...?"

Nenek itu bangkit berdiri dan menutupi mulut dengan kedua tangannya agar menjeritnya tidak keluar, matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali, lalu ia terhuyung dan tentu akan jatuh kalau saja Thian Sin tidak cepat meloncat dan merangkul neneknya.

Nenek itu menangis sambil menyandarkan mukanya di dada cucunya, menangis terisak-isak sampai baju pemuda itu menjadi basah oleh air mata. Thian Sin diam saja, tidak mengeluarkan kata-kata, karena dia maklum bahwa menghibur neneknya di saat itu tidak ada gunanya sama sekali. Bahkan dia membiarkan neneknya menangis sepuasnya.

Dan memang, Puteri Khamila mengeluarkan semua perasaan dukanya yang ditahan-tahan di waktu itu. Harapannya hanya satu, yaitu kedatangan puteranya untuk membebaskannya dan membikin beres kerajaan yang dikotori oleh Agahai itu. Akan tetapi siapa tahu, putera dan mantunya telah tewas, maka hancurlah semua harapannya.

Akhirnya nenek itu dapat mengeluarkan suara keluh-kesah dalam tangisnya,
"Oguthai... anakku, betapa tega engkau meninggalkan ibumu... lalu siapakah yang akan datang untuk membuat perhitungan kepada Agahai, siapa yang akan membebaskan rakyat kita dari si lalim itu..."

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: