*

*

Ads

Minggu, 04 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 106

Thian Sin sudah setengah mabuk, bukan mabuk arak karena dengan kekuatan dalamnya yang luar biasa, dia dapat menahan pengaruh arak yang bagaimana keraspun.

Akan tetapi dia mabok akan kecantikan dan rayuan wanita itu. Betapapun lihainya, pemuda ini dapat dibilang masih hijau dalam pengalamannya dengan wanita, dan memang dia memiliki kelemahan terhadap wanita. Maka melihat sikap yang demikian memikat dan penuh daya tarik dari Ang Bwe-nio, pemuda ini jatuh dan merasa tertarik sekali. Apalagi melihat wanita itu demikian beraninya, dengan jelas memberi tanda-tanda bahwa wanita itu takkan menolak untuk bermain cinta dengannya.

Pada saat itu, sambil tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi mutiara yang putih dan rapi, Ang Bwe-nio kembali menyumpit sepotong daging dan hendak menyuapkannya ke mulut Thian Sin. Akan tetapi, Thian Sin sekali ini menarik mukanya ke belakang.

"Eh, kenapa taihiap?"

"Bwe-nio, sekali ini aku hanya mau menerima suapanmu kalau engkau melakukannya dengan mulut, bukan dengan sumpit," kata Thian Sin berani sambil menatap tajam wajah yang cantik itu.

Sebetulnya Ang Bwe-nio bukanlah seorang wanita yang asing dengan kemesraan-kemesraan dalam permainan cinta, akan tetapi ia demikian pandainya sehingga mendengar permintaan Thian Sin ini, ia dapat bersikap seperti seorang wanita baik-baik yang tak pernah mendengar permintaan seperti itu. Wajahnya menjadi kemerahan tersipu-sipu malu. Ia mengerling dan cemberut, berkata sambil bersikap malu-malu dan takut-takut,

"Iiiihhh...taihiap... mana bisa begitu...?"

"Kenapa tidak bisa? Engkau mempunyai mulut, bukan? Mulut yang manis sekali malah..."

"Aihhh... aku... aku... ah, malu dan takut... aku tidak mengerti..."

"Bwe-nio, engkau bukan anak kecil lagi, engkau seorang janda, tentu tahu apa yang kumaksudkan. Kalau engkau tidak mau menyuapkan dengan mulut, akupun tidak akan mau menerima pemberianmu."

"Aihhh... taihiap..."

Ang Bwe-nio mengeluh, akan tetapi kemudian iapun menggigit potongan daging itu dengan giginya yang putih, lalu mengajukan mukanya dengan bersuara "mmmmm" dan menutup kedua matanya.

Melihat ini, Thian Sin terangsang hebat dan dirangkulnya wanita itu, diambilnya daging itu dari mulut Bwe-nio dengan mulutnya. Tentu saja dua mulut itu bertemu dalam sebuah ciuman yang mesra dan hangat dan penuh nafsu. Dan di lain saat mereka telah saling peluk, saling rangkul dan saling cium.

Ang Bwe-nio mengeluarkan suara rintihan-rintihan kecil dari dalam lehernya dan memejamkan kedua matanya, akan tetapi membalas belaian dan ciuman pemuda itu dengan penuh gairah.






Akan tetapi, semua itu sebenarnya hanya permainan belaka darinya, karena dengan cerdik sekali, selagi Thian Sin menciumi seluruh bagian tubuhnya, diam-diam wanita cantik ini mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari balik kutangnya, dan selagi Thian Sin membenamkan mukanya di dadanya, wanita ini menaburkan bubuk putih ke dalam
cawan arak pemuda itu!

"Kita pindah ke pembaringan..."

Thian Sin berbisik di dekat telinga kiri wanita itu, suaranya tersendat-sendat penuh nafsu.

"Baik, taihiap, aku... aku mau... aku akan memberikan segala-galanya kepadamu, aku cinta padamu... ohhh... tapi nanti dulu... aku haus, mari kita minum dulu..."

Thian Sin tersenyum dan melepaskan rangkulannya. Dia melihat wanita itu mengisi cawannya yang tinggal setengahnya itu sampai penuh.

"Minumlah, taihiap, setelah itu baru kita..." Pandang matanya penuh daya pikat.

"Katamu tadi engkau haus, engkau minumlah."

Thian Sin hendak meminumkan arak di cawannya itu kepada Bwe-nio, akan tetapi wanita itu nampak ketakutan dan menolak.

"Tidak, aku sudah terlalu banyak minum arak, sudah pusing kepalaku, aku mau minum air teh saja..." Wanita itu lalu menuangkan air teh ke dalam mangkok.

Ia tidak tahu bahwa pada saat itu, Thian Sin memandang kepadanya
dengan sinar mata yang aneh dan penuh wibawa, bibir pemuda itu berkemak-kemik dan kedua tangan pemuda itu diarahkan kepadanya. Setelah menuangkan air teh, wanita itu mengangkat mangkok tehnya dan tersenyum menghadapi pemuda itu.

"Taihiap.... kokoku yang tampan... marilah, mari kita minum dulu, setelah itu baru... ehmmm..." Ia tersenyum lebar dan sepasang mata yang indah jeli ini berkedip penuh arti.

Senyumnya makin melebar ketika ia melihat pemuda itu minum arak dari cawan itu, ditenggaknya sampai habis, ia sendiripun hanya mencucuk sedikit air teh itu. Bwe-nio menahan ketawanya ketika melihat Thian Sin melepaskan cawan araknya, bangkit berdiri, terhuyung memegangi dahi lalu menghampiri pembaringan sambil berkata lirih,

"Ke sinilah... sayang, ke sinilah..."

Dan tergulinglah pemuda itu ke atas pembaringan, terlentang dalam keadaan tidur pulas atau pingsan! Bwe-nio menghampiri pembaringan, memandang kepada wajah pemuda itu yang memejamkan mata, lalu ia menunduk dan mencium bibir pemuda itu.

"Sayang... kau ganteng... terpaksa aku harus membunuhmu, kalau tidak, aku sendiri terbunuh..."

Wanita itu lalu mengeluarkan sebatang pisau belati yang runcing tajam dari pinggangnya, kemudian mengayunkan pisau itu ke arah ulu hati pemuda yang sedang tidur terlentang itu.

"Wuuuuuttt... cesss...!"

Sepasang mata yang indah itu terbelalak ketika melihat betapa pisau belatinya "menembus" tubuh pemuda itu dan mengenai kasur! Dan tubuh itu ternyata hanya seperti bayangan saja, tidak berdaging dan kini perlahan-lahan bayangan itupun lenyap.

"Sungguh tak kusangka, wajah secantik itu, tubuh seindah itu, dihuni oleh hati yang palsu."

Mendengar suara ini, Ang Bwe-nio terkejut setengah mati dan hampir ia menjerit ketika ia menengok. Ia melihat Thian Sin masih duduk di atas bangku dekat meja dan kini dengan tenangnya minum arak dari cawannya! Mimpikah ia? Jelas bahwa tadi pemuda itu mabuk dan rebah di atas pembaringan dalam keadaan terbius. Lalu siapa tadi yang rebah kemudian "menghilang"? Dan bagaimana pemuda itu masih duduk di situ dan sama sekali tidak terpengaruh obat biusnya yang amat manjur itu?

Obat biusnya itu telah teruji, jangan hanya seorang saja, biar diminum oleh tiga empat orangpun tentu mereka akan terbius semua. Dan tadi ia sudah memasukkan semua isi bungkusan ke dalam cawan dan isi cawan itu sudah ditenggak habis oleh Thlan Sin!

Tentu saja Ang Bwe-nio tidak tahu bahwa Ceng Thian Sin pernah mempelajari ilmu sihir dari kakek pertapa di Pegunungan Himalaya dan bahwa pemuda itu tadi tentu saja telah dapat mengetahui bahwa gadis cantik itu membawa sebatang pisau di pinggangnya.

Ketika Thian Sin memeluknya dan menciuminya, pemuda yang berilmu tinggi ini sudah dapat merasakan adanya ganjalan pada perutnya, ganjalan yang terdapat di pinggang Bwe-nio dan dia sudah dapat meraba-raba, yaitu ketika dia membelai dan meraba-raba tubuh wanita itu.

Maka tahulah dia bahwa wanita itu membawa pisau itu, biarpun kelihatannya dia dimabuk nafsu berahi, namun dia selalu waspada dan dapat melihat ketika Bwe-nio menaruh obat bubuk ke dalam cawan araknya. Maka, ketika Bwe-nio menuangkan air teh ke dalam mangkok, kesempatan itu dipergunakan untuk mengerahkan kekuatan sihirnya. Bwe-nio terkena sihir dan wanita ini melihat Thian Sin mabuk dan terhuyung ke pembaringan, padahal sebenarnya pemuda itu masih duduk di dekat meja.

"Bagus sekali! Jadi engkau merayuku dan pura-pura mencinta dengan hati mengandung kepalsuan, ya? Hendak membunuhku?"

Thian Sin bangkit berdiri, pandang mata dan suaranya dingin seperti menusuk jantung terasa oleh Ang Bwe-nio.

Wanita itu menjadi ketakutan, ia melepaskan pisaunya dan menjatuhkan diri berlutut di atas lantai.

"Taihiap... ampunkan aku..."

Thian Sin menyambar pisau yang amat tajam itu dan tersenyum.
"Mengampunkanmu? Hemm... engkau ini wanita cantik yang berhati palsu dan jahat. Hampir saja aku mati olehmu dan engkau masih mengharapkan ampunan dariku? Tidak, wanita macam engkau sudah sepatutnya mampus!"

Dua kali pisau menyambar dan nampak sinar berkelebat di dekat leher Bwenio. Wanita itu menahan jeritnya ketika mendengar suara berkerincingan dan ternyata dua anting-antingnya telah putus oleh sambaran sinar itu. Wajahnya menjadi semakin pucat. Tahulah ia bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya dan melawanpun tidak akan ada artinya sama sekali.

"Ampun, taihiap..." Suaranya bercampur isak dan tubuhnya menggigil seperti orang diserang demam.

"Mudah saja mengampunimu, akan tetapi katakan, siapa yang menyuruhmu? Apakah pemilik rumah penginapan ini? Bukankah dia itu pamanmu?"

"Bukan... bukan dia, dia hanya terpaksa, seperti aku... diapun bukan pamanku. Aku diperintah oleh lima orang yang menguasai dunia hitam di daerah ini, yang dikepalai Hui-to Ji Beng Tat..."

"Dapatkah engkau memanggil mereka berlima itu ke sini? Aku ingin sekali tahu mengapa mereka menggunakan engkau untuk merayu dan merobohkan aku, bahkan membunuhku."

"Dapat... dapat taihiap...!" Bwe-nio berkata dan timbul harapan di dalam hatinya.

Memang tadinyapun ia sudah ingin menjerit untuk memanggil mereka. Ia tahu bahwa mereka berlima itu sudah siap berkumpul di rumah penginapan itu, untuk berjaga-jaga kalau ia gagal. Dan sekarang benar saja, ia telah gagal. Akan tetapi, ia tadi tidak berani menjerit karena kalau ia melakukan hal itu, sebelum mereka berlima datang, tentu ia akan dibunuh lebih dulu oleh Pendekar Sadis ini.

Teringat akan semua perbuatan yang telah dilakukan oleh pendekar ini sudah merasa ngeri bukan main. Kini, mendengar betapa pendekar itu ingin bertemu dengan lima orang kepala itu, hatinya girang dan timbul harapannya. Mungkin saja ia dapat menyelamatkan diri kalau lima orang itu sudah muncul menghadapi pendekar ini.

"Panggil mereka baik-baik, seolah-olah engkau telah berhasil dengan usahamu. Awas, kalau engkau bertindak curang, aku akan membunuhmu sekarang juga," kata Thian Sin dan pemuda ini telah merebahkan diri di atas pembaringan, pura-pura terbius.

Kalau saja ia tidak merasa yakin benar akan kelihaian pemuda itu, ingin rasanya Ang Bwe-nio lari dari pintu yang hanya tertutup saja daun pintunya tidak terkunci itu. Akan tetapi, ia tahu bahwa kalau ia melakukannya hal ini, tentu sebelum tiba di pintu ia akan roboh dan tewas secara mengerikan. Ia hanya mengangguk dan menelan ludah untuk menenangkan hatinya yang berdebar keras, kemudian ia bertepuk tangan tiga kali berturut-turut.

Thian Sin mendengar langkah-langkah kaki dari luar menghampiri pintu itu, dan tak lama kemudian daun pintu kamarpun terbuka. Lima orang memasuki kamar itu, dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar bermuka brewok.

Melihat betapa di pinggang orang brewok ini terdapat sebuah kantong berisi pisau-pisau kecil, Thian Sin yang melihat dari balik bulu matanya itu dapat menduga bahwa tentu orang inilah yang dijuluki Hui-to (Golok Terbang).

"Bagus, Bwe-nio, agaknya engkau sudah berhasil. Kenapa tidak kau bereskan sekali?" kata Si Golok Terbang ketika melihat pemuda itu rebah tak bergerak di atas pembaringan. Akan tetapi Ang Bwe-nio dengan muka pucat menggeleng-geleng kepala.

"Tidak... tidak berhasil... dia... dia..."

Pada saat itu, Thian Sin meloncat dari atas pembaringan dan dengan beberapa lompatan saja dia sudah berada di pintu. Tentu saja lima orang itu terkejut bukan main, cepat mencabut senjata masing-masing. Akan tetapi pendekar itu tertawa dan menutupkan pintu, lalu menguncinya, dengan tenang sekali.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: