*

*

Ads

Minggu, 04 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 105

Thian Sin merasa puas dengan apa yang telah dilakukannya. Sebenarnya dia tidak mau mempedulikan rumah-rumah perjudian, atau rumah rumah pelacuran karena orang-orang yang datang berkunjung ke situ adalah orang-orang yang mencari penyakit dan tidak perlu ditolong atau dipedulikan. Akan tetapi, karena Kui Cin tadilah maka secara kebetulan saja dia mengamuk di rumah judi itu.

Perbuatan Ceng Thian Sin yang dijuluki orang Pendekar Sadis itu sungguh menggemparkan seluruh kota itu. Kota Si-ning mempunyai wilayah yang luas dan menjadi pusat dari golongan liok-lim dan kang-ouw. Menjadi pusat pula dari para penjahat yang melakukan operasi di daerah Si-ning.

Seperti terjadi di kota-kota besar lainnya, juga di Si-ning, semua rumah-rumah pelacuran, rumah-rumah perjudian dan tempat-tempat maksiat lainnya, semua dikuasai oleh para penjahat. Biarpun rumah-rumah judi itu mempunyai majikan masing-masing akan tetapi para hartawan ini membayar semacam "pajak" kepada para kepala penjahat yang berkuasa dengan mendapatkan semacam "perlindungan". Dan tentu saja para kepala penjahat dan para cukong ini mempunyai hubungan rapat dengan para pejabat, karena hal seperti ini menjadi pertanda akan keadaan negara yang sedang lemah.

Kalau para penjahat dan para pejabat sudah bersekutu, dapat dibayangkan bagaimana keadaan kehidupan rakyat jelata. Tidak ada lagi tempat berlindung bagi rakyat. Si pelindung berubah menjadi si penindas. Pagar makan tanaman. Satu-satunya jalan hanya tunduk kepada yang lebih kuat.

Hukum rimba berlakulah. Yang punya uang mempergunakan uang untuk menyogok yang berkuasa, yang tidak punya uang mempergunakan ketaatan untuk mencari selamat. Keluh kesah ditekan dalam-dalam di dalam perut.

Perbuatan Thian Sin merupakan peristiwa besar. Baru sekarang ada kekuatan baru yang berani menentang mereka yang sedang berkuasa. Para penjahat mengadakan pertemuan. Mereka tahu bahwa pemuda itu adalah pendekar baru yang mulai terkenal, yaitu Pendekar Sadis. Dan mereka tahu pula bahwa pemuda itu memasuki Si-ning sebagai pelancong dan kini masih beristirahat di dalam sebuah rumah penginapan kecil di sudut kota.

Kota Si-ning dikuasai oleh lima orang kepala penjahat dan diantara mereka, yang dianggap sebagai saudara tua adalah jagoan yang terkenal lihai bernama Ji Beng Tat berjuluk Hui-to (Si Golok Terbang). Mendengar akan peristiwa yang terjadi Hok-khi Po-koan yang termasuk sumber penghasilannya, Hui-to Ji Beng Tat marah sekali dan dia sudah mengumpulkan empat orang kawan-kawannya untuk berunding.

"Kita serbu saja ke rumah penginapan itu. Kalau kita berlima maju bersama, tak mungkin dia dapat lolos!" kata seorang diantara mereka yang bertubuh kecil dan agak bongkok, akan tetapi Si Kecil Bongkok ini lihai sekali ilmu silatnya, terutama senjata rahasianya berupa jarum-jarum beracun.

"Nanti dulu, kita harus berhati-hati," kata Hui-to Ji Beng Tat. "Menurut berita yang kuterima dari barat, Pendekar Sadis ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Bahkan gerombolan Panji Tengkorak dari Yu-shu kabarnya telah dibasmi olehnya. Kita harus mempergunakan siasat halus, kalau gagal barulah kita mempergunakan kekerasan."

"Aku mendengar bahwa Pendekar Sadis tidak menolak bujuk rayu wanita cantik. Bagaimana kalau kita mempergunakan Si Bunga Bwee Merah? Ang Bwe-nio tentu akan dapat menundukkan hatinya. Kalau berhasil membujuk rayunya, dan memberinya minum obat bius, tentu kita akan dapat menangkapnya dengan mudah," kata orang ke tiga yang berwajah tampan dan matanya membayangkan sifat mata keranjang.

"Tapi, Pendekar Sadis lihai sekali, aku khawatir gagal," kata orang pertama Si Kecil Bongkok.






"Ha-ha-ha, jangan khawatir. Ang Bwe-nio tak mungkin gagal merayu pria. Ingat saja dua orang pendekar Siauw-lim-pai itu, merekapun dengan mudah jatuh dalam rayuan Ang Bwe-nio. Kalau sudah berada dalam pelukannya, pria mana yang menolak untuk menerima minuman yang dihidangkannya?" kata pula Si Tampan.

"Sebaiknya kitapun harus bersiap-siap di dekatnya dan membiarkan Ang Bwe-nio mencoba kelihaiannya, sehingga kalau gagal, kita dapat segera turun tangan," kata Ji Beng Tat dan semua rekannya menyetujui ini.

Pemilik rumah penginapan segera dihubungi dan diam-diam para tamu lain di rumah penginapan itu telah dipersilakan keluar dan tanpa diketahui oleh Thian Sin, dialah satu-satunya tamu yang berada di rumah penginapan itu. Thian Sin dapat menduga bahwa perbuatannya di po-koan itu tentu akan berakibat. Dan diapun sudah siap menghadapi segala kemungkinan, kalau perlu dia akan membasmi para penjahat yang berani untuk menuntut balas.

Kalau malam ini tidak terjadi sesuatu, besok dia akan melanjutkan perjalanannya ke utara, mencari neneknya. Sore itu, setelah mandi, dilayani oleh seorang pelayan yang bersikap amat hormat, pelayan itu berkata,

"Taihiap, kami semua telah mendengar akan sepak terjang taihiap di po-koan itu. Kami semua merasa kagum sekali, bahkan majikan kami bermaksud untuk menjamu taihiap malam ini."

"Ah, tidak perlulah. Aku tidak mau merepotkan orang," jawab Thian Sin yang memang tidak suka menerima sanjungan.

Dia tahu benar bahwa sanjungan jauh lebih berbahaya daripada celaan. Dengan celaan dia akan dapat melihat kekurangan dirinya sendiri dan dapat bersikap waspada, sebaliknya, sanjungan akan membuat orang mabuk dan lupa akan kewaspadaan, membuat orang menjadi lengah.

Akan tetapi baru saja dia selesai berganti pakaian dan hendak keluar mencari makanan malam, tiba-tiba majikan rumah penginapan itu mengunjunginya, memberi hormat dengan membongkok-bongkok amat menghormat,

"Taihiap, kami merasa terhormat sekali bahwa rumah penginapan kami yang kecil ini telah menerima kunjungan taihiap. Seorang pendekar besar seperti taihiap telah sudi bermalam di dalam kamar rumah penginapan kami, hal itu akan menjadi reklame yang amat baik. Oleh karena itu, perkenankanlah kami menjamu taihiap dengan sedikit arak kehormatan dan kami ingin memperkenalkan keponakan wanita kami kepada taihiap untuk melayani taihiap makan minum."

"Ah, membikin repot saja..." kata Thian Sin, akan tetapi hatinya sudah tergerak ketika tuan rumah penginapan itu sambil membungkuk-bungkuk dan tiba-tiba dia bertepuk tangan.

Sebarisan pelayan terdiri dari lima orang membawa baki terisi masakan-masakan yang masih mengepul panas dan guci-guci arak datang dan memasuki kamar Thian Sin. Dengan cekatan mereka membersihkan meja dalam kamar itu dan mengatur hidangan. Kemudian mereka membungkuk dan meninggalkan kamar itu.

Dari luar nampak seorang wanita muda dan diam-diam Thian Sin terkejut. Tak disangkanya bahwa keponakan majikan rumah penginapan ini demikian cantiknya. Pakaiannya sederhana saja, bedaknya juga tipis-tipis, akan tetapi wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu benar-benar cantik dan manis sekali.

Sepasang matanya lebar dan bening, penuh daya pikat, bibirnya yang merah basah tanpa pemerah itu seperti menantang, senyumnya dikulum dan membuat sudut pipinya membentuk lekuk yang mungil. Dengan langkah lemah gemulai ia menghampiri dan tersipu-sipu malu ketika pamannya, majikan rumah penginapan itu memperkenalkan.

"Taihiap, inilah keponakan saya, bernama Ang Bwe-nio dan kami semua, termasuk keponakan saya, merasa kagum kepada taihiap yang sudah melakukan pekerjaan besar yang menggemparkan itu. Silakan, taihiap, biar keponakan saya menemani taihiap."

Setelah berkata demikian, pemilik rumah penginapan itu lalu menjura dan
pergi. Sejenak mereka hanya berdiri saling berpandangan. Thian Sin tersenyum dan wanita itupun tersenyum dan berkata,

"Taihiap, silakan makan."

Thian Sin tersenyum dan mengangguk, lalu duduk di atas bangku menghadapi meja yang penuh hidangan itu. Ang Bwe-nio, wanita cantik itu, dengan gerakan lemah gemulai dan manis sekali lalu menuangkan arak ke dalam cawan Thian Sin.

"Silakan minum arak dan makan hidangannya, taihiap..."

"Bagaimana aku enak makan kalau engkau berdiri saja di situ, nona? Pula, sungguh tidak enak makan sendirian saja. Mari, kau temani aku makan. Duduklah, nona."

"Ah, mana pantas? Aku mewakili paman sebagai tuan rumah..." kata Ang Bwe-nio dengan sikap manis dan kemalu-maluan, wajahnya yang cantik manis itu berubah merah, matanya mengerling tajam dan mulutnya mengulum senyum malu-malu.

Thian Sin semakin tertarik. Memang pemuda ini berwatak romantis walaupun tak dapat dibilang mata keranjang. Tidak sembarangan wanita dapat menarik hatinya, walaupun dia selalu awas dan suka memandang wajah yang cantik manis.

"Marilah, tidak apa-apa, nona. Bukankah di sini hanya ada kita berdua saja? Mari, kalau kau tidak mau temani aku makan minum, akupun tidak dapat menerima suguhan ini."

"Aih, mengapa taihiap begitu...?"

Dengan gerakan manja wanita itu mendekat dan hendak mengambil cawan untuk diberikan kepada Thian Sin, akan tetapi Thian Sin memegang lengannya dan dengan lembut menariknya sehingga wanita itu terduduk di sampingnya, di atas sebuah bangku. Thian Sin lalu menuangkan secawan arak sampai penuh.

"Nah, mari kita sama-sama minum untuk perkenalan ini."

Dengan tertawa malu-malu Ang Bwe-nio lalu mengangkat juga cawan araknya dan merekapun minum arak bersama. Ang Bwe-nio lalu mengambilkan makanan dengan sumpit, dengan gerakan tangan cekatan dan manis sekali, menaruh potongan-potongan daging ke dalam mangkok di depan Thian Sin.

Pemuda inipun tidak mau kalah, mengambil daging-daging kecil dimasukkan ke dalam mangkok depan wanita itu. Merekapun lalu makan minum, tanpa kata-kata, hanya kadang-kadang saling pandang dan Ang Bwe-nio tak pernah berhenti tersenyum malu-malu. Sedikit minyak yang terdapat pada daging mengenai bibirnya, membuat bibir itu nampak semakin segar kemerahan.

"Siapakah nama nona tadi? Kalau tidak salah dengan she Ang..."

"Namaku Ang Bwe-nio, taihiap. Dan nama taihiap siapakah? Aku hanya mendengar sebutan orang yang mengerikan, Pendekar Sadis..."

Thian Sin tersenyum.
"Memang benarlah. Aku Pendekar Sadis, hanya sadis terhadap diri penjahat saja. Dan namaku sendiri... ah, aku sudah melupakan nama itu. Engkau sebut saja aku Pendekar Sadis."

"Eh, mana bisa begitu?" Wanita itu tertawa manja.

"Nona, aku merasa heran. Mengapa pamanmu menyuruh seorang gadis sepertimu menemani aku?"

"Aku... aku bukan gadis, aku... seorang janda..."

"Ahhh...!" Hati Thian Sin berdebar girang.

Tadinya dia merasa curiga terhadap sikap pemilik rumah penginapan itu. Tidak sepatutnya seorang gadis disuruh melayani seorang pria, seolah-olah gadis itu bukan seorang terhormat saja. Akan tetapi kalau janda, dia mengerti juga!

"Kiranya nyonya seorang janda... hemm, masih begini muda..."

"Usiaku sudah dua puluh lima tahun, taihiap. Sudah tua..."

"Siapa bilang usia sekian sudah tua? Engkau memang sungguh cantik manis!"

"Sudahlah, lelaki memang pandai merayu. Lebih baik taihiap makan, nih potongan daging pilihanku," wanita itu dengan sikap menarik sekali sudah menyumpit sepotong daging dan mengulurkan tangannya, membawa potongan daging di ujung sumpit itu ke dekat mulut Thian Sin!

Tentu saja pemuda ini tertarik sekali dan sambil tertawa dia menerima suapan itu, menggigit daging dari ujung sumpit Ang Bwe-nio. Diapun membalas dan tak lama kemudian keduanya sudah saling menyuapkan daging ke mulut masing-masing.

Sikap mereka menjadi semakin berani, dan ketika Ang Bwe-nio menahan tangan Thian Sin yang hendak melolohnya dengan daging lagi, mereka saling berpegang tangan dan jari-jari tangan mereka saling mencengkeram.

"Bwe-nio, engkau cantik sekali!" Thian Sin memuji sambil mengelus kulit lengan itu melalui bajunya yang tipis.

"Dan engkau sungguh gagah dan tampan, taihiap..."

Bwe-nio balas memuji, pujian yang jujur karena memang sesungguhnya ia amat kagum kepada pemuda yang menyenangkan ini. Sayang bahwa ia "dalam tugas" sehingga ia tidak dapat mencurahkan seluruh kekagumannya itu kepada pemuda perkasa ini. Ia tidak berani mengkhianati mereka yang menyuruhnya menundukkan pemuda berbahaya ini.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: