*

*

Ads

Minggu, 04 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 103

A Piang lalu menepuk pundak puterinya beberapa kali dan pergilah dia keluar dari dalam kamar itu. Daun pintu ditutupkan lagi dari luar oleh para penjaga dan A Piang yang sudah gila judi itu tidak membawa sisa uang itu pulang, melainkan langsung saja memasuki ruangan lebar dimana terkumpul banyak orang yang sedang berjudi itu.

Semenjak jaman purba sampai sekarang, perjudian merupakan semacam penyakit yang amat berbahaya bagi manusia. Ada pula yang menganggap perjudian sebagai permainan, sebagai kesenangan atau iseng-iseng saja yang sama sekali tidak membahayakan.

Akan tetapi, segala macam kesenangan yang dapat menyesatkan manusia selalu dimulai dengan iseng-iseng. Dari iseng-iseng ini lalu lambat laun menjadi kebiasaan yang tak mudah dilepaskan... Oleh karena dalam kesenangan berjudi ini terdapat permainan dengan harapan-harapan sendiri, dan ada hubungannya dengan keuntungan berupa uang secara langsung, maka besar sekali pengaruh dan kekuatannya untuk membuat orang menjadi mabok dan lupa segala.

Perjudian merupakan permainan dari pengumbaran nafsu manusia yang paling besar, yaitu nafsu tamak ingin memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Orang yang kalah berjudi selalu akan berusaha untuk mengejar kekalahannya itu dengan bayangan-bayangan kemenangan sebesarnya sehingga kekalahannya dapat diraihnya kembali.

Orang yang sedang menang berjudi selalu akan berusaha untuk menambah kemenangannya itu sebanyak mungkin. Dan di dalam perjudian ini, ketamakan dan kebesaran si aku dikembang-biakkan menjadi amat luas. Di antara teman baik, saling membayar makanan dalam jumlah agak besarpun akan dilakukan dengan senang hati dan rela, namun di dalam perjudian, biarpun jumlah sedikit saja sudah cukup untuk membuat dua orang teman baik itu menjadi cekcok dan bentrok, tidak mau saling mengalah.

Judi memupuk iri hati dan kekejaman, memperkuat dan memperbesar si aku, memupuk nafsu ingin menang sendiri. Betapa banyaknya sudah contoh-contoh dalam kehidupan masyarakat, keluarga-keluarga yang berantakan karena kepala keluarganya kegilaan judi. Orang-orang yang tadinya hidup jujur dan setia, dapat berubah menjadi curang dan jahat setelah dia menjadi penjudi, tentu saja kalau dia sudah menjadi korban dan menderita kalah terus-menerus.

A Piang adalah seorang duda yang hanya mempunyai seorang anak, yaitu Kui Cin. Dia dan anaknya berdagang kecil-kecilan di pasar dan kehidupan mereka sebenarnya sudah dapat dibilang cukup, bahkan hasil perdagangan kecil-kecilan itu lebih untuk dimakan dan dipakai. Akan tetapi, celaka sekali, A Piang terpikat oleh perjudian dan beberapa bulan kemudian, dia telah menjadi setan judi yang malas untuk bekerja lagi.

Kui Cin berusaha sedapat mungkin untuk mengingatkan ayahnya dan mengurus pekerjaan mereka. Akan tetapi, kekalahan demi kekalahan menimpa diri A Piang dan akhirnya, semua dagangannya habis di meja judi tanpa dia dapat berbelanja lagi. Perdagangan itu terhenti dan kini perabot-perabot rumah mulai tanggal satu demi satu, sampai akhirnya rumahpun digadaikan!

Mula-mula dimulai dengan kemenangan-kemenangan kecil bagi A Piang. Dan memang demikianlah biasanya racun mulai menguasai manusia dalam perjudian. Kemenangan merupakan pancingan beracun. Setelah merasakan enaknya kemenangan, merasakan masuknya uang mudah, orang menjadi malas untuk bekerja, karena bekerja memeras keringat, hasilnya tidak seberapa, sedangkan menang berjudi, sambil bersenang-senang memperoleh uang yang amat mudah.

Setelah makin lama makin besar kekalahannya, makin besar pula nafsu menguasai diri A Piang untuk memperoleh kembali segala apa yang telah hilang itu, yang telah kalah. Apapun juga akan dilakukan untuk memperoleh modal berjudi lagi, karena dia selalu membayangkan dalam setiap awal perjudian bahwa sekali itu dia akan menang besar.






Namun berkali-kali hasilnya merupakan kebalikan. Dia kalah terus. Sampai akhirnya dia terlibat hutang dengan bandar judi dan bingung ketika ditagih oleh tukang pukulnya karena sudah tidak memiliki apa-apa lagi.

"Kalau sudah tidak punya apa-apa kenapa berani berjudi terus dan berani hutang?"

Demikian tukang pukul mengancamnya.
"Kalau engkau tidak mampu mengembalikan hutangmu yang empat puluh lima tail itu, engkau akan dipukuli setengah mati, kemudian dilaporkan dan dijebloskan dalam penjara!"

Tukang pukul itu tidak segera menyiksanya karena mengingat A Piang merupakan seorang langganan lama dari rumah perjudian itu.

"Aku... aku sudah tidak mempunyai apa-apa lagi, semua sudah kujual, bahkan rumahku yang kosong sudah kugadaikan..." A Piang meratap.

"Engkau bisa pinjam dulu dari seseorang keluargamu."

"Aku tidak mempunyai keluarga..."

"Mustahil orang tidak mempunyai keluarga!"

"Aku hanya hidup berdua dengan seorang anak perempuanku... ah, kasihanilah aku, berilah kesempatan..."

"Seorang anak perempuan? Berapa usianya?" Tiba-tiba tukang pukul itu tertarik.

"Empat belas... lima belas tahun."

"Bagus, engkau dapat menggadaikan anakmu itu kepada cukong kita!" kata si tukang pukul mata juling itu.

Sepasang mata A Piang terbelalak.
"Apa? Menggadaikan anak perempuanku? Jangan bicara sembarangan engkau!"

"Siapa bicara sembarangan? Engkau bisa menggadaikannya untuk selama satu bulan, atau menyewakan selama sebulan kepada majikan perjudian, dan engkau bisa mendapatkan sedikit modal untuk berjudi."

"Apa... apa maksudmu?"

"Mudah saja. Engkau menyewakan anakmu itu agar... eh, bekerja melayani majikan, dan engkau akan memperoleh uang dari majikan."

"Melayani majikan? Menjadi pelayan? Benarkah, apakah loya mau menerima sebagai pelayan untuk selama satu bulan? Berapa dia mau memberikan untuk itu?"

"Berapa kau butuh?"

"Hutangku empat puluh lima, kalau dia mau menambah lima belas lagi untuk modal judi, biarlah anakku bekerja sebulan disini... anakku tentu mau menolongku, dia anak baik..."

"Kalau begitu, bawalah besok pagi-pagi anakmu itu ke sini menemui loya, aku akan melaporkannya. Dan kalau berhasil, jangan lupa padaku, A Piang."

Demikianlah awal mulanya mengapa A Piang mengajak anak perempuannya pergi menemui majikan rumah perjudian itu. Semalam dia membujuk anaknya dan akhirnya Kui Cin mau juga untuk menolong ayahnya.

A Piang bukanlah seorang anak kecil. Dia sudah dapat menduga apa yang tersembunyi di balik semua itu. Akan tetapi dasar hati ayah ini sudah kecanduan judi, dan di dunia ini tidak ada apa-apa lagi yang penting kecuali berjudi mengejar kekalahannya, maka dia pun tidak begitu peduli. Bahkan ada timbul pikiran bahwa kalau anak perempuannya disuka oleh majikan rumah judi itu, tentu dia akan enak! Siapa tahu dia malah akan diangkat menjadi kuasa rumah perjudian itu!

Memang mengerikan sekali akibat seorang yang gila judi. Dan hal ini bukan dongeng belaka. Bahkan banyak sudah terjadi orang rela menjual isterinya, anaknya dan siapa saja. Mau mempergunakan uang siapa saja, untuk berjudi. Banyak pula yang berusaha mengelak, berusaha melepaskan kebiasaan berjudi, namun tidak dapat.

Timbul pertanyaan besar dalam benak para penjudi yang sudah melihat akan bahayanya perjudian dan ingin melepaskannya namun tidak mampu, yaitu : Bagaimanakah caranya agar terbebas dari penyakit judi ini?

Hendaknya diketahui benar bahwa kegemaran berjudi bukan datang dari luar, melainkan dari diri sendiri, dari dalam batin. Timbul karena adanya harapan dan keinginan untuk menangkan banyak uang, untuk memperoleh uang secara mudah, untuk dapat memperoleh kembali kekalahan-kekalahan yang lalu. Judi hari ini adalah kelanjutan dari judi kemarin dan yang lalu.

Sekali batin telah waspada dan sadar, maka batin akan dapat membikin putus tali lingkaran setan itu. Melepaskan ingatan akan kalah dan menang. Kalau terdapat pikiran bahwa akan berjudi sekali lagi, sekali lagi saja lalu berhenti, maka dia tidak akan dapat berhenti!

Begitu melihat kepalsuannya lalu berhenti! Sampai di situ, sekarang juga, saat ini juga, dan tidak mengingatnya lagi, atau menatapnyam, mengamati diri sendiri penuh kewaspadaan, maka kebiasaan itupun akan terhentilah. Bukan melarikan diri dari kebiasaan. Melarikan diri percuma saja karena kebiasaan itu dapat dilakukan di manapun juga. Yang penting, terbebas dari kebiasaan ini, dengan jalan menghadapinya dengan penuh kewaspadaan, mengamatinya sehingga nampak seluruhnya, latar belakangnya, sebab-sebabnya.

Kui Cin adalah seorang anak perempuan yang baru berusia hampir lima belas tahun. Ia masih terlalu murni dan polos, tidak tahu bahwa manusia merupakan mahluk yang amat kotor dan jahat, yang pandai menyembunyikan segala kekotorannya ditopengi kebersihan. Ia mengira bahwa tuan yang berada di dalam kamar ini telah menolong ayahnya, dan iapun siap untuk melakukan pekerjaan betapa beratpun untuk membalas budi.

"Siapa namamu?" terdengar pria itu bertanya.

Kui Cin sejak tadi berdiri sambil menunduk, dan kini ia memberanikan diri menjawab lirih.

"Nama saya Kui Cin, loya."

"Coba angkat mukamu dan pandang aku."

Kui Cin merasa malu-malu dan takut. Lebih baik dia disuruh bekerja berat daripada menerima perintah ini. Akan tetapi iapun segera mengangkat mukanya memandang wajah yang bermata tajam itu. Wajah seorang pria yang kelihatan galak, dengan kumis melintang dan mulut tersenyum menyeringai, dan sepasang mata liar seperti menelanjanginya.

"Ke sinilah kau, Kui Cin."

Gadis itu melangkah maju, kedua kakinya agak gemetar. Entah mengapa, ia seperti mendapat firasat buruk, seolah-olah merasa ada bahaya mengancamnya. Setelah tiba dalam jarak dua meter dari orang yang duduk di atas pembaringan itu, ia berhenti dan menunduk.

"Majulah mendekat."

"Di... disini saja, loya..."

"Eh, baru diperintah mendekat saja sudah hendak membantah, ya? Apalagi kalau disuruh melakukan pekerjaan berat!" Orang itu membentak.

Kui Cin terkejut dan seperti didorong dari belakang, iapun melangkah maju beberapa tindak sampai ia berdiri dekat di depan laki-laki itu.

"Engkau manis...!" kata orang itu sambil menyentuh dagunya.

"Ah, loya...!" Kui Cin berkata dengan suara gemetar.

"Sayang pakaianmu agak kotor. Kui Cin, kau buka dan tanggalkan semua pakaianmu itu!"

Dara itu terbelalak dan mukanya berubah merah. Lalu ia mundur dan menggeleng-geleng kepalanya.

"Tidak...! Tidak mau...!"

Orang itu melepaskan huncwenya dari mulutnya dan menggoyang-goyang huncwe sambil tersenyum.

"Hemm, ingat engkau harus mentaati semua perintahku. Ingatkah engkau janjimu tadi?"

"Tapi... tapi... saya akan mentaati semua perintah untuk bekerja. Pekerjaan apapun akan saya lalukan, bukan... bukan ini..."

"Taat tetap taat, dan inipun pekerjaan namanya. Hayo tanggalkan semua pakaianmu, ini perintah pertama!"

"Tidak...! Tidak...!"

"Hemm, apakah engkau lebih suka melihat aku memaksamu dengan kekerasan? Ingat, engkau sudah disewakan selama sebulan. Selama satu bulan engkau adalah milikku dan engkau harus mentaati apapun yang kuperintahkan. Tahu? Hayo kesini dan tanggalkan seluruh pakaianmu!"

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: