*

*

Ads

Kamis, 01 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 095

Dia terkejut dan cepat dia membuang diri ke belakang, lalu bergulingan dan meloncat bangun dengan keringat dingin membasahi dahi. Biarpun dia dapat meloloskan diri, namun sambaran hawa pukulan dahsyat tadi menyerempet pundaknya yang merasa panas seperti terbakar api!

"Inilah ilmu peninggalan ayahku, Pangeran Ceng Han Houw!" Thian Sin membentak keras dan menyerang lagi dengan Ilmu Hok-liong Sin-ciang!

Akan tetapi kini kakek itu sudah menaruh curiga dan tidak terlalu mengandalkan pengetahuannya tentang ilmu itu. Dan memang kini nyatalah olehnya bahwa semua jurus yang dikeluarkan oleh pemuda itu sama sekali berbeda dengan yang telah dipelajarinya, walaupun nampaknya saja sama. Hanya ada persamaan pada kulitnya, namun amat berbeda pada isinya. Seperti emas tulen dengan emas palsu. Tahulah dia bahwa dia telah mempelajari kitab palsu dan marahlah See-thian-ong. Dia telah dipermainkan dan ditipu oleh pemuda ini!

Betapapun juga, dia penasaran. Ketika Thian Sin mengubah ilmunya dengan berjungkir balik, yaitu mainkan ilmu silat sakti Hok-te Sin-kun, See-thian-ong yang ingin memamerkan kepandaian kepada semua orang bahwa diapun dapat mainkan ilmu peninggalan Pangeran Ceng Han Houw, juga cepat berjungkir balik untuk mengimbangi permainan lawan.

Namun, kembali dia kecelik dan setelah mereka berputar-putar saling serang sampai belasan jurus, See-thian-ong selalu bertemu dengan kenyataan bahwa ilmu berjungkir balik yang dipelajarinya inipun kosong! Dan kesombongannya untuk memandang rendah lawan ini hampir saja merenggut nyawa datuk dari barat ini!

Ketika Thian Sin melakukan serangan dengan kaki kanannya yang seperti sebatang cangkul itu menendang dari atas ke arah pusarnya, See-thian-ong yang mengenal jurus ini secara keliru membuat perhitungan. Menurut jurus yang dipelajarinya, jurus ke sebelas dari ilmu Hok-te Sin-kun ini adalah jurus yang kosong, atau jurus yang hanya indah dan kelihatan berbahaya namun tidak mengandung isi serangan, melainkan untuk memperkokoh kedudukannya untuk melakukan jurus selanjutnya yang merupakan inti serangan.

Maka diapun tidak begitu memperhatikan, melainkan menanti datangnya jurus berikutnya, hanya berusaha untuk mendahului lawan, maka dia mengira bahwa saat inilah yang terbaik untuk mendahului lawan. Maka begitu jurus ke sebelas mulai digerakkan oleh Thian Sin dengan menendangkan kaki kanan ke pusar, kakek itu menggereng dan membiarkan saja kaki lawan melayang, dan tangan kanannya lalu mencengkeram ke depan, ke arah tenggorokan lawan sedangkan tangan kirinya menahan tubuh dan kaki kirinya juga menendang ke arah anggota rahasia lawan. Sungguh serangan yang amat berbahaya!

Akan tetapi segera kakek itu berseru kaget. Kiranya tendangan ke arah pusar yang menurut pelajaran hanya kosong itu, kini berubah menjadi tendangan menotok ke arah pundaknya dimana terdapat jalan darah kin-ceng-hiat di pundak kiri! Dan untuk menangkis tidak mungkin lagi karena dia sendiri sedang melakukan serangan. Untuk mengelak lebih tidak mungkin lagi, sedangkan serangan lawan itu lebih dulu datangnya daripada serangan sendiri. Maka jalan satu-satunya baginya hanyalah mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang. Dari perutnya keluar suara kok-kok-kok dan tubuhnya seketika menggembung.

"Desss...!"

Jalan darah di pundaknya terlindung oleh Hoa-mo-kang sehingga tidak sampai tertotok, akan tetapi gerakan ujung kaki Thian Sin mengandung tenaga mujijat dari sin-kang yang diperolehnya dari latihan berjungkir-balik, maka tubuh kakek yang menggembung itu terlempar sampai lima meter dan terbanting lalu bergulingan seperti sebuah bola besar!






Terkejutlah semua orang yang hadir di situ! Merupakan berita aneh kalau sampai See-thian-ong dikalahkan orang, dan melihat tubuh datuk itu terlempar, terbanting dan terguling-guling sungguh merupakan kenyataan yang lebih aneh pula. Akan tetapi, kakek itu tidak percuma disebut datuk dari barat karena dia sudah dapat meloncat bangun kembali. Wajahnya yang berkulit hitam itu mula-mula agak berkurang hitamnya karena pucat, akan tetapi segera berubah menjadi hitam sekali ketika darah memenuhi mukanya, saking malu dan marahnya.

Tahulah dia sekarang bahwa dia benar-benar telah tertipu oleh pemuda yang kini berdiri tegak sambil tersenyum mengejek di depannya itu, dalam jarak kurang lebih enam meter karena dia tadi terpental dan terlempar.

"Bagaimana pendapatmu sekarang tentang ilmu peninggalan ayahku, yaitu Pangeran Ceng Han Houw jagoan nomor satu di dunia, See-thian-ong?"

Sikap Thian Sin sekarang tidak hormat seperti tadi, melainkan penuh dengan ejekan.
"Sekarang engkaulah yang harus berlutut di depan kakiku dan mengaku kalah."

Tentu saja ucapan ini membuat kemarahan dalam benak See-thian-ong menjadi semakin berkobar. Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja dia sudah menubruk ke depan, tangannya memegang senjata yang amat diandalkannya, yaitu sebatang tongkat yang segera dimainkannya dengan Ilmu Tongkat Giam-lo-pang-hoat yang dahsyat itu.

Angin bersuitan dari segala penjuru ketika dia menerjang dan mengamuk. Akan tetapi Thian Sin sudah cepat berjungkir balik. Dia maklum bahwa tongkat itu amat lihai, maka satu-satunya cara untuk menghadapinya hanyalah menggunakan ilmu simpanannya ini. Dengan Hok-te Sin-kun dia melawan.

Terjadilah pertandingan yang amat seru, juga amat aneh karena yang seorang melayani lawan dengan berjungkir balik. Saking cepatnya gerakan mereka, kadang-kadang keduanya lenyap dan nampak hanya bayangan mereka saja, membuat para penonton menahan napas. Dan kadang-kadang gerakan mereka itu lambat dan dapat diikuti pandangan mata, namun dalam gerakan lambat itu terkandung tenaga yang dahsyat, sampai kadang-kadang terasa oleh para penonton yang berdiri menjauh.

Jurus berjungkir balik dari Thian Sin itu memang merupakan ilmu yang amat disegani dan ditakuti See-thian-ong. Ketika mereka berdua saling bertanding pada pertemuan pertama, datuk itu sudah merasakan kehebatan ilmu ini. Kini, hatinya mula-mula besar karena dia merasa sudah dapat menguasai ilmu aneh itu. Siapa kira, yang dikuasainya hanyalah ilmu palsu. Maka kini kembali dia harus menghadapi ilmu aneh yang amat lihai itu dan akibatnya, dia kembali terdesak hebat.

Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya lenyap! Thian Sin sadar bahwa lawannya sudah menggunakan ilmu hitam. Para penonton yang tidak terbebas dari pengaruh ilmu hitam ini, mengeluarkan suara terkejut ketika melihat kakek itu hilang begitu saja, namun gerakannya masih dapat tertangkap oleh telinga mereka. Thian Sin hanya mengandalkan ketajaman telinganya untuk menghindarkan diri atau menangkis, kedua kakinya bergerak-gerak, akan tetapi tetap saja dia terdesak.

"Bukk!" Sebuah pukulan tongkat mengenai punggungnya dan tubuh pemuda itu terpelanting.

"Ha-ha-ha...!"

Suara See-thian-ong terdengar tertawa bergelak dan kembali tubuh Thian Sin kena hajar tongkat, kini mengenai pahanya.

Thian Sin sudah memperhitungkan dan secepat kilat, tangannya yang berada di bawah sudah meraih dan mencengkeram tanah, lalu dilontarkan ke arah suara ketawa itu.

"Ahhh...!"

Seketika nampaklah tubuh kakek itu dan secepat kilat Thian Sin menggerakkan tubuhnya, melakukan penyerangan dengan jurus terampuh dari Hok-te Sin-kun!

Kakek itu masih belum lenyap rasa kagetnya melihat ilmu hitamnya dipunahkan Thian Sin dan melihat gerakan jurus penyerangan itu, otomatis diapun bergerak menangkis sesuai dengan apa yang pernah dilatihnya. Dia lupa bahwa yang dilatihnya itu adalah palsu, maka tentu saja tangkisannya tidak tepat dan baru diketahuinya setelah terlambat.

"Desss...!"

Pukulan tangan Thian Sin yang dilakukan dengan tubuh yang tadinya jungkir balik itu berputar berdiri lagi, tepat mengenai lambung kiri kakek itu.

See-thian-ong berteriak keras dan tubuhnya terbanting, dari mulutnya tersembur darah segar, tanda bahwa dia telah terluka parah! Akan tetapi, tidak percuma dia menjadi datuk kaum sesat, karena dia telah meloncat berdiri lagi, tubuhnya bergoyang-goyang dan agak terhuyung.

Pada saat itu, murid utamanya, yaitu Ciang Gu Sik, telah menerjang Thian Sin dengan menggunakan senjata mautnya, yaitu senjata joan-pian dari emas. Serangannya diikuti pula oleh para murid See-thian-ong, bahkan tokoh-tokoh kang-ouw yang menjadi tamu datuk itu ikut pula mengeroyok, tentu saja karena mereka ini ingin berjasa dan mengambil hati Sang Datuk.

Melihat ini, Thian Sin tertawa dan sekali melompat, tubuhnya sudah melayang jauh meninggalkan tempat itu.

"Thian Sin, tunggu...!"

Cian Ling hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba suhengnya dan gurunya sudah bendiri di depannya menghadang.

Melihat gurunya memandang kepadanya dengan mata mendelik dan mulut berlepotan darah, Cian Ling terkejut dan ketakutan. Sementara itu, orang-orang kang-ouw tidak ada yang berani mengejar Thian Sin yang sudah berlari jauh dan tidak nampak lagi.

"Murid murtad!" See-thian-ong membentak marah sekali.

"Suhu...!"

Cian Ling berkata dengan mata terbelalak ketakutan melihat gurunya melangkah maju mendekatinya.

"Plakkk!"

Sebuah tamparan yang keras dari tangan kiri See-thian-ong menyambar pipi kanan wanita itu, membuatnya terpelanting keras.

"Engkau pengkhianat! Engkau telah membuka rahasia kepadanya, ya?" See-thian-ong membentak marah. "Siapa lagi kalau bukan engkau yang membocorkan rahasiaku?"

"Suhu, aku... aku cinta padanya..."

"Tidak peduli engkau cinta padanya, engkau sudah membocorkan rahasiaku, engkau sudah mengkhianatiku, maka engkau tidak layak lagi hidup!" See-thian-ong melangkah maju menghampiri murid yang kadang-kadang menjadi kekasihnya itu.

Cian Ling berlutut dan mengangkat muka, memandang ketakutan, ujung bibirnya pecah berdarah bekas tamparan tadi, rambutnya kusut dan pakaiannya kotor.

"Mampuslah, murid pengkhianat!" See-thian-ong memukul dengan tongkatnya.

"Trang...!" Cian Ling menangkis dengan pedangnya yang bersinar putih!

Sikapnya melawan ini sungguh luar biasa. Di kalangan kang-ouw, kiranya jarang ada murid berani melawan gurunya, apalagi melawan dengan senjata. Akan tetapi, See-thian-ong adalah seorang datuk kaum sesat dan di dalam golongan kaum sesat ini memang tidak berlaku sopan santun dan tata tertib, sehingga perlawanan seorang murid terhadap gurunyapun tidaklah aneh. Apalagi kalau dipikir bahwa selain murid, wanita muda yang cantik inipun kadang-kadang meniadi kekasih gurunya itu!

"Bagus kau melawan, jangan katakan aku yang kejam!" kata See-thian-ong dan diapun menyerang lagi lebih hebat.

Setiap serangan tongkatnya merupakan serangan maut, dan angin dahsyat menyambar-nyambar secara bertubi-tubi ke arah tubuh Cian Ling yang juga melawan sekuat tenaga.

"Suhu, jangan bunuh sumoi...!"

Tiba-tiba Ciang Gu Sik sudah meloncat ke depan dan dengan senjata ruyungnya diapun membantu sumoinya, menangkis serangan gurunya yang selalu mengancam diri sumoinya itu.

Kini kedua orang murid itulah yang melawan guru mereka, dan biarpun kini ada Gu Sik yang membantu sumoinya menangkis serangan-serangan guru mereka, akan tetapi tetap saja Cian Ling terdesak hebat dan beberapa kali tongkat See-thian-ong hampir saja menyambar kepalanya dengan pukulan-pukulan maut.

See-thian-ong marah bukan main. Dia merasa sakit hati karena dikhianati muridnya sendiri, murid yang terkasih lagi, dan kini melihat Gu Sik membela Cian Ling mati-matian dia menjadi semakin marah. Dia tahu bahwa murid kepala ini mencintai Cian Ling, akan tetapi tidak disangkanya bahwa cinta Gu Sik sampai membuat murid itu berani pula menentangnya.

Untuk merobohkan Gu Sik dia tidak tega, pertama karena Gu Sik tidak bersalah apa-apa kepadanya, dan kedua, dia tahu bahwa Gu Sik adalah seorang murid yang setia dan boleh diandalkan bantuannya. Hal ini dapat dibuktikannya dengan melihat betapa senjata ruyung dari murid kepala itu sama sekali tidak pernah balas menyerangnya, melainkan dipergunakan untuk membantu Cian Ling, yaitu menyelamatkan sumoinya itu dari ancaman senjata See-thian-ong.

Dihadapi dua orang murid utamanya, repot juga bagi See-thian-ong untuk dapat merobohkan Cian Ling. Apalagi karena dia tidak ingin melukai Gu Sik. Oleh karena itu, tiba-tiba dia membentak keras dan dengan sebuah tendangan yang amat cepat dan kuat dia membuat ruyung di tangan murid utama itu terlempar dan di lain saat tongkatnya sudah menotok pundak Cian Ling. Gadis itu mengeluh panjang dan roboh terkulai. See-thian-ong menggerakkan tongkatnya lagi, akan tetapi tiba-tiba Gu Sik menubruk sumoinya dan menghalangi suhunya.

"Suhu, lebih baik bunuh teecu lebih dulu!" kata Gu Sik dengan sikap berani, melindungi sumoinya.

"Hemm, Gu Sik, engkau hendak menentang suhumu pula? Hendak membela pengkhianat?"

"Suhu, teecu mencintainya."

"Karena dia cantik dan muda?"

"Tidak, karena memang teecu mencintainya dan teecu siap membelanya dengan nyawa."

"Kalau begitu, aku ubah hukumannya. Minggirlah dan aku perkenankan engkau mengambilnya sebagai isterimu."

"Terima kasih, suhu!" Gu Sik berlutut.

See-thian-ong menggerakkan tongkatnya beberapa kali. Terdengar bunyi "krek-krek" dan tulang sambungan pergelangan tangan dan siku kedua lengan Cian Ling patah-patah dan remuk-remuk. Dengan demikian, biarpun dengan pengobatan kedua lengan itu akan dapat bersambung lagi tulang-tulangnya, namun untuk memiliki ilmu kepandaian tinggi sudah tidak mungkin lagi bagi Cian Ling.

Sambungan siku dan pergelangan lengan merupakan bagian-bagian terpenting dalam gerakan silat. Kalau hanya patah saja, dapat tersambung lagi dan cukup kuat tulang yang tersambung lagi. Akan tetapi, dalam keadaan remuk seperti itu dan sambungan telah terlepas, biarpun dapat sembuh, tak mungkin dapat menjadi kuat kembali.

Cian Ling menjadi penderita cacad dan ia tidak lagi dapat mengandalkan ilmu silatnya. Tentu saja, dibandingkan dengan wanita biasa, ia masih jauh lebih tangguh kerena dengan gerakan tubuh dan tendangan-tendangan kakinya, ia masih akan mampu mengalahkan dua tiga orang pria biasa.

Menerima hukuman seperti itu, yang amat mengerikan bagi seorang ahli silat, Cian Ling menangis dan pingsan! Gu Sik lalu memondong tubuh sumoinya untuk dirawat, dan para orang-orang kang-ouwpun bubarlah, tidak ada yang berani bicara, apalagi membicarakan kekalahan datuk itu! Hanya setelah mereka berada jauh dari tempat itu saja, mereka berani bicara dengan suara bisik-bisik, menyatakan kekaguman dan keheranan mereka tentang pemuda putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang di depan mata mereka telah mengalahkan datuk dunia barat itu.

Setelah luka-lukanya akibat hukuman suhunya sembuh oleh perawatan Gu Sik yang amat teliti, akhirnya terpaksa Cian Ling menerima keputusan See-thian-ong bahwa ia harus menjadi isteri suhengnya itu. Ia menerimanya setengah terpaksa, karena kalau ia menolak, ia tahu bahwa gurunya tentu tidak akan mengampuninya dan akan membunuhnya.

Melawanpun tiada artinya, dan melarikan diri dari suhunya merupakan hal yang amat tidak mungkin. Ke manapun ia melarikan diri, akhirnya ia tentu akan tertangkap juga. Kalau saja Thian Sin mau membawanya pergi, tentu ia tidak takut menghadapi suhunya. Akan tetapi, Thian Sin meninggalkannya, berarti Thian Sin tidak mencintanya dan hal inilah yang merupakan sebab ke dua mengapa ia menerima keputusan itu.

Dan ke tiga, karena ia melihat kenyataan betapa Cian Gu Sik, suhengnya itu, benar-benar amat mencintainya, bukan sekedar mencinta wajah dan tubuhnya, bukah sekedar cinta berahi seperti yang selama ini ia rasakan dari para pria yang pernah berdekatan dengannya, melainkan cinta yang lebih mendalam lagi.

Thian Sin melarikan diri dengan hati girang. Dia telah berhasil mengalahkan See-thian-ong! Memang dia tadi melarikan diri, karena dia menganggap belum tiba waktunya untuk membasmi See-thian-ong dan kaki tangannya. Dia harus terus mempelajari segala macam ilmu, harus terus memupuk ilmu-ilmunya dan memperkuat diri. Setelah dia merasa benar-benar kuat, barulah dia akan turun tangan, membasmi seluruh penjahat sampai ke akar-akarnya dan sekaligus mengangkat diri menjadi jagoan atau pendekar nomor satu di dunia, melanjutkan cita-cita ayah kandungnya.

Kemenangannya terhadap Pak-san-kui dan See-thian-ong hanyalah merupakan kemenangan tipis, belum mutlak. Maka dia harus terus menggembleng diri, terutama sekali dengan ilmu-ilmu peninggalan ayah kandungnya yang belum dilatihnya secara sempurna. Untuk itu dia harus mencari tempat yang sunyi, tempat keramat dan kalau mungkin dia harus dapat berjumpa dengan guru dari ayahnya, yaitu yang disebut Bu Beng Hud-couw! Maka, dengan hati mantap, Thian Sin melanjutkan perjalanannya menuju ke Pegunungan Himlaya!

**** 095 ****
Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: