*

*

Ads

Selasa, 30 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 090

"Ha-ha-ha, yang jelas, dia telah berkenalan denganmu! Dan aku tidak menyalahkan engkau, Cian Ling. Dia memang tampan dan ganteng, mungkin seperti itulah ayahnya dahulu, si penakluk wanita itu seperti dikabarkan orang. Akan tetapi jagoan nomor satu di dunia? Ha-ha, hal itu harus dibuktikan dulu. Orang muda, mendengar engkau putera Pangeran Ceng, mari kau layani aku barang sepuluh jurus. Aku sudah mendengar akan sepak terjangmu selama ini."

Thian Sin bangkit berdiri dan menjura. Dia dapat menilai watak kakek ini. Seorang datuk yang kasar akan tetapi jauh lebih gagah dibandingkan dengan Pak-san-kui yang mempunyai sifat licik. Boleh jadi datuk ini kasar dan kejam, tidak pedulian, dan mau menang sendiri saja, akan tetapi setidaknya dia ini jujur dan tidak curang. Tentu kakek ini sudah mendengar tentang dia, mendengar bahwa dia telah mengalahkan murid-muridnya dan juga mengalahkan putera Pak-san-kui maka kini tertarik dan hendak mengujinya. Dia harus berhati-hati. Kalau seorang datuk sakti seperti itu sudah tahu akan keunggulannya, maka tentu datuk itu tidak akan memandang rendah dan akan mengeluarkan kepandaiannya.

"Locianpwe, sungguh aku merasa beruntung sekali dapat berhadapan dengan locianpwe, karena sudah lama aku mendengar bahwa locianpwe adalah seorang di antara locianpwe di empat penjuru dunia yang memiliki kesaktian tinggi. Aku yang muda memang mengharapkan petunjuk darimu."

Setelah berkata demikian, Thian Sin menjura dan berdiri dengan sikap menanti, waspada dan tenang.

"Ha-ha-ha, bagus sekali! Ternyata engkau patut menjadi putera pangeran yang pernah menggetarkan dunia kang-ouw itu. Nah, bersiaplah, orang she Ceng! Biar muridku menjadi saksi siapa diantara kita yang lebih unggul, aku, See-thian-ong, ataukah engkau, yang menggantikan Pangeran Ceng Han Houw!"

Ketika tertawa kakek itu kelihatan jauh lebih muda dari usianya, dan Thian Sin tahu bahwa seorang laki-laki penuh kejantanan seperti ini tentu dapat menarik hati banyak wanita.

Akan tetapi, sebelum kakek raksasa itu bergerak, Cian Ling sudah melangkah maju menghadapi suhunya dan berkata,

"Suhu...!"

"Eh, ada apa manis?"

"Jangan suhu mencelakakan dia...!"

"Ha-ha-ha, kau khawatir aku merusak boneka mainanmu sayang? Jangan khawatir, di dunia ini masih banyak pemuda-pemuda yang lebih ganteng deripada dia."

"Tapi aku... aku cinta padanya, suhu."

Sepasang mata yang sudah lebar itu terbelalak.
"Kau...? Cinta...? Uh, betapa bodohnya. Bukankah sudah sering kuajarkan kepadamu bahwa cinta adalah suatu kebodohan? Bahwa cinta hanya mendatangkan kesengsaraan hidup belaka? Aku tidak berjanji apa-apa, dan kita lihat saja bagaimana kesudahannya pibu ini nanti."






Dengan kasar dia lalu menggunakan tangannya mendorong muridnya ke samping. Terpaksa Cian Ling meloncat ke pinggir dan memandang dengan alis berkerut karena betapapun juga, ia tahu akan kesaktian gurunya dan akan keganasan ilmu dari gurunya. Dan ia masih belum puas dengan pemuda itu, tidak ingin kehilangan Thian Sin yang begitu menyenangkan hatinya.

Kakek itu menggerakkan tangan yang memegang tongkat dan benda itu menancap di atas tanah sampai setengahnya.

"Nah, engkau boleh mempergunakan senjatamu pedang itu, akan kuhadapi dengan tangan kosong. Ini baru adil namanya mengingat usiaku lebih matang darimu. Majulah dan keluarkan pedangmu, orang muda."

Manusia sombong pikir Thian Sin. Diapun tidak mau kalah gertak, maka dia mengeluarkan pedangnya, bukan dicabut melainkan mangeluarkan berikut sarungnya dan diapun menancapkan pedang bersarung itu ke atas tanah.

"Locianpwe, aku datang untuk minta petunjuk, dan dalam adu ilmu haruslah terdapat kejujuran dan keadilan. Kalau locianpwe tidak menggunakan senjata, akupun masih mempunyai tangan dan kaki untuk melayanimu."

Kakek itu semakin terbelalak, lalu tertawa.
"Ha-ha-ha, engkau tabah sekali. Agaknya karena engkau telah menguasai ilmu dari Cin-ling-pai seperti yang telah kudengar, maka engkau berani memandang ringan kepadaku, ya? Nah, boleh mari kita mengadu tangan dan kaki. Majulah!"

"Aku yang muda dan hanya tamu, mana berani maju lebih dulu? Silakan, locianpwe!"

Sikap Thian Sin yang selalu mengalah ini sungguh merupakan tamparan bagi See-thian-ong. Biasanya, karena dia memiliki tingkat lebih tinggi, dialah yang mengalah sebagai sikap orang yang kepandaiannya lebih tinggi. Akan tetapi sekarang dia bertemu batunya, seorang pemuda yang bersikap mengalah kepadanya!

"Bocah sombong, sungguh engkau tidak mengenal siapa See-thian-ong!" bentaknya dan sikap Thian Sin itu berhasil membuat kakek ini marah dan memang inilah yang dikehendaki Thian Sin.

Dia tidak ingin kakek itu main-main, melainkan memancing agar kakek itu mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk dapat diukurnya. Setelah mengeluarkan bentakan itu, tiba-tiba saja kakek itu menerjang dan kedua lengannya yang berkulit hitam berbulu panjang dan besar itu menyambar dari kanan kiri, kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka menyambar dari kanan kiri seperti orang hendak menepuk lalat, dan yang dijadikan lalatnya untuk dihimpit oleh kedua tangan yang lebar dan kuat itu adalah kepala Thian Sin!

"Parrrrr...!"

Kedua tangan itu saling bertemu ketika Thian Sin dengan gerakan lincah sudah melangkah mundur mengelak. Akan tetapi, bertemunya kedua tangan kakek itu selain mendatangkan suara nyaring, juga mengepulkan asap dan tahu-tahu kedua tangan itu telah meluncur dengan serangan dahsyat dan ganas sekali, yang kanan mencengkeram ke arah kepala lawan sedangkan yang kiri dengan jari tangan terbuka menusuk ke arah lambung!

"Hemm...!"

Thian Sin berseru, kagum karena serangan itu sungguh amat ganas dan cepat, sebelum kedua tangan datang sudah menyambar angin pukulan dahsyat.

Diapun lalu mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, sengaja menangkis kedua lengan itu dengan kedua tangannya.

"Plak! Desss...!"

"Ahh! Inikah Thian-te Sin-ciang?"

Kakek itu berseru kaget ketika merasa betapa kedua lengannya yang disaluri penuh tenaga sin-kang itu dapat terpental terkena tangkisan pemuda itu.

Maklumlah dia bahwa berita yang didengarnya tentang pemuda ini tidak kosong belaka. Tenaga Thian-te Sin-ciang tadi saja sudah membuktikan bahwa pemuda ini memiliki tenaga kuat sekali, jauh lebih kuat daripada tenaga murid-muridnya yang paling pandai sekalipun.

Thian Sin tidak mempedulikan seruan kakek itu dan diapun cepat membalas serangan lawan dengan ilmu Silat Pat-hong Sin-kun dan setiap sambaran tangannya, dia kerahkan tenaga Pek-in-ciang sehingga kedua tangan itu mengeluarkan uap putih! Dua ilmu ini dia pelajari dari Yap Kun Liong dan sekarang dia memiliki kesempatan untuk mempergunakannya dalam praktek melawan musuh yang tangguh.

Dihujani serangan oleh pemuda itu, See-thian-ong cepat menjaga diri, mengelak dan menangkis sambil memperhatikan gerakan orang. Dia kagum sekali karena dia tidak yakin mengenal ilmu silat itu.

"Apa ini? Seperti Pat-kwa-kun, akan tetapi bukan! Dan uap putih ini... hemm, pernah aku mendengar tentang Pek-in-ciang. Inikah ilmu itu?"

Thian Sin mendesak terus tanpa menjawab, kemudian dia bahkan mengeluarkan ilmu-ilmu silat tinggi yang pernah dipelajarinya. Dia mengeluarkan beberapa jurus Thai-kek Sin-kun, San-in-kun-hoat dengan tenaga Thian-te Sin-ciang.

Kakek itu semakin kagum, karena semua ilmu itu dikenalnya sebagai ilmu silat yang benar-benar amat bermutu. Berkali-kali dia memuji dan dia sungguh-sungguh terdesak, padahal pemuda itu hanya mengeluarkan beberapa jurus dari ilmu silat masing-masing itu.

Thian Sin juga bukan seorang pemuda bodoh. Dia tahu bahwa lawannya adalah seorang datuk yang telah memiliki kematangan ilmu silat. Dia tidak mau dipancing seperti ketika menghadapi Pak-san-kui, yaitu dipancing untuk mengeluarkan semua ilmu-ilmunya agar dapat dipelajari oleh datuk itu.

Maka dia mencampur-campurkan semua ilmu silatnya sehingga membuat lawannya bingung dan kagum sekali. Karena maklum bahwa dia tidak akan mampu mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi yang diselang-seling itu dan tahu bahwa kalau dia hanya bertahan saja, besar kemungkinan dia akan terkena pukulan yang cukup ampuh dan berbahaya, kini See-thian-ong mengambil keputusan untuk menyudahi pertandingan.

Tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan yang parau menggetarkan bumi dan pohon-pohon di sekeliling tempat itu dan berdiri dengan kedua kaki dan tangan terpentang lebar. Pada saat itu, Thian Sin sudah melakukan serangan pukulan ke arah dada kakek itu. Melihat kakek itu berdiri dengan dada terbuka, dan melihat betapa menyusul suara teriakan itu, tubuh Si Kakek mulai menggembung, tahulah Thian Sin bahwa kakek itu telah mempergunakan ilmunya yang mujijat, yaitu yang oleh Cian Ling disebut sebagai Ilmu Hoa-mo-kang.

Akan tetapi dia tidak peduli dan memukul terus, untuk menguji sampai dimana kehebatan ilmu itu. Dia melihat betapa kakek itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, bahkan menyerahkan dadanya untuk dipukul.

"Blukk...!"

Pukulan tangan kanan Thian Sin yang menggunakan sepenuhnya tenaga Thian-te Sin-ciang itu tepat mengenai dada dan telinga Thian Sin seperti mendengar suara tambur dipukul dan tangannya yang memukul itu tadi terpental kembali seperti memukul bola yang amat keras dan kuat. Tubuhnya sendiri sampai terhuyung terbawa oleh kembalinya tenaga Thian-te Sin-ciang melalui tangannya dan untuk menjaga keseimbangan tubuhnya, dia sudah berloncatan jungkir balik mematahkan tenaga yang membalik itu.

"Ha-ha-ha, bagaimana pendapatmu dengan ilmuku, orang muda? Dapatkah engkau melawannya?" See-thian-ong tertawa pula, puas dan girang hatinya melihat lawannya terkejut menghadapi ilmunya.

"Locianpwe, ilmumu memang hebat, akan tetapi jangan mengira bahwa aku sudah kalah."

Setelah berkata demikian, pemuda itu menerjang ke depan lagi, dan kini dia menggunakan kedua tangannya untuk menyerang bagian-bagian tubuh yang tidak terlindung oleh Hoa-mo-kang itu, seperti mata, hidung, bagian muka, lalu bagian tubuh yang tulangnya menonjol dan tidak terlindung oleh daging, seperti tulang pundak, tenggorokan, sambungan siku, lutut dan sebagainya.

"Ah, kau memang cerdik!" Kakek itu berseru dan repot melindungi bagian-bagian yang terserang itu.

Akan tetapi karena tubuhnya sudah menggembung, maka mudah saja baginya, dengan hanya menggerakkan sedikit tubuhnya, maka bagian-bagian yang terserang adalah bagian yang terlindung hawa Hoa-mo-kang. Dan kini, begitu tubuhnya terpukul, otomatis tangannya membalas serangan dari samping.

"Blunggg... desss!"

Ketika tangan Thian Sin dengan kekuatan menyambar ke arah pundak untuk membikin patah tulang pundak kiri, kakek itu miringkan tubuhnya sehingga pukulan itu mengenai dadanya, dan pada saat yang sama tangannya sudah menampar punggung Thian Sin.

Tubuh pemuda itu terpelanting dan bergulingan saking kerasnya pukulan lawan. Akan tetapi untung baginya bahwa dia tadi sedang mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga tubuhnyapun menjadi kebal, terlindung oleh tenaga itu. Dia tidak terluka, sungguhpun guncangan tenaga hantaman yang keras itu sempat membuat isi dadanya tergetar dan napasnya menjadi agak sesak!

"Ha-ha-ha!"

See-thian-ong tertawa girang dan bangga. Thian Sin menjadi penasaran dan juga marah. Dia sudah menerjang lagi, menusukkan telunjuk dan jari tengah ke arah sepasang mata lawan. Ketika lawannya miringkan tubuh, dia menghantam ke arah tenggorokan.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: