*

*

Ads

Selasa, 30 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 087

"Sudahlah, kenapa main-main dengan perahu orang yang tak berdosa?" Thian Sin berkata dan dia mendoyongkan tubuhnya ke pinggir perahu.

Perahu hitam kecil itu menjadi miring dan dengan sendirinya terputar mendekati perahu besar yang terputar. Dengan tangannya Thian Sin menahan dan seketika perahu besar itu berhenti dari putaran!

"Hi-hik!"

Cian Ling mendayung perahunya meninggalkan mereka semua, bukan ke tepi, melainkan ke tengah telaga.

Cepat sekali perahunya meluncur sehingga sebentar saja orang-orang itu hanya melihat sebuah titik hitam jauh di tengah danau yang luas itu. Semua orang menarik napas panjang dan menduga siapa adanya pemuda itu.

"Pantas, kiranya sahabat So-siocia..." akhirnya mereka berkata-kata sebentar kemudian tempat itu menjadi ramai kembali.

"Kau bilang perahu itu perahu orang yang tidak berdosa?" tiba-tiba dia memandang Thian Sin dan bertanya, matanya yang jeli itu menyelidiki wajah yang tampan itu.

"Tentu saja, apa dosa mereka kepadamu?"

"Kepadaku sih tidak, akan tetapi... eh, tak tahukah engkau siapa mereka itu?"

"Mereka? Mereka adalah wanita-wanita yang sedang melancong..."

"Aih... jangan kau pura-pura, Ceng Thian Sin!" Cian Ling berkata sambil mengerling tajam dan tersenyum mengejek.

Diam-diam Thian Sin terheran-heran dan hampir dia tidak percaya bahwa ini adalah Nona So Cian Ling yang pernah ditemuinya dua kali dahulu itu. Dahulu, baik untuk pertama kalinya ketika dia bertemu dengan Cian Ling yang hendak membalas kepada Kakek Yap Kun Liong dan kedua kalinya ketika dia bertemu dengan dara ini di dalam pesta Tung-hai-sian, dara ini merupakan seorang gadis gagah perkasa yang keras dan serius.

Akan tetapi yang dilihatnya sekarang adalah seorang gadis yang manis dan jenaka, juga yang murah senyum dan sikapnya penuh dengan daya pikat! Seperti langit dan bumi bedanya!

"Hayaaa... apa yang kau lihat pada mukaku? Apakah ada kotoran di mukaku?" Cian Ling mengusap mukanya yang berkulit putih halus itu.

"Ah, tidak... hanya... ah, kenapa kau bilang aku pura-pura?"

"Habis, engkau memang pura-pura sih! Apa benar engkau tidak tahu bahwa mereka itu adalah wanita-wanita pelacur?"

Thian Sin terbelalak. Memang tadipun dia sudah terheran-heran akan sikap wanita-wanita itu yang demikian beraninya akan tetapi karena memang dia belum pernah bergaul dengan pelacur dan pertama kali melihat pelacur hanya ketika Siangkoan Wi Hong menjamunya bersama Han Tiong dahulu, maka dia tidak menyangka demikian.






"Ah, kiranya begitukah? Aku sungguh tidak tahu. Akan tetapi, andaikata mereka itu benar pelacur-pclacur, habis apa dosanya?"

"Wah, apa dosanya? Mereka menjual cinta..."

"Berdosakah itu?"

"Jelas! Bercinta sih tidak mengapa, akan tetapi kalau dijual, mencinta demi uang, wah, itu namanya hina! Eh, benarkah engkau belum pernah bergaul dengan pelacur?"

Thian Sin mengerutkan alisnya.
"Hemm, untuk apa?"

Tiba-tiba dara itu terkekeh dan menutupi mulutnya, sikapnya centil akan tetapi juga menarik hati sekali. Perahu yang tidak didayungnya itu meluncur tenang di tengah-tengah danau yang sunyi. Thian Sin merasa mendongkol juga ditertawakan, tanpa dia ketahui mengapa dara itu tertawa.

"Eh, kenapa engkau tertawa?" tanyanya, suaranya mengandung kemengkalan hatinya.

Dara itu menengok memandangnya dan agaknya menjadi semakin geli melihat dia marah.

"Ceng Thian Sin, berapa sih usiamu?" tiba-tiba dia bertanya tanpa menjawab pertanyaan mengapa dia tertawa tadi.

"Usia? Sembilan belas tahun, mengapa?"

"Hemm, benar kata Siangkoan-kongcu..."

"Apa yang dikatakan orang itu?" Thian Sin berkata, suaranya dingin.

"Dia berkata bahwa engkau adalah seorang pria yang benar-benar belum pernah bergaul dengan wanita pelacur, bahkan dengan wanita manapun. Bahwa engkau masih perjaka tulen. Benarkah itu?"

Wajah Thian Sin menjadi merah seperti udang direbus. Dia merasa ditertawakan dan merasa terbelakang dan dusun sekali.

"Kalau benar, habis mengapa?"

"Kau memang hebat! Ilmu kepandaianmu tinggi sekali, engkau keturunan seorang pangeran, malah seorang pangeran yang jagoan dan pernah menggegerkan dunia, dan engkau malah mewarisi ilmu-ilmu mujijat dari Cin-ling-pai, dan engkau... engkau masih perjaka tulen! Siapa bisa percaya itu? Akan tetapi aku percaya dan aku... aku kagum, Thian Sin."

Berkata demikian, dara itu lalu mengacungkan jempolnya dan ketika tangannya turun, tangan itu diletakkan ke atas paha kaki Thian Sin. Pemuda ini terkejut, akan tetapi dia diam saja, tidak berani berkutik sedikitpun dan seluruh tubuhnya seperti terasa dingin, bulu-bulu di tubuhnya seperti bangkit semua!

Melihat keadaan pemuda ini, So Cian Ling yang sejak pertemuan pertama sudah tergila-gila kepada Thian Sin, lalu mendekatkan tubuhnya sehingga terasa kehangatan tubuh gadis itu oleh Thian Sin. Lalu Cian Ling berbisik,

"Kau... kau takut...?"

Thian Sin tetap menegakkan tubuhnya yang duduk di atas perahu, tapi dia menoleh ke arah muka yang begitu dekat dengan mukanya sehingga terasa kehangatan napas dari mulut dan hidung wanita itu.

"Takut apa...?"

Dia sudah memberani-beranikan diri, menekan debar jantungnya, namun tidak urung suaranya gemetar dan hampir tidak terdengar, seperti bisikan saja. Gadis itu tersenyum, manis sekali senyumnya dan nampak deretan gigi yang teratur rapi dan putih bersih. Keharuman yang aneh keluar dari balik baju di lehernya.

"Engkau... pemuda yang gagah perkasa, yang sakti, yang tampan, engkau... eh, takut kepada wanita, ya? Hi-hik...!"

Tersinggung rasa harga diri Thian Sin. Dia pernah bercinta, walaupun hanya saling dekap dan saling berciuman. Dia sudah pernah bercinta, terutama sekali yang terakhir dengan Loa Hwi Leng! Maka, mendengar kata-kata bisikan yang sifatnya mengejeknya itu, dia menjawab penasaran.

"Siapa takut kepada wanita? Huhh...!"

Cian Ling tertawa geli.
"Benarkah? Benar engkau tidak takut padaku? Aku seorang gadis muda cantik, bukan? Dan amat dekat denganmu! Engkau tidak takut?"

"Tidak!"

"Kalau benar tidak takut, beranikah engkau menciumku?"

Thian Sin makin bingung dan malu, jantungnya berdebar keras. Menghadapi dara-dara sederhana dan malu-malu seperti Hwi Leng dahulu, dialah yang menyerang, dialah yang menggoda dan dialah yang menjadi guru. Akan tetapi kini, berhadapan dengan seorang dara seperti ini, yang begini berani, dia merasa kikuk dan malu-malu. Hal ini membuatnya penasaran karena di lubuk hati Thian Sin terdapat suatu ketinggian hati yang membuat ia enggan kalah oleh siapapun juga dan dalam hal apapun juga.

"Mengapa tidak berani? Akan tetapi, mengapa kita harus melakukan itu?" tanyanya, membayangkan keberanian akan tetapi juga keraguan.

Dengan bibir masih terbuka dalam senyum, dan mata memandang sayu dari balik bulu-bulu mata yang panjang, penuh daya pikat, dara itu berbisik,

"Mengapa? Aih... karena kita saling menghendakinya, aku cinta padamu, Ceng Thian Sin. Nah, beranikah engkau menciumku?"

Thian Sin merasa ditantang, dan pula, dekatnya tubuh yang hangat itu, bibir yang setengah terbuka penuh tantangan itu, pandang mata sayu yang penuh daya tarik itu, telah mendatangkan gairah dalam hatinya. Diapun lalu merangkul dan mencium, tadinya sekedar memperlihatkan bukti bahwa dia tidaklah begitu "dusun" dan "hijau".

Akan tetapi begitu bibir mereka saling bertemu, dia tidak perlu lagi bersandiwara, dan tidak perlu lagi khawatir tidak akan dianggap jantan karena Cian Ling yang malah memagutnya, mendekapnya dan menciuminya dengan kemesraan yang menyesakkan napas Thian Sin.

Tanpa disadarinya lagi, dia telah dibawa rebah oleh Cian Ling dan juga dalam keadaan setengah sadar, karena terbius oleh kenikmatan yang belum pernah dirasakannya, baik ketika bercintaan dengan Hwi Leng sekalipun. Thian Sin membiarkan dirinya hanyut oleh buaian nafsu. Dan dalam hal ini, Cian Ling merupakan seorang guru yang amat pandai, amat manis dan yang agaknya tak mengenal puas.

Setiap manusia di dunia ini, baik wanita maupun pria, yang hidup dalam keadaan normal dan biasa, kecuali mereka yang hidup diperuntukkan menjadi pendeta atau yang berpantang sanggama, sudah pasti akan sekali waktu mengalami hubungan pertama dalam hidupnya.

Hubungan kelamin antara pria dan wanita untuk pertama kalinya sudah pasti akan terjadi pada setiap orang, dengan berbagai cara dan jalan. Dan agaknya sudah diterima oleh umum sebagai hal yang wajar dan biasa, terutama di dunia timur, bahwa kehilangan keperjakaan seorang pria bukanlah hal yang aneh dan patut diributkan, sebaliknya, kehilangan keperawanan seorang wanita dapat menimbulkan bencana, urusan, permusuhan, pembunuhan, bahkan dapat mempengaruhi kehidupan wanita itu selanjutnya!

Hubungan antara pria dan wanita, hubungan yang menyangkut kelamin sekalipun, bukanlah merupakan hal yang aneh. Hubungan itu adalah wajar saja, seperti hubungan antara jantan dan betina pada semua makhluk, baik makhluk bergerak maupun tidak, baik tanam-tanaman, binatang-binatang, manusia-manusia. Jodoh dalam bentuk pertemuan antara Im dan Yang merupakan kewajaran, karena pertemuan antara jantan dan betina inilah yang menciptakan semua keadaan.

Demikian pula, hubungan kelamin antara pria dan wanita merupakan kewajaran, bahkan merupakan sarana bagi perkembangan manusia, bagi kelahiran manusia, oleh karena itu, sungguh sesat kalau menganggap hubungan itu sebagai sesuatu yang kotor! Sama sekali tidak. Hubungan itu adalah sesuatu yang suci, sesuatu yang bersih dan indah, sesuatu yang wajar dan tidak bertentangan hukum alam.

Akan tetapi, segala macam perbuatan di dunia ini, kalau dilakukan dengan dasar mengejar kesenangan, tentu menimbulkan penyelewengan-penyelewengan yang dianggap sebagai kejahatan. Dan perbuatan yang dilakukan dengan pamrih mencari kesenangan, sudah pasti akan mendatangkan gangguan-gangguan dalam hidup, mendatangkan awal daripada kesengsaraan.

Umpamanya, makan adalah suatu gerakan wajar yang merupakan kepentingan hidup, kebutuhan jasmani, dan memang segala kebutuhan jasmani itu pelaksanaannya mengandung kenikmatan. Inilah berkah berlimpahan yang patut membuat manusia bersyukur. Akan tetapi, kalau dalam melakukan perbuatan makan ini kita mendasarkannya atas pamrih menggelar kesenangan, yaitu kenikmatan makan tadi, maka terjadilah penyelewengan.

Kita lalu makan asal enak saja, tanpa mengingat lagi bahwa fungsi makan sebenarnya adalah untuk syarat hidup, untuk perut. Dan terjadilah akibat-akibat yang amat mengganggu seperti sakit perut dan sebagainya yang merupakan awal kesengsaraan! Demikian pula dengan perbuatan sebagai pelaksana hubungan kelamin antara pria dan wanita.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: