*

*

Ads

Kamis, 25 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 069

Sungguh suatu pemandangan yang aneh sekali, jelas nampak betapa joan-pian itu tadi mengenai pundak Thian Sing bahkan ujungnya, seperti seekor ular, melilit leher pemuda itu. Akan tetapi kenapa bukan pemuda itu yang menderita, sebaliknya malah Gu Sik yang memegang gagang cambuk atau joan-pian itu?

Ternyata bahwa Gu Sik merasa betapa tenaga sin-kang dari tubuhnya tersedot keluar melalui joan-pian, membanjir keluar dan hal ini amat mengejutkannya. Semakin dia mengerahkan tenaga untuk membetot joan-pian, makin hebat pula tenaga sin-kangnya membanjir keluar. Hal ini amat mengejutkan dan mendatangkan kengerian sehingga akhirnya dia berteriak-teriak minta dilepaskan! Thian Sin sudah melangkah dekat dan tangan kirinya menampar.

"Plakk!" Tubuh Gu Sik terpelanting dan joan-pian itu terlepas dari tangannya.

Akan tetapi Thian Sin masih teringat akan larangan kakaknya untuk tidak membunuh, maka tamparannya yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang itu hanya diarahkan ke pundak lawan sehingga Gu Sik tidak sampai menderita luka parah yang membahayakan nyawanya.

Pada saat Gu Sik berteriak-teriak tadi, Cian Ling terkejut dan dia ingin membantu suhengnya, akan tetapi diapun tidak ingin mencelakai Thian Sin, maka tangan kirinya yang maju dan mencengkeram ke arah pundak pemuda itu.

Akan tetapi, Thian Sin tidak mengelak dan membiarkan pundaknya dicengkeram. Dia melanjutkan dengan menampar Gu Sik dan membiarkan tangan dengan jari-jari yang kecil meruncing itu mencengkeram pundak.

"Ehhh...!"

Cian Ling juga mengeluarkan seruan kaget ketika merasa betapa sin-kangnya tersedot secara hebat sekali melalui tangannya yang mencengkeram. Dan pada saat itu, Thian Sin sudah melangkah dekat dan tangannya bergerak untuk menampar! Cian Ling terkejut bukan main, maklum bahwa nyawanya terancam maut, akan tetapi dia yang sudah tersedot sin-kangnya itu saking kagetnya tidak mampu berbuat apa-apa, hanya memandang kepada Thian Sin dengan sepasang matanya.

Justeru daya tarik kewanitaan So Cian Ling terletak pada hidung dan terutama matanya. Mata itu jeli dan indah sekali, dan melihat sepasang mata itu memandang kepadanya seperti itu, Thian Sin yang sudah menggerakkan tangan itu, tiba-tiba mengubah gerakannya sehingga tangannya tidak jadi menampar, melainkan... meraba dan mengelus dagu yang halus itu lalu mencubitnya dan melangkah mundur melepaskan tenaga Thi-khi-i-beng.

Cian Ling mengeluh lirih dan meloncat ke belakang. Seluruh tubuhnya terasa panas dingin dan kedua kakinya masih gemetar teringat akan bahaya maut tadi, dan mukanya merah sekali teringat betapa pemuda itu mengelus dan mencubit dagunya!

"Ahhh... kau... kau..." dan dia tersenyum malu-malu, menundukkan mukanya yang menjadi semakin merah. "Kenapa kau... tidak memukulku...?" bisiknya.

"Aku tidak bisa memukul wanita..." kata Thian Sin.

Pada saat itu, Han Tiong juga sudah mendesak Siangkoan Wi Hong. Kalau dia menghendaki, kiranya belum sampai lima puluh jurus dia akan mampu merobohkan pemuda putera Pak-san-kui itu, akan tetapi Han Tiong tidak ingin merobohkan orang, apalagi membunuhnya. Pada saat Thian Sin hendak membantu kakaknya agar lawan dapat segera dikalahkan, tiba-tiba terdengar suara halus,






"Tahan, jangan berkelahi...!"

Dan muncullah Tung-hai-sian bersama Bin Biauw dan belasan orang anak buah Tung-hai-sian. Melihat betapa Kong Liang dan lima orang pengeroyoknya masih terus berkelahi, kakek cebol itu cepat memasuki medan perkelahian dan dengan tenang dia beberapa kali menggerakkan kedua tangannya. Terdengar seruan-seruan kaget, juga Kong Liang sendiri cepat mencelat ke belakang karena dari kedua tangan kakek itu menyambar hawa pukulan yang luar biasa dinginnya dan kuatnya, yang membuat mereka yang mengeroyoknya terhuyung ke belakang dan dia sendiri harus meloncat ke belakang kalau tidak mau terdorong oleh hawa dingin yang amat kuat itu. Tahulah putera ketua Cin-ling-pai ini bahwa kakek cebol itu sungguh memiliki tenaga sin-kang yang amat luar biasa.

"Tahan, jangan berkelahi antara orang sendiri. Ada urusan boleh dibicarakan dengan baik!" kata pula Tung-hai-sian.

Sedangkan sejak tadi Han Tiong telah melompat mundur meninggalkan lawannya dan Siangkoan Wi Hong juga tidak berani melanjutkan perkelahian setelah melihat adanya Tung-hai-sian yang melerainya. Hanya Kong Liang sajalah yang tadi tidak peduli dan memaksa lima orang lawannya untuk melanjutkan pertempuran.

Diantara lima orang itu, ada dua orang dari Pak-thian Sam-liong dan seorang dari pengemis-pengemis Bu-tek Kai-pang yang terluka oleh pedang Kong Liang, walaupun bukan luka yang berat, sedangkan Kong Liang kelihatan mandi keringat karena dia tadi harus terus memutar pedangnya secepat mungkin untuk membendung serangan bertubi-tubi dari lima orang pengeroyoknya.

Tung-hai-sian memandang kepada Kong Liang dan dua orang keponakannya, kemudian kepada para murid tiga datuk dari barat, utara, dan selatan itu, lalu menarik napas panjang.

"Hemm, kiranya para wakil dari sahabat-sahabat See-thian-ong, Pak-san-kui, dan Lam-sin yang berkelahi di sini menghadapi wakil Cin-ling-pai. Kalian semua adalah tamu-tamu kami maka kami harap, menghabisi urusan dan tidak berkelahi di wilayah ini. Tentu kalian tahu bahwa kami tidak menghendaki tamu-tamu kami yang terhormat sampai ada yang terganggu di wilayah kami."

Ucapannya itu halus namun mengandung ketegasan seorang datuk yang merasa bahwa kekuasaan atas wilayahnya dilanggar.

"Maaf, locianpwe. Kami dari Cin-ling-pai sama sekali tidak mencari permusuhan, akan tetapi kalau dalam perjalanan pulang kami dihadang dan ditantang, tentu saja kami tidak akan undur selangkahpun!" jawab Kong Liang dengan sikap gagah.

Tung-hai-sian menoleh kepada Siangkoan Wi Hong, dan pemuda inipun segera berkata dengan suara mengandung rasa penasaran,

"Paman, sejak dahulu Cin-ling-pai adalah musuh kita, apakah sekarang paman hendak mengubah keadaan itu? Apakah kita harus tunduk kepada manusia-manusia sombong yang mengangkat diri sebagai pendekar-pendekar?"

Tung-hai-sian menarik napas panjang. Sebagai seorang datuk, dia sudah tahu akan maksud kata-kata itu dan tahu pula akan isi hati para putera dan murid tiga orang datuk itu. Mereka ini tentu merasa tidak rela kalau melihat dia hendak berbesan dengan ketua Cin-ling-pai yang dianggapnya sebagai golongan putih yang selalu dianggap musuh oleh golongan hitam!

Akan tetapi, bicara tentang urusan pribadinya dengan orang-orang muda yang hanya merupakan murid-murid tiga orang datuk lain itupun terlalu rendah baginya. Dia akan bicara kalau yang dihadapinya itu tiga orang datuk itu sendiri. Maka diapun lalu berkata, suaranya lantang sekali dan penuh wibawa.

"Cu-wi, kami tidak peduli dari golongan mana, akan tetapi sekali menjadi tamu kami, keselamatannya harus kami lindungi selama mereka berada dalam wilayah kami! Kami harus menjaga nama sebagai tuan rumah yang baik dan selama menjadi tamu kami, maka semua urusan pribadi untuk sementara tidak ada! Tamu tetap tamu yang harus diterima dengan baik dan keselamatannya adalah keselamatan kami. Oleh karena itu, kami melarang siapapun juga untuk menggunakan kekerasan di dalam wilayah kami. Di luar wilayah kami, hal itu bukan urusan kami lagi. Harap cu-wi mengerti dan mentaati hal ini!"

Cia Kong Liang menjura dan menghindarkan pandang mata penuh kemesraan disertai senyum simpul manis sekali dari Bin Biauw, dan dia berkata,

"Kami dari Cin-ling-paipun sama sekali tidak ingin mencari permusuhan dengan siapapun juga. Nah, kami mohon diri, locianpwe."

Tung-hai-sian yang diam-diam merasa suka untuk mempunyai seorang mantu yang demikian lihai, halus dan sopan, mengangguk dan balas menjura.

"Selamat jalan, Cia-sicu, dan sampai jumpa."

"Selamat jalan, Cia-koko..." kata Bin Biauw, suaranya merdu merayu dan sikapnya manis sekali.

Terpaksa Kong Liang menjawab,
"Selamat tinggal, nona."

Tanpa berkata apa-apa lagi, Han Tiong dan Thian Sin mengikuti paman mereka itu pergi dengan cepat meninggalkan tempat itu. Baru setelah tiga orang pemuda itu pergi dan kini sikap dan cara mereka bicara sungguh berlainan sekali dibandingkan dengan tadi ketika mereka bicara di depan tiga orang pemuda itu atau di dalam pesta. Kini sikap orang-orang muda itu tidaklah sehalus dan sesopan tadi, dan juga sikap mereka lebih terbuka.

Kong Liang, Han Tiong dan Thian Sin tentu akan merasa terheran-heran kalau mereka bertiga itu mendengarkan percakapan antara mereka itu sekarang.

"Paman Tung-hai-sian!" kata Siangkoan Wi Hong dengan sinar mata memandang penuh teguran. "Kita adalah golongan srigala atau harimau. Patutkah kalau srigala berbesan dengan golongan anjing atau harimau berjodoh dengan kucing? Datuk timur ingin berbesan dengan ketua Cin-ling-pang? Huh, betapa menyebalkan!"

"Ha-ha-ha-ha, agaknya locianpwe dari timur sudah mulai lemah dan jerih menghadapi Cin-ling-pai, maka ingin berbaik dengan mereka!" Seorang di antara dua pengemis Bu-tek Kai-pang juga berkata, suaranya mengejek.

"Kalian ini cacing-cacing busuk!" Tiba-tiba Bin Biauw yang tadinya bersikap amat halus dan sopan itu kini memaki-maki. "Urusan perjodohanku apa perlunya kalian ikut bicara? Apakah kalian ini nenek moyangku yang akan mencampuri urusan jodohku?"

Tung-hai-sian memegang tangan puterinya untuk menyabarkannya, kemudian dia berkata sambil memandang, bergantian kepada Siangkoan Wi Hong dan pengemis itu,

"Kalau tidak ingat bahwa kalian mewakili Pak-san-kui dan Lam-sin, tentu sudah kurobek mulut kalian yang lancang! Siapa yang mau berbesan dengan Cin-ling-pai? Andaikata hal itu kulakukan juga, apakah aku harus menyembah-nyembah minta ijin dari datuk lain lebih dahulu? Sudahlah, kalian pergi dari sini dan jangan membuat aku marah."

"Hemm, aku akan lapor kepada ayah, lihat apa pendapatnya tentang keanehan ini!" kata Siangkoan Wi Hong yang segera mengajak tiga orang suhengnya pergi dari situ.

"Orang-orang lelaki memang mulutnya busuk!" tiba-tiba So Cian Ling mengomel.

"Mereka sendiri seenaknya memilih perempuan, akan tetapi melarang perempuan memilih lelaki! Huh, menyebalkan!" Dan diapun lalu meloncat pergi, diikuti oleh Ciang Gu Sik.

"Kamipun akan membawa oleh-oleh cerita lucu dan baik untuk pimpinan kami. Selamat tinggal, locianpwe!" kata dua orang pengemis itu yang segera berlari pergi pula dari situ.

Tung-hai-sian tidak menjawab dan memang sopan santun tidak berlaku dalam dunia mereka, kecuali hanya untuk berpura-pura di depan tamu-tamu lain. Diantara golongan mereka sendiri, sopan santun hanya dianggap sebagai lelucon yang menggelikan, suatu kepura-puraan palsu.

Bin Biauw masih mendongkol dengan sikap orang-orang yang agaknya hendak menghalangi perjodohannya dengan putera Cin-ling-pai yang membuatnya tergila-gila itu, maka diapun lalu pergi dengan sikap marah, diikuti oleh ayahnya dan orang-orangnya.

Sementara itu, di tengah perjalanan, Ciang Gu Sik mengomeli Cian Ling.
"Sumoi, sikapmu tadi sungguh memalukan. Engkau hendak main gila dengan putera Pangeran Cen Han Houw itu!"

Cian Ling berhenti melangkah, sepasang matanya memandang tajam. Matanya masih indah, akan tetapi kini dari sepasang mata itu bersinar sesuatu kemarahan yang menyeramkan.

"Suheng, dia itu gagah dan tampan dan aku suka padanya! Apa salahnya kalau timbul berahiku melihatnya dan kalau aku ingin bermain cinta dengan dia, engkau mau apakah?"

Suaranya penuh tantangan, dadanya yang sudah membayangkan tonjolan di balik pakaiannya itu dibusungkan, bibirnya tersenyum mengejek. Wajah Ciang Gu Sik menjadi merah, akan tetapi sebentar kemudian kembali menjadi warna aselinya, yaitu pucat seperti wajah orang berpenyakitan.

"Mau apa? Hanya ingin membunuhnya!"

"Hi-hi-hik! Mau membunuhnya? Silakan kalau engkau mampu, suheng!"

"Tentu saja aku mampu! Aku tadi kalah karena terkejut oleh ilmu silumannya. Ilmu itu tentu yang dinamakan Thi-khi-i-beng. Aku akan bertanya kepada suhu bagaimana caranya menundukkan Thi-khi-i-beng!"

"Sesukamulah! Aku sih ingin menundukkan hatinya. Hemmmmm... dia ganteng dan menarik sekali!"

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: