*

*

Ads

Kamis, 25 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 066

"Bagus, bagus... dan maafkan kami yang telah berlaku kurang teliti sehingga sicu dan rombongan memperoleh tempat duduk di bawah panggung. Sekarang silakan sicu dan dua orang keponakan sicu untuk duduk di atas panggung, agar kita dapat bicara dengan enak."

Kong Liang adalah seorang pemuda yang angkuh, akan tetapi dia bukan orang yang suka disanjung. Kalau tadi dia maju untuk memperlihatkan kepandaiannya, hanyalah agar orang jangan memandang rendah kepada Cin-ling-pai, bukan berarti dia ingin disanjung dan dipuji. Andaikata nama Cin-ling-pai tidak disebut-sebut, atau andaikata para tamu yang duduk di bawah panggung tidak dianggap sebagai kelas rendahan, kiranya diapun akan menahan rasa penasaran dan kemarahannya. Kini, setelah dia berhasil memperlihatkan kepandaiannya yang tidak usah kalah dibandingkan dengan puteri tuan rumah atau para tamu dari panggung, sudah cukuplah baginya.

"Terima kasih, locianpwe. Bagi kami, duduk di bawah panggungpun tidak mengapa asal orang tidak memandang rendah kepada kami yang duduk di bawah!" jawabnya sambil membalas dengan penghormatan, kemudian dia melompat turun dari atas panggung.

"Cia-sicu, sebelum pulang aku ingin bicara dengan sicu lebih dulu!" Kakek itu berseru dari atas panggung.

"Baik, locianpwe." jawab Kong Liang yang kembali ke tempat duduknya semula.

Dia disambut oleh Han Tiong dengan senyum akan tetapi Thian Sin nampak muram wajahnya. Pemuda ini merasa tidak puas dengan sikap pamannya itu. Cia Kong Liang terlalu sombong dan mengandalkan dirinya sendiri, seolah-olah dia yang paling lihai! Sikap pamannya itu seolah-olah menganggap dia dan kakaknya masih kanak-kanak saja! Dan caranya mencegah dia bertanding dengan Bin Biauw benar-benar membuat dia kecewa dan mendongkol. Akan tetapi diapun tidak banyak cakap, hanya menunduk
saja.

Setelah para tamu mulai berpamitan, Thian Sin berkata kepada Han Tiong sengaja bicara keras agar terdengar pula oleh Kong Liang,

"Tiong-ko, mari kita pulang. Kita harus segera pergi ke Lok-yang, memenuhi pesan ayah mengunjungi Paman Ciu Khai Sun."

"Engkau benar, adikku. Paman, marilah kita berpamit. Para tamu mulai pulang dan kami berdua masih harus melakukan perjalanan jauh ke Lok-yang."

Kong Liang bangkit berdiri dan menarik napas panjang. Dia tadi sedang termenung ketika beberapa kali dia memandang ke arah tempat duduk Bin Biauw dan melihat betapa dara itu selalu memandang ke arahnya dan kadang-kadang tersenyum manis. Tadi, ketika dia naik ke panggung untuk memperlihatkan kepandaian, sedikitpun tidak mempunyai niat untuk memperhatikan dara itu, dan biarpun seperti para tamu lain dia dapat menduga bahwa majunya Bin Biauw ke atas panggung sesungguhnya untuk mencari jodoh, namun sedikitpun juga dia tidak mempunyai niat untuk memasuki sayembara yang tidak diumumkan itu.

Kini, setelah dia dapat menangkan Bin Biauw dan mendengar ucapan dan melihat sikap Tung-hai-sian, diam-diam dia mengerti bahwa agaknya fihak keluarga itu tertarik kepadanya dan diam-diam diapun baru merasa bingung karena sesungguhnya dia sama sekali belum mempunya pikiran untuk mencari jodoh, sungguhpun sudah sering ayah bundanya mengemukakan keinginan mereka untuk mempunya mantu. Mereka bertiga lalu bersama para tamu yang lain menghampiri panggung dimana Tung-hai-sian menerima para tamu yang berpamit.

Ketika melihat Kong Liang dan dua orang pemuda keponakannya, Bin Biauw bangkit dengan kaget dan memegang tangan ayahnya, alisnya berkerut seakan-akan hendak memperlihatkan kekecewaannya melihat pemuda gagah perkasa itu hendak meninggalkan tempat itu. Tung-hai-sian Bin Mo To juga segera melangkah maju menyambut Kong Liang, Han Tiong dan Thian Sin.






"Locianpwe, kami bertiga mohon diri dan kami menghaturkan terima kasih atas segala penyambutan Locianpwe sekeluarga," kata Kong Liang sambil memberi hormat, diturut oleh dua orang keponakannya.

"Eh, Cia-sicu, kenapa tergesa-gesa? Saya ingin bicara dengan sicu... penting sekali..." kata kakek itu, akan tetapi pada saat itu terdapat tamu-tamu lain yang datang berpamit, maka dia tidak dapat bicara dengan leluasa.

Setelah rombongan tamu itu disambutnya dan terbuka kesempatan, Kong Liang berkata dengan suara sungguh-sungguh.

"Maaf, locianpwe, bukan saya tidak bersedia, hanya karena kami masih ada urusan yang harus segera kami selesaikan, maka terpaksa kami tidak dapat menanti lebih lama lagi. Kami mohon diri."

"Cia-sicu... kalau begitu, begini saja. Sampaikan hormat dan salamku kepada ketua Cin-ling-pai, ayahmu, dan sampaikan kepada beliau bahwa dalam waktu dekat ini saya akan datang berkunjung kepada beliau di Cin-ling-san, untuk... bicara... eh, untuk mempererat persahabatan antara kita."

Wajah Kong Liang berubah merah akan tetapi sikapnya tetap tenang. Dia tahu apa yang dimaksud oleh kakek itu. Tiada lain tentu akan membicarakan urusan perjodohan. Apalagi? Antara Cin-ling-pai dan para datuk kaum sesat tidak ada sangkut-paut dan urusan apa-apa.

"Baiklah, akan saya sampaikan, locianpwe. Selamat tinggal, dan... Nona Bin, selamat tinggal dan terima kasih."

Bin Biauw membalas penghormatan pemuda itu.
"Sampai berjumpa kembali, Cia... koko..." kata dara itu dengan sikap manis sekali.

Setelah mereka bertiga meninggalkan tempat itu, di tengah perjalanan Thian Sin tidak dapat menahan perasaan hatinya dan berkata sambil tersenyum masam.

"Ah, Paman Kong Liang telah berhasil sekali ini."

Kong Liang memandang kepada putera pangeran itu.
"Berhasil? Apa maksudmu?"

"Paman tidak hanya telah mengalahkan pedang Nona Bin, melainkan juga telah menundukkan hatinya dan juga menaklukkan ayahnya."

"Hemm, Thian Sin, coba jelaskan, apa maksud kata-katamu ini!"

"Kenapa paman masih pura-pura lagi? Tung-hai-sian sudah menjelaskan sikapnya, hendak datang menemui ketua Cin-ling-pai. Apalagi kalau tidak hendak membicarakan urusan pernikahan? Ah, kionghi (selamat), paman!"

Dan Thian Sin benar-benar memberi selamat dengan kedua tangan dirangkapkan di depan dada.

"Gila!" Kong Liang membentak, mukanya berubah merah. "Apa kau kira begitu mudah menentukan urusan kawin? Yang penting adalah dua orang yang bersangkutan!"

"Wah, sikap Nona Bin sudah jelas. Bukankah tadi diapun tiba-tiba saja menyebutmu... dengan sebutan koko yang mesra? Dan paman sendiri, ahh, masih pura-pura lagi?"

"Thian Sin, jangan sembarangan bicara kau!" Kong Liang yang merasa malu itu menjadi marah, atau pura-pura marah.

Melihat ini, Han Tiong yang sejak tadi memperhatikan adiknya, cepat menengahi dan berkata,

"Paman, Thian Sin hanya main-main saja. Sin-te, jangan kau goda paman. Mari kita percepat perjalanan kita yang masih jauh."

Akan tetapi ketika mereka baru saja keluar dari kota Ceng-tao dan tiba di kaki pegunungan yang sunyi, mereka melihat beberapa orang berdiri menghadang mereka di tengah jalan dan tiga orang pemuda ini memandang dengan penuh perhatian.

Mereka segera mengenal dua orang diantara mereka, yaitu Siangkoan Wi Hong yang memanggul yang-kimnya dan seorang dara cantik manis berpakaian mewah yang bukan lain adalah So Cian Ling murid dari See-thian-ong, dara keturunan penghuni Padang Bangkai yang pernah datang untuk membalas dendam kepada Kakek Yap Kun Liong dan Nenek Cia Giok Keng itu!

Di samping dua orang muda yang lihai ini nampak tiga orang kakek yang dikenal oleh Han Tiong, yaitu Pak-thian Sam-liong, tiga orang kakek murid-murid Pak-san-kui yang pernah dikalahkan oleh ayahnya beberapa tahun yang lalu. Juga di samping dara manis itu berdiri Ciang Gu Sik, murid kepala See-thian-ong yang berusia tiga puluh lima tahun itu, yang pernah bertanding melawan Bin Biauw dan amat lihai dengan joan-pian berselaput emas itu.

Melihat betapa enam orang itu bersikap mengancam, Kong Liang mengerutkan alisnya dan berkata kepada dua orang keponakannya dengan bisikan.

"Kalian diamlah saja. Mereka itu lihai, biar aku yang menghadapi mereka kalau terpaksa aku harus melawan mereka. Kalian boleh melihat saja dan siap-siap saja untuk membela diri kalau diserang."

Thian Sin tersenyum mengejek, akan tetapi Han Tiong mengangguk, dan menyentuh lengan adiknya yang sudah gatal-gatal tangan hendak menantang musuh itu. Dengan sikap yang tenang namun berwibawa, ketabahan yang amat besar, Kong Liang mendahului dua orang keponakannya dan mengambil sikap seolah-olah dia hendak melindungi dua orang pemuda keponakannya itu. Dia berjalan terus sampai tiba di depan enam orang yang menghadangnya, lalu berkata dengan sopan namun tegas,

"Harap cu-wi suka minggir dan membiarkan kami lewat."

Bagaimanakah putera Pak-san-kui dan murid See-thian-ong itu dapat berkumpul menjadi satu dan menghadang di tempat itu? Memang, diantara empat orang datuk, yaitu See-thian-ong, Pak-san-kui, Tung-hai-sian dan Lam-sin, maka datuk dari barat See-thian-ong dan dari utara Pak-san-kui telah lama saling mengadakan hubungan seperti rekan seangkatan atau segolongan, maka tidak mengherankan apabila Siangkoan Wi Hong sudah lama mengenal So Cian Ling.

Ketika Siangkoan Wi Hong melihat betapa pemuda putera ketua Cin-ling-pai itu dapat mengalahkan, bahkan menundukkan hati Bin Biauw dan bahkan Tung-hai-sian nampak tertarik untuk mengambil mantu pemuda itu, diam-diam Siangkoan Wi Hong merasa tidak senang sekali. Bukan karena dia sendiri ingin memperisteri Bin Biauw, melainkan karena Tung-hai-sian telah dianggapnya sebagai orang segolongan dengan ayahnya sebagai datuk timur.

Adapun pemuda itu adalah putera Cin-ling-pai, golongan yang menamakan dirinya "pendekar" dan yang sejak dahulu telah menjadi fihak yang menentang dan ditentang golongan para datuk. Kalau sampai Tung-hai-sian menjadi besan ketua Cin-ling-pai, tentu hal itu berarti akan melemahkan golongan mereka. Inilah sebabnya maka Siangkoan Wi Hong lalu cepat-cepat menghubungi para murid See-thian-ong mengajak dua orang murid See-thian-ong untuk melakukan penghadangan terhadap tiga orang dari Cin-ling-pai itu.

Hal ini disetujui Ciang Gu Sik yang berpemandangan sama dengan Siangkoan Wi Hong, sedangkan So Cian Ling yang pernah berhadapan dengan tiga orang pemuda itu sebagai lawan ketika dia hendak membalas dendam kepada Kakek Yap Kun Liong dan Nenek Cia Giok Keng, juga penuh semangat menyokong maksud ini.

Demikianlah, Siangkoan Wi Hong ditemani tiga orang Pak-thian Sam-liong, dan dua orang murid See-thian-ong itu bersama-sama memotong jalan dan menghadang tiga orang pemuda yang tadi menjadi tamu sebagai wakil Cin-ling-pai itu.

"Tring-tranggg...!" Yang-kim di tangan Siangkoan Wi Hong itu berbunyi, disusul suara tertawa pemuda tampan pesolek itu. "Ha-ha-ha, sudah lengkap tiga-tiganya berkumpul disini, ha-ha-ha! Putera ketua Cin-ling-pai, putera Pendekar Lembah Naga, dan putera Pangeran Ceng Han Houw! Wah-wah, tiga serangkai yang cocok! Pantas saja sikapnya sombong bukan main!"

Han Tiong yang pernah berkenalan dengan pemuda ini, bahkan pernah disambut sebagai sahabat dan dijamu makan, merasa tidak enak kalau harus bermusuhan dengannya, maka dia sudah cepat berkata,

"Saudara Siangkoan, kami adalah orang-orang yang lebih mengutamakan persahabatan, tidak ingin mencari permusuhan, harap engkau tidak mengganggu kami."

"Han Tiong, mundurlah dan biarkan aku menghadapi orang-orang liar ini!"

Cia Kong Liang berkata dengan suara nyaring dan tajam karena memang dia sudah marah sekali menyaksikan sikap Siangkoan Wi Hong.

Mendengar ucapan Han Tiong yang dianggapnya terlalu merendahkan diri itu kemarahannya makin berkobar. Dia sudah melangkah maju di depan Han Tiong dan dia menghadapi Siangkoan Wi Hong dengan sikap penuh wibawa dan sepasang matanya mencorong seperti mata seekor naga saja.

"Memang benar bahwa kami tidak mencari permusuhan, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kami takut menghadapi siapapun juga yang hendak memusuhi kami! Kalau aku tidak salah melihat, kalian ini adalah orang-orangnya Pak-san-kui dan See-thian-ong, bukan? Nah, apa maksud kalian menghadang perjalanan kami dan bersikap seperti ini?"

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: