*

*

Ads

Kamis, 25 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 065

Menghadapi yang-kim putera Pak-san-kui yang amat lihai itu dengan tangan kosong? Akan tetapi, sikap dan wajah Thian Sin sudah menarik hati Bin Biauw, dan memang tadipun dia sudah mengharapkan pemuda yang memuji ilmu pedangnya ini untuk naik ke panggung sebelum Siangkoan Wi Hong muncul. Maka, melihat kini pemuda itu muncul dan mendengar bahwa pemuda tampan itu adalah putera seorang pangeran, dan melihat kegagahannya yang hendak melayani Siangkoan Wi Hong yang bersenjata yang-kim dengan tangan kosong, Bin Biauw segera melangkah maju dan berkata kepada Siangkoan Wi Hong.

"Harap Siangkoan-kongcu suka mundur. Aku sendiri akan menghadapi orang she Ceng ini!"

Siangkoan Wi Hong pura-pura kaget, sungguhpun di dalam hatinya dia merasa senang. Betapapun juga, agaknya dia akan berhasil mengadu domba antara Thian Sin dan fihak tuan rumah!

"Ah, tapi aku sudah sanggup untuk menandinginya..."

"Siangkoan-kongcu, ingat bahwa engkau tadi bertindak sebagai wakilku, tanpa bertanya apakah aku mau kau wakili ataukah tidak. Dan sekarang aku mau menyatakan bahwa aku tidak ingin kau wakili untuk menghadapi siapapun yang naik ke panggung ini. Aku hendak menghadapinya sendiri!"

Bin Biauw tidak tersenyum lagi, melainkan memandang Siangkoan Wi Hong dengan mata bersinar-sinar penuh tantangan!

Siangkoan Wi Hong menggerakkan pundak seperti orang yang tidak berdaya, lalu memandang kepada Thian Sin.

"Hemm, agaknya belum tiba saatnya engkau roboh di tanganku, Ceng Thian Sin. Biarlah kita bertemu di lain kesempatan!"

Dia lalu menghadapi Bin Biauw dan berkata kepada nona itu,
"Silakan, nona. Akan tetapi hati-hatilah, bocah setan ini berbahaya juga. Awas, jangan sampai dia menggunakan Thi-khi-i-beng!"

Mendengar disebutnya ilmu mujijat yang bagi kebanyakan orang kang-ouw hanya merupakan semacam dongeng itu, semua orang terkejut, tidak terkecuali Tung-hai-sian. Akan tetapi Bin Biauw menjadi marah.

"Aku tahu bagaimana harus menghadapi lawan-lawanku!" bentaknya dan Siangkoan Wi Hong lalu kembali ke tempat duduknya.

Thian Sin menjadi bingung setelah Siangkoan Wi Hong pergi meninggalkan dia dan berhadapan dengan nona manis itu. Dia memandang dengan penuh keraguan, tidak tahu harus berbuat apa.

"Akan tetapi... aku... aku tidak hendak melawanmu, nona..."

Bin Biauw tersenyum manis.
"Apakah engkau menganggap aku kurang berharga untuk menandingimu dalam ilmu silat?"

"Bukan... bukan begitu... tapi..."






Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu tubuh Kong Liang telah berada di atas panggung. Semua tamu terkejut. Itulah gerakan yang amat ringan dan cepatnya, membayangkan gin-kang tingkat tinggi! Dan kini semua mata ditujukan kepada pemuda yang bertubuh tegap dan gagah ini, yang berdiri tegak dan memandang kepada Thian Sin lalu berkata,

"Thian Sin, kau kembalilah ke tempatmu!"

Thian Sin memandang pamannya dan dia tahu bahwa pamannya itu marah sekali kepadanya. Teringatlah dia bahwa dia datang sebagai "anggauta" rombongan wakil Cin-ling-pai dan bahwa tadi dia meloncat ke atas panggung tanpa perkenan pamannya, maka dia merasa bersalah. Tadi dia berbuat seperti itu karena tak dapat menahan kemarahan hatinya ketika nama ayahnya disebut-sebut oleh Siangkoan Wi Hong. Kini, berhadapan dengan pamannya yang marah, dia mengangguk.

"Maafkan, paman," katanya dan diapun melompat turun, kembali ke tempat duduknya di dekat Han Tiong yang memegang lengan adiknya dan menyuruhnya sabar dengan tepukan tangan pada bahunya.

Sementara itu, Cia Kong Liang yang kini telah berdiri di atas panggung, segera memberi hormat ke arah tempat duduk Tung-hai-sian dan ke empat penjuru, ke arah penonton. Sikapnya dingin dan sinar matanya angkuh.

Memang sejak tadi dia sudah menjadi marah. Pertama-tama, karena dia sebagai wakil, apalagi putera ketua Cin-ling-pai diberi tempat duduk di bawah panggung. Kemudian, percakapan antara fihak tuan rumah dan putera Pak-san-kui itu sungguh menyinggung perasaannya, yaitu bahwa mereka yang duduk di bawah panggung hanyalah tamu-tamu kelas rendahan saja! Hal ini tak mungkin dapat dibiarkannya saja, karena dengan membiarkan hal itu berarti dia mengakui bahwa Cin-ling-pai adalah perkumpulan "kelas rendahan" dan hal ini tentu akan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw kalau mendengar bahwa putera ketua Cin-ling-pai dihina dalam pesta datuk kaum sesat itu!

Betapapun juga, dia masih menahan sabar, teringat akan pesan ayahnya agar dia tidak sembarangan membikin ribut di luar. Akan tetapi, dengan majunya Thian Sin, dia tidak mungkin dapat mendiamkannya saja.

Thian Sin adalah keponakannya, dan dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan keponakan itu. Juga, dia khawatir kalau-kalau Thian Sin akan celaka kalau maju bertanding. Semua itu ditambah lagi dengan rasa penasaran ketika mendengar Siangkoan Wi Hong menyebut-nyebut Ilmu Thi-khi-i-beng yang dikatakannya dimiliki oleh Thian Sin. Dia sendiri belum tahu bahwa ilmu mujijat dari kakeknya, yaitu pendiri Cin-ling-pai itu telah diturunkan kepada Thian Sin, padahal ayahnya sendiri yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai juga tidak mewarisi ilmu itu, apalagi dia!

Benarkah ilmu itu telah diwarisi oleh Thian Sin putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang kabarnya jahat itu? Dia merasa penasaran, maka dia lalu meloncat ke atas panggung dan menyuruh Thian Sin turun, yang diturut oleh keponakannya itu. Kini dia harus memberi penjelasan akan sikapnya.

"Cu-wi yang terhormat," katanya ditujukan kepada fihak tuan rumah dan juga para tamu.

"Saya adalah Cia Kong Liang, datang ke sini untuk mewakili ayah saya, yaitu ketua Cin-ling-pai, memenuhi undangan fihak tuan rumah, bersama dua orang keponakan saya, yang seorang diantaranya adalah Ceng Thian Sin tadi. Nah, sebagai wakil Cin-ling-pai, kami mengajukan diri, bukan untuk memamerkan kepandaian, melainkan memperlihatkan bahwa kepandaian seseorang tidak dapat diukur dari kekayaan atau nama besar, juga untuk sekedar membantu memeriahkan suasana pesta. Biarlah kami sekalian menjadi wakil dari para tamu kelas rendahan yang duduk di bawah panggung!"

Ucapan Cia Kong Liang ini nadanya keras sekali, seolah-olah menampar muka tuan rumah sehingga wajah Tung-hai-sian seketika menjadi pucat, kemudian berubah merah. Dia merasa tidak enak sekali dan diam-diam menyesalkan para pembantunya yang kurang teliti sehingga pemuda-pemuda wakil dari perkumpulan-perkumpulan besar diberi tempat di bawah, bahkan putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw juga diberi tempat di bawah panggung!

Akan tetapi, diam-diam diapun gembira melihat bahwa pemuda perkasa dari Cin-ling-pai itu mau melayani puterinya. Dengan demikian, semakin banyak kini bermunculan pemuda-pemuda yang baik sehingga memudahkan pemilihannya. Mula-mula Siangkoan Wi Hong, lalu putera pangeran itu yang belum sempat disaksikannya sampai dimana tingkat ilmu silatnya sungguhpun dia sudah girang sekali mendengar dari Siangkoan Wi Hong tadi bahwa putera pangeran itu memiliki ilmu mujijat Thi-khi-i-beng.

Selain putera pangeran itu, kini putera ketua Cin-ling-pai! Dia sendiri pernah mendengar tentang Cin-ling-pai, akan tetapi karena sudah lama sekali Cin-ling-pai tidak pernah menonjolkan diri di dunia kang-ouw, maka nama Cin-ling-pai tidak terkenal lagi dan nama besarnya seolah-olah semakin pudar. Maka kini kemunculan putera ketua Cin-ling-pai menarik perhatian para tokoh kang-ouw, terutama sekali kaum tuanya yang dulu pernah mengalami masa jayanya perkumpulan itu.

Sejak tadi Bin Biauw memandang dan memperhatikan Cia Kong Liang dari kepala sampai ke kaki dan dara ini merasa kagum bukan main! Pemuda ini sungguh gagah! Biarpun tidak setampan pemuda putera pangeran tadi, namun pemuda ini gagah perkasa dan sikapnya demikian penuh wibawa dan matang, kokoh kuat dan penuh keberanian!

Kalau saja ilmu silatnya sehebat sikapnya ini, maka dia adalah seorang pemuda yang amat hebat! Maka ingin sekali dia menguji kepandaian pemuda ini, apakah selihai ilmu silat Siangkoan Wi Hong yang agaknya memandang rendah wanita itu? Pemuda ini sama sekali tidak memandangnya dengan sikap merendahkan, bahkan memandangnya dengan sekilas saja dengan pandang mata sopan!

"Terima kasih bahwa Cia-enghiong suka memberi petunjuk kepadaku yang bodoh," katanya sambil tersenyum manis.

Akan tetapi sikap Kong Liang biasa saja tidak membalas senyum itu, melainkan berkata dengan sikap hormat dan tegas,

"Silakan, ilmu pedang nona indah dan lihai, namun saya kira saya akan mampu menjaga diri."

Bin Biauw gembira sekali dan dia sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat. Kong Liang juga melepaskan pedang Hong-cu-kiam yang tadinya melingkari pinggangnya dan nampaklah sinar keemasan yang menyilaukan mata. Melihat ini, Bin Biauw memuji,

"Po-kiam (pedang pusaka) yang bagus! Cia-enghiong, bersiaplah dan lihat serangan!"

Dia menyebut eng-hiong (pendekar) kepada pemuda yang berwibawa ini, dan di dalam hatinya, dara ini sudah tunduk kepada putera Cin-ling-pai ini! Bin Biauw sudah menyerang dengan gerakan yang amat cepat. Akan tetapi Kong Liang tidak pindah dari tempat dia berdiri, bahkan kakinyapun tidak tergeser. Dia tidak mempedulikan sinar pedang yang bergulung-gulung itu, hanya setiap kali sinar pedang berkelebat ke arahnya, dia menggerakkan Hong-cu-kiam menangkis.

"Cringgg...!"

Tangkisan pertama itu mengejutkan hati Bin Biauw karena seluruh tangan kanannya tergetar hebat.

Tahulah dia bahwa pemuda ini memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat dan bahwa pedang tipis bersinar emas itu benar-benar merupakan pedang yang ampuh. Maka dia bersikap hati-hati dan menyerang dengan lebih cepat. Namun, kemana juga pedangnya menyambar, selalu bertemu dengan sinar emas yang menangkisnya! Padahal pemuda itu sama sekali tidak menggeser kaki. Bahkan ketika dia menyerang dari belakang, sinar emas itupun sudah menangkis di belakang tubuh pemuda itu.

Terdengar bunyi berdencing nyaring berkali-kali dan nampak bunga api berpijaran menyilaukan mata ketika semakin lama semakin seringlah pedang Bin Biauw bertemu dengan pedang yang berubah menjadi gulungan sinar emas yang menyilaukan mata itu. Hebatnya, pemuda itu selain tidak pernah membalas serangan, juga tubuhnya hampir tidak mengubah kedudukan kakinya, hanya memutar tubuh ke kanan atau kiri dan ke manapun sinar pedang Bin Biauw menyambar, selalu tentu bertemu dengan sinar emas yang menangkisnya.

Dengan ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut, Kong Liang dapat membentuk pertahanan yang seperti benteng baja kokohnya dan tidak mudah ditembus oleh sinar pedang Bin Biauw. Apalagi dia memang memiliki sin-kang yang kuat sekali, sehingga setiap tangkisan yang disertai tenaga membuat lengan dara itu merasa tergetar hebat.

Makin lama, serangan Bin Biauw menjadi semakin lemah dan belum lima puluh jurus kemudian, ketika Kong Liang memperkuat tenaganya dan menangkis terdengar bunyi "trangg...!" keras sekali dan tubuh Bin Biauw terhuyung ke belakang.

Dia menghentikan serangannya, dahinya penuh keringat dan wajahnya menjadi merah sekali, mulutnya tersenyum malu-malu dan matanya mengerling tajam melebihi tajam pedangnya, dan diapun menjura.

"Cia-enghiong sungguh pandai, saya mengaku kalah!"

Setelah berkata demikian, dara itu lalu mundur dan lari menuju ke tempat duduk ayahnya dengan muka merah dan sikap malu-malu! Melihat ini, Tung-hai-sian mengerti bahwa selain pemuda putera ketua Cin-ling-pai itu memang lebih lihai dari puterinya, juga agaknya Bin Biauw sudah jatuh hati kepada pemuda itu, maka mengalah sebelum dikalahkan. Diapun bangkit berdiri dan di bawah tepuk tangan para tamu yang menyambut kemenangan Cia Kong Liang dengan girang, terutama mereka yang duduk di bawah panggung, karena betapapun juga, tadi Kong Liang mengatakan bahwa dia mewakili para tamu di bawah panggung, dia menghampiri pemuda itu.

"Cia-sicu sungguh memiliki ilmu pedang yang lihai sekali. Itukah yang disohorkan orang sebagai Siang-bhok Kiam-sut?" kata datuk itu sambil tersenyum.

Diam-diam Kong Liang terkejut juga. Ilmu pedang ini menurut ayahnya, selama belasan tahun tidak pernah dimainkan di depan umum, apalagi dipergunakan dalam pertandingan, maka kini begitu melihatnya, padahal hanya dipergunakan sebagai pertahanan saja, kakek ini telah mampu menerkanya dengan tepat, menandakan bahwa kakek ini memang memiliki pengetahuan yang luas sekali.

"Pandangan locianpwe amat tajam dan memang tadi adalah Siang-bhok Kiam-sut dari perkumpulan kami."

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: