*

*

Ads

Kamis, 25 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 063

Sementara itu, pembicara yang mewakili Tung-hai-sian sudah memperoleh bisikan pula dari majikannya dan dia berkata dengan lantang.

"Permainan silat bersama diadakan selama lima puluh jurus saja. Kalau selama lima puluh jurus tidak ada fihak yang kalah, berarti bahwa kedua fihak sama kuatnya dan memiliki tingkat yang sama! Demikianlah keputusan dari Bin-loya!"

Bin Biauw tersenyum manis, menggerakkan pedangnya di depan dada dan berkata.
"Silakan Ciang-sicu memilih senjata!"

Ciang Gu Sik meraba pinggangnya dan mengeluarkan senjatanya yang ternyata adalah sebuah senjata yang disebut Kim-coa-joan-pian (Cambuk Ular Emas), semacam ruyung lemas yang dapat dipergunakan sebagai ikat pinggang, gagangnya berbentuk kepala ular terbuat dari pada emas.

"Tar-tarr!" Pecut itu meledak dua kali di atas kepalanya.

"Bin-siocia, saya sudah siap!" katanya dengan tangan kanan yang memegang joan-pian di atas kepala dan tangan kiri miring di depan dada, kaki kiri diangkat dan ditekuk di depan tubuhnya, sikapnya tenang dan kokoh sekali.

Bin Biauw tersenyum, lalu membentak.
"Lihat serangan!"

Pedangnya sudah meluncur dengan cepat membentuk sinar kilat menuju ke dada lawan.

"Tar! Tringgg...!"

Joan-pian itu berubah menjadi lurus kaku dan menangkis pedang, kemudian meluncur ke samping.

Pada saat itu, pedang yang tertangkis sudah menerjang lagi, dan pecut itu dari samping menyambar ke arah pundak dan sambungan siku yang memegang pedang, melakukan totokan untuk mendahului gerakan pedang.

"Hemm...!"

Bin Biauw terpaksa mengelak dan dengan sendirinya tusukannyapun batal, dan diam-diam dia tahu bahwa lawannya ini amat tenang dan amat lihai maka dia berlaku hati-hati dan segera memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga tubuhnya diselimuti gulungan sinar pedang yang berkilauan!

Melihat ini, murid See-thian-ong itupun cepat memutar joan-pian di tangannya sehingga nampak sinar keemasan bergulung-gulung. Joan-pian itu memang gagangnya terbuat dari emas murni dan joan-piannya sendiri terbuat daripada baja diselaput emas maka sinarnya menjadi keemasan. Nampaklah pemandangan yang amat indah menyilaukan mata ketika dua gulungan sinar yang putih berkilauan dan keemasan saling sambar dan saling desak.

Bagi mata orang yang kurang tinggi kepandaiannya, tentu sukar untuk dapat mengikuti gerakan kedua orang itu. Gerakan mereka cepat dan kuat, dan keduanya mengadu kepandaian dengan pengerahan tenaga dan keduanya berusaha untuk menang karena pertandingan itu bagi mereka merupakan adu kepandaian untuk mempertahankan nama guru mereka masing-masing.






Bin Biauw tidak lagi bertanding untuk menguji kepandaian seorang pria yang mungkin menjadi calon jodohnya, melainkan hendak mempertahankan nama ayah dan juga gurunya agar tidak kalah oleh murid See-thian-ong datuk dari barat itu, sebaliknya Ciang Gu Sik sama sekali bukan melawan dara itu karena tertarik kepadanya melainkan juga hendak memperlihatkan bahwa See-thian-ong tidak kalah dari Tung-hai-sian!

Jadi pertandingan itu mewakili datuk barat dan datuk timur, masing-masing tidak mau kalah. Oleh karena itu, pertandingan itu hebat sekali dan hal ini dirasakan oleh semua orang, terutama sekali oleh mereka yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan yang dapat mengikuti jalannya pertandingan itu dengan jelas.

So Cian Ling memandang jalannya pertandingan itu dengan alis berkerut. Dia mengerti bahwa suhengnya itu terus didesak dan dia merasa menyesal mengapa suhengnya tidak membiarkan dia saja yang maju tadi, karena dia merasa dapat menandingi puteri Tung-hai-sian itu. Biarpun suhengnya cukup lihai dengan joan-piannya, akan tetapi dibandingkan dengan lawan, dia itu kalah senjata, dalam arti kata kalah ampuh senjatanya sehingga keunggulan senjata itu membuat lawan dapat lebih menindih dan mendesaknya.

Memang kalau hanya lima puluh jurus saja, belum tentu Bin Biauw akan mampu mengalahkan suhengnya, akan tetapi kini jelas nampak oleh semua tokoh kang-ouw bahwa suhengnya itu telah terdesak dan lebih banyak menangkis daripada menyerang! Dan semua orang yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi tentu sudah dapat menduga bahwa kalau dilanjutkan lebih dari lima puluh jurus, suhengnya itu tentu akan kalah!

Penglihatan So Cian Ling itu memang benar. Dengan ilmu pedangnya yang hebat, Bin Biauw mulai mendesak lawannya dan betapapun murid See-thian-ong itu berusaha untuk balas menyerang, tetap saja dia harus melindungi diri lebih dulu dan setelah lawan menyerang tiga jurus, barulah dia mampu membalas dengan satu kali serangan. Dia didesak terus dan main mundur, akan tetapi dia masih mampu mempertahankan sampai wakil Tung-hai-sian berseru,

"Lima puluh jurus telah lewat! Kedua fihak tidak ada yang kalah, berarti keduanya sama kuat!"

Bin Biauw menarik pedangnya dan berdiri sambil tersenyum manis, melintangkan pedangnya di depan dada. Ciang Gu Sik juga menarik joan-piannya, dan dia menjura.

"Ilmu pedang Bin Siocia sungguh amat tangguh!" katanya dengan jujur.

"Ah, Ciang-sicu terlalu merendah dan mengalah!" kata Bin Biauw sambil tetap bersenyum.

Para penonton menyambut dengan tepuk sorak, dan tentu saja tepuk sorak itu ditujukan untuk memuji Bin Biauw. Dengan muka agak kemerahan, murid See-thian-ong itu kembali ke tempat duduknya, disambut oleh So Cian Ling dengan alis berkerut karena betapapun juga, peristiwa itu membuat dara ini merasa penasaran dan tersinggung.

Bin Biauw masih berdiri di atas panggung. Hatinya merasa penasaran. Mengapa pemuda tampan di bawah panggung tadi tidak berani naik? Kalau pemuda itu yang melayaninya, tentu dia akan merasa gembira sekali!

Tapi Kong Liang sudah berbisik-bisik kepada dua orang keponakannya itu.
"Jangan kalian sembarangan bergerak. Disini terdapat banyak sekali tokoh kang-ouw yang lihai. Dan ternyata tuan rumah tidak menghargai Cin-ling-pai. Hemm, kalian lihat saja hal ini tak dapat kudiamkan saja!"

"Apakah paman hendak melayani nona itu?" Thian Sin berbisik.

"Kalau perlu, akan kuperlihatkan bahwa kita tidaklah kalah oleh mereka yang duduk di atas panggung!"

Diam-diam Kong Liang merasa penasaran dan marah karena dia dan dua orang keponakannya, walaupun sudah mengaku sebagai wakil Cin-ling-pai, tetap saja dipersilakan duduk di bawah panggung. Ini dianggapnya suatu penghinaan bagi Cin-ling-pai!

"Ah, di sinipun tidak apa-apa, apa sih bedanya dengan di atas panggung, paman?"

Han Tiong berkata karena memang di dalam hatinya, dia sama sekali tidak merasa penasaran, tidak seperti Thian Sin yang setuju dengan pendapat paman itu.

"Bagi kita pribadi memang tidak ada bedanya, akan tetapi kita membawa nama Cin-ling-pai, dan kalau orang tidak menghormati Cin-ling-pai, aku tidak bisa tinggal diam saja!"

"Biarlah aku menghadapi nona itu, paman, mewakilimu dan Cin-ling-pai," kata Thian Sin.

"Thian Sin, jangan kau gegabah! Nona itu lihai sekali ilmu pedangnya. Kalau kau mewakili Cin-ling-pai dan sampai kalah, bukankah berarti nama Cin-ling-pai makin hancur lagi? Pula, kalau engkau sampai terluka oleh pedang nona itu, bukankah aku akan mendapat marah dari ayah? Aku yang bertanggung jawab atas keselamatan kalian berdua. Selain nona itu, disini banyak orang pandai. Lebih baik kalian diam saja dan hanya bersiap-siap membantu kalau ada terjadi kecurangan terhadap diriku."

Thian Sin hendak membantah akan tetapi pandang mata Han Tiong membuat dia terdiam. Sementara itu, pembantu Tung-hai-sian sudah berseru lagi dengan suara lantang dan gembira,

"Siapa lagi diantara para pendekar yang ingin memeriahkan pesta, silakan maju. Tadi dari fihak Locianpwe See-thian-ong telah ada wakilnya yang maju, maka oleh Bin-loya diharapkan majunya wakil dari Pak-san-kui Locianpwe dan juga dari Lam-sin Locianpwe yang belum nampak wakilnya. Silakan, silakan. Nona kami masih sabar menunggu!"

Siangkoan Wi Hong berbisik-bisik dengan Pak-thian Sam-liong, tiga orang laki-laki gagah yang menjadi murid kepala Pak-san-kui. Mereka bertiga itu setuju kalau Siangkoan Wi Hong maju karena mereka tahu bahwa Siangkoan-kongcu mereka itu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi daripada mereka sendiri dan lebih pantas kalau kongcu itu yang menandingi puteri tuan rumah, selain untuk mempertahankan nama Pak-san-kui, juga untuk mencoba kalau-kalau berjodoh dengan nona manis puteri Tung-hai-sian itu.

"Akan tetapi kalian tahu bahwa aku tidak ingin menikah, suheng!" kata Siangkoan Wi Hong berbisik.

Tiga orang suheng itupun tahu akan hal ini. Siangkoan Wi Hong adalah seorang pemuda yang sejak remaja sudah suka bermain-main dengan wanita, bahkan banyak mempunyai selir di mana-mana. Akan tetapi anehnya, pemuda ini tidak pernah mau mengikatkan diri dengan pernikahan, maka biarpun dia kagum melihat kecantikan Bin Biauw, tetap saja dia tidak bermaksud untuk membiarkan diri menjadi calon suami nona itu. Kalau hanya berkenalan dan bermain-main, tentu dia akan menyambutnya dengan senang sekali!

"Kongcu, saat ini, soal perkawinan tidaklah begitu penting. Yang terpenting adalah mempertahankan kehormatan ayah kongcu sebagai datuk utara! Kalau kini puteri datuk timur dan murid datuk barat telah memperlihatkan kepandaian, apa kata orang kalau kita diam saja? Disangka bahwa wakil-wakil datuk utara tidak berani muncul!"

Siangkoan Wi Hong menarik napas panjang dan diapun bangkit berdiri. Melihat ini, hati Tung-hai-sian girang sekali. Dia ingin sekali melihat sampai dimana kelihaian putera Pak-san-kui itu yang kabarnya merupakan seorang yang selain lihai dan dikenal sebagai datuk, juga seorang yang amat kaya raya. Kiranya sudah cocoklah kalau dia berbesan dengan Pak-san-kui, akan tetapi dia harus melihat dulu kemampuan pemuda yang tampan dan pesolek itu. Maka dengan girang dia lalu bertepuk tangan, diikuti oleh para tamu yang duduk di ruangan kehormatan, dan wakil pembicara itu lalu berteriak

"Siangkoan-kongcu, putera dari Locianpwe Pak-san-kui, berkenan untuk maju meramaikan pesta!"

Mendengar ini semua orang memandang dan ketika melihat seorang pemuda yang tampan dan berpakaian mewah menuju ke tengah panggung sambil membawa sebuah alat musik yang-kim yang kedua ujungnya berbentuk gagang dan runcing, mereka bertepuk tangan.

Akan tetapi Siangkoan Wi Hong menghampiri tempat duduk Tung-hai-sian, lalu menjura dengan hormat.

"Paman Tung-hai-sian," katanya dengan sikap ramah dan dia sengaja menyebut "paman" agar lebih akrab. "Saya mewakili ayah, Pak-san-kui Siangkoan Tiang, untuk menyampaikan selamat kepada paman dan semoga paman diberi berkah panjang umur. Sekarang, karena diundang untuk memeriahkan pesta, terpaksa saya berlancang tangan untuk turut memperlihatkan kebodohan. Akan tetapi tentu paman tahu bahwa di antara kita terdapat ikatan persahabatan, oleh karena itu saya tidak setuju kalau main-main ini dianggap sebagai pertandingan. Biarlah saya nenemani saja puteri paman untuk sekedar meramaikan pesta."

Hati Tung-hai-sian makin girang menyaksikan sikap yang ramah dan halus ini. Pemuda ini patut menjadi jodoh Bin Biauw, pikirnya. Dia mengangguk.

"Baiklah, dan terima kasih atas kebaikanmu dan kebaikan keluarga Pak-san-kui yang terhormat."

Siangkoan Wi Hong lalu menghampiri panggung, lalu menjura ke empat penjuru dan berkata lantang.

"Kami sebagai wakil dari ayah Pak-san-kui Siangkoan Tiang terpaksa maju melayani Bin-siocia untuk bermain-main sebentar agar fihak kami jangan dianggap tidak bersedia memeriahkan pesta," ucapannya mendapat sambutan tepuk tangan pula.

"Nona, harap jangan bersikap kejam terhadap saya," kata Siangkoan Wi Hong sambil tersenyum manis ketika dia menjura kepada Bin Biauw.

Nona ini sejak tadi memandang kepada tamu ini dan memang dia sudah tahu bahwa putera Pak-san-kui ini seorang pemuda yang tampan gagah dan pesolek. Akan tetapi sejak pertemuan pertama, ketika dia diperkenalkan, dia merasa tidak begitu suka kepada pemuda ini karena pandang mata pemuda ini kepadanya seolah-olah orang yang meremehkan!

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: