*

*

Ads

Sabtu, 13 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 057

"Habis, apakah yang harus kita lakukan pada besok pagi-pagi kalau mereka itu datang dan hendak membunuh paman dan bibi berdua?" Akhirnya dia bertanya dengan suara mengandung kekhawatiran.

"Jangan engkau sembarangan turun tangan, Kong Liang. Biarkan aku seorang menghadapi mereka. Aku ingin mendamaikan urusan ini. Akan kuhadapi dengan kelembutan agar mereka itu sadar dan tidak melanjutkan dendam permusuhan yang tiada gunanya ini."

"Hemm, kaum sesat yang jahat itu mana mau tahu tentang damai? Bagaimana kalau mereka itu berkeras dan hendak membunuh kita? Apakah kita akan diam saja?" Cia Giok Keng bertanya penasaran.

"Tenanglah, biarkan aku menghadapi mereka. Kita lihat saja nanti bagaimana perkembangannya. Aku tidak percaya bahwa mereka tidak akan mau mendengarkan kata-kata yang baik."

Karena Yap Kun Liong berkeras dengan kehendaknya untuk menghadapi fihak musuh dengan jalan damai, akhirnya isterinyapun tidak mau membantah dan mereka lalu membicarakan hal yang mengenai keadaan fihak kedua keluarga dan bercakap-cakap dengan gembira.

Kesehatan Cia Giok Keng agaknya pulih kembali dengan kedatangan keponakannya itu. Memang sesungguhnyalah, dia merasa gembira sekali dengan kedatangan Cia Kong Liang, bukan hanya gembira karena memperoleh kunjungan keponakannya yang disayangnya itu, akan tetapi juga diam-diam hatinya lega karena dia maklum bahwa pemuda itu merupakan seorang pemuda yang sakti dan telah mewarisi kepandaian adiknya yang menjadi ketua Cin-ling-pai, maka tentu saja dia dapat mengandalkan bantuan Kong Liang kalau musuh yang datang itu terlalu kuat. Memang dia amat percaya akan kesaktian suaminya, Yap Kun Liong, akan tetapi suaminya, juga dia sendiri, sudah amat tua dan sudah belasan tahun lebih tidak pernah berkelahi.

Malam itu Yap Kun Liong tidur dengan nyenyak. Pendekar tua ini seolah-olah sudah melupakan ancaman dalam surat itu. Akan tetapi tidak demikian dengan Cia Giok Keng. Nenek ini sukar sekali pulas karena perasaannya selalu membayangkan datangnya musuh-musuh yang tentu amat tangguh itu.

Fihak musuh tentu bukanlah orang-orang tolol yang hendak mengantar nyawa. Kalau mereka sudah berani datang secara itu, yaitu dengan mengirim dulu peringatan, tentu mereka itu sudah merasa yakin akan kekuatan mereka sendiri. Nenek ini tidak tahu bahwa keponakannya, Cia Kong Liang, malam itu beberapa kali bangun dan keluar dari kamar untuk meronda, memeriksa di sekitar pondok sunyi itu, kemudian lewat tengah malam, Kong Liang tidak tidur lagi melainkan duduk bersila untuk berjaga-jaga.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali puncak Bwee-hoa-san diselimuti kabut. Pondok kecil tempat tinggal suami isteri tua itu juga terbungkus kabut. Hawa cukup dingin dan suasana amatlah sunyinya. Bahkan burung-burung agaknya malas untuk meninggalkan pohon karena kabut demikian tebalnya. Matahari juga masih jauh tenggelam di balik bukit di timur, akan tetapi cahayanya sudah mulai mengusir kegelapan malam sehingga kabut mulai nampak keputihan bergerak perlahan seperti sekumpulan domba malas yang digiring meninggalkan puncak.

"Kukuruyuuuuukkk...!"

Tiba-tiba keruyuk jago di dalam kandang di belakang pondok itu terdengar nyaring dan merdu.

Keruyuk pertama yang bergema di seluruh permukaan puncak. Keruyuk pertama ini segera disambut oleh keruyuk ayam hutan yang pendek-pendek suaranya, namun yang nyaringnya melebihi suara ayam jago peliharaan penghuni pondok itu. Dan nun jauh di bawah puncak, terdengar keruyuk ayam yang lain lagi. Mulailah keruyuk ayam bersahut-sahutan, sebagai permulaan tanda bahwa sang malam telah mulai mengundurkan diri untuk memberi tempat kepada matahari.






"Kukuru... kokkk!" Keruyuk itu terhenti di tengah-tengah.

Cia Kong Liang membuka mata. Dia masih duduk bersamadhi. Dia dapat mendengar dengan jelas suara keruyuk yang putus di tengah-tengah tadi, mengerti bahwa hal itu tidak wajar. Ada sesuatu yang membuat ayam jantan itu menghentikan keruyuknya. Sesuatu yang tidak wajar dan mencurigakan sekali. Tiba-tiba terdengar gonggong anjing peliharaan pamannya, anjing kecil berbulu tebal. Akan tetapi, tiba-tiba gonggong itupun terhenti tiba-tiba dengan bunyi "kokk!" dan suasana menjadi sunyi bukan main. Sunyi yang menyeramkan dan menegangkan, karena terhentinya bunyi keruyuk ayam jago dan anjing itu sungguh tidak wajar dan menjadi tanda bahwa pasti telah terjadi sesuatu yang menyeramkan.

Dengan hati-hati sekali Cia Kong Liang lalu turun dari atas pembaringan, menyambar pedang Hong-cu-kiam, memakai pedang pemberian ayahnya itu sebagai sabuk pada pinggangnya, kemudian memakai sepatunya dan dengan hati-hati sekali dia membuka daun jendela. Dia tidak berani lancang meloncat keluar, melainkan dengan hati-hati dia naik ke ambang jendela, kemudian keluar dan berjingkat-jingkat menuju ke belakang melalui samping rumah, lalu bersembunyi di balik tiang di samping pondok.

Cuaca masih remang-remang, akan tetapi dia dapat melihat bahwa ada beberapa buah benda hitam berserakan di pelataran belakang. Ketika dia memandang dengan penuh perhatian, jantungnya berdebar tegang. Tidak salah lagi, benda-benda itu adalah bangkai beberapa ekor ayam dan seekor anjing!

Dia mengepal tinju. Musuh-musuh pamannya telah datang! Dan, sesuai dengan isi surat, telah mulai melakukan pembunuhan-pembunuhan, mula-mula mereka membunuh ayam-ayam dalam kandang kemudian membunuh anjing yang agaknya dapat mencium kedatangan mereka tadi. Kong Liang merasa betapa jantungnya berdebar dan hatinya panas sekali.

Sungguh kurang ajar musuh-musuh yang datang ini, pikirnya. Dia sudah ingin meloncat keluar dan menantang musuh-musuh itu ketika tiba-tiba dia melihat berkelebatnya orang dan kiranya pamannya, Yap Kun Liong, telah berada disitu, berdiri di tengah-tengah pekarangan itu dengan tegak.

"Yap Kun Liong telah berada disini, yang mempunyai urusan dengan aku silakan datang!" terdengar pendekar tua itu berkata dengan suaranya yang halus dan tenang.

"Bagus sekali, orang she Yap telah siap menerima kematian!" terdengar suara wanita yang nyaring dan berturut-turut, dari tiga penjuru nampak bayangan-bayangan berkelebatan cepat dan tahu-tahu di situ telah muncul empat orang!

Orang pertama yang muncul adalah seorang dara yang usianya masih muda, tidak lebih dari sembilan belas tahun, pakaiannya terbuat dari sutera yang halus namun potongannya ringkas sehingga mencetak tubuhnya yang langsing dan padat, rambutnya digelung dengan hiasan emas permata, di punggungnya tergantung sebatang pedang yang gagang dan sarungnya diukir indah, dihias ronce-ronce warna kuning, kedua lengannya memakai gelang emas.

Seorang dara yang manis sekali dan diapun sama sekali tidak kelihatan seperti orang jahat karena selain manis diapun berwajah ramah penuh senyum, sungguhpun pada saat itu dia memandang kepada kakek Yap Kun Liong dengan sinar mata mengandung kemarahan dan kebencian.

Adapun tiga orang lainnya adalah laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, ketiganya mengenakan pakaian serba putih seperti orang berkabung dan wajah mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang kasar yang biasa hidup menghadapi kesulitan dan kekerasan.

Yang termuda di antara mereka mempunyai tahi lalat besar di tepi hidungnya, seorang lagi berjenggot panjang sampai ke dada, sedangkan yang tertua kehilangan sebelah telinga kirinya. Tiga orang kakek inipun masing-masing mempunyai sebatang pedang tergantung di punggung mereka.

Kalau dara itu hanya tersenyum dan memandang tajam, tiga orang kakek itu tertawa girang dan orang tertua yang telinga kirinya lenyap itu berkata,

"Setelah Yap Kun Liong muncul, mana wanita bernama Cia Giok Keng itu? Suruh dia keluar sekalian menerima kematian!"

Yap Kun Liong sudah memesan kepada isterinya agar jangan keluar, akan tetapi dia merasa khawatir melihat sikap orang-orang yang datang ini. Kalau mereka mengeluarkan kata-kata kasar, dia tidak berani menentukan bahwa isterinya akan dapat bersabar untuk tidak keluar. Maka cepat dia lalu menjura kepada mereka.

"Cu-wi berempat telah datang," katanya sambil melirik ke arah bangkai anjing dan beberapa ekor ayam itu, "dan kalau aku tidak salah menduga, agaknya cu-wi yang mengirim surat tiga hari yang lalu. Apakah cu-wi masih ada hubungan dengan Padang Bangkai? Bukankah Padang Bangkai telah menjadi wilayah kediaman Pendekar Lembah Naga?"

Dia memancing, karena dia tahu bahwa kini yang mendiami Istana Lembah Naga adalah Cia Sin Liong dan Padang Bangkai merupakan bagian dari Lembah Naga.

"Yap Kun Liong, lupakah engkau kepada Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li? Mereka itu adalah kakek dan nenekku, aku So Cian Ling hari ini datang untuk membalas dendam kematian mereka! Suruh Cia Giok Keng keluar untuk menebus kematian nenekku seperti engkau, yang harus menebus kematian kakekku!" kata dara itu dengan suaranya yang nyaring.

"Dan kami bertiga adalah murid-murid mereka, kami bertigalah yang mewarisi ilmu-ilmu dari suhu Ang-bin Ciu-kwi dan subo Coa-tok Sian-li. Sayang ketika mereka terbunuh, kami baru berusia sepuluh tahun lebih, akan tetapi kami mewarisi ilmu-ilmu mereka dan setelah belajar selama puluhan tahun, hari ini kami datang untuk membalas dendam!" kata kakek yang telinga kirinya buntung.

Yap Kun Liong mengangguk-angguk.
"Memang, tidak perlu kusangkal bahwa Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang ketika itu menjadi penghuni Padang Bangkai telah tewas di tangan kami. Akan tetapi tahukah kalian berempat mengapa mereka itu bertentangan dengan kami dan tewas dalam pertempuran? Karena mereka berdua itu membantu pemberontak, yaitu Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko dua orang iblis yang menjadi guru raja liar Sabutai. Antara mereka dan kami tidak ada urusan pribadi dan pada waktu itu mereka membantu pemberontak dan kami membantu pemerintah. Nah, dengan demikian, kematian mereka itu adalah kematian yang wajar, bukan karena urusan pribadi. Oleh karena itu, perlukah ada dendam sakit hati? Andaikata kami gugur ketika mengabdi kepada pemerintah, apakah keluarga kami juga akan mendendam dan sakit hati atas kematian kami? Kami rasa tidak. Nah, terutama sekali engkau, nona! Engkau masih begini muda, perlukah engkau hidup menanggung dendam yang tidak ada artinya itu? Bukankah sebaiknya kalau nona sadar dan bahwa kakek dan nenek nona itu tewas karena akibat daripada perbuatan mereka sendiri dan bahkan dapat dijadikan contoh agar nona sendiri tidak sampai melakukan penyelewengan di dalam hidup?"

"Tua bangka she Yap! Tidak perlu kau membujuk-bujuk!" bentak kakek bertelinga satu.

"Hemm, pengecut kau! Saking takut mati engkau hendak membujuk kami?" bentak kakek berjenggot panjang.

Yap Kun Liong tetap tenang,
"Kalian tidak mengerti. Orang setua aku ini sudah tidak takut akan kematian lagi. Tanpa kalian bunuhpun kematian agaknya sudah dekat denganku dan sewaktu-waktu akan datang menjemputku dan aku sudah siap untuk itu. Aku hanya tidak ingin nona muda ini melakukan hal yang akan membuat dia menyesal kelak. Nona So, sekali lagi kuharap engkau suka merenungkan hal ini."

So Cian Ling, dara muda itu, mengerutkan alisnya dan diapun meragu. Sesungguhnya dia hanyalah cucu angkat saja dari Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li. Mereka, majikan Padang Bangkai itu, tidak mempunyai anak, hanya pernah memungut anak perempuan yang ketika terjadi keributan yang mengakibatkan mereka tewas itu dapat menyelamatkan diri. Anak perempuan ini akhirnya menikah dengan seorang anak buah dari See-thian-ong, yaitu yang kini menjadi datuk nomor satu di wilayah barat.

Anak perempuan itu adalah ibu dari So Cian Ling! Dari ibunyalah dia tahu bahwa ibunya itu, anak angkat dari Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang tewas oleh pendekar-pendekar sakti Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng. Tentu saja hal itu sama sekali tidak menimbulkan kesan di dalam hatinya. Akan tetapi ibunya sering kali mengingatkannya akan hal itu. Dan kebetulan sekali ayahnya adalah anak buah See-thian-ong dan pada suatu hari, See-thian-ong melihat dia dan memuji bakatnya, bahkan lalu dia diangkat menjadi murid oleh datuk yang sakti itu sampai dia memperoleh ilmu silat yang tinggi!

Akan tetapi, biarpun demikian, dia tidak pernah mempunyai pikiran untuk mencari pembunuh kakek dan nenek angkatnya itu. Kemudian, muncullah tiga orang kakek itu. Mereka ini adalah pewaris dari kitab-kitab yang terisi ilmu-ilmu kepandaian dari mendiang Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang berhasil dilarikan oleh seorang anak buah Padang Bangkai ketika terjadi keributan. Dan mereka bertiga inilah yang diam-diam merasa sakit hati dan mendendam. Setelah mempelajari ilmu-ilmu itu mereka lalu terkenal dengan julukan See-ouw Sam-ciu-ong (Tiga Raja Arak dari Telaga Barat).

Akan tetapi pada suatu hari mereka bentrok dengan See-thian-ong dan mereka itu ketiganya ditundukkan dan menakluk! Di sinilah mereka bertemu dengan ibu So Cian Ling dan oleh bujukan-bujukan See-ouw Sam-ciu-ong itulah akhirnya So Cian Ling, dibujuk pula oleh ibunya, pergi dan membantu tiga orang kakek itu untuk menuntut balas kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng yang telah ditemukan tempat tinggalnya oleh tiga orang kakek itu. Demikianlah sedikit keadaan So Cian Ling, dara murid See-thian-ong yang amat lihai itu.

"Nona So, kalau memang nona masih berkeras dan merasa bahwa nona benar untuk menuntut balas, nah, silakan. Aku orang tua Yap Kun Liong tidak takut mati dan daripada dalam usia setua ini harus menanam permusuhan lagi, biarlah nona membunuhku dan aku tidak akan melakukan perlawanan."

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: