*

*

Ads

Sabtu, 13 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 052

Siangkoan Wi Hong tersenyum lebar dan mengangguk, kemudian bangkit berdiri dan menjura,

"Maaf, melihat sikap kalian yang tabah dan mengagumkan, tadinya aku menyangka bahwa kalian tentu memiliki ilmu silat yang tinggi. Karena ingin tahu maka aku menyuruh orang-orangku mencoba kalian. Kiranya mereka gagal dan aku merasa bersalah kepada ji-wi (anda berdua), maka maafkanlah. Sekarang, ada tamu yang agaknya hendak mengadu kepandaian silat denganku, tidak tahu apakah ji-wi ingin menonton adu pibu ataukah tidak?"

Han Tiong tadinya ingin minta diri saja, akan tetapi melihat wajah adiknya dia tahu betapa adiknya ingin sekali nonton pertandingan, dan dia sendiripun diam-diam amat tertarik dan ingin menyaksikan sampai dimana kehebatan tuan rumah ini yang agaknya hendak melayani tamu yang berjuluk Kang-thouw-kwi itu. Maka diapun mengangguk dan menjawab,

"Kalau kami tidak mengganggu, kami ingin melihat."

"Bagus! Mari silakan ikut bersamaku!" kata pemuda itu dengan sikap gembira karena betapapun juga, dia ingin memamerkan kepandaiannya kepada dua orang tamu ini.

Han Tiong dan Thian Sin mengikuti tuan rumah meninggalkan pondok dalam taman, memasuki gedung itu dari pintu belakang dan menuju ke sebuah ruangan yang amat luas, sebuah ruangan lian-bu-thia, yaitu ruangan tempat berlatih silat yang mewah sekali, dengan hiasan dinding berbentuk lukisan-lukisan binatang yang gagah seperti harimau, burung bangau, naga, dan lain-lain binatang yang dianggap mempunyai gerakan-gerakan gagah dan yang dijadikan dasar bermacam gerakan ilmu silat.

Di sudut ruangan yang luas itu terdapat beberapa rak tempat senjata yang penuh dengan belasan alat-alat berlatih dan olah raga seperti batu-batu besar untuk diangkat, karung-karung pasir dan sebagainya. Di sebelah kiri, dekat dinding, terdapat belasan bangku dan seorang kakek bangkit dari bangku yang didudukinya ketika melihat tiga orang pemuda itu memasuki ruangan.

Han Tiong dan Thian Sin memandang penuh perhatian. Kakek itu usianya lebih dari enam puluh tahun, rambutnya sudah putih sebagian, sinar matanya mengandung kecemasan dan kedukaan, pakaiannya sederhana dan pandang matanya ditujukan kepada Siangkoan Wi Hong setelah dengan sikap tak acuh dia melempar pandang kepada Han Tiong dan Thian Sin.

Dengan sikap tenang Siangkoan Wi Hong mempersilakan dua orang tamunya duduk di atas bangku. Han Tiong dan Thian Sin lalu duduk dan hati mereka tertarik sekali untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Setelah berdiri berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata penuh selidik, akhirnya kakek itu berkata,

"Maaf, apakah saya berhadapan dengan Siangkoan-kongcu?"

Yang ditanya mengangguk, tangan kanannya mempersilakan tamunya untuk duduk.
"Silakan duduk, Lo-enghiong."

Kakek itu nampak tidak sabar, akan tetapi melihat sikap pemuda itu yang amat tenang, diapun duduklah sambil menarik napas panjang. Siangkoan Wi Hong sendiripun lalu duduk menghadapi kakek itu.

"Apakah Lo-enghiong ini yang berjuluk Kang-thouw-kwi? Dan kepentingan apakah yang mendorong Lo-enghiong untuk datang berkunjung?"






Tiba-tiba sinar mata kakek itu menjadi keras dan suaranyapun penuh dengan nada marah ketika dia menjawab,

"Saya datang untuk bicara tentang cucu saya Lee Si!"

Siangkoan Wi Hong agaknya memang sudah maklum, maka jawaban itu tidak mengejutkannya. Sambil tersenyum ramah dia berkata.

"Tentang Lee Si? Ada apakah dengan dia, Lo-enghiong? Sudah lama saya tidak berjumpa dengan dia. Baik-baik sajakah cucumu itu, Lo-enghlong?"

"Siangkoan-kongcu, harap kongcu tidak berpura-pura lagi. Saya datang untuk mendapatkan pertanggungan jawab kongcu atas diri cucu saya itu."

"Pertanggungan jawab yang bagaimanakah yang kau maksudkan, Lo-enghiong?"

Kakek itu semakin tidak sabar nampaknya. Dia mengepal tangan kanannya dan suaranya terdengar lantang.

"Cucuku Lee Si itu baru berusia lima belas tahun dan kongcu telah mencemarkan dia! Pertanggungan jawab apalagi kalau bukan minta agar kongcu mengawininya?"

Han Tiong dan Thian Sin terkejut, memandang dengan hati tegang. Tak mereka sangka bahwa kakek ini datang untuk urusan begitu! Mereka memandang kepada Siangkoan Wi Hong dengan alis berkerut karena tidak mengira bahwa pemuda kaya itu dapat berbuat sejahat itu, mencemarkan gadis orang!

Akan tetapi Siangkoan Wi Hong tersenyum lebar, sikapnya tenang-tenang saja.
"Hemm, aku tidak pernah mencemarkan siapapun..."

"Kongcu hendak menyangkal? Cucuku telah mengaku dan harap kongcu bersikap sebagai sebagai jantan untuk tidak menyangkal perbuatan kongcu sendiri!" Kakek itu membentak marah.

"Siapa menyangkal?" Dia lalu menoleh kepada dua orang pemuda yang menjadi tamunya. "Coba ji-wi dengarkan baik-baik. Aku mengenal dara manis bernama Lee Si, dan dia sendiri yang jatuh cinta padaku. Kami berdua, dengan suka sama suka, suka rela tanpa unsur paksaan dari fihak manapun, telah memadu kasih. Eh, kini tahu-tahu Lo-enghiong ini datang menuntut pertanggungan jawab! Pertanggungan jawab apa? Tidak ada janji antara Lee Si dan aku untuk menikah! Hubungan kami adalah suka rela dan suka sama suka, bukan aku yang memaksa dia..."

"Siangkoan-kongcu! Aku adalah orang tua, tidak perlu menggunakan kata-kata sangkalan yang tak berujung pangkal! Jelas bahwa cucuku telah kau rusak, sekarang kami datang untuk minta pertanggungan jawab, agar engkau suka mengawini cucuku. Bukankah hal ini sudah wajar? Apakah engkau hendak menolak?" Kakek itu bangkit berdiri.

Melihat sikap kakek itu mulai kasar, Siangkoan Wi Hong mengerutkan alisnya dan senyumnya lenyap. Dia juga bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek itu.

"Kang-thouw-kwi, jangan kau bicara sembarangan! Aku, orang she Siangkoan adalah sebagai laki-laki yang berani mempertanggung-jawabkan perbuatannya! Hubunganku dengan Lee Si adalah hubungan suka sama suka, tidak ada janji ikatan perjodohan. Dan tidak ada setan manapun yang akan dapat memaksaku kawin dengan dia!"

"Siangkoan-kongcu! Berani engkau menghina seorang tua seperti aku dan hendak menodai nama keluargaku?" Kakek itu membentak.

"Hemm, apakah karena engkau berjuluk Kang-thouw-kwi aku lalu harus takut dan tunduk kepadamu?"

"Siangkoan Wi Hong! Jangan mengira bahwa aku tidak tahu siapa engkau! Engkau adalah putera Pak-san-kui Siangkoan Tiang locianpwe yang kuhormati. Sungguh tidak tahu diri kalau aku berani menentang putera beliau! Akan tetapi, engkau sebagai putera seorang locianpwe telah mempergunakan kekayaanmu, ketampananmu dan kepandaianmu untuk merayu cucuku yang masih terlalu muda sehingga dia terjatuh dan kau cemarkan, kemudian sekarang engkau tidak mau bertanggung jawab! Hemm, orang muda. Aku tahu bahwa aku bukanlah lawan keluarga Siangkoan Tiang locianpwe, akan tetapi untuk membela kehormatan keluargaku, aku siap untuk mempertaruhkannya dengan nyawa sekalipun! Kalau engkau mau bertanggung jawab dan mengawini Lee Si, kami akan menganggapnya sebagai suatu kehormatan besar, akan tetap kalau engkau menolak, biarlah kutebus dengan nyawaku!"

Siangkoan Wi Hong tersenyum mengejek.
"Maksudmu, engkau hendak menantangku mengadakan pibu?"

"Hanya ada dua pilihan, engkau menerima permintaanku atau seorang diantara kita akan mencuci noda itu dengan darah."

"Bagus sekali, memang akupun ingin merasakan sampai bagaimana kerasnya kepala itu sehingga dijuluki Setan Kepala Baja!" Setelah berkata demikian, sekali bergerak, tubuh muda itu telah melayang ke tengah ruangan itu dan dia menggapai dengan sikap menantang sekali, "Mari, Kang-thouw-kwi!"

Kakek itu memandang dengan muka merah dan mata mendelik, kemudian dengan langkah lebar diapun menghampiri pemuda itu. Mereka berdiri berhadapan dan dengan sikap masih marah, sambil tersenyum pemuda itu berkata,

"Kang-thouw-kwi, kita bertanding sebagai sahabat ataukah sebagai musuh? Mengingat akan wajah Lee Si yang manis, tentu aku suka memaafkan kekasaranmu tadi dan biarlah kita mengadu ilmu sebagai sahabat."

"Tidak! Aku tidak menganggapmu sebagai putera Pak-san-kui, melainkan sebagai seorang laki-laki pengecut yang telah mencemarkan kehormatan keluarga kami dan menodai cucuku. Engkau harus mampus di tanganku atau aku yang mati di tanganmu!"

Siangkoan Wi Hong mejebikan bibirnya.
"Hemm, melihat usiamu, engkau tidak lama lagi hidup di dunia, akan tetapi agaknya engkau sudah bosan hidup. Nah, kalau engkau ingin mati, majulah!"

Kakek itu mengeluarkan bentakan nyaring dan dia sudah menerjang dengan dahsyatnya, gerakannya mantap dan kuat sekali ketika tubuhnya menerjang maju, tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar disusul tangan kanan yang mencengkeram ke arah kepala lawan. Gerakannya itu seperti gerakan seekor harimau buas yang menggunakan kedua kaki depan untuk mencengkeram dan dari jari-jari kedua tangannya terdengar suara berkerotokan tulang-tulang yang amat kuat! Namun, Siangkoan Wi Hong sudah dapat mengelak dengan gerakan lincah.

Sementara itu, ketika tadi mendengar disebutnya nama Pak-san-kui, dua orang pemuda itu terkejut bukan main dan saling pandang. Kini, rasa kagum dan suka di dalam hati Thian Sin mulai berubah oleh rasa marah. Pamannya, atau ayah angkatnya, sudah bercerita tentang Pak-san-kui, bahkan Han Tiong sendiri bersama ibunya pernah menjadi tawanan Pek-san-kui, kemudian menjadi tawanan yang diperlakukan manis seperti tamu-tamu agung.

Pak-san-kui adalah datuk kaum sesat di wilayah utara dan ternyata pemuda ini adalah putera datuk itu! Pantas saja demikian lihai dan juga kaya raya. Dan mendengar jawaban-jawaban pemuda itu terhadap Kang-thouw-kwi, mendengar betapa pemuda itu telah mencemarkan gadis cucu kakek itu, Han Tiong mengerutkan alisnya dan diam-diam dia berfihak kepada Kang-thouw-kwi walaupun dia sendiri tidak pernah mengenalnya dan tidak tahu orang macam apa adanya kakek itu.

Sedangkan Thian Sin kini diam-diam ingin sekali mencoba kepandaian Siangkoan Wi Hong yang dalam pandangannya kini nampak sebagai scorang pemuda yang sombong, angkuh dan memandang rendah orang lain! Memang ada sifat-sifat yang mengagumkan hatinya terdapat pada diri pemuda itu, akan tetapi setelah dia mengetahui bahwa pemuda itu adalah putera Pak-san-kui yang pernah mengganggu ayah dan ibu angkatnya, timbul rasa tidak senang dan bermusuh di dalam hatinya terhadap Siangkoan Wi Hong.

"Heiiiiittttt...!"

Untuk kesekian kalinya kakek itu menyerang dengan dahsyatnya. Dari gerakannya di waktu menyerang, nampak jelas betapa benci dan marahnya kakek itu kepada Siangkoan Wi Hong dan semua serangannya itu adalah serangan maut yang amat dahsyat dan berbahaya.

Namun, pemuda itu benar-benar memiliki kelincahan yang luar biasa dan dengan gin-kang yang lebih sempurna, dia selalu dapat mengelak dan menghindarkan diri dari setiap serangan, bahkan membalas pula dengan tamparan-tamparan yang tidak kalah hebatnya. Akan tetapi, kalau pemuda itu lebih mengandalkan kelincahannya sehingga selalu dapat mengelak dari serangan lawan, sebaliknya Kang-thouw-kwi ini lebih mengandalkan kekebalan tubuhnya sehingga biarpun sudah tiga kali dia terkena tamparan tangan pemuda itu, namun dia hanya terhuyung saja dan tidak terluka.

"Hemm, engkau masih dapat bertahan juga?" kata Siangkoan Wi Hong setelah pertandingan itu berlangsung lima puluh jurus dan melihat betapa kakek itu tidak roboh oleh tiga kali pukulannya.

Kini dia mengubah gerakan silatnya dan ternyata dia mempergunakan gerakan meliuk-liuk seperti seekor ular. Kedua lengannya itu seperti kepala ular yang mematuk-matuk dan kini setiap patukan itu ditujukan kepada jalan darah maut dari tubuh lawan.

Menghadapi serangan ini yang agaknya merupakan satu di antara ilmu-ilmu simpanan pemuda itu, Kang-thouw-kwi mulai terdesak hebat dan beberapa kali dia terhuyung terkena totokan-totokan yang sebenarnya merupakan totokan-totokan maut, akan tetapi agaknya kekebalan tubuh kakek itu yang membuat dia hanya terhuyung saja.

Marahlah Kang-thouw-kwi. Memang dia sudah tidak mempedulikan keselamatan nyawanya lagi. Maka dia lalu mengeluarkan teriakan panjang dan tiba-tiba dia meloncat ke belakang, kemudian, bagaikan seekor kerbau yang marah, dia lari ke depan dengan kepala menunduk, seperti seekor kerbau merendahkan diri dan hendak menerjang fihak lawan menggunakan kepalanya untuk menyeruduk!

Melihat ini, Siangkoan Wi Hong tersenyum dan pemuda ini lalu berdiri tegak, sengaja memasang perutnya untuk diseruduk sambil bertolak pinggang dengan sikap angkuh sekali.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: