*

*

Ads

Rabu, 10 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 050

"Tidak, koko. Dia melakukan pemerasan dan itu sama saja dengan perampokan akan tetapi aku setuju kalau orang-orang seperti keluarga Ji itu diberi hajaran agar mereka itu dapat sadar dari perbuatan-perbuatan mereka yang tidak baik."

Lega rasa hati Han Tiong mendengar jawaban adiknya itu.
"Di kota raja ini banyak terdapat orang pandai, tepat seperti yang diceritakan ayah. Baru orang she Siangkoan itu saja sudah memiliki kepandaian begitu hebat, belum lagi tokoh-tokoh tuanya. Maka kita harus hati-hati, Sin-te, sedapat mungkin jangan sampai terlibat dengan mereka seperti yang telah terjadi tadi."

Mereka melanjutkan perjalanan ke losmen di mana mereka menyewa kamar.
"Betapapun juga, orang she Siangkoan itu amat menarik hati, dan aku ingin sekali mendapat kesempatan untuk mencoba kepandaian silatnya."

"Hemm, kurasa dia itu merupakan lawan yang cukup tangguh. Lihat saja suara yang-kimnya. Kalau dia mau, dia dapat menyerang lawan dengan suara yang-kimnya, itu saja sudah membuktikan bahwa dia memiliki khi-kang yang kuat. Dan ketika dia meloncat dan menghadang tiga orang itu jelas nampak kelihatan gin-kangnya, kemudian ketika dia mengobati mereka itu dia mampu menggunakan sin-kang untuk membakar racun pukulannya sendiri. Hemm, dia seorang lawan tangguh sekali!"

"Justeru karena itulah aku ingin sekali mencobanya, Tiong-ko, akan tetapi sebagai sahabat, bukan sebagai musuh."

Ketika mereka tiba di depan losmen, bukan pengurus atau pelayan losmen yang menyambut mereka di depan pintu, melainkan Siangkoan Wi Hong! Sambil tersenyum ramah pemuda tampan itu berdiri menyambut mereka sambil menjura.

"Selamat malam, sahabat-sahabatku yang baik," kata pemuda itu dan terpaksa dua orang kakak beradik ini membalas penghormatan orang dan diam-diam merasa heran bagaimana orang itu dapat mengetahui tempat mereka bermalam!

Kini setelah mereka berdiri berhadap-hadapan dengan Siangkoan Wi Hong, nampaklah betapa pemuda itu bertubuh agak jangkung, lebih tinggi daripada mereka berdua.

"Siangkoan-twako, bagaimana engkau dapat mengetahui bahwa kami bermalam di losmen ini?" tanya Thian Sin, tak dapat menyembunyikan rasa gembiranya bertemu dengan orang ini.

"Ha-ha-ha!" Deretan gigi yang teratur bagus itu berkilat ketika dia tertawa dan sinar lampu depan losmen menimpanya. "Sudah kukatakan bahwa di kota raja ini aku mempunyai banyak sekali kenalan, maka apa sukarnya mencari tahu dimana kalian bermalam!"

"Saudara Siangkoan Wi Hong, sesungguhnya keperluan apakah yang membuat anda bersusah payah datang ke sini dan menanti kami berdua?"

Han Tiong bertanya, sikapnya terbuka dan ramah, akan tetapi dari pandang matanya memancarkan cahaya yang membuat Siangkoan Wi Hong merasa gugup.

Siangkoan Wi Hong menutupi kegugupannya dengan senyumnya yang manis,
"Ah, setelah mendengar bahwa kalian tinggal disini, aku cepat-cepat datang ke sini untuk menawarkan kamar dalam rumahku kepada kalian. Sebagai sahabat-sahabatku yang amat baik, tidak semestinya kalau Anda berdua tinggal di tempat ini. Marilah, ji-wi lote, mari ikut bersamaku, aku mengundang ji-wi untuk tinggal di rumahku selama ji-wi berada di kota raja."






Dengan mengembangkan lengannya orang she Siangkoan itu berkata sambil tersenyum, sikapnya ramah dan menyenangkan sekali sehingga Thian Sin sudah menoleh ke arah kakaknya dan memandang kakaknya dengan sinar mata penuh persetujuan menerima undangan itu.

Akan tetapi Han Tiong sambil tersenyum berkata dan menjura.
"Banyak terima kasih atas segala kebaikan loheng (kakak). Akan tetapi kami tidak berani banyak mengganggu. Kami akan merasa lebih leluasa bermalam di kamar losmen ini daripada di rumah Siangkoan-loheng, oleh karena itu harap loheng tidak kecewa dan tidak menganggap kami kurang terima. Sesungguhnya kami merasa tidak enak sekali untuk menerima banyak kebaikan darimu. Tidak, Siangkoan-loheng, kami akan bermalam di sini saja dan sekali lagi terima kasih."

Di bawah sinar lampu losmen itu, Siangkoan Wi Hong menatap wajah Thian Sin dengan mata bersinar-sinar. Dia melihat betapa Thian Sin melirik ke arah kakaknya dan menunduk, maka tahulah dia bahwa sang adik angkat itu amat tunduk kepada sang kakak angkat. Diapun tersenyum. Dari sinar matanya, dia maklum bahwa orang seperti Han Tiong yang memiliki sinar mata seperti naga itu adalah orang yang berhati teguh dan sekali mengeluarkan kata-kata sudah pasti tidak akan mudah dibelokkan lagi. Maka diapun tidak mau menyia-nyiakan waktu dengan membujuk seorang pemuda seperti Han Tiong dan diapun menjura.

"Baiklah, kalau ji-wi tidak mau tinggal di rumahku, harap ji-wi berjanji untuk sekali-kali singgah di rumahku sebelum meninggalkan kota raja. Toko dan rumah ayah berada di sebelah kanan pasar, di seberang Jembatan Ayam Putih. Asal ji-wi menanyakan rumah she Siangkoan setiap orangpun di sana akan dapat menunjukkan di mana adanya rumah kami."

Han Tiong merasa bahwa dia keterlaluan kalau menolak undangan singgah ini, maka dia pun menjura dan berkata,

"Baiklah, Siangkoan-loheng, kami berjanji akan singgah sebelum kami melanjutkan perjalanan ke selatan. Mudah-mudahan kami tidak terlalu mengganggu."

"Ha-ha-ha, Cia-lote terlalu sungkan. Nah, sampai jumpa!"

Orang itu lalu pergi memanggul yang-kimnya, berjalan melenggang seenaknya, diikuti pandang mata dua orang pemuda Lembah Naga itu.

Mereka memasuki kamar dan masih berkesan tentang pertemuan dengan Siangkoan Wi Hong yang tidak disangka-sangkanya itu,

"Orang itu sungguh aneh, dan mencurigakan sekali." kata Han Tiong.

"Aku girang dapat bertemu dengan dia dan kita sudah berjanji hendak singgah. Koko, kalau kita singgah di rumahnya, kesempatan itu akan kupergunakan untuk mengajaknya mencoba ilmu silat."

"Tidak, Sin-te. Jangan kau lakukan hal itu. Ketahuilah bahwa orang seperti dia itu tentu amat terkenal di tempat ini, apalagi kita tahu bahwa dia mempunyai kenalan banyak pembesar-pembesar istana. Kalau engkau sampai mengadu ilmu dengan dia, sudah tentu engkau akan berusaha untuk menang dan sekali engkau menang darinya, apa kau kira kita dapat lagi menyimpan rahasia kita? Tentu semua di kota raja akan tahu dan akan sukarlah menyimpan rahasia bahwa kita datang dari Lembah Naga, apalagi kalau sampai diketahui bahwa engkau she Ceng..."

"Hemm, aku tidak takut!" kata Thian Sin penasaran.

She-nya sama dengan she kaisar! Dan dia tidak takut ditangkap atau dibunuh seperti yang terjadi pada ayahnya. Dia akan melakukan perlawanan!

"Siapa bilang engkau takut adikku? Akan tetapi kita harus bersikap cerdik dan tidak sembarangan menuruti nafsu. Apa sih perlunya mencoba orang seperti dia itu? Ingat, kita pergi merantau ini untuk meluaskan pengetahuan, bukan untuk memancing terjadinya keributan, dan kukira engkau tidak akan suka untuk membikin pusing dan susah kepadaku, bukan?"

Ditanya demikian, Thian Sin memegang lengan kakaknya
"Ah, tentu saja tidak, Tiong-ko. Apa kau kira aku sudah gila ingin menyusahkanmu? Maafkan aku, biarlah kucabut lagi keinginanku untuk mencoba Siangkoan Wi Hong kalau memang engkau tidak menyetujuinya. Aku hanya akan melakukan sesuatu dengan persetujuanmu, Tiong-ko dan kau tentu tahu akan hal ini."

Demikianlah, dengan hati lega melihat adiknya sudah "tenang" kembali itu, Han Tiong mengajak adiknya tidur. Akan tetapi baru saja mereka akan pulas, pintu kamar mereka diketuk orang! Sebagai ahli silat tingkat tinggi, sedikit suara itu sudah cukup membuat mereka sadar benar dan berloncatan turun dari tempat tidur. Dengan hati-hati Han Tiong membuka pintu kamar dan dua orang pria sambil tertawa-tawa dan tubuh sempoyongan memasuki kamar. Ketika melihat Han Tiong dan Thian Sin, dua orang itu saling pandang.

"Eh, kenapa begini? Mana dua orang nona manis itu? Heh-heh, sobat-sobat, lekas keluar, kalian menempati kamar kami, dan kemana perempuan-perempuan manis itu kalian sembunyikan?"

"Hayo keluar!" kata orang ke dua dan mereka mengambil sikap mengancam hendak mengusir Han Tiong dan Thian Sin dengan kekerasan.

"Keparat mabuk!"

Thian Sin membentak dan sudah hendak turun tangan, akan tetapi lengannya dipegang oleh Han Tiong.

"Mereka ini mabuk, perlu apa dilayani?" katanya kepada adiknya.

Kemudian dia melangkah maju menghadapi dua orang itu.
"Saudara-saudara salah masuk, ini adalah kamar kami, harap kalian suka keluar lagi." Berkata demikian, Han Tiong dengan halus mendorong mereka keluar.

"Apa? Kau hendak memukul?" bentak seorang di antara mereka dan orang itu sudah mengayun tangan memukul ke arah Han Tiong.

Akan tetapi pemuda ini hanya mengelak sedikit dan dia terus mendorong mereka keluar dari kamar tanpa membalas. Setelah keduanya tak dapat bertahan dan terdorong keluar, dia lalu menutupkan lagi pintu kamarnya.

Dua orang itu menggedor-gedor dari luar, akan tetapi Han Tiong diam saja dan dia melarang Thian Sin yang marah-marah hendak menghajar mereka itu. Akhirnya dua orang mabuk itu pergi juga.

"Tiong-ko, engkau terlalu sabar!" Thian Sin mencela. “Orang-orang mabuk kurang ajar itu sepatutnya diberi hajaran biar kapok!”

"Adikku yang baik, bukankah engkau tahu bahwa mereka itu mabuk dan tidak sadar? Kita yang tidak mabuk dan yang sadar sepatutnya kalau mengalah."

"Tapi mereka memukulmu tadi!"

"Memang, dan itulah kalau orang mabuk. Kalau aku yang tidak mabuk balas memukul, habis lalu apa bedanya antara dia yang mabuk dan aku yang tidak mabuk? Adikku, bukan berarti bahwa aku sabar, melainkan karena mana mungkin aku marah terhadap orang mabuk?"

Mereka tidur lagi dan malam itu tidak terjadi hal-hal menarik. Pada keesokan harinya, mereka berdua melanjutkan pesiar mereka untuk melihat-lihat kota raja yang amat ramai itu. Mereka pergi ke pasar dan Han Tiong bersama adiknya membeli beberapa macam buah-buahan yang belum pernah mereka makan atau bahkan lihat sebelumnya.

Dengan kedua tangan membawa keranjang-keranjang terisi buah macam-macam, mereka berjalan kembali ke losmen. Ketika mereka tiba di sebuah mulut gang yang sempit di dekat pasar, tiba-tiba saja seorang pemuda tinggi besar menabrak Han Tiong. Karena tidak menyangka-nyangka, biarpun dia dapat mengatur kakinya sehingga tidak sampai jatuh, namun dua buah keranjang terisi buah-buahan itu terbuka keranjangnya dan buah-buahan itu berceceran dan menggelinding di atas tanah!

"He, di mana matamu?" bentak pemuda tinggi besar itu dan dari belakangnya datang lima orang pemuda lain, juga bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar berlagak seperti jagoan-jagoan muda yang banyak terdapat di kota-kota besar. Mereka dengan angkuh lalu menginjak-injak buah-buahan yang berserakan di jalan itu.

"Heiii, itu buah-buah kami...!"

Thian Sin membentak marah, akan tetapi Han Tiong mengedipkan matanya kepada adiknya, lalu dia menjura kepada Si Tinggi Besar yang menabraknya tadi.

"Harap kau maafkan saya, sobat. Karena tempat ini sempit dan aku lengah, maka telah menabrakmu. Sudahlah, kesalahanku itu ditebus dengan hilangnya semua buah-buah yang kubeli."

Si Tinggi Besar itu sejenak memandangnya, kemudian tertawa-tawa, diikuti oleh lima orang temannya. Mereka mentertawakan Han Tiong, akan tetapi anehnya mereka tidak menghalang ketika Han Tiong mengajak adiknya pergi cepat-cepat dari tempat itu, diikuti suara ketawa mereka.

"Ah, Tiong-ko, sungguh penasaran sekali!" Demikian Thian Sin mengeluh ketika mereka tiba kembali di kamar losmen mereka.

Pemuda ini masih merasa marah, mukanya merah dan kadang-kadang dia mengepal tinju tangannya.

"Apa maksudmu Sin-te?"

"Aku merasa malu bukan main harus lari terbirit-birit dari lima orang berandal tadi. Betapa ingin aku menghajar mereka sampai jatuh bangun. Kenapa kita harus bersikap sedemikian pengecut dan membiarkan mereka menghina kita, Tiong-ko? Apakah perbuatan kita itu tidak menimbulkan buah tertawaan dan sama sekali bukan selayaknya dilakukan oleh seorang pendekar melainkan lebih patut menjadi sikap pengecut dan penakut?"

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: