*

*

Ads

Rabu, 10 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 045

Biarpun mereka berdua pernah melakukan perjalanan ke kota raja pada tujuh tahun yang lalu bersama Cia Sin Liong dan isterinya ketika mereka kembali dari Kuil Thian-to-tang, namun ketika itu selain telah lewat lama sekali, juga mereka tidak begitu lama berada di kota raja. Dan Han Tiong sendiri yang pernah datang ke Cin-ling-pai bersama orang tuanya, adalah ketika dia baru berusia sebelas tabun.

Oleh karena perjalanan itu amat jauh, dan dia sama sekali sudah tidak lagi ingat jalannya, sebelum mereka berangkat, Cia Sin Liong telah memberi petunjuk tentang tempat-tempat yang akan mereka lalui. Pertama-tama, mereka akan memasuki kota raja lebih dulu, melihat-lihat di kota besar itu dengan pesan dari Cia Sin Liong agar di kota raja mereka tidak sampai terlibat dalam perkelahian karena selain di tempat itu banyak terdapat orang pandai, juga jangan sampai mereka memancing perhatian para penjaga keamanan kota raja dan istana.

Kemudian, mereka diharuskan pergi ke Cin-ling-san yang berada di Propinsi Shen-si selatan, setelah itu barulah mereka harus ke timur dari Propinsi Shen-si, memasuki Propinsi Ho-nan untuk pergi ke kota Lok-yang tempat tinggal Ciu Khai Sun.

"Kalian boleh pergi merantau sampai satu tahun," demikianlah pesan Cia Sin Liong.

"Waktu itu sudah lebih dari cukup bagi kalian untuk mengunjungi tiga tempat itu dan meluaskan pengetahuan kalian. Jangan terlalu lama di kota raja, yang penting mengunjungi keluarga kakek kalian di Cin-ling-san, kemudian mengunjungi bibi kalian di Lok-yang. Disana kalian boleh tinggal agak lama."

Diantara banyak pintu gerbang yang memasuki kota raja, pintu gerbang utara merupakan pintu gerbang yang selain tebal dan kuat, juga terjaga paling ketat. Hal ini adalah karena sejak dahulu, pintu gerbang ini yang paling sering mengalami gempuran-gempuran dan serbuan-serbuan musuh yang datang dari utara dan bagi kerajaan itu, bahaya yang paling besar dan tak pernah dapat diabaikan adalah bahaya yang datangnya dari utara, dari luar Tembok Besar.

Dan tidaklah aneh karena kota raja itu terletak paling dekat dengan perbatasan utara sehingga penyerbuan musuh dari utara akan dapat langsung memasuki kota raja, tidak seperti penyerbuan dari jurusan lain yang harus melampaui daratan luas, melalui propinsi-propinsi sehingga sebelum bahaya tiba di kota raja, sudah terlebih dahulu kota raja akan mendengar dan akan mempersiapkan diri.

Pada waktu itu, Kerajaan Beng-tiauw sedang mengalami masa jayanya. Perjalanan atau pelayaran Panglima The Hoo pada puluhan tahun yang lalu agaknya mendatangkan hubungan yang luas dan akrab dengan negara-negara lain di seberang lautan sehingga hubungan dagang dapat diperbesar, baik dengan negara-negara barat sampai ke India dan Arabia, juga dengan negara-negara di selatan, bahkan sampai ke Kepulauan Indoesia, yaitu Sumatera dan Jawa.

Bukan hanya itu saja, bahkan kemakmuran dan kebesaran nama Kerajaan Beng-tiauw menarik pula minat orang-orang kulit putih yang mulai mempererat pula hubungan mereka. Terutama sekali bangsa Portugis yang memang sudah sejak puluhan tahun menjadi orang kulit putih pertama yang datang ke Tiongkok untuk berdagang.

Biarpun penjagaan di pintu gerbang utara amat ketat, namun dua orang muda yang masih remaja, berpakaian patut, bersikap sopan dan lebih pantas menjadi pelajar-pelajar yang kaya, seperti Han Tiong dan Thian Sin, tidak menimbulkan kecurigaan dan mereka dapat memasuki kota raja dengan mudah.






Cia Sin Liong adalah seorang pendekar yang pernah berjasa terhadap kerajaan. Bahkan secara resmi Kaisar Ceng Hwa telah mengangkat pendekar itu menjadi Pendekar Lembah Naga, julukan yang diberikan sendiri oleh kaisar dan oleh karena itu terkenal di seluruh dunia kang-ouw, bahkan pendekar itu dihadiahi Istana Lembah Naga oleh kaisar dan harta benda yang amat banyak.

Hanya karena pendekar itu menolak saja maka dia tidak menjadi seorang panglima, karena andaikata Sin Liong mau, tentu dia sudah diangkat menjadi seorang panglima. Biarpun demikian, pendekar itu tetap saja tidak pernah mau menonjolkan diri, apalagi mendekatkan diri dengan kerajaan. Kepada dua orang puteranya yang juga tahu bahwa ayah mereka merupakan seorang yang ternama di kota raja, dia memesan agar jangan memperkenalkan diri sembarangan dan agar jangan sampai berhubungan dengan kerajaan.

Han Tiong mentaati pesan ayahnya, karena dia sendiripun adalah seorang pemuda yang sederhana batinnya, tidak suka akan nama besar dan kesohoran, maka diam-diam dia menyetujui sikap ayahnya yang menjauhkan diri dari kemuliaan dan kedudukan. Sudah banyak dibacanya dalam kitab-kitab sejarah betapa kemuliaan dan kedudukan itu hanya memancing datangnya permusuhan karena banyak yang merasa iri hati.

Akan tetapi tidak demikian dengan Thian Sin. Diam-diam pemuda ini merasa tidak puas. Betapapun juga, dia tahu bahwa mendiang ayah kandungnya adalah saudara kaisar! Biarpun berlainan ibu, akan tetapi seayah! Jadi, betapapun juga, dia adalah keponakan yang langsung dari kaisar yang sekarang, sedarah karena nama keturunannya masih sama! Akan tetapi, di samping ini, diapun tahu bahwa ayahnya tewas karena kaisar yang menjadi pamannya ini pula, mengirim pasukan untuk "menghukum" ayahnya sebagai pemberontak. Dia memang menyesalkan hal ini, kenyataan bahwa ayahnya menjadi pemberontak, dan dia tidak merasa sakit hati kepada kaisar yang menjadi pamannya itu, melainkan kepada mereka yang turun tangan membunuh ayah bundanya.

Biarpun di dalam hati mereka berdua terdapat perbedaan yang amat besar, namun keduanya memandang dengan wajah berseri gembira ketika mereka memasuki kota raja dan melihat bangunan-bangunan besar dan indah, jalan-jalan raya yang lebar dan ramai dengan lalu-lintas, toko-toko yang serba lengkap, restoran besar dan pakaian-pakaian orang yang serba indah.

Mereka berdua adalah pemuda-pemuda yang sejak kecil tinggal di tempat sunyi, bahkan jarang berjumpa dengan orang lain, maka kini memasuki sebuah kota besar seperti kota raja, tentu saja mereka merasa kagum sekali.

"Sin-te, mari kita mencari tempat penginapan lebih dulu," kata Han Tiong kepada adiknya.

"Mengapa kita tidak putar-putar dan melihat-lihat dulu, Tiong-ko? Kita tidur di mana saja, di kuil juga boleh, kan? Lebih aman dan tidak menyolok," kata Thian Sin.

"Tidak, adikku. Justeru kalau bermalam di kuil tua atau sebagainya, lebih banyak kemungkinan bagi kita untuk bertemu dengan orang-orang kang-ouw dan bahkan menimbulkan kecurigaan karena pakaian kita seperti pelajar-pelajar yang melancong, bukan seperti orang kang-ouw. Pula, tidak enak kalau berjalan-jalan sambil menggendong buntalan pakaian seperti ini, menjadi perhatian orang saja. Kita cari kamar, menyimpan buntalan pakaian, baru kita jalan-jalan," jawab Han Tiong dan seperti biasa, Thian Sin menyetujui.

Memang pemuda ini selalu taat kepada Han Tiong, bukan taat secara terpaksa, karena dia selalu dapat melihat bahwa kakaknya itu benar dan tepat. Di dalam hatinya, Thian Sin amat sayang kepada Han Tiong, sayang dan tunduk, juga kagum karena kakaknya itu dianggap memiliki batin yang amat kuat sekali, tidak seperti dia yang mudah tunduk dan mudah terpengaruh. Juga dia tahu bahwa kalau mereka sama-sama mempergunakan ilmu simpanan mereka, dia tidak akan menang melawan kakaknya.

Biarpun Pendekar Lembah Naga sendiri menyembunyikan dan menganggapnya sebagai rahasia, namun di antara dua orang kakak dan adik ini tidak ada rahasia apa-apa dan mereka saling menceritakan tentang ilmu-ilmu simpanan yang mereka pelajari dari ayah mereka. Mereka tidak merasa saling iri hati, karena mereka sudah tahu bahwa dua macam ilmu itu, yaitu Thi-khi-i-beng dan Cap-sha-ciang atau lengkapnya Hok-mo Cap-sha-ciang hanya boleh diturunkan kepada satu orang saja.

Bahkan dengan terus terang Han Tiong menceritakan bahwa diapun diberi pelajaran ilmu totok It-sin-ci yang dapat menghadapi Thi-khi-i-beng itu kepada adiknya. Hal inipun tidak membuat Thian Sin menjadi kecil hati. Bagi dia, kalah oleh Han Tiong merupakan hal yang sudah wajar dan semestinya.

Mereka menyewa sebuah kamar di losmen sederhana dan setelah mandi dan berganti pakaian, mereka lalu pergi keluar berjalan-jalan meninggalkan buntalan pakaian di dalam kamar yang terkunci dan membawa semua uang bekal mereka dalam saku.

Karena kini mereka tidak menggendong buntalan, maka keadaan mereka semakin tidak menarik perhatian karena mereka tiada bedanya dengan dua orang pemuda kota raja yang sedang berjalan-jalan makan angin di sore hari itu.

Setelah berputar-putar di tempat-tempat ramai, akhirnya mereka merasa lapar dan memasuki sebuah rumah makan dari mana keluar bau masakan yang amat gurih dan sedap.

Ketika mereka memasuki rumah makan itu, ternyata restoran itu mempunyai ruangan yang cukup luas, bahkan ada ruangan lain di loteng dari mana para tamu sambil makan dapat melihat lalu-lintas di depan restoran. Thian Sin mengajak kakaknya naik ke loteng.

Ternyata di ruangan atas itu sudah ada beberapa tamunya, ada yang sedang makan, ada pula yang agaknya masih menanti pesanan mereka, ada yang minum arak sambil makan gorengan-gorengan, sedangkan beberapa orang muda duduk di tepi loteng sambil minum-minum dan memandang ke arah jalan raya, tentu saja pandang mata mereka selalu diarahkan kepada wanita-wanita muda yang kebetulan lewat jalan itu.

Dua orang muda itu menyapu ruangan itu dengan pandang mata mereka. Hanya ada seorang tamu yang menarik perhatian mereka, yaitu seorang pria berusia kurang lebih dua puluh tahun yang duduk di sudut ruangan seorang diri, menghadapi seguci arak dan sebuah cawan dan beberapa piring gorengan dan kacang. Pemuda itu memakai topi bulu tebal, pakaiannya mewah dan melihat keadaannya, dia seperti seorang pemuda hartawan yang royal.

Wajahnya tampan dan sepasang matanya tajam. Akan tetapi yang menarik perhatian dua orang pemuda itu, terutama sekali perhatian Thian Sin, adalah sebuah alat musik yang-kim yang kecil dan terletak di atas meja. Thian Sin adalah seorang pemuda yang suka sekali akan seni suara, pandai bertiup suling dan pandai bernyanyi. Ketika dia berada di Kuil Thian-to-tiang, dari seorang hwesio dia pernah pula belajar memainkan yang-kim, maka kini melihat ada seorang pemuda tampan membawa yang-kim, dia tertarik sekali.

Ada sesuatu yang menarik pada yang-kim itu. Selain catnya yang merah darah, juga alat musik itu bentuknya berbeda dengan yang-kim biasa, karena kedua ujungnya berbentuk gagang seperti gagang pedang sedangkan ujung sebelahnya runcing sekali!

Pemuda tampan yang berpakaian mewah itupun melirik ke arah dua orang pemuda remaja itu dan pandang matanya sampai lama menatap wajah Thian Sin yang tampan sekali itu, bibirnya tersenyum dan pandang matanya tidak menyembunyikan rasa kagumnya. Sejenak pandang matanya bertemu dengan pandang mata Thian Sin dan keduanya merasa tertarik. Memang Thian Sin tertarik, bukan oleh ketampanan orang itu, bukan oleh pakaiannya yang mewah, melainkan oleh adanya alat musik yang-kim di atas meja itulah.

Seorang pelayan berjalan menghampiri meja mereka, akan tetapi begitu laki-laki tampan itu menggerakkan ibu jari dan jari tengah tangan kanannya, terdengar suara menyentrik dan pelayan itu menoleh, lalu tersenyum-senyum dan dengan sikap hormat dia menunda kepergiannya ke meja mereka berdua, sebaliknya dengan cepat menghampiri meja pemuda tampan berpakaian mewah itu, membungkuk-bungkuk.

"Siangkoan-kongcu (tuan muda Siang-koan) hendak memesan apa lagikah?" tanya pelayan itu sambil tersenyum ramah dan penuh hormat.

Pemuda tampan itu sudah mencoret-coret sesuatu di atas kertas, lalu menyerahkan kertas bertulis itu kepada pelayan sambil berkata, nada suaranya halus seperti cara bicara seorang terpelajar.

"Sampaikan ini kepada pengurus restoran!"

Pelayan itu melirik ke atas kertas, kedua alisnya terangkat, lalu mengangguk-angguk sambil tersenyum dan memasukkan kertas itu ke dalam saku bajunya. Kemudian dia membalikkan tubuhnya dan hendak pergi meninggalkan ruangan loteng itu, tanpa menoleh kepada meja Thian Sin dan Han Tiong seolah-olah sudah lupa lagi akan datangnya dua orang tamu baru ini.

"Hei, pelayan!"

Thian Sin memanggil, suaranya halus akan tetapi cukup nyaring sehingga pemuda mewah itu melirik dan tersenyum.

Pelayan itu cepat menghampiri dan membungkuk-bungkuk, sikapnya hormat.
"Kongcu memanggil saya?" tanyanya.

"Tentu saja, kami sudah lapar dan kami hendak memesan makanan dan minuman." kata Thian Sin dan Han Tiong lalu memesan beberapa macam masakan dan nasi dan air teh.

Pelayan itu mengangguk-angguk, membungkuk dan tersenyum sopan, kemudian setelah menerima pesanan itu dia pergi turun dari loteng. Karena maklum bahwa pemuda mewah yang mempunyai yang-kim itu biarpun tidak langsung memandang kepada mereka akan tetapi memperhatikan, Thian Sin dan Han Tiong tidak banyak cakap dan hanya duduk memandang ke arah luar, menanti datangnya pesanan makanan.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: