*

*

Ads

Rabu, 10 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 044

Melihat adiknya melakukan perjalanan dengan sikap gembira sekali Han Tiong ikut merasa gembira. Ketika mereka mengaso di tepi sebuah hutan karena senja mulai tiba dan mereka mengisi perut dengan roti kering yang mereka bawa sebagai bekal, kemudian bersama dengan datangnya malam gelap mereka membuat api unggun, keduanya duduk di dekat api unggun yang hangat sambil bercakap-cakap.

"Engkau senangkah melakukan perjalanan ini, Sin-te?"

"Tentu saja, apakah engkau juga tidak merasa senang, Tiong-ko? Aku merasa seperti seekor burung keluar dari sarang terbang bebas di udara. Melihat dunia di depan terbentang luas, hati siapa tidak menjadi gembira?"

Han Tiong tersenyum. Kalau pada hari-hari kemarin dia tidak mau mengusik urusan lampau karena adiknya itu sedang dalam duka, maka kini dia menganggap sudah waktunya untuk bertukar pikiran tentang segala peristiwa yang dialami adiknya itu.

"Selama beberapa pekan ini engkau di rumah nampak berduka dan kecewa. Apakah kematian Hwi Leng yang membuat engkau menjadi demikian berduka, adikku?"

Thian Sin menggeleng kepala, membuat kakaknya terheran.
"Hwi Leng sudah mati, hal itu tidak mungkin berubah biar aku akan menangis air mata darah sekalipun. Aku hanya merasa menyesal melihat betapa semua pelajaran tentang kebaikan yang kita terima dari Paman Hong San Hwesio maupun dari ayah, atau dari kitab-kitab, ternyata tidak ada gunanya sama sekali."

"Eh? Apa maksudmu?" Han Tiong memandang tajam penuh selidik, terkejut mendengar ucapan itu.

"Maksudku? Aku bersusah payah menahan segala nafsu, bersusah payah menjadi orang baik menurut semua pelajaran itu, namun ternyata, akibatnya hanya merugikan diri sendiri belaka."

"Hemm, aku masih belum mengerti."

"Coba engkau ingat akan halnya Cu Ing dan Hwi Leng, Tiong-ko. Andaikata aku tidak mentaati semua pelajaran Paman Hong San Hwesio, andaikata dahulu aku tidak bersikap alim, andaikata aku tidak menahan nafsu dan aku mengajak Cu Ing pergi bersamaku, menjadikannya sebagai isteriku, tentu dia tidak akan dibawa pergi oleh orang tuanya dan dikawinkan dengan orang lain. Demikian pula dengan Hwi Leng, andaikata dia kuajak hidup bersama, tentu dia tidak sampai dapat disiksa sampai mati oleh penjahat-penjahat itu!"

"Ah, omongan apa yang kau keluarkan ini, Sin-te?"

Han Tiong memandang dengan sinar mata tajam dan sejenak mereka saling bertentangan pandang mata, akan tetapi akhirnya Thian Sin menunduk.

"Maafkan aku, Tiong-ko."

Han Tiong menyentuh lengan adiknya dan berkata, suaranya penuh kesabaran dan juga mengandung teguran halus,






"Adikku, pendapatmu itu sungguh merupakan pendapat yang keliru sama sekali. Pendapatmu itu hanya didasarkan rugi untung, susah senang bagi dirimu sendiri belaka. Engkau kecewa karena Cu Ing dikawinkan dengan orang lain sehingga engkau kehilangan, demikian pula engkau menyesal karena dengan matinya Hwi Leng, engkau merasa dirugikan. Sesungguhnya engkau tidak mencinta dua orang dara itu, adikku, melainkan mencinta dirimu sendiri, ingin memuaskan nafsu sendiri, maka ketika hal itu tidak terjadi, engkau merasa kecewa dan menyesal."

Thian Sin kelihatan terkejut mendengar ucapan itu.
"Apa... maksudmu? Tiong-ko, engkau tahu bahwa aku benar-benar mencinta mereka!"

Han Tiong menggeleng kepala.
"Kalau engkau mencinta Cu Ing, engkau tentu harus bersyukur bahwa gadis itu tidak melakukan hal yang mendatangkan aib bagi keluarganya dan bahwa dia kini telah menikah dengan calon suami yang telah dipertunangkan dengan dia sejak kecil. Dan tentang Hwi Leng, dia matipun hanya sebagai akibat dari keadaan hidupnya. Ingat, dia adalah puteri seorang anggauta Jeng-hwa-pang, maka tentu saja dia dianggap pengkhianat dan dibunuh. Memang dia patut dikasihani karena menjadi korban keadaan, seperti juga Cu Ing patut dikasihani, karena menjadi korban adat-istiadat pula. Kalau engkau merasa kasihan kepada mereka, hal itu memang sewajarnya. Akan tetapi kalau engkau menyesal karena engkau merasa dirugikan dengan perginya mereka itu dari sampingmu, berarti engkau hanya memikirkan diri sendiri belaka."

Thian Sin mengangguk-angguk.
"Aku mulai mengerti, Tiong-ko, dan aku mulai dapat menangkap kebenaran kata-katamu. Memang, agaknya aku terlalu mementingkan diri sendiri saja."

"Bagus, adikku. Berbahagialah orang yang dapat melihat kesalahan diri sendiri. Engkau agaknya terlalu peka, terlalu perasa sehingga engkau mudah jatuh cinta, mudah patah hati. Kuharap saja kelak engkau akan lebih berhati-hati, karena seorang pendekar tidak semestinya sedemikian lemahnya, Sin-te. Hidup ini memang mengandung lebih banyak seginya yang kelabu, akan tetapi hal itu tidak semestinya melemahkan hati seorang pendekar. Kita harus dapat menanggulangi segala persoalan yang betapa pahitpun dengan tabah. Bukankah demikian ajaran-ajaran yang selama ini kita terima?"

Thian Sin memegang lengan kakaknya dan memandang dengan wajah berseri.
"Jangan khawatir, adikmu ini telah melihat kesalahannya dan tidak akan mengulang kebodohannya lagi."

Thian Sin lalu mengeluarkan suling dari buntalan pakaiannya dan tak lama kemudian, di malam yang sunyi itu terdengarlah alunan suara tiupan suling yang merdu. Han Tiong tersenyum girang dan dia seperti dibuai oleh suara suling itu sehingga akhirnya dia tertidur pulas di bawah pohon dekat api unggun.

Karena perjalanan itu melalui perbatasan di luar Tembok Besar yang menjadi sarang perkumpulan Jeng-hwa-pang, maka Han Tiong mengajak adiknya untuk singgah di tempat itu. Perkampungan Jeng-hwa-pang itu masih ada dan ketika mereka memasuki pintu gerbang, mereka melihat bahwa perkampungan itu ditempati oleh sedikitnya tiga puluh orang anggauta Jeng-hwa-pang. Sebaliknya, melihat munculnya dua orang pemuda ini, para anggauta Jeng-hwa-pang itu lari ketakutan.

"Harap kalian jangan lari! Kami datang dengan damai!"

Han Tiong berseru nyaring dan mereka yang mendengarnya itu menjadi terheran-heran, akan tetapi dengan muka masih pucat dan sikap yang gentar mereka berhenti dan menghampiri dua orang muda yang amat mereka takuti itu.

Han Tiong dan Thian Sin tersenyum melihat sikap mereka.
"Kami bukan datang sebagai musuh," kata Thian Sin.

"Kami hanya kebetulan lewat dan ingin melihat keadaan disini."

Tiba-tiba seorang diantara para anggauta Jeng-hwa-pang itu menjatuhkan diri berlutut ke arah dua orang muda itu dan semua orang yang berada di situ mengikuti contoh ini. Mereka semua berlutut.

"Ji-wi taihiap harap sudi memaafkan kami semua..." kata orang itu.

Han Tiong saling pandang dengan Thian Sin, dan tersenyum,
"Bangkitlah, kalian tidak perlu berlutut. Kami datang hanya untuk menjenguk dan ingin tahu apa jadinya dengan tempat ini. Ternyata kalian masih tinggal di sini. Apakah Jeng-hwa-pang masih tetap berdiri di sini dan menggunakan tempat ini sebagai markas?"

"Tidak, tidak, taihiap. Para pimpinan telah meninggalkan kami. Kami adalah anggauta-anggauta yang tidak mempunyai tempat tinggal lain, maka terpaksa kami kembali ke sini dan tinggal di sini." jawab orang pertama.

Kini dua orang muda itu melihat wanita dan anak-anak bermunculan dari balik pondok-pondok itu. Tentu keluarga orang-orang Jeng-hwa-pang itu, pikir mereka. Kemudian orang itu menceritakan bahwa semenjak sarang Jeng-hwa-pang itu diobrak-abrik oleh dua orang pemuda Istana Lembah Naga itu, ketua mereka, Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam tidak pernah kembali lagi, entah telah lari ke mana. Dan karena para anak buah Jeng-hwa-pang banyak yang tidak mempunyai tempat tinggal, maka mereka itu berturut-turut kembali ke situ setelah melihat bahwa keadaan aman kembali. Akan tetapi banyak juga di antara anak buah Jeng-hwa-pang yang melarikan diri ke selatan. Hanya mereka yang mempunyai keluarga saja tidak berani untuk menyeberangi Tembok Besar ke selatan.

Setelah mendengar penuturan mereka itu, Han Tiong memandang ke sekeliling tempat itu. Keadaan mereka cukup baik dan tentu ketua Jeng-hwa-pang itu meninggalkan banyak juga harta benda untuk mereka.

"Saudara-saudara sekalian, dengarkanlah baik-baik. Kalian adalah manusia-manusia yang tiada bedanya dengan kami dan dengan manusia-manusia lain. Saudara-saudara juga memiliki anak isteri, berarti saudara-saudara mempunyai tanggung jawab. Oleh karena itu, kami harap mulai saat ini kalian semua suka mengubah cara hidup kalian, menjauhi pekerjaan yang jahat dan jangan sekali-kali mempergunakan ilmu kepandaian untuk mencelakakan orang lain. Kalian dapat bekerja sebagai petani, atau dengan modal yang ada, kalian dapat berdagang, atau dapat juga bekerja sebagai pengawal-pengawal para saudagar yang melewati Tembok Besar. Kalau kalian menjadi orang-orang yang bekerja sebagaimana mestinya, tidak lagi menjadi penjahat, tentu kalian akan dapat hidup dengan aman. Akan tetapi kalau kalian kembali kepada pekerjaan yang dulu dan suka mengganggu orang lain, kelak apabila kami lewat di sini lagi, sudah pasti kami akan turun tangan menghajar kalian dan mengusir kalian dari tempat ini."

Orang-orang itu segera memberi hormat dan dengan suara riuh mereka menyatakan taat akan pesan pendekar muda itu. Kemudian dua orang pemuda itu lalu meninggalkan sarang Jeng-hwa-pang, atau lebih tepat lagi, perkampungan baru itu karena mereka semua tentu tidak mau lagi mempergunakan nama Jeng-hwa-pang, dan melanjutkan perjalanan mereka menyeberangi Tembok Besar.

Melihat betapa wajah Thian Sin nampak tidak puas, Han Tiong bertanya,
"Ada apakah, Sin-te?"

"Tiong-ko, aku tidak percaya bahwa mereka itu akan mau kembali ke jalan benar. Mereka adalah orang-orang jahat, dan di depan kita karena mereka merasa takut, tentu saja mereka berjanji akan mentaati pesanmu. Akan tetapi kelak, aku yakin bahwa mereka itu akan kembali menjadi penjahat, apalagi kalau ada yang memimpin mereka."

"Hemm, habis kalau menurut pendapatmu, bagaimana? Apa yang harus kita lakukan tadi?"

"Kurasa lebih baik menghajar agar mereka takut benar-benar, dan membubarkan mereka. Karena dengan berkelompok mereka itu akan menjadi lebih berani untuk melakukan kejahatan lagi. Orang-orang kejam dan jahat seperti mereka itu tidak boleh diberi hati, Tiong-ko!"

Han Tiong tersenyum,
"Sin-te, mengapa engkau begitu keras terhadap orang-orang yang pernah melakukan penyelewengan dalam hidupnya? Lupakah engkau akan wejangan Paman Hong San Hwesio? Orang yang melakukan penyelewengan, yang kita namakan orang jahat, adalah seorang yang sedang menderita penyakit. Bukan tubuhnya yang sakit, melainkan batinnya. Nah, kalau kita menghadapi orang yang sakit, sebaiknya kita beri obat, bukan? Ingat, orang yang sedang menderita sakit itu dapat sembuh, adikku, sedangkan kita yang sekarang ini sedang sehat, bisa saja sewaktu-waktu jatuh sakit! Betapapun juga, manusia adalah mahluk yang amat lemah, baik badan maupun batinnya. Itulah sebabnya kita harus mengasihani mereka, adikku, bukan membenci mereka."

"Mengasihani orang jahat?"

"Tentu saja, karena mereka itu sedang menderita sakit..."

"Dan kalau ada orang jahat membunuh ayah bunda kita, kekasih kita, harus pula kita kasihani penjahat itu?"

Dibantah seperti ini, Han Tiong tidak mampu menjawab karena dia merasa tidak enak untuk membantah. Dia tahu bahwa pertanyaan itu timbul dari hati yang mendendam atas kematian ayah bunda adiknya ini, juga kematian kekasihnya. Tentu saja dia tidak mau mengingatkan adiknya bahwa ayahnya itu mati karena akibat daripada perbuatannya sendiri! Demikianlah pula Hwi Leng tewas karena keadaan lingkungan hidupnya. Akan tetapi, untuk diam saja pun tidak enak, maka dia memperoleh jawaban yang dianggapnya tepat.

"Adikku, apakah sesungguhnya yang aneh dari kematian orang-orang yang hidup sebagai pendekar? Baik mendiang ayah bundamu, maupun Hwi Leng, mereka adalah orang-orang yang sejak kecil berkecimpung di dunia kang-ouw dan karenanya sudah tentu mempunyai banyak musuh-musuh. Kurasa tidak ada yang harus menjadi penasaran. Andaikata kita sewaktu-waktu tewas di tangan orang yang memusuhi kita, bukankah hal itu sudah wajar dan tidak perlu dijadikan dendam?"

"Aku mengerti Tiong-ko. Akan tetapi agaknya engkau tidak dapat merasakan penderitaan seorang anak yang kehilangan kedua orang tuanya, terbunuh oleh orang-orang jahat."

Han Tiong tidak mau membantah lagi karena hal itu hanya akan mendatangkan perasaan yang tidak enak saja. Maka diapun mengajak adiknya bicara tentang hal-hal lain. Mereka segera melupakan bahan percakapan yang tidak menyenangkan itu dan melanjutkan perjalanan dengan gembira karena pemandangan di sepanjang perjalanan, melalui bukit-bukit itu amat mempesonakan.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: