*

*

Ads

Rabu, 10 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 043

Thian Sin terisak dan balas merangkul kakaknya.
"Terima kasih, Tiong-ko, akan kuperhatikan nasihatmu. Harap... harap kau... tidak melaporkannya kepada ayah... aku takut akan tegurannya..."

Han Tiong menahan senyum dan saat itu dia melihat luka di pangkal tangan adiknya.
"Eh, engkau terluka? Parahkah lukamu?"

Thian Sin tersenyum, matanya masih basah, dan dia menggeleng kepala,
"Terkena tusukan pecut baja ketua Jeng-hwa-pang. Memang mengandung racun akan tetapi telah kukeluarkan dengan dorongan tenaga sin-kang."

"Baik kalau begitu, nah, mari kita urus mereka."

"Urus mereka? Siapa?"

Han Tiong menuding ke arah orang-orang yang menggeletak di sana-sini.
"Urus mayat-mayat itu, dan urus mereka yang terluka," katanya dengan nada suara agak dingin karena dia teringat betapa Thian Sin membunuh seluruh rombongan Jeng-hwa-pang dan membiarkan mayat-mayat mereka begitu saja di tengah hutan.

Thian Sin masih belum begitu mengerti, akan tetapi dia mengikuti kakaknya dan tanpa banyak cakap lagi dia membantu kakaknya ketika Han Tiong mulai membuat lubang besar untuk mengubur semua mayat, bahkan lalu mengobati mereka yang terluka parah. Menjelang senja, Han Tiong mengajak adiknya untuk kembali ke Lembah Naga. Di sepanjang perjalanan, Thian Sin nampak berwajah muram sekali.

"Jangan khawatir, adikku. Aku tidak akan melaporkan kepada ayah tentang pembunuhan-pembunuhan itu."

Thian Sin menarik napas panjang.
"Aku percaya sepenuhnya kepadamu, koko. Akan tetapi, bukan itu yang menjadikan pikiran... aku... aku tak dapat melupakan Hwi Leng..."

Dan dia menarik napas panjang berulang-ulang. Diam-diam Han Tiong merasa kasihan sekali. Mengapa adiknya ini demikian lemah kalau menghadapi wanita cantik? Dia tahu bahwa adiknya telah merasa kehilangan dengan kematian Hwi Leng dan untuk kedua kalinya patah hati setelah dahulu kehilangan Cu Ing.

Setelah keduanya tiba di Istana Lembah Naga dan berhadapan dengan ayah dan ibu mereka, Han Tiong menceritakan secara singkat betapa mereka berdua telah mengejar sampai ke sarang Jeng-hwa-pang dan berhasil mengobrak-abrik sarang itu dan ketua Jeng-hwa-pang melarikan diri bersama anak buah mereka.

"Engkau terluka, Thian Sin. Parahkah lukamu? Coba kau mendekat."

Cia Sin Liong memeriksa luka itu.
"Hemm kau telah mendorong racunnya keluar. Bagus sekali. Eh, Thian Sin, berapa banyak orang yang telah kau bunuh?"






Ditanya secara tiba-tiba seperti itu, wajah Thian Sin berubah, akan tetapi ditekannya perasaan hatinya.

"Saya... saya tidak tahu, ayah..., mereka mengeroyok dan saya membela diri sedapat saya..."

"Ayah, Sin-te hampir saja celaka, sudah terjebak dalam jala dan digantung, nyaris dibakar hidup-hidup."

"Untung Tiong-ko segera datang sehingga dapat menolong saya dan kami berdua lalu mengamuk dan mengalahkan mereka..."

Cia Sin Liong menarik napas panjang. Tentu saja dia tahu akan semua itu. Tadi dia telah menyusul mereka dan diam-diam dia menonton semua yang terjadi. Dia sengaja tidak turun tangan dan membiarkan saja segala sepak terjang Thian Sin dan Han Tiong dan dia melihat pula perbedaan antara puteranya sendiri dan putera angkatnya itu. Hatinya khawatir menyaksikan keganasan Thian Sin dan diapun kagum melihat keberaniannya ketika telah tertawan namun masih amat berani itu.

Dan melihat betapa Han Tiong amat melindungi dan membela adiknya, maka Cia Sin Liong diam saja tidak mau mendesak lebih jauh tentang pembunuhan yang dilakukan Thian Sin itu. Dia hanya bertanya tentang pertempuran itu. Thian Sin lalu menceritakan dengan panjang lebar tentang pertempuran itu, akan tetapi tentu saja tidak berani bercerita bahwa dia telah mempergunakan Thi-khi-i-beng. Kepada Han Tiong telah diceritakannya segala hal, bahkan juga tentang penggunaan Thi-khi-i-beng dan untuk itu, Han Tiong telah menegurnya.

Terhadap kakaknya, dia sama sekali tidak ingin dan tidak bisa menyembunyikan sesuatu, bahkan baru lega rasa hatinya kalau dia sudah menceritakan hal yang membuat hatinya tertekan kepada kakaknya. Semenjak terjadinya peristiwa itu, Cia Sin Liong makin tekun menyuruh dua orang muda itu berlatih silat di bawah pengawasannya.

Dia melihat betapa semenjak terjadinya peristiwa itu, Thian Sin kelihatan banyak sekali duduk termenung dengan wajah yang membayangkan kedukaan dan kekecewaan. Maka sebagai seorang yang sudah banyak pengalaman, dia dapat menduga bahwa pemuda yang romantis itu tentu mengalami patah hati yang agak parah karena hal itu terjadi untuk kedua kalinya. Maka satu-satunya jalan sebagai pengobatan adalah menyuruhnya berlatih sebanyak mungkin, latihan ilmu silat dan berlatih siulian untuk menghimpun sin-kang.

Pada suatu hari, masih pagi-pagi sekali, Sin Liong telah mengamati dua orang puteranya yang sudah asyik berlatih silat di dalam lian-bu-thia (ruangan berlatih silat). Dua orang pemuda itu bertelanjang dada, hanya memakai celana dan sepatu. Tubuh mereka yang muda itu nampak padat kuat dan penuh dengan tenaga yang membayang pada otot-otot mereka. Sungguh amat menyenangkan dan mengagumkan menyaksikan kedua orang pemuda itu berlatih silat.

Gerakan Thian Sin demikian cekatan, lincah dan indah, sebaliknya gerakan Han Tiong demikian mantap, tenang dan kokoh kuat seperti batu karang. Kalau dapat dibuat perbandingan, gerakan Thian Sin seperti gerakan ombak samudera yang bergelombang dan tak kenal henti, sebaliknya Han Tiong bagaikan batu karang di tepi samudera yang kokoh kuat. Namun keduanya memiliki daya kekuatan masing-masing dan terasa sekali oleh Cia Sin Liong yang menonton dua orang puteranya yang sedang berlatih itu, menonton sambil berdiri dan memangku tangan.

Pada saat itu, sambil mengeluarkan pekik melengking, Thian Sin meloncat dan menyerang dengan tendangan yang disusul dengan cengkeraman tangan kanan, seperti seekor harimau yang menubruk mangsanya. Namun Han Tiong dengan tenangnya menangkis tendangan itu dan sudah siap menghadapi cengkeraman adiknya yang dielakkannya dengan merendahkan tubuh lalu tangan kanannya yang tadi menangkis tendangan kini memukul dari bawah ke arah pusar lawan. Thian Sin juga dapat menangkis dan selanjutnya dua orang pemuda itu saling serang dengan hebatnya.

Angin pukulan berdesir-desir terasa di seluruh lian-bu-thia itu dan diam-diam Pendekar Lembah Naga menonton dengan hati puas dan bangga. Akan tetapi di samping kebanggaan ini juga timbul kekhawatiran di dalam hatinya melihat bahwa pada wajah Thian Sin masih jelas terbayang kedukaan yang mendalam itu. Dia melihat bahwa tidak percuma dia menggembleng dua orang muda itu karena ternyata semua ilmu silat yang mereka pelajari telah mendekati kesempurnaan dan agaknya tidak berselisih jauh dengan dia sendiri.

Tentu saja mereka itu masih belum memiliki kematangan pendekar dan masih membutuhkan banyak pengalaman. Akan tetapi jelaslah bahwa jarang ada tokoh kang-ouw yang akan mampu menandingi mereka!

Tak lama kemudian, Bhe Bi Cu, isteri pendekar sakti ini, muncul dan menonton pula. Dan wanita yang cerdas inipun dapat melihat kedukaan yang membayang pada wajah tampan anak angkat mereka, maka diapun memberi isyarat kepada suaminya dan mereka berdua meninggalkan lian-bu-thia untuk duduk di ruangan dalam, dimana mereka membicarakan keadaan Thian Sin.

"Dia agaknya tidak dapat melupakan gadis itu," kata Bi Cu setelah mereka berdua saja di dalam kamar.

"Ah, dia amat lemah menghadapi wanita seperti mendiang ayahnya," kata Sin Liong.

"Dia amat mudah jatuh hati, mudah sekali sakit hati, mudah mendendam, akan tetapi juga mudah melupakan. Buktinya, dia dahulu juga berduka karena ditinggal Cu Ing, akan tetapi kini dia sudah melupakannya, dan dia jatuh hati kepada Hwi Leng. Aku yakin bahwa kalau dia bertemu dengan gadis lain yang dapat memikat hatinya, diapun akan lupa kepada Hwi Leng." kata Bi Cu dengan hati tidak puas.

Sin Liong menarik napas panjang, teringat dia akan mendiang Ceng Han Houw yang juga sudah biasa mempermainkan wanita dan berganti-ganti pacar.

"Pemuda seperti dia itu sebaiknya cepat dicarikan jodoh dan dinikahkan."

Bi Cu mengerutkan alisnya.
"Mungkinkah seorang pemuda seperti dia dicarikan jodoh begitu saja? Tanpa persetujuan dan kecocokan hatinya sendiri, agaknya hal itu tidak mungkin dilakukan, juga belum tentu akan menjadi sebuah perkawinan yang bahagia."

"Tentu saja harus atas persetujuannya. Ah, aku teringat sekarang. Bukankah Lan-moi mempunyai seorang anak perempuan? Siapa namanya? Ah, aku lupa lagi..."

"Namanya Ciu Lian Hong, akan tetapi dia masih kecil, masih kanak-kanak!" kata Bhe Bi Cu yang juga teringat, bahkan dia ingat pula akan nama anak itu, anak dari Kui Lan dan Ciu Khai Sun, seorang anak perempuan yang mungil dan lembut.

"Aihh, masih kanak-kanak kan ketika kita ke sana dulu. Semenjak itu, tujuh tahun telah lewat, apa kau sudah lupa? Tentu dia sudah belasan tahun usianya sekarang!"

"Benar, akan tetapi paling banyak hanya baru tiga belas tahun usianya, masih belum dewasa benar."

"Betapapun juga, usia belasan tahun tak dapat dinamakan anak-anak lagi dan kalau sudah berkenalan dengan anak itu, tentu dapat dirundingkan. Siapa tahu, seorang di antara mereka ada yang cocok dan suka..."

"Seorang diantara mereka?"

"Ya, bukankah kita harus pula mencarikan jodoh atau calon jodoh untuk Han Tiong? Dan andaikata seorang diantara mereka cocok dengan puteri Lan-moi, alangkah baiknya kalau kita berbesan dengan Ciu Khai Sun dan isterinya!"

"Hemm, lalu maksudmu bagaimana?"

"Tiong-ji dan Sin-ji sudah cukup dewasa dan kulihat ilmu silat mereka sudah cukup baik, hanya tinggal mematangkan dengan pengalaman saja. Untuk mengusir kedukaan yang menggoda hati Thian Sin, sebaiknya kalau mereka berdua itu kusuruh pergi melakukan perjalanan jauh. Mengunjungi kakek mereka di Cin-ling-san, berpesiar ke kota raja, dan kemudian mengunjungi bibi mereka di Lok-yang, berkenalan dengan anak-anak Lan-moi dan Lin-moi. Bukankah itu baik sekali?"

"Ah, dan membiarkan mereka itu menghadapi dunia yang begitu kejam, dimana banyak terdapat orang-orang jahat yang lihai? Ingat, di dunia kang-ouw kini muncul raja-raja kaum sesat seperti Pak-san-kui dan yang lain-lain..." kata Bi Cu khawatir.

"Ah, justeru karena keadaan di dunia banyak kekacauan dan banyak bahaya itulah, maka perlu mereka untuk meluaskan pengalaman mereka di dunia kang-ouw. Mereka bukan anak-anak kecil lagi, isteriku, agar kau ingat ini. Mereka sudah dewasa dan ilmu kepandaian mereka sudah boleh diandalkan."

Demikianlah, Pendekar Lembah Naga itu memberi tahu kepada dua orang pemuda itu akan rencananya dan tentu saja Han Tiong dan Thian Sin menyambut rencana itu dengan kegembiraan. Mereka diperbolehkan melakukan perantauan ke kota raja malah! Mereka menerima banyak nasihat dari suami isteri pendekar itu, bahkan mendengar penuturan Sin Liong tentang datuk-datuk kaum sesat, tentang orang-orang gagah di dunia kang-ouw dan tentang bahaya-bahaya yang mungkin akan mereka jumpai di dalam perantauan.

"Ingat baik-baik," demikian antara lain pendekar itu memberi nasihat, "sebagai orang-orang yang membela keadilan dan kebenaran, dimana kalian berada, kalian harus membela orang-orang lemah tertindas. Akan tetapi, kalian tidak boleh mempergunakan ilmu untuk membunuh orang, betapapun jahat orang itu, karena perbuatan itu akan sama jahat dan kejamnya dengan perbuatan para penjahat itu sendiri. Kalian tentu saja dalam membela orang-orang lemah harus menentang tindakan sewenang-wenang dari mereka yang kuat, akan tetapi cukup kalau kalian memberi ingat, baik dengan kasar maupun halus agar mereka itu tidak melanjutkan perbuatannya. Sedapat mungkin, hindarkan perkelahian, hindarkan pemukulan untuk melukai orang, apalagi membunuhnya. Mengertikah kalian?"

Biarpun kata-katanya memperingatkan dua orang pemuda itu, namun pandang mata pendekar ini ditujukan terutama kepada Thian Sin. Dua orang muda itu mengangguk. Setelah membuat persiapan-persiapan, tiga hari kemudian berangkatlah Han Tiong dan Thian Sin meninggalkan Lembah Naga.

Hati mereka diliputi kegembiraan dan senanglah Han Tiong melihat betapa wajah adiknya yang semenjak kematian Hwi Leng selalu membayangkan kemuraman itu kini berseri-seri penuh kegembiraan. Mereka berangkat dengan hati lapang, seperti dua ekor burung yang baru terlepas dari sarang, diikuti pandang mata Pendekar Lembah Naga dan isterinya sampai bayangan kedua orang muda itu lenyap di sebuah tikungan.

**** 043 ****
Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: