*

*

Ads

Rabu, 10 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 042

"Heiii...?"

Kim Thian Seng-cu berteriak aneh ketika tiba-tiba dia merasa betapa tenaga sin-kang dari tubuhnya mengalir keluar seperti air bah, tersedot melalui tangan pemuda remaja itu!

Dia belum pernah mendengar, apalagi merasakan hal seperti ini, maka dia terkejut bukan main. Gin Thian Seng-cu juga sudah menyerang dengan kebutannya yang memukul ke arah punggung Thian Sin. Pemuda ini sama sekali tidak mengelak.

"Prattt!"

Kebutan itu mengenai punggung, akan tetapi disusul teriakan aneh dari Gin Thian Seng-cu karena kebutannya itu melekat pada punggung dan tenaga sin-kangnya juga membanjir keluar.

Dia berusaha menarik kebutannya, akan tetapi makin kuat dia mengerahkan tenaga, makin banyak pula tenaga sin-kang yang mengalir keluar dari tubuhnya! Dia mengalami hal yang sama dengan Kim Thian Seng-cu, karena kakek inipun merasa betapa pergelangan tangannya yang dipegang lawan itu melekat dan semakin dia berusaha melepaskan diri, makin hebat pula tenaganya tersedot keluar.

Melihat ini, mula-mula Tok-ciang terkejut dan heran. Akan tetapi dia lalu teringat akan ilmu aneh yang kabarnya dimiliki oleh keluarga Cin-ling-pai, yaitu ilmu Thi-khi-i-beng yang dapat menyedot tenaga sin-kang lawan. Teringat akan hal ini, dia cepat menggerakkan pecutnya dan kini pecut itu menjadi kaku seperti tombak dan menyerang dengan tusukan-tusukan ke arah kedua mata pemuda remaja itu! Melihat ini, tentu saja Thian Sin terkejut dan tidak mungkin dia membuat matanya kebal terhadap tusukan pecut.

Terpaksa dia melepaskan dua orang lawan itu dan sambil menundukkan mukanya dia berusaha menangkap ujung pecut, akan tetapi Tok-ciang sudah menarik kembali pecutnya. Dua orang tosu Pek-lian-kauw itu merasa lega ketika mereka terlepas. Sudah ada tenaga sin-kang mereka yang memberobot keluar, membuat mereka merasa agak pening kepala mereka. Dengan marah kini mereka menyerang lagi, lebih hebat daripada tadi, akan tetapi juga dengan hati-hati sekali karena mereka tidak ingin mengalami hal seperti tadi, yang amat berbahaya akan tetapi juga amat mengerikan hati mereka.

"Siapkan jala langit!" tiba-tiba terdengar Tok-ciang Sian-jin berteriak sambil memperhebat serangannya, dibantu oleh dua orang kakek Pek-lian-kauw itu.

Thian Sin tidak tahu apa maksud perintah itu, akan tetapi karena dia diserang secara gencar oleh tiga macam senjata yang lihai, dia terpaksa harus mencurahkan perhatiannya dan mencari kesempatan bagaimana agar dia dapat mengalahkan tiga orang musuhnya ini.

Dia tidak tahu bahwa di atas langit-langit itu telah dipasang jala yang tadinya tergulung dan tersembunyi dan kini, dengan menarik beberapa tali-temali di bawah, jala itu telah terbentang di atas ruangan itu. Dia masih terus mengamuk ketika tiba-tiba dari atas menyambar turun sehelai jala dan pada saat itu, tiga orang lawannya telah berloncatan ke belakang. Dia tidak mungkin dapat menghindar karena tempat itu dikurung banyak orang yang memegang obor bernyala dan juga senjata-senjata yang menodongnya, maka jala itu tepat menimpa dan menyelimuti dirinya.

Thian Sin menjadi semakin marah, meronta-ronta dan berusaha merobek-robek jala itu. Akan tetapi ternyata jala itu terbuat daripada benang-benang yang amat kuat, tidak dapat dibikin putus karena agak mulur dan ulet bukan main. Selagi dia meronta dan berusaha membebaskan dirinya, tiba-tiba jala itu ditarik naik dan tubuhnya yang sudah terbungkus jala itu terbawa naik pula!






Thian Sin berusaha untuk melepaskan diri, namun sia-sia belaka dan tubuhnya sudah tergantung ke udara, terselimut jala yang amat kuat itu sedangkan para anggauta Jeng-hwa-pang bersorak-sorak dengan girang, memaki-maki dan mengejeknya.

Tok-ciang Sian-jin yang sudah menjadi amat marah melihat banyaknya anak buahnya yang tewas, menyambar sebatang tombak dari tangan seorang murid dan dengan tombak ini dia menyerang Thian Sin, melontarkan tombak itu ke arah tubuh yang terbungkus jala dan tergantung di atas itu. Tombak itu meluncur dengan amat cepatnya dan tepat mengenai punggung Thian Sin.

"Dukkk...!"

Tombak itu seperti mengenai besi saja dan terpental, jatuh terbanting berkerontangan di atas lantai.

Semua orang terkejut. Pemuda remaja itu sungguh hebat, kekebalannya membuat serangan tombak itu tidak ada gunanya! Dan memang Thian Sin yang maklum bahwa dia tidak mampu menangkis atau mengelak, telah melindungi dirinya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang yang membuat tubuhnya menjadi kebal terhadap serangan senjata tajam atau runcing.

"Hemm, ingin kulihat apakah engkau juga kebal terhadap api!" Tiba-tiba Tok-ciang Sian-jin berkata sambil tertawa. "Ha-ha-ha, mari kita melihat anak Pangeran Ceng Han Houw ini menjadi sate panggang seperti anak babi, ha-ha!"

Semua murid Jeng-hwa-pang tertawa dan mereka lalu mengumpulkan kayu-kayu kering, dibawa ke dalam ruangan itu dan ditumpuk di bawah tempat Thian Sin tergantung.

"Ha-ha-ha, Ceng Thian Sin, apa yang hendak kau katakan sekarang? Apakah engkau hendak minta ampun?"

Tok-ciang mengejek karena dia merasa marah sekali kalau melihat mayat-mayat para anak buah yang berserakan di tempat itu. Pemuda remaja itu benar-benar telah mendatangkan kerugian besar sekali, bukan hanya kerugian karena kematian banyak anak murid, akan tetapi juga telah merusak nama besar Jeng-hwa-pang.

"Kakek iblis terkutuk! Mau bunuh lekas bunuh, siapa takut mampus? Kalau gagah, jangan gunakan kecurangan, lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!" Thian Sin memaki dan menantang.

"Lekas bereskan dia, pangcu (ketua). Dia itu bocah setan yang berbahaya sekali!" kata Kim Thian Seng-cu, masih teringat akan pengalamannya ketika tersedot oleh Ilmu Thi-khi-i-beng tadi.

Tentu saja dia maksudkan bahwa bocah itu terlalu lihai untuk dibiarkan hidup. Tok-ciang Sian-jin lalu mengambil sebatang obor dari tangan anak buahnya dan melemparkan obor itu di atas tumpukan kayu kering yang segera terbakar dan bernyala, makin lama makin tinggi.

Thian Sin sudah merasakan hawa panas dari bawah, dan dia mengumpulkan hawa murni untuk mempertahankan diri selama mungkin. Otaknya bekerja dan dia mengharapkan bahwa tubuhnya lebih kuat bertahan dari jala itu. Kalau jala itu lebih dulu terbakar daripada tubuhnya, tentu jala itu akan terobek dan dia dapat meloncat turun dan mengamuk. Akan tetapi kalau jala itu lebih kuat bertahan daripada tubuhnya terhadap api, dia akan mati, hal yang bukan apa-apa karena dia akan menyusul ayah bundanya!

Biarpun api belum menjilat tubuhnya, akan tetapi hawa panas telah membuat seluruh tubuhnya berkeringat dan pakaiannya menjadi basah semua, dan asap membuat dia sukar untuk bernapas pula. Akan tetapi sedikitpun tidak ada keluhan terdengar dari mulut pemuda itu. Suara tertawa dan ejekan orang-orang Jeng-hwa-pang tidak didengarnya lagi.

Tiba-tiba terdengar kegaduhan dan orang-orang yang berada di bawah itu menjadi kacau-balau. Thian Sin membuka matanya dan memandang ke bawah. Timbul pula semangatnya ketika dia melihat Han Tiong mengamuk diantara orang-orang Jeng-hwa-pang.

"Tiong-ko, lepaskan dulu aku agar dapat membantumu!" teriak Thian Sin dengan girang.

Han Tiong memandang ke atas dan cepat dia merampas sebatang pedang dan meloncat ke atas, pedangnya diayun membabat ke arah jala. Jala terobek dan terbuka. Thian Sin meloncat bersama kakaknya dan kini mereka berdua mengamuk. Thian Sin bersikap ganas bukan main. Setiap pukulannya tentu disertai tenaga sepenuhnya dan setiap orang yang kena pukulannya tentu roboh tak dapat bangun kembali karena kepalanya pecah atau tulang dadanya patah. Melihat sepak terjang adiknya ini, apalagi melihat bahwa di situ telah berserakan mayat belasan orang banyaknya, Han Tiong menjadi ngeri.

"Sin-te, jangan membunuh orang!" teriaknya lantang.

Mendengar teriakan kakaknya ini, Thian Sin membantah, suaranya halus akan tetapi juga penasaran.

"Koko, mereka hampir saja membunuhku!"

Mereka berdua menerjang sedemikian hebatnya sehingga para anak bua Jeng-hwa-pang terdesak keluar dari ruangan itu. Juga Tok-ciang Sian-jin dan dua orang pembantunya sudah berloncatan keluar karena ruangan itu penuh dengan tubuh berserakan dan asap yang menyerang mata. Dua orang muda itu berloncatan keluar mengejar.

"Sin-te, sudah terlampau banyak orang yang kau bunuh!" kembali Han Tiong menegur, suaranya kini terdengar tegas dan penuh nada teguran.

"Baiklah, Tiong-ko...!"

Tok-ciang Sian-jin sudah maju dengan pecut bajanya, disambut oleh Han Tiong, sedangkan Thian Sin kini dihadapi oleh kedua orang tosu Pek-lian-kauw. Pertempuran terjadi di luar rumah dan amat serunya. Akan tetapi para anak buah Jeng-hwa-pang tidak ada yang berani mendekat, karena setiap kali mendekat mereka tentu roboh oleh dua orang muda perkasa itu. Mereka sudah berusaha mempergunakan racun-racun, bahkan menaburkan bubuk beracun atas perintah Tok-ciang, akan tetapi semua itu tidak ada gunanya karena dua orang muda itu tidak roboh oleh penyebaran bubuk racun itu.

Senjata-senjata mereka tidak ada yang dapat mengenai tubuh mereka, bahkan kini Han Tiong mendesak Tok-ciang sedangkan Thian Sin membuat dua orang tosu Pek-lian-kauw itu kalang-kabut, mereka hanya mampu mempertahankan diri belaka dari desakan Thian Sin yang sudah marah sekali kepada mereka.

"Plak! Plakk!"

Untuk pertama kalinya, dua orang tosu itu berkenalan dengan tamparan Thian-te Sin-ciang dan mereka menjerit dan roboh terpelanting.

Thian Sin mengejar dan dua kali kakinya menginjak. Terdengar bunyi "krek-krek!" tulang patah-patah dan dua orang tosu itu tewas dengan tulang iga dan tulang leher patah-patah!

"Sin-te...!" Han Tiong berteriak marah.

Tok-ciang Sian-jin sendiri sudah terdesak hebat dan melihat betapa dua orang pembantunya tewas dalam keadaan mengerikan itu, diapun lalu meloncat jauh dan melarikan diri, diikuti oleh para muridnya yang masih selamat.

"Tiong-ko, aku harus membunuh mereka. Mereka adalah kakek-kakek iblis yang jahat, dan kalau engkau tidak keburu datang, aku tentu telah menjadi babi panggang!" kata Thian Sin yang mencoba berkelakar, akan tetapi melihat pandang mata kakaknya yang tajam dan penuh teguran itu, dia menunduk.

Han Tiong memandang ke sekeliling tempat itu. Sunyi saja. Tidak nampak seorangpun anggauta Jeng-hwa-pang. Mereka semua telah lari dan meninggalkan mereka yang tewas atau terluka. Tidak kurang dari dua puluh orang yang rebah, kebanyakan telah tewas oleh tangan Thian Sin. Han Tiong bergidik dan menarik napas panjang.

"Sin-te, berapa banyak orang yang telah kau bunuh? Rombongan yang kau bunuh di hutan itu! Dan sekarang di sini! Ah, lupakah engkau akan semua pelajaran dari Paman Hong San Hwesio? Lupakah engkau akan semua pesan ayah bahwa kita tidak boleh membunuh orang? Dan engkau hari ini telah menyebar maut!"

Thian Sin mengangkat muka memandang kakaknya. Baru sekarang dia sadar akan semua perbuatannya dan dia merasa menyesal sekali.

"Mereka... mereka membunuh ayahku... ibuku... dan mereka membunuh Hwi Leng! Ah... Tiong-ko, mereka... mereka merenggut nyawa orang-orang yang kucinta... aku menjadi mata gelap, kau maafkanlah aku, Tiong-ko..." Dan Thian Sin lalu menutupi kedua mata dengan kedua tangan.

Pemuda remaja ini menangis! Han Tiong merasa terharu dan kasihan sekali. Dia amat sayang kepada adiknya ini dan diapun dapat merasakan betapa hancur hati adiknya itu melihat kematian Hwi Leng, apalagi karena yang membunuh dara itu adalah orang-orang Jeng-hwa-pang yang dahulu mengambil bagian dalam kematian ayah bunda pemuda itu.

Betapapun juga, ada alasan yang amat kuat mendorong adiknya itu menjadi mata gelap. Dan segalanya sudah terjadi, dan yang terbunuh itu, bagaimanapun juga, harus diakui adalah orang-orang jahat yang sudah sepatutnya ditentang karena mereka itu hanya mengotori dunia dengan perbuatan-perbuatan mereka yang kejam dan jahat.

Didekatinya adiknya dan dirangkulnya.
"Sudahlah, segala hal sudah terlanjur. Hanya kuminta agar lain kali engkau jangan terlalu membiarkan dirimu hanyut dalam arus kemarahan dan dendam yang membutakan mata."

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: