*

*

Ads

Rabu, 10 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 041

Thian Sin terkejut juga. Biarpun dia sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, namun dia kurang pengalaman sehingga mengalami pengeroyokan teratur dalam bentuk tin ini, dia menjadi terkejut dan merasa repot juga. Dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini, mencoba untuk menerobos keluar, akan tetapi ke manapun dia meloncat, tetap saja lima orang itu terus-menerus membentuk segi lima yang mengurungnya dan terus menyerangnya dari segala jurusan.

Selagi Thian Sin hendak mengeluarkan kepandaiannya untuk balas menyerang, tiba-tiba terdengar suara teriakan orang,

"Benar dialah itu! Dia adalah seorang di antara dua pemuda dari Istana Lembah Naga! Dialah yang membuntungi lenganku!"

Yang berteriak ini adalah Loa Song, anggauta Jeng-hwa-pang yang pernah memimpin orang-orang untuk membuat kekacauan di dusun daerah Lembah Naga. Ayah tiri Hwe Leng dan yang telah buntung lengan kirinya ketika melawan Thian Sin itu! Semua anak buahnya telah ikut dengan rombongan baru yang pergi menyiksa dan membunuh Hwi Leng dan Loa Song ini karena buntung lengannya dan masih dalam perawatan, maka dia tidak ikut.

Seperti kita ketahui, seluruh rombongan yang membunuh Hwi Leng itu dapat disusul oleh Thian Sin dan semuanya dibunuh oleh pemuda ini. Karena tidak ikut dalam rombongan itulah maka Loa Song tidak ikut terbunuh. Tadi dia masih berada dalam kamarnya karena buntungnya lengan itu tidak hanya membuatnya merasa sakit badannya, akan tetapi juga membuatnya berduka sekali.

Ketika dia mendengar ribut-ribut bahwa ada seorang pemuda yang sedang dicoba oleh ketua Jeng-hwa-pang dan bahwa pemuda itu lihai bukan main, telah mengalahkan Lim Seng, dia merasa curiga dan tertarik, lalu menahan rasa sakit, dia keluar dari kamarnya untuk ikut nonton. Dapat dibayangkan betapa terkejut dan marahnya ketika dia mengenal pemuda itu maka diapun lalu berteriak.

Di lain fihak, ketika Thian Sin melihat siapa adanya orang yang berteriak itu, kemarahan membuat mukanya berubah merah. Inilah ayah tiri Hwi Leng yang jahat itu dan orang inilah yang menjerumuskan Hwi Leng sampai dara itu tewas.

"Ha-ha, babi buntung, sekarang aku tidak dapat mengampunimu lagi!"

Tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu dia sudah terlepas dari kurungan lima orang anggauta Ngo-heng-tin yang tidak dapat berbuat apa-apa karena pemuda itu sekali berkelebat telah lenyap!

Dan terdengarlah teriakan dan orang hanya melihat betapa tubuh Loa Song telah terlempar ke atas dan kedua kakinya tahu-tahu telah dipegang oleh Thian Sin! Orang yang buntung lengan kirinya ini berteriak-teriak minta tolong! Sedangkan Ngo-heng-tin cepat mencabut senjata masing-masing ketika ketua mereka sudah bangkit berdiri dan berteriak marah.

"Bunuh dia!"

Tok-ciang marah sekali karena sama sekali dia tidak menyangka bahwa pemuda remaja yang amat disuka dan dikaguminya itu ternyata adalah musuh besar, pemuda dari Istana Lembah Naga.

Dia kecewa sekali dan menjadi marah! Akan tetapi Thian Sin yang sudah marah itu kini tidak mau berpura-pura lagi, dengan tubuh Loa Song sebagai "senjata" dia menyerbu, memutarkan tubuh yang dia pegang kedua kakinya itu menyambut Ngo-heng-tin!






Terdengar bunyi "prak-prak!" berkali-kali dan orang-orang di situ tidak tahu bagaimana terjadinya, akan tetapi tubuh lima orang Ngo-heng-tin itu berturut-turut terpelanting roboh, dengan kepala pecah! Kemudian Thian Sin melemparkan pula tubuh Loa Song yang sudah menjadi mayat dengan kepala tidak karuan rupanya karena kepala Loa Song tadi telah dipakai oleh Thian Sin untuk menghantam kepala lima orang Ngo-heng-tin itu berturut-turut.

Kalau lima orang itu roboh dengan kepala retak, tentu saja Loa Song tewas dengan kepala yang remuk-remuk karena lima kali diadu dengan kepala lima orang! Thian Sin kini berdiri di tengah ruangan, berdiri tegak dan mengangkat kepalanya dengan sikap angkuh.

Suasana menjadi sunyi karena semua orang masih terkejut dan ngeri menyaksikan sepak terjangnya tadi.

"Jeng-hwa-pang, dengarlah baik-baik! Aku memang datang dari Istana Lembah Naga dan ketahuilah bahwa namaku adalah Ceng Thian Sin! Aku datang bukan hanya atas nama Lembah Naga, melainkan juga untuk membalaskan kematian ayahku, Pangeran Ceng Han Houw dan ibuku!"

Mendengar ini, seketika wajah Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam menjadi pucat. Juga kedua pembantunya, Kim Thian Seng-cu dan Gin Thian Seng-cu sudah berdiri.

"Bunuh dia! Kepung, jangan sampai lolos!" bentak Ketua Jeng-hwa-pang itu.

Akan tetapi Thian Sin sudah mendahuluinya, meloncat dengan terjangan seperti seekor harimau muda kelaparan, menerjang dan menyerangnya dengan hebat, mempergunakan tamparan Thian-te Sin-ciang.

Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam tadi menangkis sambil mengerahkan tenaganya, menggunakan hawa beracun dari tangannya, akan tetapi begitu bertemu dengan pukulan Thian-te Sin-ciang, tubuhnya terlempar ke belakang dan hanya dengan berjungkir balik dia dapat menyelamatkan diri dari bantingan keras.

Diam-diam dia terkejut bukan main. Pemuda remaja itu ternyata memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya! Untung Tok-ciang bahwa dari kanan dan kirinya, kedua orang tosu Pek-lian-kauw yang menjadi pembantu-pembantunya telah menubruk ke depan dan menyerang Thian Sin.

Kim Thian Seng-cu telah menyerang dengan pedangnya, sedangan Gin Thian Seng-cu menyerang dengan kebutan bajanya yang ampuh. Melihat serangan-serangan ini, Thian Sin meloncat ke belakang dan karena di belakangnya telah datang murid-murid Jeng-hwa-pang yang membawa bermacam-macam senjata, dia mengamuk. Kilatan-kilatan senjata yang seperti hujan menimpanya, dielakkannya dengan cekatan, dan setiap serangan yang dielakkannya itu tentu disambut dengan tamparan atau tendangan.

Demikian cepatnya gerakannya, demikian kuatnya sehingga setiap kali dia menggerakkan tangan atau kaki, tentu tubuh seorang pengeroyok terlempar dan tak dapat bangun lagi! Kadang-kadang, dengan tangan telanjang saja dia menangkis golok atau pedang, lengan bajunya robek-robek dan hancur, akan tetapi berkat Ilmu Thian-te Sin-ciang, kulit lengannya menjadi kebal dan bukan kulit lengannya yang terluka, sebaliknya pedang dan golok itu yang patah atau terlempar jauh!

Melihat kelihaian pemuda itu, Tok-ciang lalu mencabut senjatanya yang ampuh, yaitu pecut baja. Terdengar bunyi ledakan-ledakan ketika dia menggerakkan pecut bajanya dan ketua Jeng-hwa-pang ini menyerang dengan dahsyatnya. Pecut baja itu meledak dan menyambar ke arah ubun-ubun kepala Thian Sin. Pemuda ini maklum akan bahaya maut ini, maka diapun mengelak dan berusaha menangkap ujung pecut. Akan tetapi, dengan gerakan pergelangan tangannya, Tok-ciang menarik kembali pecutnya dan dengan satu ujung pecut baja itu kini meluncur ke depan dan menotok ke arah jalan darah di ulu hati Thian Sin.

Pada saat yang hampir berbareng, Kim Thian Seng-cu sudah menyerang pula dengan pedangnya dan disusul Gin Thian Seng-cu menyerang pula dengan kebutan bajanya. Melihat betapa tiga orang pemimpin Jeng-hwa-pang maju, tentu saja para murid Jeng-hwa-pang segera mundur dan membentuk lingkaran mengepung dan menjaga agar pemuda remaja itu tidak mungkin dapat melarikan diri dari tempat itu.

Dikeroyok tiga oleh ketua Jeng-hwa-pang dan dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu, repot juga Thian Sin harus menghindarkan pengejaran tiga macam senjata itu. Ilmu silatnya memang sudah hebat sekali, akan tetapi dia masih belum berpengalaman, dan apalagi pada saat itu dia bertangan kosong harus menghadapi tiga macam senjata yang digerakkan oleh tangan-tangan ahli. Betapapun juga, dia tidak merasa gentar dan dia tetap tersenyum, senyum yang menyeramkan karena di baliknya terbayang kebencian yang hebat.

Sepasang matanya yang bagus itu mengeluarkan sinar dingin, dan tiga orang kakek itu merasa ngeri melihat kenyataan betapa kedua lengan pemuda remaja itu mampu menangkis tiga macam senjata itu tanpa terluka sedikitpun! Dan biarpun dia diserang secara bergantian dan didesak, Thian Sin kini mulai dapat melakukan serangan balasan yang cukup hebat! Dia mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun dan dengan gerakan kaki dalam ilmu silat ini dia mampu menghindarkan diri dari semua serangan, dan sebagai pembalasan, dia menggunakan pukulan atau tamparan Thian-te Sin-ciang yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan tiga macam senjata tiga orang kakek yang menjadi lawannya.

Karena dikeroyok tiga, untuk menghindarkan senjata lawan yang panjang dan yang menyerang bagian lemah dari tubuhnya, kadang-kadang Thian Sin harus meloncat ke pinggir dan dia sudah disambut oleh tusukan atau bacokan dari para murid Jeng-hwa-pang yang mengepung tempat itu. Akan tetapi, dengan tangkisan yang dilanjutkan tamparan, dia merobohkan satu dua orang dalam waktu cepat, untuk kemudian membalik untuk menghadapi desakan tiga orang kakek itu lagi!

Melihat ini, Tok-ciang menjadi penasaran dan marah sekali. Pemuda remaja itu dalam waktu singkat telah membunuh belasan orang anak muridnya.

"Kurung dia dengan api!" teriaknya dan kini para murid Jeng-hwa-pang itu menyalakan obor dan tiap kali Thian Sin meloncat ke pinggir, dia tidak lagi disambut dengan senjata melainkan dengan obor menyala!

Tentu saja Thian Sin tidak berani menyambut api karena dia tidak kebal terhadap api, maka terpaksa dia mendesak lagi ke tengah dan menyambut tiga orang kakek itu dengan mati-matian.

"Mampuslah!"

Tiba-tiba pecut baja itu berubah menjadi kaku seperti tombak dan menusuk ke arah dada Thian Sin.

Melihat ini, Thian Sin menggerakkan lengannya menangkis sambil mengerahkan tenaga untuk mematahkan senjata itu. Akan tetapi pecut baja itu terbuat dari baja yang amat baik sehingga ketika ditangkis, ujungnya melentur dan tanpa dapat dihindarkan lagi, ujung pecut yang runcing itu menusuk pangkal lengan kiri Thian Sin. Dan pemuda itu merasa betapa pangkal lengannya panas sekali. Maklumlah dia bahwa ujung pecut baja itu tentu mengandung racun dan cepat dia mengerahkan sin-kang seperti yang pernah dipelajarinya dari Pendekar Lembah Naga.

Memang hebat sekali karena begitu dia mengerahkan hawa sakti dari pusar itu menuju ke bagian yang terluka, dari luka kecil itu keluar darah dan semua racun yang dibawa ujung pecut dan mengotori luka itu terbawa keluar oleh darah!

"Ha-ha-ha!"

Tok-ciang Sian-jin tertawa bergelak karena dia merasa yakin bahwa luka dengan ujung pecut itu satu kali saja sudah cukup dan dia merasa yakin bahwa dalam waktu satu dua menit lagi pemuda remaja itu akan roboh karena racun yang terkandung di ujung pecutnya itu amat ganas.

Akan tetapi, betapa kagetnya ketika tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara melengking keras dan tahu-tahu pemuda itu telah menerjang dan menubruknya seperti seekor burung elang rajawali menyambar seekor ular.

Tok-ciang mengeluarkan seruan kaget, berusaha mengelak sambil memukulkan pecutnya. Thian Sin tidak berhasil memberi pukulan yang tepat, namun kakinya sempat menyambar dan mengenai paha lawan, membuat Tok-ciang terhuyung dan pemuda remaja itu dengan kecepatan kilat telah berhasil menangkap cambuk.

Terjadi tarik-menarik dan hampir saja Tok-ciang tidak dapat mempertahankan cambuknya lagi. Akan tetapi pada saat itu, dua orang tokoh Pek-lian-kauw telah menyerang dari kanan kiri. Terpaksa Thian Sin melepaskan cambuknya, dilepaskannya dengan tiba-tiba sehingga cambuk itu melecut ke arah muka pemiliknya. Baiknya Tok-ciang sudah melempar tubuh ke samping, kalau tidak tentu dia menjadi korban senjatanya sendiri. Dia meloncat bangun dan wajahnya berubah agak pucat. Tak disangkanya pemuda itu sedemikian hebatnya, dan sungguh dia merasa heran bagaimana pemuda itu belum juga jatuh setelah pangkal lengannya terluka oleh pecut baja yang mengandung racun?

Thian Sin kini sudah marah sekali. Biarpun dia berhasil menghindarkan diri dari bahaya maut dengan mengeluarkan racun itu seketika dari pundaknya, namun luka di pangkal lengan dekat pundak itu cukup mendatangkan rasa nyeri. Ketika dia diserang oleh pedang dari kanan dan kebutan dari kiri, dia miringkan tubuh sehingga pedang itu lewat, kemudian cepat dia menangkap pergelangan tangan Kim Thian Seng-cu sambil mengerahkan tenaga Thi-khi-i-beng! Dia telah melanggar pantangan dan pesan ayah angkatnya agar tidak sembarangan mempergunakan ilmu ini.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: