*

*

Ads

Minggu, 07 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 039

"Ha-ha-ha, engkau mencari guru? Maksudmu guru silat atau guru sastera?" Gin Thian Seng-cu bertanya sambil tertawa. "Kalau mau belajar silat, tentu kau boleh masuk menjadi anggauta Jeng-hwa-pang, akan tetapi kalau ingin belajar sastera... wah, siapa bisa mengajarmu?"

"Orang muda, apakah engkau ingin belajar silat?"

Ketua Jeng-hwa-pang itu pun bertanya sambil tersenyum karena dia merasa suka sekali kalau dapat mempunyai murid setampan ini.

"Memang benar, saya ingin mencari guru silat dan kabarnya Jeng-hwa-pang adalah gudangnya jago silat yang lihai, maka saya mencari ke sini."

"Ha-ha, kalau begitu benar seperti yang dikatakan oleh Gin Thian Seng-cu tadi, engkau boleh menjadi anggauta Jeng-hwa-pang dan aku sendiri yang akan melatihmu," kata Tok-ciang Sian-jin sambil mengelus jenggotnya.

Bagi seorang kakek seperti dia kini sudah agak jauh dari wanita dan dia akan lebih senang berdekatan dengan seorang pemuda yang setampan dan sehalus itu.

"Terima kasih atas kebaikan locianpwe, akan tetapi saya telah mengambil keputusan untuk berguru kepada orang yang dapat mengalahkan saya dalam ilmu silat."

Muka tiga orang kakek yang tadinya tersenyum-senyum itu tiba-tiba berubah dan mereka saling pandang karena timbul lagi kecurigaan hati mereka.

"Orang muda, apakah engkau pernah belajar silat?" tanya Tok-ciang Sian-jin atau Dewa Bertangan Racun itu.

"Saya sudah belajar dari banyak guru silat, akan tetapi akhir-akhir ini banyak guru yang menipu, hanya ingin mencari uang saja tanpa mempunyai ilmu yang tulen. Oleh karena itu, saya tidak mau dikecewakan lagi, dan saya hanya akan berguru kepada orang yang dapat mengalahkan saya."

Ketua Jeng-hwa-pang itu mengangguk-angguk.
"Bagus, memang engkau cerdik sekali. Biarlah kami juga ingin melihat sampai dimana tingkatmu sehingga lebih mudah untuk membimbingmu kalau engkau belajar di sini." Tok-ciang itu lalu bertepuk tangan memanggil.

Pengawal-pengawal datang dan dia lalu menyuruh panggil seorang murid tingkat empat dari Jeng-hwa-pang. Seorang murid datang, dan dia ini seorang pria yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan nampak kuat, gerak-geriknya gesit.

Memang demikianlah, makin tinggi ilmu silat seseorang, makin tidak kentara nampak pada dirinya, sebaliknya yang tingkat ilmunya masih rendah selalu ingin menonjolkan dan memperlihatkan diri dengan bermacam lagak, baik melalui langkah-langkahnya yang dibikin cepat dan gesit, maupun melalui tonjolan-tonjolan uratnya dan sebagainya. Sekali pandang saja maklumlah Thian Sin bahwa orang ini hanya mempunyai kekuatan otot saja dan tidak atau belum memiliki ilmu silat yang tinggi.

"Nah, Thian Sin, coba engkau hadapi murid Jeng-hwa-pang tingkat empat ini," kata Tok-ciang sambil tersenyum dan cara dia memanggil nama itu seolah-olah dia memanggil seorang murid saja.

Diam-diam Thian Sin girang karena dia ternyata telah dapat memperoleh kepercayaan ketua Jeng-hwa-pang ini sekarang dia akan dapat menghadapi mereka secara halus, dengan bertanding satu lawan satu sehingga akan lebih mudah baginya untuk dapat merobohkan tiga orang ini tanpa harus menghadapi pengeroyokan banyak sekali orang.

"Baik, locianpwe," katanya dan diapun melangkah ke tengah ruangan yang cukup luas itu.






"Kau boleh robohkan dia, akan tetapi jangan menggunakan pukulan maut," pesan Tok-ciang kepada murid Jeng-hwa-pang itu.

Kemudian sambil tersenyum dia berkata kepada Thian Sin.
"Orang muda she Thian, kalau engkau sampai kalah, engkau tidak harus mengangkat dia menjadi guru, melainkan engkau akan menjadi muridku kalau memang kulihat engkau berbakat. Nah, mulailah kalian!"

Murid Jeng-hwa-pang itu telah memasang kuda-kuda dengan gaya yang gagah sekali, dengan kedua kakinya memasang kuda-kuda terpentang setengah berjongkok, tangan kanan di depan pusar dan tangan kiri di depan dada. Otot-otot lengannya menonjol dan sepasang matanya memandang ke arah Thian Sin dengan sinar mata merendahkan.

Melihat ini, Thian Sin maklum bahwa sekali gebrakan saja dia akan mampu merobohkan bahkan membunuh lawannya, akan tetapi dia berpura-pura gentar dan memasang kuda-kuda biasa saja, kuda-kuda dengan kaki kanan di depan kaki kiri di belakang, kuda-kuda seorang yang baru belajar silat.

Murid Jeng-hwa-pang itu mengeluarkan bentakan nyaring. "Haiiiiittt...!" dan tubuhnya sudah menyerang seperti seekor singa mengamuk. Dengan tenaga otot yang keras dia mengirim pukulan bertubi-tubi ke arah tubuh Thian Sin dan pemuda remaja ini pura-pura kewalahan dan terdesak, namun dia dapat mengelak ke sana-sini, membuat kakinya agak kacau dan terhuyung, namun tak pernah pukulan lawan dapat mengenainya. Diapun sambil mengelak balas memukul sembarangan saja dan tentu saja pukulan-pukulannya dapat ditangkis atau dielakkan oleh lawannya.

Terjadilah pertandingan yang seru karena agaknya kedua fihak sama kuat. Ketika ketua Jeng-hwa-pang melihat pemuda remaja itu sanggup menghadapi murid ke empat dari Jeng-hwa-pang, biarpun kedudukan kakinya masih kurang kuat dan gerakan-gerakannya masih kaku, hati ketua ini cukup puas. Pemuda itu bukan seorang lemah dan dapat menjadi murid Jeng-hwa-pang yang baik, pikirnya.

Setelah lewat lima puluh jurus, Thian Sin merasa cukup. Apalagi dia mulai tidak kuat menahan bau keringat lawannya sungguh melebihi bau cuka yang paling keras dan kalau dia tidak bertahan, tentu dia sudah terbangkis-bangkis. Maka, ketika lawannya kembali menyerang sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia siap sedia untuk mengakhiri pertandingan itu.

"Haiiii... ekkk!"

Bentakan orang tinggi tegap itu terhenti di tengah jalan karena perutnya kena disodok pukulan Thian Sin, sedangkan pemuda itu membiarkan pukulan lawan menyerempet pundaknya, membuat dia terdorong mundur sampai lima langkah akan tetapi lawannya sudah berjongkok sambil mmyeringai kesakitan, menekan-nekan perutnya yang menjadi mulas!

Terdengar Gin Thian Seng-cu tertawa. Tosu ini memang berwatak gembira dan melihat murid tingkat empat itu menekan-nekan perut sambil menyeringai, dia tidak dapat menahan geli hatinya dan diapun berkata,

"Wah, usus buntumu terkena agaknya. Sudah, pergi sana, kau sudah kalah!"

Murid itu bangkit berdiri dengan kedua tangan masih menekan perut, lalu mundur dengan muka penuh keringat dingin.

"Bagus! Kau telah menang, kau boleh menjadi murid Jeng-hwa-pang, Thian Sin!" kata Tok-ciang dengan girang.

Biarpun gerakan pemuda itu masih kaku, namun jelas dia masih menang sedikit dibandingkan dengan murid tingkat ke empat tadi.

"Akan tetapi, locianpwe. Saya sudah mengambil keputusan untuk berguru kalau saya sudah dikalahkan," kata Thian Sin dengan sikap bandel, seperti sikap seorang pemuda yang masih hijau dan bodoh.

"Hemm, mengapa engkau berkeras harus dikalahkan dulu? Bukankah dikalahkan itu tidak enak dan menyakitkan? Melawan murid tingkat ke empat tadipun engkau nyaris kalah dan hanya dengan susah payah dapat menang. Kalau kami datangkan murid tingkat ke tiga, tentu engkau akan kalah."

"Biarlah saya kalah, karena hanya kalau sudah kalah saya mau mengangkat guru," jawab Thian Sin.

"Panggil saja murid tingkat ke tiga," Kim Thian Seng-cu memberi usul.

"Jangan," kata Tong-ciang "Murid tingkat tiga biarpun dapat menang, akan tetapi tentu tidak mudah dan hal itu berbahaya bagi pemuda ini, mungkin dapat celaka kalau terkena pukulan terlalu kuat baginya. Sebaiknya suruh Lim Seng saja maju dan kalahkan dia dengan mudah agar Thian Sin yakin bahwa kepandaiannya masih jauh dan dia perlu berguru di tempat ini."

Yang disebut Lim Seng adalah murid kelas pertama dari Jeng-hwa-pang, yang tentu saja memiliki kepandaian yang tinggi karena dia adalah murid dari ketua sendiri, dan kedudukannya hanya di bawah dua orang tosu pembantu itu. Lim Seng dipanggil dan seorang kakek berusia hampir lima puluh tahun tiba di tempat itu.

"Lim Seng, anak itu adalah calon muridku. Kau boleh mengujinya dan boleh merobohkannya, akan tetapi jangan sampai dia terluka parah apalagi tewas. Ingat, dia ini calon sutemu yang termuda," kata Ketua Jeng-hwa-pang itu kepada muridnya.

Lim Seng yang bertubuh tinggi kurus itu memandang kepada Thian Sin dan alisnya berkerut. Mengapa gurunya menerima seorang murid baru secara langsung seperti ini? Akan tetapi melihat betapa pemuda remaja itu amat tampan, dengan kulit halus putih seperti kulit wanita, dengan wajah yang berseri dan ramah, mengertilah dia dan diapun tidak mau banyak cerewet lagi.

"Baik, suhu," Dan dia pun menghampiri Thian Sin yang sudah berada di tengah ruangan itu. "Orang muda, kau jagalah dirimu baik-baik dan lihat, aku sudah mulai menyerangmu!"

Berkata demikian, Lim Seng sudah melangkah maju dan tangannya menampar dari kiri, dan tamparan ini mendatangkan angin pukulan yang cukup kuat, maka tahulah Thian Sin bahwa sekali ini dia menghadapi seorang lawan yang "berisi", bukan pemamer otot seperti lawannya yang tadi. Cepat diapun mengelak sambil melangkah mundur dan balas memukul ke arah dada lawan agar tampak bahwa diapun melawan dengan "sungguh-sungguh". Padahal, tentu saja diapun seperti tadi hanya main-main saja, mengatur agar perlawanannya terhadap murid Jeng-hwa-pang itu kelihatan seimbang!

Para murid Jeng-hwa-pang, semenjak paling rendah, sudah mulai mempelajari racun yang merupakan keistimewaan dari perkumpulan itu, terutama racun bunga hijau. Akan tetapi, mereka itu hanya mulai mempelajari cara mempergunakan racun-racun itu, seperti dalam mencampurkannya dengan makanan, minuman, sebagai asap beracun atau bubuk beracun, atau cara merendam senjata dengan racun. Bahkan sampai murid tingkat duapun baru mempelajari penggunaan luar ini karena tingkat sin-kang mereka dianggap belum cukup untuk mempelajari ilmu pukulan beracun dengan jalan merendam dan melatih tangan dalam racun sehingga dapat dipergunakan untuk melakukan serangan dengan pukulan yang mengandung hawa beracun.

Akan tetapi Lim Seng, sebagai murid tingkat pertama, atau boleh dibilang murid kepala dari Jeng-hwa-pang, tentu saja diapun sudah mempelajari ilmu pukulan beracun yang oleh ketuanya dinamakan Jeng-hwa-ciang (Tangan Bunga Hijau).

Ilmu pukulan ini lihai sekali, karena kedua tangan sudah dilatih secara bertahun-tahun direndam dalam sari racun bunga hijau. Jangankan sampai tangan itu mengenai sasaran tubuh lawan, baru hawa pukulannya saja sudah mampu meracuni lawan!

Dilihat dari tingkatnya ini, sesungguhnya Lim Seng sudah merupakan tokoh yang amat lihai, dan karena dia dipesan oleh suhunya agar merobohkan pemuda tampan ini tanpa melukainya sampai parah apalagi menewaskannya, maka dia bersilat dengan hati-hati dan tentu saja tidak mengeluarkan ilmu pukulan Jeng-hwa-ciang itu.

Betapapqn lihainya Lim Seng, dia bukanlah tandingan Thian Sin. Apalagi dia tidak mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Andaikata dia mengeluarkan seluruh kelihaiannya sekalipun, mana mungkin dia melawan murid tersayang dari pendekar sakti Cia Sin Liong yang terkenal sebagai Pendekar Lembah Naga?

"Hyaaaat!"

Tiba-tiba Lim Seng membentak dengan nyaring, kedua tangannya sudah menyerang dengan cepat sekali, tangan kanan menyambar ke arah telinga kiri lawan sedangkan tangan kiri mencengkeram ke arah pusar. Serangan ini memang hebat dan cepat sekali, akan tetapi Thian Sin mengerti bahwa serangan yang hebat itu hanyalah gertakan belaka dan maklum bahwa serangan susulanlah yang menjadi inti serangan lawan.

Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu akan hal itu dan melihat serangan kedua tangan lawan itu, cepat dia mengelak dengan melangkah ke belakang persis seperti yang dikehendaki oleh Lim Seng. Melihat pemuda itu mengelak dengan kaget, Lim Seng tersenyum dan tiba-tiba saja kaki kanannya sudah menyambut dengan sapuan keras dan cepat. Sapuan kakinya itu tepat mengenai kedua kaki Thian Sin dan pemuda remaja inipun terpelanting.

Sebelumnya Lim Seng sudah dapat membayangkan betapa pemuda itu akan roboh terguling dan dia akan memperoleh kemenangan mudah, akan tetapi sungguh tak disangkanya bahwa tubuh yang terpelanting itu dapat berjungkir balik membuat salto dua kali dan turun lagi ke atas tanah dengan ringan, bahkan lalu mengirim tendangan berantai kepadanya, membuat dia terhuyung dan berusaha menghindarkan diri dari tendangan-tendangan itu dengan mengelak dan berloncatan ke belakang. Dengan demikian, bukan Thian Sin yang roboh kalah, melainkan Lim Seng yang kena didesak!

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: